© 2003 A.
Hafidz Olii Posted 31 October, 2003
Pengantar Falsafah Sains
(PPS702)
Program Pascasarjana/S3
Institut Pertanian Bogor
Oktober 2003
Dosen :
Prof. Dr. Ir. Rudy C.
Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto
KAJIAN FAKTOR FISIK
YANG MEMPENGARUHI DISTRIBUSI ICHTHYOPLANKTON
(AWAL DAUR HIDUP IKAN)
Oleh :
A. Hafidz Olii
NIM/PS : C561030081/TKL
Abstrak
Ichthyoplankton berasal dari
kata ichthyes dan plankton yang berarti ikan yang masih berada pada stadia planktonis. Stadia ini meliputi telur, larva dan
planktonis juvenil ikan. Dalam
kelangsungan hidupnya ichthyoplankton sering dipengaruhi faktor-faktor
fisik laut yaitu ; cahaya, suhu,salinitas, arus dan pasang surut.
Masuknya cahaya matahari pada
perairan berpengaruh terhadap pola distribusi vertikal dari
ichthyoplankton. Biasanya
ichthyoplankton bermigrasi secara harian ke arah permukaan pada malam hari dan
kearah kedalaman semula pada siang hari dimana intensitas cahaya matahari kecil
atau tidak ada. Terdapat juga
ichtyoplankton yang bermigrasi secara harian ke arah permukaan pada siang hari
dan masuk ke lapisan yang lebih dalam pada malam hari dimana hal ini merupakan
suatu pengecualian yang bersifat fototaksis positif.
Di dalam pertumbuhan suhu air
memegang peranan vital, yang pengaruhnya sangat nyata pada awal daur hidup
ikan. Ichthyoplankton biasanya melimpah
pada lapisan permukaan dimana suhu lebih tinggi.
Efek perubahan dari salinitas
dapat mempengaruhi derajat kelangsungan hidup dari ichthyoplankton. Biasanya ichthyoplankton mampu bertahan
hidup pada salinitas sekitar 30 0/00, dan ada juga
kisaran salinitas diatara nilai terendah dan tertinggi dari perairan tersebut
sehingga distribusinya tergantung pada distrbusi salinitas.
Arus dapat menyebabkan
perpindahan massa air secara horizontal sehingga mengakibatkan terpindahnya
ichthyoplankton bersama massa air tersebut.
Kecepatan arus permukaan lebih tinggi daripada lapisan air yang lebih dalam
sehingga hal ini memudahkan ichthyoplankton terdistribusi jauh ke tempat
lain. Lain halnya dengan
ichthyoplankton yang berada pada lapisan dalam dimana kecepatan arus lebih
rendah, ichthyoplankton tidak terdistribusi jauh dari tempat asal.
Perpindahan massa air secara vertikal
sehingga nampak permukaan naik dan turun, yang merupakan akibat adanya gaya
tarik menarik antara gaya sentrifugal dan gaya grafitasi yang berasal dari
bulan dan matahari terhadap bumi, menyebabkan terpindahnya ichthyoplankton
bersama massa air tersebut. Biasanya
ichthyoplankton dijumpai melimpah pada saat air pasang dilapisan
permukaan. Demikian sebaliknya, pada
saat air surut biasanya ichthyoplankton dijumpai lebih banyak pada lapisan yang
dalam.
I. PENDAHULUAN
Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem dalam biosfer yang memiliki nilai guna bagi kehidupan ekonomis dan ekologis manusia. Adanya sumber sumberdaya hayati menyediakan peluang panen bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan protein yang bermanfaat dalam kehidupan manusia. Dengan demikian laut merupakan lingkungan alam yang penting bagi bangsa kita, terlebih dimasa-masa yang akan datang.
Namun sejauh mana usaha yang akan dimanfaatkan di perairan laut, hanya mungkin apabila ditunjang dengan dasar informasi yang cukup mengenai potensi yang ada seperti keadaan hidrobiota (hewan dan tumbuhan), kualitas air dan lingkungannya termasuk manusia.
Ikan merupakan salah satu organisme yang mendiami hampir seluruh lapisan perairan di laut. Sebagai oprganisme yang paling banyak dikonsumsi manusia, ikan menjadi sangat penting di dalam dunia perikanan. Sebagai tindak lanjut manusia mempelajarinya dalam ilmu yang disebut biologi perikanan. Effendie (1978) mengemukakan bahwa ruang lingkup biologi perikanan meliputi dua cabang pengetahuan yang salin menjalin. Cabang pertama ialah studi mengenai natural history, yaitu tentang keadaan biologi ikan dalam suatu perairan yang meliputi daur hidup ikan mulai dari sejak hidup sampai mati secara wajar atau karena sebab-sebab lain. Cabang kedua ialah studi mengenai populasi ikan, yaitu bagaimana kecepatan dan hasil dari reproduksi serta pengaruhnya terhadap populasi, kecepatan pertumbuhan dan sebab-sebabnya, dan kecapatan kematian serta pengaruhnya terhadap populasi.
