© 2001 Pujiyanto Posted
23 May 2001 [rudyct]
Makalah
Falsafah Sains (PPs 702)
Program
Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
Juni 2001
Dosen:
Prof Dr Ir
Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir
Zahrial Coto
PEMANFAATAN JASAD MIKRO JAMUR MIKORIZA DAN BAKTERI
DALAM SISTEM PERTANIAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA :
TINJAUAN DARI PERSPEKTIF FALSAFAH SAINS
Oleh:
Pujiyanto
P02600004
e-mail:
pujiyantotnh@yahoo.com
ABSTRAK
Meningkatnya
kesadaran manusia terhadap terjadinya kerusakan lingkungan hidup yang
disebabkan oleh aktifitas pertanian telah mendorong timbulnya paradigma baru
dalam sistem pertanian yang merupakan koreksi terhadap paradigma sebelumnya.
Dalam paradigma sebelumnya, pertanian dipandang efisien apabila dapat
memberikan produksi yang setinggi-tingginya dengan tingkat keuntungan yang
maksimum. Oleh karena itu dilakukan intensifikasi pertanian, yang berarti
memberikan input luar, yang umumnya merupakan sumberdaya tak terbarukan, dalam
volume sangat besar. Hal ini menyebabkan pengurasan potensi lahan dan
lingkungan abiotik maupun biotik melebihi kemampuan ekosistem tersebut untuk
memulihkannya. Akibatnya adalah terjadi degradasi lingkungan yang sangat
mencemaskan dan dengan demikian keberlanjutan sistem pertanian tersebut tidak
akan dapat berlangsung. Salah satu contoh adalah penggunaan pupuk anorganik
yang merupakan sumberdaya alam tak terbarukan,
telah menyebabkan kerusakan lingkungan, baik ditempat pemberian pupuk (on site) maupun di lokasi akumulasi
pupuk tersebut (off site). Dalam
paradigma baru, asas keberlanjutan sistem menjadi perhatian penting, oleh
karena itu diajukan konsep pertanian berbelanjutan, yaitu pengelolaan sumberdaya
yang berhasil untuk usaha pertanian guna memenuhi kebutuhan manusia yang terus
berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan
melestarikan sumberdaya alam. Dalam konsep pertanian berkelanjutan ini
eksploitasi sumberdaya tidak boleh dilakukan melebihi batas kemampuan
ekosistem, serta diprioritaskan pada penggunaan input luar yang serendah
mungkin.Tulisan ini merupakan tinjauan terhadap hasil-hasil penelitian tentang
pemanfaatan mikroorganisme (jamur mikoriza dan bakteri) untuk menggantikan
sebagain atau seluruh fungsi pupuk buatan agar lebih menjamin keberlanjutan
sistem pertanian, utamanya pertanian di Indonesia yang memiliki ekosistem
tropika basah dan rawan terhadap degradasi.
Hasil-hasil
penelitian menunjukkan bahwa beberapa mikroorganisme (jamur mikoriza dan
bakteri) dapat digunakan secara efektif dalam mengurangi penggunaan pupuk
buatan. Substitusi fungsi pupuk buatan baik sebagian atau secara keseluruhan
akan mengurangi biaya produksi dan mengurangi degradasi lingkungan, sehingga
keberlanjutan sistem pertanian akan lebih terjamin. Jamur mikoriza, baik yang
terolong dalam endomikoriza maupun ektomikoriza mampu menggantikan fungsi pupuk
buatan atau paling tidak mengurangi volume penggunaannya. Meskipun terdapat
beberapa spesies bakteri yang merugikan tanaman, yaitu menjadi penyebab
penyakit, atau pesaing unsur hara dan air; cukup banyak spesies bakteri yang
bermanfaat bagi tanaman, antara lain bakteri penambat N, pelarut P, penghasil
faktor tumbuh (PGPR) dan bakteri pelapuk bahan organik. Pemanfaatan secara
optimal jamur mikoriza dan bakteri yang bermanfaat tersebut memerlukan
pemahaman komprehensif tentang ekologinya, khususnya ekologi pada rizosfer,
dimana terjadi interaksi antara tanaman dengan mikrorganisme tersebut. Pada
rizosfer interaksi antar organisme dengan organisme lain maupun dengan
faktor-faktor abiotik lebih intensif dibandingkan dengan bulk soil. Secara umum jamur mikoriza berinteraksi positif dan
bekerja secara sinergis dengan bakteri penambat N, bakteri pelarut P, maupun
dengan bakteri penghasil PGPR sehingga koinokulasi jamur mikoriza dengan ketiga
kelompok bakteri tersebut lebih meningkatkan pertumbuhan tanaman dibandingkan
dengan inokulasi tunggal, meskipun beberapa kekecualian dari generalisasi
tersebut ditemukan. Peningkatan pertumbuhan tanaman tersebut umumnya dikaitkan
dengan penyediaan unsur hara (khususnya N dan P) yang lebih baik pada perlakuan
koinokulasi, selain adanya aspek resistesi terhadap penyakit/hama.
