© 2003 Program Pasca Sarjana IPB
Posted 5
November 2003
Makalah Individu
Pengantar Falsafah Sains (PPS 702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
November
2003
Dosen
:
Prof.
Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (penanggung jawab)
Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto
PERKEMBANGAN METODE PENELITIAN DI BIDANG ARSITEKTUR
(Sebuah
Kerangka Pemikiran)[1]
Penelitian adalah terjemahan dari kata Inggris research. Kata research tersebut juga dapat diterjemahkan sebagai riset oleh beberapa ahli. Research itu sendiri berasal dari kata re, yang berarti kembali dan to search yang berarti mencari. Dengan demikian arti sebenarnya dari research atau riset adalah mencari kembali.
Menurut kamus Webster’s New International, penelitian adalah penyelidikan yang berhati-hati dan kritis dalam mencari fakta dan prinsip-prinsip, suatu penyelidikan yang amat cerdik untuk menetapkan sesuatu. Menurut Gee (1950) penelitian adalah suatu pencarian, penyelidikan atau investigasi terhadap pengetahuan baru, atau sekurang-kurangnya sebuah pengaturan baru atau interpretasi (tafsiran) baru dari pengetahuan yang timbul. Metode yang digunakan bisa saja ilmiah atau tidak, tetapi pandangan harus kritis dan prosedur harus sempurna. Dalam masalah aplikasi, maka nampaknya aktivitas lebih banyak tertuju kepada pencarian (search) daripada suatu pencarian kembali (re-search). Jika proses yang terjadi adalah hal yang selalu diperlukan, maka penelitian sebaiknya digunakan untuk menentukan ruang lingkup dari konsep dan bukan untuk menambah definisi lain terhadap definisi-definisi yang telah begitu banyak.
Secara umum dapat dikatakan bahwa penelitian adalah suatu penyelidikan yang terorganisasi. Penelitian juga bertujuan untuk mengubah kesimpulan-kesimpulan yang telah diterima, ataupun mengubah dalil-dalil dengan adanya aplikasi baru dari dalil-dalil tersebut. Penelitian dengan menggunakan metode ilmiah (scientific method) disebut penelitian ilmiah (scientific research) dengan dua unsur penting, yaitu unsur pengamatan dan unsur nalar.
Bagaimana halnya dengan bidang arsitektur? Secara kapita selekta, arsitektur merupakan hasil karya seni yang bermanfaat, tahan lama, mengikuti hukum alam, ekonomis, spesifik, dan memperhatikan keadaan pemakai yang diungkapkan berdasarkan pengalaman yang teramati secara kreatif (Isa, 1999). Pandangan tersebut baru merupakan pendapat pihak arsitek, belum tentu merupakan keinginan dari pihak pemakai. Kenapa hal demikian terjadi? Hal ini disebabkan karena arsitek harus berkarya untuk pemakai dengan memperhatikan dampaknya pada masyarakat di sekitar bangunan itu.
Agar keinginan dari pemakai dapat dipahami dengan baik, maka arsitek seharusnya datang kepada mereka dan menanyakan tentang apa-apa saja yang diinginkannya. Kemudian bahan/fakta yang ditanyakan diperoleh, disesuaikan dengan persyaratan kearsitekturan. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi penolakan atas seluruh maupun sebagian dari fungsi ruang yang disediakan. Datang kepada mereka tidak berarti secara langsung, tetapi dapat dilakukan dengan perangkat survai yang dilakukan dengan metode penelitian ilmiah bidang sosial.
