© 2003n  Muhammad Anang Firmansyah                                                                   Posted:  2 November 2003

Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pascasarjana/S3

Institut Pertanian Bogor

November  2003

 

Dosen :

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

 

 

 

 

RESPON TANAMAN TERHADAP ALUMINIUM1

 

 

Oleh:

 

Muhammad Anang Firmansyah2

 

 

 

Abstrak

 

Lahan kering tropika umumnya tersusun dari tanah-tanah masam dengan toksisitas Al (Aluminium) tinggi, yaitu Ultisol, Oxisol dan Spodosol.  Respon tanaman terhadap Al diperlukan guna mengetahui sejauh mana mekanisme yang berkembang pada tanaman peka dan toleran Al, dalam upaya karakterisasi maupun pemuliaan tanaman toleran Al untuk tanah tropika masam.  Mekanisme tanaman terhadap toksisitas Al ternyata terbagi dua golongan, pertama mekanisme eksternal yaitu pengusiran Al, dan kedua mekanisme internal yaitu kemampuan tanaman menetralkan Al.  Mekanisme tersebut terkait erat dengan senyawa organik di dalam tanaman maupun yang disekresikan. Asam oxalat, asam sitrat, asam malat, beberapa jenis protein, gugus fenolik merupakan beberapa contoh senyawa organik yang dikembangkan tanaman untuk mengatasi toksisitas Al, baik melalui mekanisme eksternal maupun internal.  Tingginya Al pada tanah-tanah tersebut tidak dapat dihindarkan, sehingga diperlukan upaya perbaikan.  Perbaikan dapat dilakukan pada  aspek lahan maupun aspek tanaman. Teknik penempatan lapisan tanah masam tipis diatas lapisan agar cair padat merupakan teknik sederhana, cepat, non destruktif, mudah mengambil data perkembangan akar.

 

Kata Kunci:  toksisitas, aluminium, toleran, sensitif .

 

 

PENDAHULUAN

            Lahan kering di wilayah tropika umumnya memiliki tingkat kesuburan rendah, yaitu terjadinya deplesi basa-basa akibat proses pencucian intensif akibat curah hujan yang tinggi.  Tingginya curah hujan dan juga faktor pembentuk tanah lainnya seperti bahan induk masam, topografi, vegetasi, dan waktu menyebabkab tanah tropika terlapuk lanjut.  Pelapukan terjadi intensif, meninggalkan ion-ion Al3+ maupun oksida-oksida besi.  Tingginya Al3+ pada tapak jerapan maupun larutan tanah menyebabkan kemasaman tanah meningkat dan konsentrasi yang dominan sehingga unsur tersebut menjadi toksik.

            Toksisitas Al di lahan kering tropika yang mampu menghambat pertumbuhan tanaman dan menurunkan produksi pada dasarnya menurunkan ketahanan pangan wilayah tropika.  Dengan demikian diperlukan upaya mengatasi hal tersebut, pertama  melakukan pengelolaan lahan masam dan kedua  melakukan upaya karakterisasi dan pemuliaan tanaman toleran Al. 

            Makalah ini disusun dalam bentuk tinjauan atau review yang membahas tentang respon tanaman terhadap kandungan Al, kaitan erat antara mekanisme fisiologis  tanaman terhadap cekaman Al. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui mekanisme tanaman sensitif maupun toleran Al, karakterisasi tanaman toleran Al, dan upaya pengelolaan lahan pada cekaman Al tinggi.

 

KARAKTERISTIK LAHAN KERING MASAM TROPIKA

Lahan kering tropika basah umumnya ditutupi vegetasi hutan, ekosistem ini merupakan ekosistem tertutup, artinya semua unsur berputar dalam suatu sistem tertutup dan sedikit sekali keluar dari ekosistem tersebut.  Ekosistem ini mampu mendukung kestabilkan dan kelestarian, dan merupakan bentuk ekosistem alami terbaik sebagai penyangga lahan tropika yang memiliki fragilitas lahan tinggi.  Kebutuhan manusia yang makin meningkat memaksa menggunakan lahan hutan untuk memenuhi kebutuhannya, mulailah terjadi deforestrasi alih fungsi hutan untuk berbagai penggunaan.    Alih fungsi hutan ke non hutan menyebabkan berubahnya bentuk ekosistem tertutup menjadi ekosistem terbuka, dimana siklus hara dapat hilang dari ekosistem tersebut.