Kata
kunci: mikoriza, pertanian berkelanjutan,
bakteri penambat N, bakteri pelarut fosfat,
bakteri penghasil PGPR, ekosistem tropika basah
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan
bagian dari ekosistem tropika basah yang tergolong sangat rentan terhadap
degradasi jika pengelolaanya tidak tepat. Ekosistem tropika basah meliputi
areal sekitar 1,5 milyar hektar lahan dengan populasi manusia sekitar 2 milyar,
yang tersebar dalam 60 negara. Dua puluh lima persen areal tersebut
terdapat di Asia. Curah hujan berkisar
antara 1500 6000 mm/tahun dengan suhu lebih dari 18oC sepanjang
tahun. Jenis tanah yang dominan adalah Ultisol dan Oksisol yang tergolong
tanah-tanah tua, terlapuk lanjut dan mempunyai tingkat kesuburan rendah (Lal,
1995).
Intensifikasi pertanian pada ekosistem tropika basah adalah
perubahan pola penggunaan lahan pada ekosistem tersebut yang ditandai oleh
meningkatnya penggunaan sumberdaya lahan untuk produksi pertanian, dari
penggunaan lahan secara terputus oleh periode bera menjadi penggunaan lahan
secara terus menerus (Giller, Beare, Lavelle, Izac and Swift, 1997).
Intensifikasi juga ditandai oleh penggunaan pupuk dan pestisida yang terus
meningkat serta penggunaan varietas unggul yang menguras lebih banyak unsur
hara dari dalam tanah. Intensifikasi pertanian membawa dampak yang sangat
signifikan terhadap penyediaan makanan maupun serat untuk kebutuhan manusia,
sehingga peningkatan jumlah penduduk yang terus berlangsung hingga saat ini
masih dapat dicukupi kebutuhan sandang maupun makannya Keberhasilan
intensifikasi pertanian tersebut juga membawa dampak negatif berupa pengurasan
unsur hara tanah karena terangkut oleh hasil panen. Selama ini pengurasan unsur
hara biasanya dikompensasi dengan pemberian pupuk buatan untuk mendukung
produki yang tinggi dan menahan laju degradasi tanah, sehingga secara nasional
volume penggunaan pupuk buatan terus meningkat dari tahun ke tahun. Dibutuhkan
energi sangat besar untuk memproduksi pupuk buatan (khususnya pupuk N), yang
umumnya diperoleh dari minyak bumi, yang tergolong sumberdaya tak terbarukan (nonrenewable resourches). Penggunaan
pupuk buatan serta input luar lainnya secara besar-besaran menyebabkan dampak
negatif berupa kerusakan sumberdaya yang tidak dapat diperbarui, dan
menyebabkan polusi sumber-sumber air yang berarti penurunan kualitas
lingkungan. Dalam rangka menekan dampak-dampak negatif tersebut, dewasa ini
berkembang konsep pertanian berkelanjutan, yaitu pengelolaan sumberdaya yang
berhasil untuk usaha pertanian guna memenuhi kebutuhan manusia yang terus
berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan
melestarikan sumberdaya alam. Pertanian
berkelanjutan mencakup hal-hal sebagai berikut:
a.