Kegunaan penelitian arsitektur adalah untuk memahami keinginan si pemakai tanpa mengabaikan kondisi tapak/lingkungan setempat, dan akhirnya menterjemahkan ke dalam bentuk suatu disain. Untuk mendapatkan hal-hal tersebut, maka seorang arsitek harus melakukan penelitian, survai, pengumpulan data, analisis, sintesis, dan konsepsi; tetapi tetap dalam hubungannya dengan penelitian ilmiah, baik pengertian maupun kemampuan dari luas cakupan yang berbeda. Umumnya arsitek lebih menekankan penelitiannya pada penemuan konsep perekayasaan ruang fisik kegiatan manusia saja. Di samping itu seorang arsitek demi keinginan pemakai harus memposisikan arsitektur di atas dasar ilmu-ilmu alam dan kemanusiaan, yang sama-sama ilmu empiris. Dengan kata lain, di dalam mencari kebenaran, arsitek lebih banyak memakai cara kerja induktif, yaitu cara kerja dengan langkah-langkah berupa observasi, eksperimen, dan penemuan. Namun demikian tidak tertutup kemungkinan dilakukan cara kerja dedukif, bila data yang diperoleh lebih banyak menggunakan data kuantitatif seperti yang dilakukan ilmu-ilmu pasti lainnya, contohnya : penanganan masalah rayap berdasarkan prinsip patologi bangunan.
Penelitian-penelitian arsitektur umumnya lebih kompleks dengan data yang tidak eksak dibandingkan dengan penelitian-penelitian ilmiah lainnya. Selain itu data yang diperoleh tidak dapat dikontrol, karena disebabkan oleh masalah orientasi yang sangat luas. Masalah lain yang dihadapi dalam penelitian arsitektur adalah ketidakmungkinan melakukan eksperimentasi yang terjadi terhadap masalah-masalah sosial yang ada, ini berarti tidak mungkin dilakukan percobaan dengan replikasi serta kontrol yang cukup terjamin ketepatannya. Kesulitan lain yang dihadapi ialah kurangnya kemampuan prediksi dalam membuat perkiraan (forecasting) terhadap masalah-masalah sosial yang ada yang ikut mempengaruhi penelitian arsitektur. Pemikiran ini timbul karena arsitektur masih terjebak dengan pola lama, sehingga dalam penelitian ilmiah seorang calon arsitek atau arsitek dianggap kurang meneliti. Dewasa ini seorang arsitek diminta untuk ikut memperhatikan aspek kuantitatif (terukur) terhadap pasca disainnya, seperti konstruksi dan maintenance (pemeliharaan/perawatan) bangunan yang telah didisainnya
Selama
ini informasi yang diperoleh oleh peneliti arsitektur banyak disandarkan kepada
daya ingat dari obyek dalam mencari fakta.
Oleh karenanya,
timbul permasalahan tentang bagaimana mengurangi bias dari informasi yang
diterima. Hal ini merupakan tambahan
kerja yang memerlukan kecermatan dari peneliti arsitektur. Secara umum dapat disimpulkan bahwa peneliti
arsitektur selalu mendapatkan dirinya berkecimpung dalam masalah aktivitas
ataupun melibatkan dirinya dalam meneliti catatan aktivitas manusia, dan harus
membuat proses dan fenomena dari masalah tersebut. Variabel-variabel fenomena arsitektur sulit sekali diukur secara
kuantitatif sebab hanya membatasi terhadap disain saja, sehingga data yang
diperoleh lebih banyak merupakan data kualitatif.
Metode ilmiah boleh dikatakan suatu pengejaran terhadap kebenaran yang diatur oleh pertimbangan-pertimbangan logis. Idealnya adalah untuk memperoleh interelasi yang sistematis dari fakta-fakta, maka metode ilmiah berkehendak mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan metode kesangsian sistematis (Nazir, 1988). Karena itu, penelitian dan metode ilmiah mempunyai hubungan yang dekat sekali, jika tidak dikatakan sama. Dengan adanya metode ilmiah, pertanyaan-pertanyaan dalam mencari dalil umum akan mudah terjawab, seperti menjawab seberapa jauh, mengapa begitu apakah benar, dan sebagainya.