            Faktor pembentuk tanah dan aktivitas manusia menyebabkan fragilitas tanah kering tropika basah yang telah beralih fungsi ke non hutan akan terdegradasi dengan cepat.  Degradasi tanah menurut FAO (1977) adalah hasil satu atau lebih proses terjadinya penurunan kemampuan tanah secara aktual maupun potensial untuk memproduksi barang dan jasa; sedangkan Arsjad (1989) menyamakan degradasi tanah dengan kerusakan tanah, yaitu hilang atau menurunnya fungsi tanah sebagai matrik tempat akar tanaman berjangkar dan air tersimpan, serta tempat unsur hara dan air ditambahkan.  Tiga tipe degradasi yaitu fisik, kimia, dan biologi, dalam makalah ini diulas degradasi  kimia yang merupakan salah satu degradasi yang umum terjadi di lahan kering ditunjukkan dengan penurunan kesuburan tanah, kebanyakan degradasi ini berupa pemasaman tanah, deplesi basa-basa dan akumulasi H dan khususnya Al pada kompleks pertukaran (Lal, 1995).   Aktivitas Al3+ umumnya dijumpai pada tanah dengan kemasaman dibawah pH 5,5 (Bohn et al., 1979). Hubungan antara persentase kejenuhan Al dan pH tanah  dinyatakan dengan persamaan  Y = 516,1 – 163,97X + 12,7X2, dengan   r = 0,90**.  Artinya bila pH  meningkat  maka persentase kejenuhan Al menurun, sedangkan bila pH menurun atau kemasaman meningkat maka persentase kejenuhan Al meningkat.

Jenis tanah di lahan kering tropika cukup beragam, namun bila dikaitkan dengan toksisitas Al terdapat tiga ordo tanah yaitu Oxisol (525 juta ha), Ultisol (413 juta ha) dan Spodosol (19 juta ha).  Ordo Ultisol merupakan tanah dengan toksisitas Al tertinggi dibandingkan Oxisol dengan perbandingan 7-10 : 1 (Abruna et al, 1975 dalam Van Wambeke, 1992).  Tanah tersebut memiliki kesuburan tanah rendah, sehingga dampak degradasi kimia terjadi sangat drastis menurunkan kapabilitas tanah, selain itu juga terjadi  defisiensi N, P, Ca dan Zn.

            Toksisitas Al cukup jelas mempengaruhi dalam perlambatan pertumbuhan akar dan menghambat pertumbuhan tanaman, tanpa didahului perkembangan gejala sebelumnya (Gupta, 1997).

 

MEKANISME TOKSISITAS ALUMINIUM

             Umumnya tiga parameter untuk melihat toksisitas Al atau resistensi  tanaman terhadap Al, yaitu; 1) mengetahui konsentrasi Al di ujung (tip) akar, dapat menunjukkan hubungan positif terhadap toksisitas Al, 2) induksi pembentukan callose di apikal akar sebagai suatu indikator sensitif terhadap kepekaan tanaman terhadap Al, dan 3) perpanjangan akar yang diukur secara langsung pengaruhnya terhadap Al pada pembentukan akar.  Meskipun parameter sensitifitas Al telah diketahui, namun penelitian tentang mekanisme penyebab tosisitas Al terhadap tanaman yang sensitif maupun toleran Al terus dilakukan, berikut ini dicoba untuk menjelaskan mekanisme tersebut.

Tanaman yang peka  dan sedang toleransinya terhadap Al artinya tanaman yang pertumbuhannya menurun akibat adanya kandungan Al rendah dan tinggi (Osaki et al., 1997). Toksisitas Al terhadap tanaman terutama mempengaruhi perakaran, yaitu terjadi penghambatan perpanjangan akar.  Beberapa hasil-hasil penelitian berikut ini akan menjelaskan mekanisme toksisitas Al terhadap penghambatan pertumbuhan akar.

            Berdasarkan karakteristik keberadaan Al di lapang, Bushamuka dan Zobel (1998) melakukan percobaan pada topsoil non toksik Al, subsoil toksik Al dan subsoil dikapur.  Hasilnya sangat menarik, ditunjukkan dengan respon perakaran lateral tanaman kedelai dan jagung yang sensitif Al dan toleran Al (Tabel 1).  Jagung cv SA-6 dan kedelai cv Perry sensitif terhadap toksisitas-Al, menunjukkan panjang akar lateral meningkat nyata pada lapisan 100 mm non toksisitas-Al  (topsoil) dimana lapisan subsoilnya tanpa dikapur  dibandingkan pada subsoil yang dikapur.   Sedangkan Tuxpeno, Essex dan Davis yang toleran Al malah menunjukkan penurunan panjang akar lateralnya pada subsoil yang tanpa kapur.  Hal ini menunjukkan bahwa kandungan Al yang toksik pada subsoil akan menyebabkan peningkatan konsentrasi akar pada topsoil non toksik-Al.  Mekanisme ini disebut avoidance yaitu mekanisme efektif toleransi terhadap toksisitas subsoil dibawah kelembaban normal.