Pemahaman tentang biologi ikan sangatlah penting dimulai dengan pengetahuan yang baik tentang perkembangan awal daur hidup ikan, baik ekologi maupun kehidupannya. Pentingnya aspek ini karena mempunyai keterkaitan dengan fluktuasi ikan, bahkan kelangsungan hidup dari spesies itu sendiri. Seperti diketahuai pada tahap awal daur hidup ikan mempunyai mortalitas yang tinggi karena kepekaan terhadap predator, ketersediaan makanan, dan juga perubahan lingkungan yang terjadi di alam. Dengan terganggunya tahap-tahap awal dari kehidupan ikan maka hal ini memberi dampak nagatif bagi populasi ikan tersebut. Awal daur hidup ikan, menurut Effendie (1978) dan Matarase dkk (1989), meliputi stadia telur dan perkembangannya, yaitu stadia larva dan juvenil (ikan muda). Ikan ikan pada stadia telur dan larva ikan dapat digolongkan sebagai plankton, dimana sebagian dari siklus hidupnya merupakan plankton sementara atau meroplankton (Odum, 1993). Menurut Mantiri (1995), ikan-ikan yang masih berada pada stadia telur dan larva digolongkan dan istilahkan sebagai ichthyoplankton.
Dalam rangka pengelolaan sumberdaya hayati perairan laut, pemahaman terhadap faktor-faktor fisik laut dan pengaruhnya terhadap perkembangan biota laut merupakan suatu kebutuhan yang mutlak. Faktor fisik laut, seperti cahaya, suhu salinitas, arus dan pasang surut telah semenjak semula dipandang sebagai faktor abiotik pada ekosisitem laut yang memiliki banyak kegunaan dalam proses kelangsungan hidup ikan, seperti pertumbuhan dan distribusinya. Bertolak dari uraian diatas, maka dipandang perlu untuk menguraikan secara mendetail tentang pengaruh beberapa faktor fisik laut terhadap distribusi ichthoplankton, mengingat ichthoplankton sebagai awal kehidupan dari ikan yang merupakan sumberdaya perikanan pada suatu perairan.
Istilah ichthyoplankton muncul setelah beberapa ahli mulai membedakannya dengan plankton berdasarkan istilah ichthyes untuk ikan. Jadi ichthyoplankton sebenarnya berasal dari kata ichthyes (ikan) dan plankton (pengembara) yang artinya ikan yang masih bersifat palnktonis. Di dalam golongan plankton, organisme ini dikategorikan sebagai meroplankton atau plankton sementara, dimana hanya sebagian dari hidupnya bersifat sebagai plankton. Adapun setelah dewasa mereka menjalani kehidupan sebagai perenang-perenang yang aktif yang sudah masuk dalam kategori nekton.
Ichthyoplankton menurut Mantiri (1995), adalah merupakan organisme ikan yang masih berada pada stadia telur dan larva. Namun ada juga yang menggunakan istilah ini pada ikan yang sudah berada pada stadia juvenil yang masih bersifat planktonis. Selanjutnya dikatakan bahwa istilah ichthyoplankton belum terlalu dikenal dan digunakan. Tulisan-tulisan ilmiah yang sudah menggunakan istilah ini seperti : Able (1978), Rogers dkk (1979), Brodeur dkk (1985), Boehlert dkk (1985), Beckley (1986), Ozawa (1986), Brodeur dan Rugen (1993), Mantiri (1993 dan 1995).
Ichthyoplankton sebagai tahapan awal perkembangan sejak dari stadia telur, larva dan juvenil ikan merupakan awal dari daur hidup ikan. Pada tahap ini tingkat mortalitas tinggi karena peka terhadap predator dan perubahan lingkungan seperti suhu, salinitas bahkan ketersediaan makanan di alam. Dengan demikian pada tahap ini pula yang menentukan kelangsungan hidup satu spesies maupun populasi ikan tersebut. Menyadari pentingnya ichthyoplankton, telah banyak yang menfokuskan pekerjaan mereka pada organsime ikan yang dimulai dari tahun 1800-an di Eropa (Delsman, 1972). Sebagai contoh sejumlah studi yang menjelaskan tentang kehadiran dan distrubusi telur dan larva dari British marine fish Solea vulgaris (Rusell, 1976). Di Amerika Utara orang mulai meneliti awal daur hidup ikan secara meluas pada pertengahan tahun 1960-an (Snyder, 1985), sedangkan di Indonesia sudah di mulai sejak tahun 1920 an (Delsman, 1972).
Mengetahui distribusi ichthoplankton sangat penting,
tidak hanya dalam pengertian proses ekologis, namun terhadap implikasi praktis
penilaian kelimpahannya (Brodeur dan Rugen, 1993). Selanjutnya dikatakan bahwa ichthyoplankton memiliki pola distribusi
vertikal berdasarkan migrasinya yang di bagi atas 2 tipe. Migrasi tipe I dikenal sebagai pola
distribusi yang lebih umum dimana ichthyoplankton naik ke permukaan pada malam
hari. Migrasi tipe II merupakan pola
distribusi yang tidak umum dan merupakan kebalikan dari migrasi tipe I di mana
ichthyoplankton naik ke lapisan permukaan pada siang hari. Pada dasarnya pola distribusi ini sangat di
pengaruhi oleh cahaya, namun menurut mereka predator dapat juga mengubah pola
distribusi vertikal ichthoplankton. Contoh-contoh pola distribusi tipe I
seperti yang dilaporkan Rogers (1940), Roger dkk (1979), Soewito dan
Schalk (1990), dan Brodeur dkk (1993).