Kesulitan terbesar yang pada umumnya
dihadapi oleh seorang peneliti adalah menentukan metode ilmiah yang akan
digunakan dalam penelitiannya agar penelitian tersebut dapat memberikan hasil
yang sahih (valid) dari kacamata ilmiah. Pada penelitian kuantitatif, kesahihan hasil penelitian banyak
tergantung dari keandalan (reliability) instrumen yang dipakai serta pilihan metode statistik yang digunakan
untuk menganalisis hasil pengukurannya.
Sedangkan pada penelitian kualitatif, yang pengkajiannya tidak
berdasarkan hal-hal yang terukur (measurable) lebih sulit untuk mendapatkan hasil
penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan derajat keilmiahannya. Dalam kaitan ini, salah satu kata kunci yang
penting untuk mencapai atau mendekati hasil penelitian kualitatif yang sahih
adalah “interpretasi” yang dalam aplikasinya sebagai metode penelitian. Pada prinsipnya penelitian kualitatif adalah
pengamatan atas sesuatu fakta untuk melihat kecenderungan-kecenderungannya,
yang dilakukan dengan cara menghubungkan dengan fakta-fakta lainnya sebagai
suatu representasi kolektif. Dengan
demikian kecenderungan-kecenderungan sesuatu fakta yang diamati dapat
diidentifikasi.
Arsitektur
merupakan perpaduan dari ilmu-ilmu alam dan seni/sosial, sehingga pada umumnya
data yang diperoleh merupakan data kuantitatif dan data kualitatif. Penelitian di bidang arsitektur harus
mencakup tiga aspek utama yaitu kegunaan, kekuatan dan keindahan. Untuk aspek kekuatan (struktur, bahan
bangunan) dapat dilakukan penelitian kuantitatif (data terukur). Di lain pihak untuk aspek kegunaan dan
keindahan lebih banyak diperlukan penelitian kualitatif, karena data yang
diperoleh berasal dari obyek yang tidak bisa diukur (misalnya pandangan
hidup, rasa keindahan, dan
sebagainya).
Metode ilmiah yang digunakan dalam penelitian arsitektur umumnya menggunakan metode penelitian sosial. Metode ini menawarkan sebuah cara yang tepat dalam melakukan perhatian pada berbagai masalah (dalam mencari kebenaran), secara logis melalui pengamatan yang hati-hati dan sangat teliti (Babbie, 1979). Pendekatan dalam metode ini menggunakan cara pendekatan yang dapat dipertanggungjawabkan, karena dilakukan secara sistematis, terkontrol, dan teruji. Selain itu, metode ini juga merupakan pemeriksaan dari usulan hipotesis mengenai kemungkinan adanya hubungan antara fakta atau kejadian yang diamati (Kerlinger, 1973). Dengan demikian agar proses penemuan pengetahuan ilmiah ini tetap berada di jalur yang benar, maka harus dijaga seluruh langkah-langkah; mulai dari perumusan masalah, penyusunan hipotesis, induksi/deduksi dari hipotesis, dan pengujian hipotesis tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian arsitektur dapat berkembang dengan menggunakan metode ilmiah yang dilakukan dengan langkah-langkah seperti di bawah ini.
Gambar 1. Skema Penelitian Arsitektur
PERUMUSAN HIPOTESIS
Dalam
metode penelitian, pengajuan hipotesis merupakan salah satu syarat yang harus
dipenuhi. Hipotesis sendiri tidak lain
merupakan jawaban sementara terhadap masalah penelitian, yang kebenarannya
harus diuji secara empiris. Hipotesis
menyatakan hubungan apa yang kita cari atau yang ingin kita pelajari. Hipotesis adalah pernyataan yang diterima secara sementara sebagai suatu
kebenaran sebagimana adanya dan merupakan panduan kerja dalam verifikasi. Hipotesis amat berguna dalam penelitian.