Mantap secara ekologi, yang
berarti kualitas sumberdaya alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem
secara keseluruhan, dari manusia, tanaman dan hewan sampai organisme tanah
ditingkatkan. Kedua hal ini akan dipenuhi jika tanah dikelola dan kesehatan
tanaman maupun masyarakat dipertahankan melalui proses biologis (regulasi
sendiri). Sumberdaya lokal dipergunakan sedemikian rupa sehingga kehilangan
unsur hara, biomassa, dan energi bisa ditekan sserendah mungkin serta mampu
mencegah pencemaran. Tekanannya adalah pada optimasi penggunaan sumberdaya yang
dapat diperbaruhi.
b.
Bisa berlanjut secara ekonomi,
yang berarti bahwa petani dapat menghasilkan segala sesuatu untuk pemenuhan
kebutuhan dan/atau pendapatan sendiri, serta mendapatkan penghasilan yang
mencukupi untuk mengembalikan tenaga dan biaya ang dikeluarkan. Keberlanjutan
ekonomi ini bisa diukur bukan hanya dalam hal produk usaha tani yang langsung
namun juga dalam hal fungsi seperti melestarikan sumberdaya alam dan
meminimalkan resiko.
c.
Adil, yang berarti sumberdaya
dan kekuasaan didistribusikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua
anggota masyarakat terpenuhi dan hak-hak mereka dalam penggunaan lahan maupun
modal yang memadai, bantuan teknis dan peluang pemasaran terjamin. Semua orang
memiliki kesempatan untuk berperanserta dalam pengambilan keputusan, baik di
lapangan maupun di dalam masyarakat. Ketidak adilan dapat menyebabkan kerusuhan
sosial dapat mengancam sistem sosial secara keseluruhan, termasuk sistem
pertaniannya.
d.
Manusiawi, yang berarti bahwa
semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan, dan manusia) dihargai. Martabat dasar
semua makluk hidup dihormati dan hubungan serta institusi menggabungkan nilai
kemanusiaan yang bersifat mendasar, seperti kepercayaan, kejujuran, harga diri,
kerjasama dan rasa sayang. Integritas budaya dan spiritualitas masyarakat
dijaga dan dipelihara.
e.
Luwes, yang berarti masyarakat
pedesaan mampu menyesuaikan dengan perubahan kondisi usaha tani yang
berlangsung terus, misalnya pertambahan penduduk, kebijakan, permintaan pasar
dan lain-lain. Hal ini meliputi bukan hanya pengembangan teknologi yang baru
dan sesuai, namun inovasi dalam arti sosial budaya (Reijntjes, Haverkort and
Waters-Bayers, 1992).
Mengacu pada konsep sistem pertanian berkelanjutan tersebut,
tulisan ini dimaksudkan untuk mengulas perkembangan hasil-hasil penelitian dan
pengembangan terbaru dalam pemanfaatan mikroorganisme berguna untuk menekan
degradasi lingkungan sehingga keberlanjutan usaha tani dapat dijamin.
Pemanfaatan mikroorganisme secara optimal diharapkan dapat mengeliminasi atau
setidaknya mengurangi penggunaan masukan tak terbarukan dalam sistem pertanian
di Indonesia.
EKOLOGI MIKORIZA
Mikoriza adalah merupakan
asosiasi simbiotik antara akar tanaman dengan jamur. Secara umum mikoriza di
daerah tropika tergolong ke dalam dua tipe yaitu ektomikoriza (ECM) dan
endomikoriza/arbuscular mycorrhiza (AM).