Adapun tipe II dilaporkan oleh Boehlert dkk (1985) dan Yamashita dkk
(1985).
Demikian halnya ukuran tubuh, peningkatan kemampuan berenang dan kapasitas perkembangan larva dikatakan merupakan pengontrol posisi vertikal golongan ini (Fortier dan Leggett, 1983). Secara umum seperti yang dikemukakan beberapa ahli, distribusi ichthyoplankton di tentukan oleh faktor-faktor tingkah laku seperti pergerakan berdasarkan waktu dan cahaya (Mantiri, 1993); faktor-faktor fisik seperti sirkulasi air pasang surut (Laprise dan Dodson, 1989), temperatur, salinitas dan turbiditas (Able, 1978; Dodson dkk, 1989); dan faktor ketersediaan makanan.
III.
FAKTOR-FAKTOR FISIK LAUT
3. 1. Cahaya
Cahaya matahari yang jatuh di permukaan laut akan diserap dan diseleksi oleh air laut, sehingga cahaya dengan panjang gelombang yang panjang seperti cahaya merah, ungu dan kuning akan hilang lebih dahulu. Sedangkan cahaya dengan panjang gelombang yang pendek mampu untuk menembus permukaan yang lebih dalam. Banyaknya sinar matahari yang masuk ke dalam laut berubah-ubah tergantung pada intensitas cahaya, banyaknya pemantulan di permukaan, sudut datang dan transparasi air laut (Ruyitno, 1980). Selanjutnya Nybakken (1992) mengemukakan bahwa perubahan intensitas cahaya di permukaan laut berfariasi secara teratur berdasarkan harian yang berhubungan dengan musim. Penurunan intensitas cahaya dan absorbsi akan berkurang karena dipengaruhi oleh kedalaman. Cahaya yang masuk ke dalam perairan berubah dengan cepat baik intensitasnya maupun komposisinya. Menurut Hutabarat dan Evans (1989), cahaya dapat menembus lapisan perairan hingga kedalaman 100 200 meter.
Penyinaran cahaya matahari di laut terdiri atas beberapa bagian yaitu dipantulkan, dibiaskan, dipencar-pencar dan diserap. Jumlah pemantulan cahaya matahari tak sama tergantung pada sudut yang ditimbulkan oleh cahaya matahari (Tabel I).
Tabel 1. Perbandingan Antara
Besarnya Cahaya Yang Dipantulkan Oleh
Air Laut Dengan Letak Tinggi Matahari Di Atas Cakrawala
(Pickard, 1979 dalam Hutabarat
dan Evans, 1989)
Tinggi matahari (derajat) |
Di pantulkan (%) |
Di serap (%) |
5 10 20 30 60 90 |
40 35 12 6 3 2 |
60 65 88 94 97 98 |
Bagian cahaya yang dapat menembus permukaan laut akan mengalami pengurangan lebih lanjut melalui dua proses yang berlangsung di dalam air. Yang pertama ialah pemantulan oleh berbagai partikel hidup dan mati yang tersuspensi dalam kolom air. Partikel-partikel ini menangkap cahaya dan kemudian mengabsorbsinya atau memantulkannya kembali ke permukaan. Cahaya yang dipantulkan ini tidak dapat lagi dimanfaatkan sehingga mengurangi cahaya yang tersedia. Kedua, air sendiri memantulkan cahaya, mengakibatkan berkurangnya jumlah cahaya yang tersedia bagi tumbuhan. Dalam air yang jernih dan bersih jumlah cahaya yang dipantulkan oleh air merupakan fungsi dari panjang gelombang cahaya dan kedalaman. Pemantulan cahaya oleh air inilah yang mengakibatkan massa-massa air laut menjadi gelap mulai satu kedalaman tertentu pada sebagian besar laut dan samudera (Nybakken, 1992).
3. 2. Suhu
Air mempunyai daya muat panas yang lebih tinggi daripada daratan. Akibatnya untuk menaikan suhu sebesar 1 C, air akan membutuhkan energi yang lebih besar daripada yang dibutuhkan oleh daratan dalam jumlah massa yang sama. Dengan kata lain dengan jumlah pemanasan yang sama, daratan akan lebih cepat menjadi panas daripada lautan. Demikian juga kebalikannya, lautan lebih efektif untuk menyimpan panas yang diterima daripada daratan, sehingga pada waktu tidak ada pemanasan (malam hari) lautan akan memerlukan waktu yang lebih lama untuk menjadi dingin daripada daratan (Hutabarat dan Evans, 1986).