Pengajuan
hipotesis sangat berguna dalam penelitian arsitektur. Tanpa adanya hipotesis tidak akan ada progres dalam wawasan atau
pengertian ilmiah untuk mengumpulkan fakta empiris. Tanpa adanya ide yang membimbing (hipotesis), maka sulit dicari
fakta-fakta yang ingin dikumpulkan dan sukar menentukan mana yang relevan dan
mana yang tidak dalam disain arsitektur.
Tinggi rendahnya kegunaan hipotesis sangat bergantung pada ketajaman
pengamatan si arsitek, imajinasi serta pemikiran kreatif, kerangka analisis
yang digunakan, dan metode serta disain yang dipilih.
Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, arsitektur sebagai suatu ilmu sosial yang
berada di dalam ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu kemanusiaan. Hal ini berarti seorang arsitek dalam
memulai tindakan proses pradisain (planning), akan memakai cara
“berpikir deduktif-induktif-verificatif” (Suriasumantri, 1981). Berpikir dari hal-hal umum yang dijabarkan
ke dalam suatu individu, dan kemudian digabungkan dengan fakta dari lapangan,
lalu diuji kebenaran dari penggabungan tersebut. Penggabungan ini dinamakan hipotesis atau konsep arsitektur yang
ilmiah, karena harus memenuhi “kebenaran yang obyektif” dan dapat diandalkan
(Nawawi dan Martini, 1994).
Hipotesis
dalam penelitian arsitektur lebih dikenal dengan pradisain atau konsepsi yang
masih bersifat umum dan sangat sederhana dan diperoleh dari hasil analisis
permasalahan dan masih memerlukan perkembangan lebih lanjut. Hipotesis di dalam pradisain juga melingkupi
perekayasaan alam, di samping menyangkut tingkah laku pemakai. Karena sebetulnya yang didambakan oleh
pemakai tidak saja sesuai dengan keinginan jiwa, tetapi juga kebutuhan
jasmaninya. Diharapkan melalui
pemakaian hipotesis, konsep arsitektur dapat lebih mendekati harapan pemakai di
dalam proyek arsitek untuk mencari penyelesaiannya.
Di dalam mendapatkan hipotesis yang mendekati
kebenaran (sesuai dengan harapan si pemakai tanpa meninggalkan kondisi
lingkungan sekitarnya), maka si perancang (arsitek) perlu menguasai beberapa
informasi untuk menghasilkan pradisannya, seperti :
1.
Obyektivitas
yang dilihat dari sisi karakteristik lingkungan (tapak-lokasi)
2. Kendala, meliputi : biaya, prinsip pelaksanaan, perawatan, iklim setempat, lingkungan
3. Kriteria, antara lain : fasilitas yang tersedia dan pengaruhnya terhadap biaya
Informasi-informasi tersebut merupakan langkah-langkah yang dibutuhkan dalam mendapatkan hipotesis dalam metode perancangan arsitektur. Dengan mempertajam konsep/pradisain, seorang arsitek akan sampai kepada kebutuhan pengaturan proyek dan model dari bangunan yang didisain.
PENGUMPULAN DATA
Pengumpulan data tidak lain dari suatu proses pengadaan data primer untuk keperluan penelitian. Data yang dikumpulkan dapat juga berupa data sekunder, yang artinya data tersebut diperoleh bukan dari hasil penelitiannya sendiri, tetapi merupakan data yang dikumpulkan oleh orang lain; dan diolah kembali oleh si peneliti. Pengumpulan data merupakan langkah yang amat penting dalam metode ilmiah, karena pada umumnya, data yang dikumpulkan akan digunakan untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan. Data yang dikumpulkan harus cukup valid untuk digunakan.