 

Tabel 1.  Hasil panjang akar lateral dalam lapisan topsoil 100 mm kultivar jagung dan

kedelai yang toleran dan sensitif Al

 

 

Spesies

 

Kultivar

Panjang akar (cm)

Taraf nyata

Lapisan subsoil

tanpa dikapur

Lapisan subsoil dikapur

Jagung

 

 

 

 

Kedelai

SA-3

SA-6

CMS-36

Tuxpeno

 

Perry

PI 416937

Davis

Essex

127,3

164,3

129,7

43,0

 

146,5

228,2

69,0

60,7

107,1

140,7

128,7

161,0

 

103,0

204,2

152,3

169,3

NS

*

NS

***

 

**

NS

***

***

Keterangan: *, **, ** taraf nyata masing-masing pada peluang  0,05, 0,01, 0,001, NS = not significant.

Sumber: Bushamuka dan Zobel (1998).

 

 

            Pengaruh Al tinggi menyebabkan terbentuknya lapisan yang menutupi epidermis  di ujung akar tanaman (Gambar 1).  Konsentrasi Al diatas 60 mM untuk tanaman Canola (Brassica napus var. napus L.) menyebabkan pertumbuhan akar terhambat cukup kuat, juga mengakibatkan kerusakan sel terutama disekeliling sel-sel ujung akar  (Clune dan Copeland,  1999).  Ikeda dan Tadano (1993) menyebutkan terhambatnya perpanjangan akar akibat Al tinggi menyebabkan penebalan dinding sel dan akumulasi gelembung (vacuola) kecil diseputar aparatus golgi;  sedangkan  Kataoka, et al., ( 1997) juga Sasaki et al., (1997) menyatakan tingginya Al selain menyebabkan kerusakan dan penurunan viabilitas akar, akibat Al terikat kuat pada ujung akar, epidermis dan outer korteks, kemudian diikuti matinya sel. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumber: Clune and Copeland  (1999).

 

Gambar 1.   Pengaruh Al pada permukaan akar apikal canola.  Akar apikal kecambah canola yang tidak diberi perlakuan (a) dan kecambah yang diperlakukan dengan 80 mM Al untuk 4 jam (b), 8 jam (c), dan 24 jam (d), dalam media hara yang dipersiapkan untuk SEM,  Bar = 100 mm.

 

 

Menarik sekali mencari penyebab tingginya kadar Al di ujung akar, sebab kadar Al yang tinggi merupakan salah satu dari parameter tanaman sensitif Al.   Beberapa penelitian cukup rinci menjelaskan fenomena tersebut, baik karena pengaruh abiotik maupun biotik.  Pengaruh abiotik diteliti Gottlein et al., (1999) membuktikan konsentrasi Al dua kali lipat lebih tinggi pada jarak dari akar kurang dari 5 mm dibandingkan dengan jarak lebih dari 15 mm.   Berdasarkan penelitian tersebut dapat diduga tingginya Al akibat  terikut aliran masa atau difusi saat akar tanaman menyerap kation terutama  Ca2+ dan Mg2+, sedangkan Al3+ tidak penting bagi tanaman tertinggal dipermukaan akar. 