Lawalata (1977) menyatakan bahwa suhu perairan merupakan suatu faktor lingkungan yang lebih mudah dipelajari dari faktor-faktor lainnya, sebab suhu merupakan suatu petunjuk yang berguna dari perubahan kondisi lingkungan. Menurut Sidjabat (1978), suhu air laut, terutama lapisan permukaan, ditentukan oleh pemanasan matahari yang intensitasnya senantiasa berubah terhadap waktu, sehingga suhu air laut akan konsonan dengan perubahan intensitas penyinaran matahari tersebut. Perubahan suhu ini dapat terjadi secara : (1) harian, (2) musiman, (3) tahunan, dan (4) jangka panjang.
Selanjatnya dikatakan bahwa jika suatu perairan yang homogen dan tenang dipanasi oleh matahari, distribusi suhu secara vertikal akan menurun eksponensial ke bawah. Apalagi jika tidak ada gangguan pada perairan ini, keadaan perairan akan selalu stabil karena lapisan yang paling atas yang lebih panas akan lebih rendah densitasnya dari pada lapisan bawah (Sidjabat, 1978).
Menurut Ruyitno
(1980), suhu air laut berkisar antara 2 sampai 40 0 C. Hal ini tergantung musim dan letak pada
garis lintang (Tabel 2). Fluktuasi suhu
permukaan air laut pada umumnya tidak lebih dari 10 C setiap
harinya, sedangkan suhu maksimum dilautan terbuka tidak akan lebih dari 300
C. Davis (1987) mengemukakan bahwa
kisaran normal temperatur air laut adalah 0 30 0C dan membeku pada
1,90 C.
Tabel 2. Rata-Rata
Suhu Permukaan Berdasarkan Lintang
(Sumber : King, 1967)
Lintang Utara |
Suhu (0) |
Lintang Selatan |
Suhu (0) |
70 60 60 50 50 40 40 30 30 20 20 10 10 0 |
5.60 8.66 13.16 20.40 24.16 25.81 25.66 |
70 60 60 50 50 40 40 30 30 20 20 10 10 0 |
1.30 1.76 8.68 16.90 21.20 23.16 25.18 |
3. 3. Salinitas
Salinitas air laut didefinisikan sebagai jumlah total material padat yang dinyatakan dalam gram yang terdapat dalam satu kilogram air laut, jika semua karbonat telah teroksidir, bromine dan iodine dirubah menjadi kholorine dan semua unsur organic telah teroksidir (Davis, 1987). Menurut Hutabarat dan Evans (1986), salinitas adalah konsentrasi rata-rata seluruh garam yang terdapat didalam air laut.
Di semua samudera, salinitas bervariasi menurut lintang (Sidjabat, 1978). Selanjutnya dikemukakan bahwa didekat khatulistiwa, salinitas mempunyai nilai yang rendah, dan maksimum pada daerah lintang 20 0 LU dan 20 0 LS, kemudian menurun kembali pada daerah lintang yang lebih tinggi. Keadaan salinitas yang rendah pada daerah sekitar ekuator disebabkan oleh tingginya curah hujan. Khususnya di perairan kepulauan, salinitas ini diperendah lagi oleh air sungai yang mengalir ke laut. Di daerah sub tropis, terutama yang beriklim kering, dimana penguapan lebih tinggi daripada presipitasi, salinitas dapat mencapai 45 0/00. Hal seperti ini dapat dijumpai di laut Merah dan Lagoon yang ada di Texas, Amerika Serikat.
Lawalata (1977) menyatakan bahwa naik turunnya salinitas
banyak penyebabnya, antara lain karena up welling, ataupun juga karena pengaruh
hujan yang turun secara terus menerus dalam jangka waktu beberapa hari. Salinitas bersifat lebih stabil di lautan
terbuka, walaupun dibeberapa tempat kadang-kadang salinitas menunjukan adanya
fluktuasi perubahan. Sebagai contoh
salinitas permukaan di perairan Laut Mediterania dan Laut Merah, biasanya
mencapai 41 0/00 yang disebabkan karena banyaknya air
yang hilang akibat dari besarnya penguapan yang terjadi pada waktu musim panas
yang panjang. Namun menurut Hutabarat
dan Evans (1986) menambahkan bahwa salinitas akan turun secara tajam yang
disebabkan oleh besarnya curah hujan. Menurut Nontji (1993), salinitas di
lautan pada umumnya berkisar antara 33 0/00 37 0/00.
3. 4. Arus
Arus adalah gerakan air yang mengakibatkan perpindahan
horizontal massa air. Arus merupakan
salah satu faktor terpenting dalam mempengaruhi kesuburan air laut. Arus
dapat membawa nutrisi dari suatu perairan ke perairan lainnya. Sverdrup dkk (1972) dalam Arinardi
(1979) membagi arus laut ke dalam tiga golongan besar, yaitu : 1). Arus yang
disebabkan oleh perbedaan sebaran densitas di laut. Arus ini disebabkan oleh
air yang berdensitas lebih berat akan mengalir ke tempat air yang berdensitas
kecil atau lebih ringan. Arus jenis ini
biasanya membawa sejumlah besar air dari suatu tempat ke tempat lain; 2). Arus yang ditimbulkan oleh angin yang
berhembus di permukaan laut. Arus jenis
ini biasanya membawa air kesatu jurusan dengan arah yang sama selama satu musim
tertentu ; 3). Arus yang disebabkan oleh air pasang. Arus jenis ini mengalirnya bolak-balik dari dan ke pantai, atau
berputar. Arus air pasang dipengaruhi
oleh gaya tarik bulan dan matahari terhadap bumi dan datangnya secara periodic
sehingga dapat di ramalkan.