Pengumpulan data adalah prosedur sistematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Selalu ada hubungan antara metode mengumpulkan data dengan masalah penelitian yang ingin dipecahkan. Secara umum metode pengumpulan data dapat dibagi atas beberapa kelompok, yaitu :
-
metode
pengamatan langsung,
- metode dengan menggunakan pertanyaan, dan
- metode khusus, misalnya studi banding
Perlu dijelaskan juga bahwa cara pengumpulan data dapat dikerjakan berdasarkan pengalaman.sebelumnya.
Pada penelitian arsitektur data yang diperoleh lebih banyak merupakan data kualitatif yang lebih menonjolkan faktor subyektif dari si arsitek dan si pemakainya ataupan orang-orang yang terkait dengan bangunan yang akan didisain. Dalam penelitian arsitektur, peneliti dapat menggunakan dua alat, yaitu :
1) sistem kategori, dan
2) menggunakan rating scale (skala nilai).
Di dalam pengamatannya, arsitek dapat menggunakan kategorisasi terhadap fenomena yang akan diteliti. Sebuah kategori adalah sebuah pernyataan yang menggambarkan suatu kelas fenomena, ke dalam mana bentuk/perilaku yang diteliti dapat dibuat sandi. Suatu sistem kategori terdiri dari dua atau lebih kategori-kategori (Festinger dan Katz, 1976). Dengan kategori yang tepat maka seorang arsitek dapat melahirkan kerangka referensi (frame of reference) untuk penelitiannya. Hal ini dapat meningkatkan kemungkinan bahwa aspek-aspek yang relevan dapat diteliti secara lebih terpercaya. Banyaknya kategori yang dibuat serta tingkat konseptualisasi serta terapannya terhadap situasi yang berjenis-jenis, tergantung dari tujuan penelitian dan kerangka teori yang digunakan oleh arsitek tersebut.
Dari pernyataan di atas terlihat bahwa data kuantitatif yang diperlukan oleh seorang atau para arsitek meliputi :
1.
Karakteristik
fasilitas dari bangunan yang akan dirancang.
2. Sumber-sumber energi yang diperlukan oleh bangunan yang dirancang.
3.
Tenaga
kerja dalam pelaksanaan bangunan.
4.
Pengguna/user
dari bangunan yang dirancang.
5. Aktivitas bangunan (untuk apa bangunan tersebut) dan subsistemnya.
6. Perawatan dan perbaikan.
7. Penggantian komponen material sesuai masa pakai misalnya peralatan listrik.
Data kuantitatif ini diperlukan untuk menguji terjadi suatu keterkaitan dan umpan balik terhadap data sebelumnya
ANALISA DAN PENAFSIRAN DATA
Analisa data merupakan bagian yang amat penting dalam penelitian arsitektur. Analisa ini harus mencakup hubungan antara kepentingan yang satu dengan yang lain, misalnya hubungan karakteristik fasilitas bangunan dengan pengguna, perawatan dan perbaikan dengan penggantian komponen bangunan, dan sebagainya. Hubungan tersebut satu dengan yang lain saling terkait dan saling mempengaruhi, artinya untuk memperoleh perancangan yang sesuai dan baik sesuai dengan umur pakai bangunan,yang harus dianalisa secara keseluruhan.
Penelitian arsitektur tidak cukup hanya mendiskusikan data dalam
bentuk tabel, histogram ataupun grafik; tetapi perlu diberikan penafsiran atau
interpretasi. Interpretasi kuantitatif ini mempunyai dua
aspek, yaitu :
1.
Untuk
menegakkan keseimbangan, dalam pengertian menghubungkan suatu hasil perancangan
dengan penemuan perancangan sebelumnya.
2.
Untuk membuat
atau menghasilkan suatu konsep perancangan yang lebih baik, ideal atau sesuai
secara keseluruhan dan secara nyata dapat dipertanggung-jawabkan.
Penafsiran dalam penelitian arsitektur sangat penting, karena kualitas analisa dari arsitek sangat tergantung dari kualitas penafsiran yang diturunkan oleh arsitek terhadap data yang dimilikinya dalam suatu perancangan.