Pengaruh biotik terhadap tingginya Al pada ujung akar diungkapkan oleh beberapa peneliti antara lain oleh Horst  et al., (1999) yang menyatakan bahwa ada korelasi positif antara pectin dan kandungan Al di zone perakaran apikal.  Kandungan pectin merupakan salah satu faktor yang berperanan terhadap tingginya perbedaan akumulasi Al.  Tingginya kandungan pectin dan juga akumulasi Al tertinggi ditunjukkan pada zone perakaran apikal 1 – 2 mm. Hal ini juga didukung oleh tingginya induksi callose-Al pada zone ini.   Peneliti kedua adalah  Gottlein et al., (1999) meneliti  tanaman oak yang peka Al, ternyata asam-asam organik berberat molekul rendah dari eksudat akar tidak efektifnya dalam menurunkan toksisitas Al atau  detoksifikasi Al melalui mekanisme komplek antara asam organik-Al.  Ketidak efektifan senyawa organik tanaman peka Al dalam mengkompleks dan detoksifikasi Al meyebabkan Al tetap dalam kondisi meracun. Menurut Tan  (1993) dan  Hayes and Swift (1990) bahwa senyawa organik  mampu melakukan kompleks atau bahkan khelat (menjepit) ion logam sehingga dapat mengurangi kelarutan unsur  meracun tersebut.   Pertanyaan yang perlu dijawab adalah mengapa senyawa organik tanaman yang peka Al tidak efektif dan pada tanaman toleran Al berlaku sebaliknya?  Jawaban yang diajukan dan memerlukan penelitian lebih mendalam, antara lain: 1) jenis, komposisi dan jumlahnya kandungan senyawa organik pada tanaman peka dan toleran Al,  2)  ketahanan senyawa organik dari kerusakan pada kondisi media tanah  masam, 3) ada atau tidak adanya interaksi senyawa organik dengan mikroorganisme di rhizosfir yang mengunakan senyawa organik sebagai media berkembang biak sehingga terjadi penurunan jumlah dan komposisinya.   Salah satu jawaban telah diperoleh dalam bagian tulisan berikunya, bahwa ketidak efektifan senyawa organik salah satunya disebabkan karena jumlah yang dihasilkan tidak mampu untuk menetralkan atau mengusir Al (lihat Sopandie et al., 2003; Kasim et al., 2001).

Seperti kita ketahui akar tanaman menghasilkan senyawa atau material organik seperti eksudat, sekresi, musilage, mucigel, dan lysate, dengan komposisi organiknya terdiri dari gula, asam amino, asam organik, asam lemak, sterol, agen pertumbuhan, hingga enzim.  Selain itu rhizosfir juga mendukung perkembangan mikroorganisme yang juga mengeluarkan karbon organik.  Menurut Bolton et al, (1993)  suhu, irradiasi, kadar kelembaban tanah, status unsur hara dan tanah, serta cekaman dan lukanya akar dapat mengubah jumlah dan komposisi eksudat akar.  Perubahan komposisi eksudat ini dikawatirkan dapat menurunkan bahkan menghilangkan sama sekali kemampuan aenyawa organik eksudat akar dalam mengkompleks dan detoksifikasi Al. 

 

MEKANISME TANAMAN TOLERAN ALUMINIUM

              Menurut Fitter and Hay (1991) terdapat 4 mekanisme utama ketahanan tanaman terhadap ion-ion toksik, yaitu: 1) penghindaran (escape) fenologis, apabila cekaman yang terjadi pada tanaman bersifat musiman, tanaman dapat menyesuaikan siklus hidupnya, sehingga tumbuh dalam musim yang sesuai saja; 2) eksklusi, tanaman dapat mengenal ion yang toksik dan mencegah agar tidak terambil sehingga tidak mengalami toksisitas;   3) ameliorasi atau penanggulangan, tanaman barangkali mengabsorbsi ion toksik tersebut, tetapi bertindak sedemikian rupa untuk meminimumkan pengaruhnya, jenisnya meliputi pembentukan khelat, pengenceran, lokalisasi dan ekskresi;  dan 4) toleransi, tanaman dapat mengembangkan sistem metabolis yang dapat berfungsi pada konsentarsi toksik yang potensial, mungkin dengan molekul enzim.  Namun secara khusus untuk mekanisme ketahanan tanaman terhadap cekaman Al menurut Taylor (1991 dalam Kasim et al., 2001) terbagi 2 kelompok: 1) mekanisme eksternal (pengusiran Al), dapat berupa immobilisasi Al di dinding sel, selektivitas membran plasma terhadap Al, induksi pH di daerah rhizosfer atau apoplas akar, sekresi senyawa-senyawa pengkhelat Al;                   2) mekanisme internal (penetralan Al) mencakup pengkhelatan Al di sitosol, mengurung Al dalam vakuola, sintesis protein pengikat Al, penurunan aktivitas beberapa enzim tertentu, dan induksi akumulasi protein tertentu.

Mekanisme internal dan eksternal menurut Taylor (1991 dalam Kasim et al., 2001) pada hakekatnya sejalan dengan mekanisme ameliorasi menurut Fitter and Hay (1991).  Mekanisme tersebut lebih umum dijumpai, beberapa hasil penelitian berikut ini akan menunjukkan hal tersebut.