Perubahan arah arus
yang kompleks susunannya terjadi sesuai dengan makin dalamnya kedalaman suatu
perairan. Pada umumnya tenaga angin
yang diberikan pada lapisan permukaan air dapat membangkitkan timbulnya arus
permukaan yang mempunyai kecepatan sekitar 2 % dari kecepatan angin itu
sendiri. Kecepatan arus ini akan
berkurang cepat sesuai dengan makin bertambahnya kedalaman perairan dan
akhirnya angin menjadi tak berpengaruh sama sekali terhadap kecepatan arus
(Hutabarat dan Evans, 1986).
Gerakan massa air
dalam sangat berbeda dengan massa air permukaan. Massa air dalam terisolasi dari angin, oleh karena itu gerakannya
tidaklah bergantung pada angin. Tetapi
gerakan massa air dalam sebenarnya terjadi karena perubahan gerakan air
permukaan. Di daerah tertentu dan dalam
keadaan tertentu pula, gerakan lateral air yang disebabkan oleh angin juga
mengakibatkan air mengalami suatu sirkulasi vertikal atau gerakan ke atas atau
up welling (Nybakken, 1992).
3. 5.
Pasang Surut
Salah satu
fenomena fisik dan dinamis yang selalu dijumpai di lautan adalah naik turunnya
permukaan air yang bersifat periodik selama satu interval waktu tertentu yang
disebut pasang surut (Nybakken, 1992).
Pasang surut terjadi karena adanya gaya tarik menarik antara gaya
sentrifugal dan gaya grafitasi yang berasal dari bulan dan matahari terhadap
bumi.
Gaya sentrifugal
adalah suatu tenaga yang didesak ke arah luar pusat bumi, besarnya kurang lebih
sama dengan tenaga yang ditarik ke permukaan bumi. Gaya gravitasi bulan terhadap bumi dua kali lipat dibandingkan
dengan gaya gravitasi matahari terhadap bumi.
Hal ini terjadi karena jarak antara bumi dan bulan lebih dekat daripada
jarak antara bumi dan matahari. Pada
bagian bumi yang menghadap bulan, gaya gravitasinya lebih kuat daripada gaya
sentrifugal, sehingga air tertarik keatas, disebut pasang naik. Adapun pada bagian bumi yang berjauhan
dengan bulan juga akan mengalami penarikan air menjauhi bumi, tetapi besarnya
air yang tertarik keluar tidak sebesar dengan penarikan air pada bagian bumi
yang langsung berhadapan dengan bulan, disebut pasang turun. Gaya grafitasi yang ada dibagian ini lemah
dan gaya sentifugalnya kuat. Pada sisi
dari bagian bumi yang tidak mengalami penarikan air, disebut surut. Dengan demikian terdapat dua pasang dan dua
surut.
Pasang surut akan bergerak dipermukaan bumi. Perputarannya memerlukan waktu selama kurang lebih 24 jam 50 menit dalam satu putaran (Hutabarat dan Evans, 1986). Selanjutnya pasang surut terdiri dari 3 jenis, yaitu : 1). Pasang surut diurnal, yakni pasang surut yang terdiri dari satu pasang dan satu surut ; 2). Pasang surut semidiurnal, yakni pasang surut yang mempunyai dua pasang dan dua surut per hari ; dan 3). Pasang surut campuran, yakni percampuran antara pasang surut diurnal dan pasang surut semidiurnal. Di tambahkan juga bahwa pasang yang memiliki tinggi maksimum di sebut spring tide dan pasang yang memiliki tinggi minimum di sebut neap tide.
Gambar 1. Gambaran Sederhana
terjadinya Pasang Surut
(Sumber : Hutabarat dan Evans,
1986)
IV. HUBUNGAN ANTARA FAKTOR
FISIK DAN DISTRIBUSI ICHTHYOPLANKTON
4.1. CAHAYA
Dewasa ini disepakati bahwa rangsangan utama yang
mengakibatkan dimulainya gerakan migrasi vertikal harian dari organisme di laut
adalah cahaya. Cahaya mengakibatkan
respon negatif bagi para migran, mereka bergerak menjauhi permukaan laut bila
intensitas cahaya di permukaan meningkat.
Sebaliknya mereka akan bergerak ke arah permukaan laut bila intensitas
cahaya di permukaan menurun (Nybakken, 1992).
Raymon
(1963) dan Coombs dkk (1985) mengemukaan bahwa cahaya matahari merupakan
salah satu faktro yang mempengaruhi penyebaran vertikal ichthoplankton. Pernyataan ini di perkuat oleh Southward dan
Barret (1983) bahwa cahaya merupakan faktor pengontrol yang dominan dalam
migrasi vertikal dimana larva bermigrasi ke arah permukaan pada malam hari dan
ke arah kedalaman semula pada siang hari.