Secara umum, analisa dan penafsiran data akan menghasilkan ouput (penataan) yang dibutuhkan dalam suatu perancangan arsitektur. Output (penataan) tersebut harus mencakup :
1. Lingkungan fisik dari bangunan yang akan dirancang, misalnya bahaya rayap.
2.
Panas/sumber
energi.
3. Pencahayaan.
4. Akustik.
5. Penataan ruang.
6.
Penataan
visualisasi bentuk.
7. Kenyamanan calon pengguna/user.
8. Keamanan.
9. Keandalan material konstruksi bangunan.
Dari analisa dan penafsiran data dapat disimpulkan bahwa perancangan arsitektur dapat meliputi atau merupakan suatu keterpaduan dari data kualitatif dan kuantitatif yang menyatu.
PERANCANGAN
Perancangan atau disain berasal dari kata Bahasa Latin, yaitu Designose (berasal dari kata dasar Sec) yang artinya memotong dengan gergaji atau bisa diartikan sebagai tindakan menakik guna memberi tanda. Maksud memberi tanda tersebut bisa dijabarkan sebagai penambahan citra pada suatu obyek tertentu. Perancangan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata “rancang” yang kemudian berkembang menjadi “merancang” yang dapat diartikan sebagai kegiatan mencocokkan sesuatu ke dalam tanah.
Jadi perancangan adalah obyek kreativitas yang diwujudkan
dalam karya seni bangunan yang merupakan hasil pemecahan disain secara optimal
dari kebutuhan-kebutuhan mendasar untuk menemukan sesuatu karya baru,
bermanfaat, dan tidak ada sebelumnya dengan tujuan memperhatikan kemungkinan
perkembangan pada masa yang akan datang dengan tujuan memberikan kepuasan
kepada penggunanya. Secara ringkas bagan alir dari
perancangan dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.
Gambar
2. Bagan Alir Konsep Perkembangan
Perancangan dari Kualitatif ke Kuantitatif secara Proporsional
Dari Gambar 2 di atas pada hipotesa (ide/gagasan) memberi pengertian atau petunjuk bahwa hipotesa yang ada terbagi atas 2 (dua) jenis, yaitu : kualitatif dan kuantitatif. Trend disain arsitektur akhir-akhir ini adalah disain yang tematik, misalnya disain yang bertema berkelanjutan (sustainable), disain yang bertema pengendalian rayap atau jenis disain lainnya.
Dari kecenderungan disain tersebut makin terbukti dengan adanya faktor maintenance (perawatan) yang diikutsertakan, sehingga tingkat keberhasilan faktor maintenance (perawatan) tidak berdiri sendiri, tetapi tergantung pada tahap sebelumnya, yaitu tahap disain (perancangan) dan tahap pelaksanaan. Pada pembahasan perancangan ini, analisa gagasan/hipotesa yang mengarah ke hipotesa kuantitatif (terukur) akan ditinjau dari studi kasus Konstruksi Bangunan untuk Pengendalian Rayap.
Perancangan konstruksi bangunan untuk pengendalian bahaya rayap
harus memperhatikan unsur rayap terlebih dahulu, kemudian dilakukan penyesuaian
konstruksi bangunan. Ada tiga hal penting untuk
mengetahui kegiatan serangan rayap dalam perancangan suatu bangunan adalah :
1.
Frekuensi
serangan rayap tanah pada lokasi gedung.
2.
Pola
serangan rayap; misalnya menyerang obyek kayu yang konstruksinya langsung
berhubungan dengan tanah.
3.
Keragaman
rayap tanah; misalnya dari genus Coptotermes yang banyak berada di
lingkungan pemukiman.