Tanaman toleran Al dan tanaman yang dipacu Al  artinya tanaman yang pertumbuhannya tidak dipengaruhi  atau bahkan dirangsang akibat adanya Al.  Klasifikasi tanaman yang toleran dan tanaman terpacu Al berdasarkan kriteria akumulasi Al, yaitu: 1) ekskluder-Al, 2) akumulator-Al akar, dan 3) akumulator Al (Masunaga et al., 1998).

            Osaki et al., ( 1997) tanaman toleran Al dalam pertumbuhan dan serapan N, P, K dipicu oleh aplikasi Al, bahkan mampu menurunkan keracunan H+ dan juga meningkatkan aktivitas akar dalam menyerap P.  Selanjutnya Masunaga et al., (1998) juga menyatakan bahwa pada tanaman akumulator Al tampak bahwa Al malah menunjukkan korelasi positif memacu akumulasi unsur lain seperti P, S atau Si di daun. Akumulator Al ³ 3g kg-1 menunjukkan korelasi positif antara konsentrasi Al dan P, Si di daun, dan tidak ada hubungan negatif antara Al dengan Ca, Mg, P, S, dan Si di daun.  Contoh tanaman ini antara lain: famili Cornaceae, Euphorbiaceae, Fagaceae, Lauraceae, Melastomataceae, Myrtaceae, Polygalaceae, Proteaceae, Rubiaceae, dan Theaceae.  Penelitian tersebut menunjukkan bahwa tanaman yang toleran Al memiliki efisiensi dalam penyerapan unsur hara lain. Selain itu juga didapatkan bahwa tanaman akumulator Al ekstrem tinggi > 10 g kg-1 menunjukkan akumulasi Al tidak hanya pada daun tua namun juga pada daun muda.  Mekanisme ekskresi atau gugur daun tua tentu saja akan mengembalikan Al yang diserap tanaman yang umumnya berasal dari sub soil menjadi naik ke topsoil dan akan meningkatkan penyebaran  toksisitas Al.  Makmur (2003) menyatakan bahwa studi fisiologi efisiensi hara N, P, K diarahkan kepada fisiologik efisiensi pada kondisi tercekam Al dan unsur hara kurang.  Hasil percobaan kultur hara menunjukkan bahwa, baik pada N, P, maupun K, galur yang efisien mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam menggunakan unsur dalam pembentukan berat kering dibandingkan galur tidak efisien. Juga menunjukkan bahwa galur-galur yang toleran Al juga efisien N, P, K.

Senyawa organik yang dihasilkan tanaman memiliki peranan penting terhadap Al.  Penelitian Heim et al., (1999) menunjukkan bahwa senyawa organik yang efektif mengkompleks Al pada tanaman spruce (Picea abies L. Karst)  yang toleran Al adalah senyawa fenolik pada permukaan akar.  Selain itu juga penghambatan penyerapan Al melalui imobilisasi pada permukaan akar dan di dalam dinding sel epidermis dan korteks.  Penelitian lain mengungkapkan bahwa terjadi komplek dan khelat senyawa organik dengan Al.  Zheng et al., (1998) mengungkapkan bahwa tanaman buckwheat (Fagopyrum esculentum Moench. Cv Jianxi) toleran Al berhubungan dengan mekanisme detoksifikasi internal dan ekternal, yaitu berkaitan dengan induksi sekresi  (eksudat) asam oksalat-Al.  Mekanisme inklusi detoksifikasi Al pada symplasma sedangkan mekanisme eksklusi pada apoplasma.    Penelitian yang lebih dalam tentang peranan asam oksalat juga dilakukan oleh Ma et al., (1998) bahwa kemampuan asam oksalat dalam detoksifikasi Al karena membentuk komplek dan khelat Al dengan perbandingan 3: 1. 

Mekanisme internal dan eksternal juga sangat jelas diperoleh dari penelitian Kasim et al., (2001) bahwa tanaman kedelai yang toleran Al memproduksi asam sitrat dan asam malat lebih tinggi daripada genotip yang sensitif.  Peningkatan sintesis tersebut berkaitan dengan mekanisme detoksifikasi Al oleh kedua asam organik tersebut melalui pembentukan kompleks Al-asam organik.  Genotip yang toleran memproduksi asam sitrat lebih tinggi dan juga mensekresikan asam sitarat lebih tinggi daripada genotipe sensitif (Tabel 2).  Hal tersebut menunjukkan tanaman berusaha mendetoksifikasikan Al baik yang ada dalam sel maupun yang masih diluar sel.   Mekanisme ketahanan internal dilakukan asam sitrat dan asam malat,  ketahanan eksternal dilakukan asam sitrat saja.