Jamur ektomikoriza pada umumnya tergolong ke dalam kelompok Ascomysetes dan
Basidiomycetes. Asosiasi simbiotik antara akar tanaman dengan jamur mikoriza
tersebut menyebabkan terbentuknya luas serapan yang lebih besar dan lebih mampu
memasuki ruang pori yang lebih kecil sehingga meningkatkan kemampuan tanaman
untuk menyerap unsur hara, utamanya unsur hara yang relatif tidak mobil seperti
P, Cu, dan Zn. Selain itu, juga menyebabkan tanaman lebih toleran terhadap
keracunan logam, serangan penyakit khususnya patogen akar, kekeringan, suhu
tanah yang tinggi, kondisi pH yang tidak sesuai serta cekaman pada saat
pemindahan tanaman (Munyanziza, Kehri, and Bagyaraj, 1997). Ektomikoriza di
daeah tropika dicirikan oleh keragaman spesies yang sangat tinggi. Di Asia tenggara,
keragaman ektomikoriza yang sangat tinggi umumnya ditemukan pada
Dipterocarpaceae (Smits cit
Munyanziza et al., 1997). Sedangkan
AM terdapat pada sebagian besar hutan tropika, tanaman tahunan dan rumputan
serta pada hampir semua tanaman pertanian. Peningkatan pertumbuhan tanaman yang
berasosiasi dengan mikoriza terutama melalui peningkatan serapan P, disamping
melalui mekanisme lainnya (Howeler et al.
cit Munyanziza et al., 1997).
Endomikoriza pada umumnya termasuk ke dalam ordo Glomales
(Zygomycetes), yang terbagi ke dalam subordo Glominae dan Gigasporinae. Di
dalam membandingkan antar kedua kelompok tersebut lebih bermanfaat apabila
dilakukan pembandingan efektivitas antar isolat murni daripada pembandingan
klasifikasinya (Morton cit Jarstfer
and Sylvia, 1993). Asosiasi simbiotik antara jamur AM dengan tanaman inang
meyebabkan perubahan morfologi akar yang berbeda dibandingkan dengan asosiasi
antara akar dengan ECM. Akar yang tak berpigmen jika dikolonisasi AM akan
menjadi kuning karena adanya senescence
arbuskel.
Kondisi lingkungan tanah yang cocok untuk perkecambahan biji
juga cocok untuk perkecambahan spora AM. Demikian pula kondisi edafik yang
dapat mendorong pertumbuhan akar juga sesuai untuk perkembangan hifa.
Pertumbuhan hifa tidak dipengaruhi oleh kadar P dalam larutan, namun
dipengaruhi oleh kadar P dalam jaringan tanaman inang, eksudat akar dan CO2
(Becard and Piche cit Jarstfer and
Sylvia, 1993). Jamur AM mempenetrasi epidermis akar melalui tekanan mekanis dan
aktivitas enzim, yang selanjutnya tumbuh menuju korteks. Pertumbuhan hifa
secara eksternal terjadi jika hifa internal tumbuh dari korteks melalui
epidermis. Pertumbuhan hifa secara eksternal tersebut terus berlangsung sampai
tidak memungkinkan terjadinya pertumbuhan lagi. Bagi jamur mikoriza, hifa
eksternal berfungsi mendukung struktur reproduksi serta untuk transportasi
karbon dan hara lainnya ke dalam spora, selain fungsinya untuk menyerap unsur
hara dari dalam tanah untuk digunakan oleh tanaman.
Di dalam jaringan akar, mikoriza membentuk arbuskel yang
berfungsi sebagai tempat pertukaran antara jamur mikoriza dengan akar tanaman
inang. Selain itu, beberapa AM juga dapat membentuk vesikel yang terbentuk
melalui penggelembungan hifa terminal. Pertumbuhan hifa, pembentukan dan senescence arbuskel serta pembentukan
vesikel berhubungan langsung dengan pertumbuhan akar (Buwalda et al. cit Jarstfer and Sylvia, 1993).
Proporsi akar yang dikolonisasi oleh jamur mikoriza dipengaruhi oleh interaksi
antara kondisi fisiologis akar pada saat jamur AM menginfeksi dengan dinamika
pertumbuhan akar setelah dikolonisasi. Peningkatan pertumbuhan akar yang
disebabkan oleh lebih tersedianya unsur hara tidak menyebabkan penurunan
panjang akar yang dikolonisasi, tetapi jarak waktu antara pertumbuhan akar
dengan kolonisasi dapat menyebabkan penurunan persentase kolonisasi.