Sementara itu alam rayap sendiri meliputi air/kebasahan, kayu, tanah dan suasana gelap. Persiapan awal prakonstruksi dan perancangan gedung yaitu pada bestek (rencana kerja dan persyaratan teknis), pengendalian rayap sudah menjadi salah satu bagian kerja proyek konstruksi tersebut. Bentuk konstruksi bangunan yang perlu diperhatikan pengendaliannya terhadap rayap terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu : pondasi, dinding dan atap. Berikut ini akan dibahas satu persatu bentuk konstruksi bangunan dan hubungannya dengan rayap
Pondasi ialah bagian bangunan yang menghubungkan bangunan dengan tanah. Kemungkinan jenis, ukuran dan bahan pondasi harus disesuaikan dengan beban yang dipikul serta kondisi tanah tempat bangunan. Kondisi tanah setempat sangat berhubungan dengan kedalaman dan daya dukung tanah yang akan menerima beban pondasi serta keadaan hidrologis pada masing-masing lapisan tanah. Pemasangan bangunan berkonstruksi kayu (khususnya rumah panggung) atau batu di atas pondasi dari beton yang ditutup dengan seng di atas alas dapat mencegah serangan rayap sesuai dengan kondisi konstruksi bangunan (kayu atau batu). Seng harus dipilih dari bahan yang tahan karat, yang bisa dilekukkan dan yang tahan terhadap kerusakan mekanis.
Konstruksi dinding bangunan umumnya dapat dibagi menjadi beberapa jenis bahan, yaitu : batu alam, beton, batu buatan dan kayu. Umumnya pelapis dinding digunakan pada konstruksi dinding beton dan batu buatan adalah batu alam, batu buatan atau pelat keramik. Bahan konstruksi dinding yang umumnya mengandung unsur dari alam tanpa disadari telah memiliki koloni rayap, utamanya rayap tanah. Pemilihan bahan untuk konstruksi dinding sebaiknya dari batu buatan yang telah melalui proses pembakaran untuk mencegah serangan rayap. Sementara itu untuk pelapis dinding, yang menggunakan campuran semen dan pasir sebagai bahan perekatnya sebaiknya dipilih pasir dengan kualitas yang baik (tidak mengandung tanah).
Atap merupakan bagian terpenting dari suatu bangunan karena merupakan bagian bangunan yang paling banyak terkena cahaya, hujan dan juga bertanggungjawab terhadap kenyamanan ruangan. Konstruksi atap yang sesuai untuk Indonesia adalah atap miring atau atap lengkung. Bahan untuk konstruksi atap disesuaikan dengan beban yang akan dipikulnya dan berhubungan dengan konstruksi dinding. Sedangkan penutupnya (atap) digunakan bahan yang ringan seperti, asbes, seng ataupun genteng bakar. Konstruksi atap dari material kayu sangat rentan terhadap serangan rayap, sehingga harus dipilih kayu yang telah diawetkan. Penampakan luar bangunan dari bahan kayu pada konstruksi atap sebaiknya dihindari dari kebasahan (air hujan) untuk mencegah pelapukan dan serangan rayap. Dalam hal ini kemiringan atap (sebaiknya 45º) juga harus diperhitungkan agar air hujan tidak mengenai atau merembes konstruksi atap kayu.
Analisa penentuan konstruksi pondasi, konstruksi dinding dan bentuk atap tentunya mempunyi resiko bila material yang digunakan mayoritas kayu solid. Kondisi rumah/bangunan seperti ini dapat diupayakan altenatif pendekatan konstruksi, misalnya sudut kemiringan atap yang dapat beresiko mudah bocor (air/basah) yang merupakan faktor pendukung untuk rayap hidup, serta dapat merusak material kayu. Akibat lain adalah adanya deformasi konstruksi (atap, dinding, dan pondasi) karena gempa, kesalahan pelaksanaan dan kelalaian perawatan yang akhirnya dapat merusak bahan kayu. Pekerjaan pasca-konstruksi (perawatan) juga diperlukan untuk memantau dan atau memperbaiki kerusakan pada bagian tertentu pada suatu bangunan, sehingga penampilan buruk ataupun kerusakan dapat dihindari.