 

Tabel 2.  Kandungan dan sekresi asam sitarat dan asam malat pada genotipe

toleran dan sensitif

 

Kandungan asam organik

Asam sitrat

Asam malat

Toleran

Sensitif

Toleran

Sensitif

 

Jaringan (mmol/g)

0,0 mM Al

0,7 mM Al

1,4 mM Al

2,44 ± 0,05

2,85 ± 0,07

3,34  ± 0,10

1,31± 0,05

1,40 ± 0,05

1,43 ± 0,06

4,86 ± 0,06

6,16 ± 0,07

7,44 ± 0,10

2,91 ± 0,18

3,64 ±  0,20

4,28 ± 0,10

 

Sekresi (mmol/g)

0,0 mM Al

0,7 mM Al

1,4 mM Al

0

0,42 ± 0,05

0,65 ± 0,04

0

0,25 ± 0,06

0,23 ± 0,02

0

0,03 ± 0,01

0,02 ± 0,01

0

0

0

Sumber: Kasim et al., (2001).

 

Penelitian yang cukup menarik juga diperoleh Sopandie et al., (2003) pada tanaman kedelai toleran Al  (Yellow Biloxi dan Slamet) ternyata mengembangkan suatu ikatan protein baru dengan berat molekul mendekati 79,8 kD.  Protein ini dianggap memiliki peranan dalam tanaman yang toleran Al, melalui penurunan penyerapan atau meningkatkan efflux (pengusiran) Al.  Protein ini dikarakterisasi dari jaringan meristem akar pada 0,5 – 0,8 cm, dan tidak dijumpai pada jarak 2 cm dari ujung akar.

 

UPAYA PENGELOLAAN LAHAN KERING MASAM

Pengelolaan lahan kering masam di tropika umumnya dilakukan dengan perbaikan sifat tanah dan juga penggunaan tanaman yang mempunyai toleransi terhadap kondisi pH rendah atau toksik akan Al.

Pengelolaan lahan untuk menurunkan tingkat kemasaman dan toksisitas Al umumnya ada beberapa cara, yaitu: pemberian kapur, pemberian batuan fosfat,  penjenuhan dengan pemupukan P berat, pemberian terak baja, dan pemberian bahan organik.  Dari ke lima cara tersebut, maka yang dapat diaplikasikan secara luas oleh skala usahatani tropika adalah pemanfaatan bahan organik.   Pemberian bahan organik secara langsung mampu meningkatkan N, P, S yang terlepas dari bahan organik yang terdekomposisi, sedangkan aspek tak langsung adalah terbentuknya senyawa organik hasil sintesis sekunder yaitu senyawa humik.  Senyawa ini mampu megkhleat Al, sehingga Aldd tanah menurun dan dapat melepaskan P yang terikat Al menjadi tersedia bagi tanaman.  Tambas dan Gofar (1998) menyatakan bahwa Al reaktif terhadap asam humik, adanya senyawa kompleks logam-liat-humik maka akan stabil hingga pengamatan 60 hari setelah aplikasi bahan organik.  Namun demikian jumlah bahan organik yang harus ditambahkan cukup banyak,  berdasarkan penelitian Young (1990 dalam Reijntjes et al,. 1999)  pada wilayah tropika basah memerlukan penambahan 8,5 ton residu organik, umumnya untuk tanaman monokultur memiliki residu 3 ton/ha, sehingga penambahan sebesar 5,5 ton/ha masih diperlukan.  Untuk tanah toksik Al sangat tinggi seperti Typic Haplohumult Gajrug dengan Aldd hingga 16 me/100 g tanah, menurut penelitian Winarso (1996) pemberian 10 ton/ha bahan organik baik berupa serasah segar dan kompos dari mucuna maupun jerami padi dapat menekan Aldd menjadi 7 me/100g tanah.  Berdasarkan nilai kisaran Aldd umumnya berkisar  hanya 3 me/100 g tanah, maka Aldd tanah Gajrug yang telah diberi bahan organik 10 ton/ha tersebut masih sangat tinggi, sehingga tanah Gajrug merupakan perkecualian tanah dengan Aldd tertinggi di Indonesia.  Dengan demikian aplikasi dosis untuk lahan kering di luar Gajrug dapat kurang dari 10 ton/ha.  Mekanisme penurunan Aldd juga karena adanya pengkhlelatan Al oleh senyawa humik.