Sebagai contoh, larva Ammodytes hexapterus di teluk sekitar Pulau Kodiak
yang menunjukan pola migrasi tipe I, dimana pada siang hari mereka berada pada
kedalaman 10 30 m namun pada malam hari ditemukan pada kedalaman lebih ke
atas (Rogers dkk, 1979). Brodeur
dan Rugen (1993) menambahkan bahwa pola migrasi yang normal (tipe I) terutama
terjadi pada kisaran kedalaman 30 45 m selama siang hari dan ke atas 30 m
pada malam hari. Pernyataan pernyataan
ini di perkuat oleh Soewito dan Schalk (1990) berdasarkan hasil tangkapannya di
mana sepanjang siang hari kelimpahan larva di lapisan paling dalam relatif
lebih tinggi dibandingkan pada malam hari.
Rogers (1940), mempertegas bahwa di daerah bermusim 4 dimana dikatakan
ikan Rainbow (Osmerus mordax) menghasilkan lebih banyak waktu pada
lapisan dalam dan berpindah-pindah di daerah muara St. john pada siang hari,
karena waktu siang hari lebih lama daripada malam hari.
Berbeda
halnya dengan pola migrasi yang
ditunjukan beberap ichthoplankton, dimana merupakan kebalikan dari pola
sebelumnya. Boelhert dkk,
(1985), melaprokan bahwa pada daerah bermusim 4 terdapat larva yang sangat
melimpah pada kedalam 10 30 m pada siang hari dan 20 30 m pada malam hari
dimana hal ini terjadi pada musim panas.
Selanjutnya dikatakan bahwa pada musim semi, larva terdistribusi seragam
pada semua kolom air di bawah 5 m dengan puncak kelimpahan pada kedalaman 10
20 m pada siang hari dan pada kedalaman 40 50 m pada malam hari. Demikina juga larva Ammodytes personatus
yang di jumpai pada perairan jepang dimana menunjukan pola migrasi yang sama
(Yamashita dkk, 1985).
4. 2. SUHU
Salah satu
faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran dari
ichthyoplankton adalah suhu air. Dalam
perkembangbiakan suhu air memegang peranan penting vital. Kebanyakan dari ikan memiliki kisaran suhu
tertentu untuk bertelur dan bila perbedaan suhu terlalu besar, mungkin ikan
tidak akan bertelur sama sekali atau mungkin hanya berhasil sebagian. Telur dan anak ikan sangat peka terhadap
suhu tinggi dan rendah, dan perubahan secara tiba-tiba dapat memusnahkan
seluruhnya (Omanney, 1980).
Lawalata
(1977) mengemukakan bahwa pengaruh yang nyata sekali dari suhu terhadap ikan
adalah waktu pemijahan, juga pada telur maupun larva-larvanya. Hal ini disebabkan setiap jenis ikan
menghendaki suhu yang berbeda pada waktu pemijahan, sehingga bila pada waktu
pemijahan terjadi perubahan suhu dalam arti penurunan atau kenaikan suhu yang
normal, akan menyebabkan terlambatnya atau di percepatnya masa pemijahan. Pada suhu sangat rendah maupun suhu tinggi
mungkin ikan tetap akan hidup, hal ini tergantung penyesuaian terhadap iklim
terlebih dahulu. Untuk ikan umumnya
hidup pada kisaran suhu air 12 250C.
Ikan
mempunyai musim pemijahan tertentu, yakni ketika suhu air sedang dimana paling
memungkinkan keberhasilan. Graham dkk
(1990) melaporkan bahwa telur atlantik herring Clupea harengus kebanyakan
menetas pada musim panas dan gugur di perairan pesisir pantai Maine, yang
mempunyai penurunan suhu sangat besar (1,8 3,1 0C). Larva ini akan berusaha untuk menghindar
dari efek suhu rendah dengan menyesuaikan diri terhadap iklim dan menempati
daerah-daerah pantai yang suhunya lebih tinggi.
Selanjutnya
dikatakan bahwa kebanyakan larva ikan akan menyesuaikan diri pada suhu 5 70 0
C. Adanya penurunan suhu dapat
menyebabkan kematian larva. Pada saat
dimana penurunan suhu lebih perlahan, larva dengan mudah menyesuaikan diri
dengan suhu yang rendah. Hal ini
merupakan faktor tambahan yang dapat mempertinggi laju daya tahan larva pada suhu rendah. Suhu rendah secara tak langsung dapat meningkatkan kematian larva
sehingga mudah dimangsa karena mengalami stress akibat suhu rendah. Dan apabila suhu air menurun secara tajam
maka akan meningkatkan mortalitas dari larva ikan.
Coombs dkk
(1985) mengemukakan bahwa tahap yang paling ideal untuk larva ikan adalah di
daerah permukaan dimana suhunya lebih tinggi.
Adapun menurut Richard dan Simons (1971), penyebaran larva skipjack tuna
pada suhu permukaan dibawah 25 0 C dan untuk yellowfin tuna di atas
suhu 24 0 C.
4. 3. SALINITAS
Dalam pertumbuhan salinitas merupakan suatu faktor
yang sangat penting, dengan kata lain variasi salinitas dapat mempengaruhi
organisme laut khususnya ikan, telur mapun larvanya. Menurut Kinne (1963), efek perubahan salinitas dapat mempengaruhi
derajat kelangsungan hidup dan pertumbuhan organisme.