Ektomikoriza meliputi
asosiasi yang sangat beragam dan melibatkan banyak spesies jamur. Jamur ECM
pada umumnya tergolong ke dalam kelompok Ascomycetes dan Basidiomycetes (Trappe
cit O'Dell, Castellano, and Trappe,
1993). Jamur ECM mudah dikenali tanpa melalui pewarnaan. Hifa ECM tumbuh
disekitar dan diantara epidermis dan korteks yang disebut dengan Hartig net, yang tidak merusak akar.
Jamur EM menunjukkan bermacam-macam derajad spesifitas terhadap
tanaman inang. Banyak yang dapat berasosiasi dengan bermacam-macam inang dan
sebagian lainnya hanya dapat berasosiasi dengan inang yang spesifik. Adanya ECM
menyebabkan tanaman inang mampu melakukan transpirasi pada potensial air yang
lebih rendah sehingga fotosintesis dapat berlangsung lebih efisien. Transpirasi
dikendalikan oleh kebutuhan evaporasi (evaporative
demand), pembukaan stomata dan potensial air. Fungi tidak dapat
mempengaruhi kebutuhan evaporasi, tetapi dapat mempengaruhi pembukaan stomata.
Hal ini disebabkan oleh meningkatnya aliran karbon ke akar yang bermikoriza
akan menunda kejenuhan CO2 di dalam mesofil, sehingga menunda
penutupan stomata. Selain itu, hifa jamur mikoriza memiliki akses yang lebih
baik dengan meningkatnya volume tanah yang dapat dieksploitasi serta lebih
tingginya kemampuan hifa untuk memasuki pori yang lebih kecil. Dengan demikian
absorbsi air dapat terjadi diluar zona perakaran (Dosskey at al. cit O'Dell et al.,
1993). Selain meningkatkan serapan air, ECM juga memperkuat serapan unsur hara,
utamanya yang tidak mobil, sedangkan serapan logam-logam beracun dikurangi
(Schramm cit O'Dell et al., 1993). Jamur mikoriza juga
meningkatkan ketersediaan N dari sumber organik bagi tanaman (Abuzinadah dan
Read cit O'Dell et al., 1993) serta mensuplai tanaman inang dengan senyawa
pendorong pertumbuhan, seperti vitamin. Pemahaman tentang interaksi antara
mikroorganisme akan sangat terbantu oleh pemahaman tentang ekologinya, karena
selain interaksi antar mokroorganisma, juga terjadi interaksi dengan
lingkungannya. Seperti telah disinggung di atas, mikoriza yang penting di
daerah tropik adalah AM (endomikoiza) dan ektomikoriza (ECM).
EKOLOGI BAKTERI
Bakteri merupakan mikroorganisme yang dapat bermanfaat bagi tanaman,
antara lain melalui penyediaan unsur hara N dengan cara menambatnya dari udara
(kelompk rhizobia), penyediaan unsur hara P melalui pelarutan unsur P dari
bentuk yang tidak tersedia bagi tanaman menjadi bentuk yang tersedia, antara
lain melarutkan Al-P, Fe-P, Ca-P dan mineralisasi P dalam bahan organik
(fitat). Selain itu, bakteri juga dapat menghasilkan faktor tumbuh yang
berpengaruh positif terhadap tanaman. Namun demikian, beberapa jenis bakteri
dapat merugikan tanaman antara lain bakteri penyebab penyakit, dan bakteri
pesaing yang mengimobilisasi unsur hara dan pesaing dalam penyerapan air.