Pengelolaan tanaman yang toleran Al pada tanah masam di lahan kering tropika dapat dilakukan dengan berbagai metode percobaan.  Makmur (2003) menguji tanaman toleran Al dengan beberapa tahapan, antara lain: percobaan lapangan pada kebun percobaan, percobaan kultur hara, dan percobaan rumah kaca.  Metode uji yang cukup sederhana, cepat, non destruktif juga ditemukan oleh Voight et al., (1997) dengan teknik menggunakan lapisan tipis  tanah masam yang ditempatkan diatas agar cair padat.  Teknik ini mampu mengumpulkan data pertumbuhan akar dengan mudah, dan dapat digunakan untuk ukuran populasi besar pada tanaman berbiji kecil.  Ternyata tanaman yang toleran Al perkembangan akar lebih cepat di lapisan tanah masam daripada tanaman sensitif Al.

Toleransi tanaman terhadap Al terkait erat dengan senyawa organik yang dilepaskan baik dalam mekanisme eksklusi maupun inklusi.  Mengingat pentingnya senyawa organik yang dihasilkan tanaman, maka perlu mekanisme yang mengatur perihal tersebut berasal dari sifat gen tanaman bersangkutan.   Menurut Poespodarsono (1998) bahwa manipulasi gen serta genotipa merupakan proses dalam memperoleh varietas tanaman yang diharapkan.  Pemuliaan tanaman dalam upaya memperoleh varietas yang tahan terhadap lingkungan ekstrim seperti cekaman Al tinggi merupakan upaya selanjutnya setelah mekanisme fisiologi tanaman terhadap cekaman lingkungan ekstrim diketahui.

 

KESIMPULAN

1.                  Tanaman yang sensitif Al menunjukkan penghambatan pertumbuhan akar, sedangkan tanaman toleran tidak menampakkan hal demikian.

2.                  Tanaman sensitif Al ternyata menghasilkan senyawa organik yang tidak efektif dalam mengatasi toksisitas Al, sedangkan pada tanaman toleran berlaku sebaliknya.

3.                  Tanaman toleran Al umumnya memilik mekanisme eksternal yaitu pengusiran Al maupun internal yaitu penetralan Al.

4.                  Penyerapan hara atau basa-basa tanaman toleran Al lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman sensitif Al, sehingga pertumbuhan tanaman toleran Al  lebih baik dibandingkan tanaman sensitif Al.

5.                  Teknik lapisan tipis tanah masam toksik Al yang ditempatkan diatas lapisan agar cair padat merupakan teknik sederhana, cepat, non destruktif, dan memudahkan pengamatan data perkembangan akar.

6.                  Pengelolaan lahan dan tanaman dapat dilakukan secara sinergi untuk meningkatkan toleransi tanaman terhadap Al.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Arsjad, S.  1989.  Konservasi tanah dan air.  IPB Press.  290hal.

 

Bolton, H., J.M. Fredrickson, and L.F. Elliott.  1993.  Microbial ecology of the rhizosphere. In Soil microbial ecology: applications in agricultural and environmental management.   F.B. metting Jr (editor).  Marcel Dekker, Inc. p:27-63.

 

Bohn, M.L., B.L. McNeal, and G.A. O’Condor.  1979.  Soil chemistry.  John Wiley & Sons.  New York.

 

Bushamuka, V.N., and R.W. Zobel.  1998.  Maize and soybean tap, basal, and lateral root responses to a stratified acid, Aluminum-toxic soil.  Crop Sci. 38:416-421.

 

Clune, T.S., and L. Copeland.  1999.  Effect of aluminium on canola roots.  Plant and Soil.  216:27-33.

 

FAO.  1977.  FAO soil bulletin: assessing soil degradation.  UN .  Rome.  83p.

 

Fitter, A.H., and R.K.M. Hay.  1991.  Fisiologi lingkungan tanaman.  Gadjah Mada University Press.  421 hal.

 

Gottlein, A, A. Heim, and E. Matzner.  1999.  Mobilization of aluminium in the rhizosphere soil solution of growing tree roots in an acidic soil.  Plant and Soil.  211:41-49.

 

Gupta, U.S.  1997.  Crop improvement Volume 2: stress tolerance.  Science Publishers, Inc.  303 p.

 

Hayes, M.H.B., and R.S. Swift.  1990.  Genesis, isolation, composition and structures of soil humic substances. In  Soil colloids and their associations in aggregates De Booth, M.F., M.H.B. Hayes, and A. Herbilon (editor).  Plenum Press. New York. P: 245-305.