Pembahasan di atas menunjukkan faktor perancangan (termasuk pelaksanaan dan perawatan) merupakan aspek konkrit untuk mendapatkan data-data kuantitatif sebagai langkah strategis untuk pengendalian bahaya rayap sejak tahap awal yaitu analisa perancangan struktur dan konstruksi.
KESIMPULAN
Peranan metode ilmiah dalam arsitektur yang menurut Isa (1999) harus berkarya untuk pemakai tidak terbatas pada dampak masyarakat sekitar, tetapi kepentingan berikutnya adalah “kelanjutan” dari disain bangunan tersebut pada pasca-konstruksi. Pada waktu mendatang disain arsitektur seharusnya memperhitungkan disain yang berwawasan lingkungan. Menurut Suriasumantri (1981) serta Nawawi dan Martini (1994) konsep disain arsitektur sebaiknya dibuat dengan memperhitungkan aspek kuantitatif yang proporsional, sehingga disain arsitektur merupakan disain yang berkelanjutan
Alternatif penanganan dengan studi kasus Konstruksi Bangunan untuk Pengendalian Rayap merupakan kebutuhan dan tuntutan tanggung jawab “seorang arsitek” mengungkapkan suatu disain yang berkelanjutan. Dengan fakta tersebut di atas, trend disain yang spesifik (tematik) dengan mengikutsertakan aspek lingkungan merupakan gagasan yang patut diimplementasikan, sehingga peranan dan metode penelitian arsitektur dapat berkembang secara terpadu dan seimbang. Keterpaduan dan keseimbangan metode ilmiah dalam arsitektur akan memenuhi keinginan pemakai untuk melestarikan (berkelanjutan) disain bangunan tersebut, serta memperhatikan aspek ekologi. Ketiga aspek yang telah disebutkan merupakan penentu terjadinya perkembangan metodologi penelitian di bidang arsitektur.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 1999. Pengantar Arsitektur. Universitas Tarumanagara UPT
Penerbitan. Jakarta.
Babbie, E. R. 1979. The Practice of Social Research. Wadsworth Publishing Co. Belmont.Nazir, M. 1983. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta
Ching, D.K. 1984. Arsitektur : Bentuk dan Susunannya. Erlangga. Jakarta.
Festinger, L. and D. Katz. 1976. Researh Methods in the Behavioral Sciences. American Publishing Co. New Delhi.
Frick, H. 1991. Ilmu Konstruksi Bangunan 1. Kanisius. Jakarta
Gee, W. 1950. Social Science Research Methods. Appleton-Century-Crofts. New York.
Isa, M. 1999. Metode Penelitian sebagai Metode Disain Arsitektur. Prosiding Temu Ilmiah Dosen Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara:115-129. Universitas Tarumanagara. Jakarta.
Kerlinger, F.N. 1973. Foundations of Behavioral Research. Holt, Rinehart and Winston, Inc. New York.
Nawawi,
H.M. dan H.M. Martini. 1994. Penelitian Terapan. Gajah Mada Press. Yogyakarta.
Papadakis, A.C. (ed.). 1992. Theory and Experimentation : Architectural Ideas for Today and Tomorrow. Vol.62 o.11/12 November-December 1992. VCH Publishers Inc. Cambridge-New York-Weinheim.
Suriasumantri, J.S. 1981. Ilmu dalam
Perspektif, Sebiah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu. Gramedia.
Jakarta.
Suriasumantri, J.S. 1985. Filsafat Ilmu,
Sebuah Pengantar Populer. Sinar
Harapan. Jakarta.
Tjahyono, G. 2000. Metode Perancangan : Suatu Pengantar untuk Arsitek dan Perancang. UI Press. Jakarta.
Yeang, K. 2000. The Basis for Design Sustainable Intensive Buildings. Prestel. Munich-London-New York.