Lawalata
(1977), menyatakan bahwa sebenarnya perubahan salinitas itu menunjukan
perubahan-perubahan dari masa air atau stabilitas dari kondisi air tersebut,
sehingga dapat dikatakan bahwa pengaruhnya terhadap ikan adalah secara tidak
langsung. Salinitas berpengaruh
terhadap tingkah laku ikan ataupun distribusi ikan. Perubahan salinitas tersebut akan mempengaruhi pengaturan osmotic
ikan dan menentukan daya apung dari telur-telur ikan pelagis. Menurut Rahardjo dan Sanusi (1982), beberapa
spesies ikan dapat hidup pada salinitas yang berbeda-beda, tetapi adapula yang
hanya dapat hidup pada salinitas tertentu.
Shusmin
(1980) melaporkan bahwa dari hasil penelitiannya terhadap juvenil ikan Golden
Mullet Lisa aurata yang dipindahkan dari laut hitam ke dalam air yang bersalinitas
0,4 30 0/00 menunjukan tidak ada kematian, namun pada
air yang salinitasnya 40 0/00 terdapat dua individu yang
mati, pada air yang salinitasnya 50 0/00 terdapat sepuluh
individu yang mati setelah empat hari.
Hal ini menunjukan bahwa juvenil ikan hanya dapat bertahan hidup pada
kisaran salinitas di bawah 40 0/00.
Dovel
(1971) melaporkan bahwa salinitas tahunan di Teluk Chesapeake pada permukaan
berkisar dari 0,00 12,20 0/00 dan dibagian dasar
berkisar 0,00 14,20 0/00 . Lokasi dimana larva banyak ditemukan salinitasnya berkisar 2,16
6,07 0/00. Selanjutnya McMulen dan Middaugh (1985) menyatakan bahwa pengaruh
salinitas terhadap prosentase laju ketahanan hidup dari larva Menidia
menidia pada suhu 22 0 C adalah 61 % pada salinitas 30 0/00, 56 % pada salinitas 20 0/00,
dan 47 0/00 pada salinitas 10 0/00. Menurut Dodson dan Henry (1985), larva ikan Clupea nasus
dengan ukuran 12 19 mm, mempunyai toleransi yang sempit pada salinitas 12,5 0/00
pada suhu 15 0 C.
4. 4. ARUS
Arus sangat
penting untuk pergerakan dan distribusi organisme hidup, dan arus-arus yang
besar di laut seluruhnya menyebabkan perubahan densitas massa air
permukaan. Perubahan densitas air laut
berhubungan dengan variasi temperatur dan salinitas, dimana kenaikan temperatur
menyebabkan penurunan densitas air laut yang di ikuti dengan kenaikan
salinitas. Di laut perubahan salinitas
dan temperatur biasanya terjadi bersama-sama dan keduanya sangat penting dalam
mengendalikan densitas (Barnes dan Hughes, 1998).
Keberadaan
dari arus merupakan salah satu faktor yang penting dalam penyebaran dari
ichthyoplankton. Menurut Hinckley dkk
(1991), arus selalu berhubungan dengan kedalaman, dimana pada kedalamn yang
lebih dalam, gerakan air menjadi lambat.
Selanjutnya dikemukakan bahwa pada kedalaman dibawah 100 meter kecepatan
arus sangat lambat sehingga ichthyoplankton pada daerah ini kemungkinan tidak
hanyut jauh dari wilayah dimana mereka dipijahkan, sedangkan pada kedalaman di
atas 50 meter dari kolom air, arus semakin cepat sehingga ichthyoplankton akan
mudah terbawa oleh arus.
Menurut
Lumoindong (1995), pasca larva bandeng (nener) sering ditemukan pada daerah
pantai. Hal ini disebabkan karena
mereka suka didekat permukaan sehingga gerkannya banyak dipengaruhi oleh
gelombang dan arus. Perlu diketahui
secara umum pasca larva bandeng pada ukuran kurang dari 9 mm lebih suka pada
lapisan agak dalam dan setelah mencapai ukuran 9 10 mm mreka menyukai daerah
permukaan. Pada ukuran dan habitat yang
demikianlah mereka sangat dipengaruhi oleh arus.
4. 5. PASANG SURUT
Pasang
surut merupakan faktor lingkungan yang paling penting mempengaruhi kehidupan
dari organisme laut, dalam hal ini ichthyoplankton. Keberadaan dari pasang surut dapat menimbulkan perputaran dari air
sehingga terjadi transport secara vertikal dari ichthyoplankton. Dengan tidak adanya perputaran air yang
ditimbulkan oleh pasang surut maka ichthyoplankton ditemukan pada kedalaman
yang lebih dalam. Transport ke atas
dari ichthoplankton berhubungan erat dengan nilai kecepatan arus pasang surut
terutama pada pasang naik (Boehlert dkk, 1985). Menurut Lumoindong (1995) jumlah nener
bandeng banyak dijumpai pada saat air pasang tinggi daripada air surut, juga
banyak terdapat pada bulan purnama dan bulan gelap. Hal ini diperkuat juga oleh Mantiri (1993) yang menjumpai banyak
larva dan juvenil ikan pada saat air pasang.