 

Heim, A., J. Luster, I. Brunner, B. Frey, and E. Frossard.  1999.  Effect of aluminium treatment on Norway spruce roots: aluminium binding form, element distribution, and release of organic substances.  Plant and Soil.  216:103-116.

 

Horst, W.J., N. Schmohl, M. Kollmeier, F. Baluska, and M. Sivaguru.  1999.  Does aluminium affect root growth of maize throught interaction with the cell wall – plasma membrane – cytoskeleton continuum?.  Plant and Soil.  215:163-174.

 

Ikeda, H., and T. Tadano.  1993.  Ultrastructural changes of the root tip cell in Barley induced by a comparatively low concentration of aluminum.  Soil Sci. Plant Nutr.  39(1):109-117.

 

Kasim, N., D. Sopandie, S. Harran, dan M. Jusuf.  2001.  Pola akumulasi dan sekresi asam sitrat dan asam malat pada beberapa genotipe kedelai toleran dan peka aluminium.  Hayati.  8(3):58-61.

 

Kataoka, T., H. Iikura, and T.M. Nakanishi.  1997.  Aluminum distribution and viability of plant and cultured cell.  Soil Sci. Plant Nutr.  43:1003-1007.

 

Lal, R.  1995.  Sustainable management of soil resources in the humid tropics.  United Nations University Press.  146 hal.

 

Ma, J.F., S. Hiradate, and H. Matsumoto.  1998.  High aluminum resistance in Buchwheat: II.  Oxalic acid detoxifies aluminum internally.  Plant Physiol.  117:753-759.

 

Makmur, A.  2003.  Pemuliaan tanaman bagi lingkungan spesifik.  IPB Press-PPs IPB.  53 hal.

 

Masunaga, T., D. Kubota, M. Hotta, and T. Wakasutki.  1998.  Mineral composition of leaves and bark in aluminum accumulators in a tropical rain in Indonesia.  Soil Sci. Plant Nutr.  44(3):347-358.

 

Osaki, M., T. Watanabe, and T. Tadano.  1997.  Beneficial effect of aluminum on growth of plants adapted to low pH soils.  Soil Sci. Plant Nutr.  43(3):551-563.

 

Poespodarsono, S.  1988.  Dasar-dasar ilmu pemuliaan tanaman.  PAU IPB – LSI IPB.  169 hal.

 

Reinjnjes, C., B. Haverkort, and A.W. Bqayer.  1992.  Pertanian masa depan: pengantar untuk pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah (terjemahan).  Kanisius.  270 hal. 

 

Sasaki, M., Y. Yamamoto, J.F. Ma, and H. Matsumoto.  1997.  Early events induced by aluminium stress in elongating cells of wheat root.  Soil Sci. Plant Nutr.  43(5):1009-1014.

 

Sopandie, D., I. Marzuki, dan M. Jusuf.  2003.  Aluminum tolerance in soybean: protein profiles and accumulation of Al in roots.  Hayati.  10(1):30-33.

 

Tambas, D., dan N. Gofar.  1998.  Studi pembentukan dan penguraian senyawa kompleks logam-koloid tanah: anatara Fe dan Al dengan koloid liat, fraksi humat dan campurannya.  J. tanah Trop.  6:119-128.

 

Tan, K.H.  1993.  Principles of soil chemistry.  Second Edition.  Marcell Dekker, Inc.    362 p. 

 

Van Wambake, A.  1991.  Soils of the tropics: properties and appraisal.  McGraw-Hill, Inc.  343p.

 

Voight, P.W., D.R. Morris, and H.W. Godwin.  1997.  A soil-on-agar method to evaluate acid-soil resistance in white clover.  Crop Sci. 37:1493-1496.

 

Winarso, S.  1996.  Pengaruh penambahan bahan organik terhadap pengkhelatan Aluminium pleh senyawa-senyawa humik pada Typic Haplohumult.  Tesis IPB.  130 hal.

 

Zheng, S.J., J.F. Ma, and H. Matsumoto.  1998.  High aluminum resistance in Buckwheat: I.  Al-induced specific secretion of oxalic acid from root tips.  Plant Physiol.  117:745-751.

 



1 Makalah disampaikan pada Mata Kuliah AGR 621 Fisiologi Tanaman Tropis pada tanggal 4 Nopember 

  2003 di IPB Bogor.

2Mahasiswa Pasca Sarjana S3 IPB Bogor, PS Tanah, Npm A.261020031.