Selanjutnya menurut Bordeur dan Rugen (1993) perpindahan ke hulu dan
berkumpulnya larva dalam estuary disebabkan sejumlah besar mekanisme yang
melibatkan transporatsi pasang surut tidak aktif dan atau pasif.
Nybakken
(1992) mengemukakan bahwa pada organisme ikan, pengaruh pasang surut terjadi
secara teratur dan dapat diramalkan, cenderung menimbulkan irama tertentu dalam
kegiatan organisme pantai, misalnya irama memijah seperti yang ditunjukan oleh
ikan Grunion, salah satu ikan dari pesisir pasifik di Amerika Serikat. Ikan ini memijah di pantai hanya pada
malam-malam tertentu ketika terjadi pasang purnama tertinggi sehingga hal ini
menunjukan bahwa terjadi kelimpahan ichthyoplankton pada daerah tersebut.
Perkembangan awal daur hidup ikan merupakan bagian
yang paling penting bagai keberadaan dari suatu populasi ikan yang sangat peka
terhadap perubahan lingkungan yang
ada. Dalam perkembangannya, telur
larva juvenil ikan (ichthyoplankton)
sangat dibatasi oleh beberapa faktor lingkungan.
Faktor-faktor fisik seperti cahaya, suhu,
salinitas, arus dan pasang surut merupakan faktor pembatas bagi kelangsungan
hidup maupun distribusi dari ichthyoplankton yang pada hakekatnya organisme ini
tidak dapat hidup pada lingkungan yang menekan. Dengan kata
lain, faktor-faktor fisik laut ini bisa sangat menguntungkan dan bisa juga
merugikan. Yang menguntungkan yakni
jika tidak ada pengaruh yang kuat dari arus dan pasang surut dalam migrasi
ichthoplankton untuk memilih daerah-daerah yang disukai dan atau pengaruh kuat
dari kedua faktor tersebut yang membawa organisme ini ke daerah yang cocok
sesuai yang diinginkan. Yang merugikan
yakni kebalikan dari pengaruh tersebut diatas dimana organisme ini tidak
memiliki pilahan untuk memilih tempat yang disukai atau terbawa ke daerah yang
mematikan. Untuk dapat bertahan hidup
pada keadaan ini maka ichthyopalnkton ini harus memiliki usaha untuk meneyesuaikan
diri dengan keadaan lingkungan tersebut.
Sangatlah diharapkan dengan pengetahuan tentang
faktor-faktor fisik laut dapat memberikan arahan yang jelas dari keberadaan
ichthyoplankton di laut sehingga tidak dilakukan penangkapan tanpa
memperhitungkan kelestarian dari organsime ikan tersebut.
Able, K.W. 1978. Ichthyoplankton of the St Lawrence Estuary : composition, distribution and abundance. J. fish. Res. Bd. Can 35 : 1518 1531.
Boehlert, G.W., D.M. Gadomski, dan B. C. Mundy. 1985. vertical distribution of ichthyoplankton of the Oregon coast in spring and summer months. Fish Bull. 83 . 4 : 611-621
Beckley, L.E. 1986. The Ichthoplankton assemblage of the algoa bay nearshore in relation to coastal zone utilization by juvenile fish. South African journal of zoology 21 : 244 252
Brodeur, R.D., D.M. Gadomski, W.G. Pearcy, H.P. Batchelder, dan C.B. Miller. 1985. Diel vertical distribution of ichthyoplankton in the northern gulf of Alaska. Fishery bull. 92 (2) : 223 - 230
Delsman, H.C. 1972. Fish and larvae from java Sea. Linnaeus Press. Amsterdam, Holland. 225 hal
Efendie, I.M. 1978. Biologi Perikanan (Studi Natural History). Fakultas Perikanan. IPB. 106 hal
Hutabarat, S. dan S.M. Evans. 1986. Pengantar Oseanografi. Djambatan. Jakarta. 158 hal
Mantiri, R.O.S.E. 1995.
Ichthyoplanktonologi. Catatan Kuliah.
Pasca Sarjana. Unsrat. Manado
Metarase, A.C., A.W. Kedall, Jr., dan D.M. Vinter. 1989. Laboaratory Guide to early life history stages of Northeas pacific Fishes. NOAA technical report NMFS 80. U.S. Dept commerce. 652 hal
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. 367 hal
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia Pustaka Utama. 459 hal
Odum, E. P. 1993. Dasar- dasar ekologi. Gadjah Mada Univ Press. Yogyakarta. 679 hal
Ozawa, T. 1986. study on the oceanic ichthyoplankton in the western pacific. Kyushu university press. Japan. 430 hal
Rogers, H.M. 1940. Occurrence and retention of plankton within the estuary. J. Fish.Res. Board.can.5 : 164 - 171
Russel, F. S. 1976. The eggs planktonic stage of british marine fishes. Avad Press. London. hal 446 451
Snyder, D.E. 1985. Fish eggs and larvae, Fisheries Techniques. American. Fish. Soc. Hal 265 - 197