Dalam kondisi tanpa tanaman inang, rhizobia (Rhizobium dan Bradyrhizobium) sama dengan bakteri lainnya yang ada di dalam
tanah. Dalam keadaan hidup bebas, rhizobia dihadapkan pada kondisi fisik,
kimia, dan biologi yang terjadi di dalam tanah, serta harus berkompetisi dengan
organisme lainnya untuk memperoleh sumber energi, hara dan kebutuhan hidup
lainnya. Bakteri di dalam tanah harus mampu hidup, berkembang dan berkompetisi
agar tetap dapat bertahan. Lingkungan mikro tanah dimana bakteri harus hidup
tersebut mempunyai karakteristik pH, Eh, suhu, komposisi atmosfir, maupun
ketersediaan air yang sangat beragam dan dinamis serta berbeda antara kondisi
pada rizosfer dengan bulk soil
(Kilham, 1999; Metting, 1993; Bolton et
al., 1993). Jika bertemu dengan akar dari tanaman inang yang reseptif,
rhizobia memperoleh kelebihan, karena mempunyai kemampuan untuk menginfeksi dan
memasuki akar, dan selanjutnya bekerjasama dalam pembentukan bintil agar dapat
berfungsi menambat N. Pemahaman tentang faktor ekologi yang mengendalikan
tanggapan terhadap inokulasi legum akan menuntun untuk melakukan seleksi
terhadap produk baru, dan pada saat yang sama memperbaiki model kuantitatif untuk
menduga manfaat dan biaya inokulasi pada kondisi lingkungan yang berbeda-beda
(Keyser, Somasegaran and Bohlool,
1993).
Kondisi lingkungan
yang dapat menimbulkan masalah bagi rhizobia adalah tanah marginal dengan curah
hujan rendah, suhu ekstrim, tanah masam dengan status hara rendah, dan tanah
yang rendah kemampuan retensi airnya. Rhizobia memiliki variasi toleransi
terhadap faktor-faktor utama tersebut, sehingga seleksi untuk memperoleh strain
yang terbaik perlu didorong. Keyzer dengan kelompok kerjanya telah berhasil
memperoleh strain yang toleran kemasaman maupun aluminium serta mampu membentuk
bintil lebih banyak dibandingkan dengan strain yang peka. Pengaruh faktor
abiotik yang spesifik, seperti kadar bahan organik dan liat, pH dan kejenuhan
basa jauh kurang penting dibandingkan dengan pengaruh interaktifnya. Dari hasil
penelitian di banyak tempat yang telah dilaporkan oleh banyak peneliti,
diketahui bahwa rhizobia eksotik jika diaplikasikan pada tanah tidak steril,
ukuran dan populasinya sering menurun secara tajam (Keyser et al., 1993).
Bakteri penambat N
mempunyai andil yang sangat besar terhadap penyediaan unsur hara N bagi
tanaman. Secara global fiksasi N yang dilakukan oleh legum merupakan sumber
utama N yang ada di biosfer, meskipun perkiraan tentang jumlah aktualnya sangat
beragam. Di daerah tropik, legum merupakan bagian integral dari ekosistem
hutan, padang rumput dan pertanian. Untuk memecahkan masalah kemiskinan,
mengimbangi pertumbuhan populasi penduduk dan memperbaiki standar hidup, maka
petani di daerah tropik harus meningkatkan produksinya tanpa meningkatkan
masukan. Sistem pertanian dengan masukan tinggi seperti di negara maju kiranya
kurang sesuai untuk daerah tropika. Proses biologi mampu meningkatkan
produktivitas, mengurangi kehilangan tanah, dan memperbaiki kondisi edafik yang
buruk. Pertimbangan penting dalam optimasi fiksasi N melalui simbiosis legum
dengan rhizobia adalah tanggapan dari simbion mikro tersebut dan bintil
terhadap dinamika lingkungan di dalam tanah. Pemahaman yang baik tentang
ekologi rhizobia adalah krusial untuk memperoleh keberhasilan inokulasi
(Keyser, et al., 1993).
Meskipun penambatan N secara biologi bukan monopoli bakteri,
namun peranan bakteri adalah sangat besar utamanya yang berasosiasi dengan
legum, meskipun peranan Frankia,
Cyanobacteria, dan penambat N yang hidup bebas dapat menambat N dalam
jumlah banyak pada kondisi spesifik. Oleh karena itu, studi tentang bakteri
penambat N utamanya yang bersimbiosis dengan legum, telah banyak dilakukan.
Bakteri penambat N yang berasosiasi dengan legum mempunyai kapasitas produksi N
yang lebih tinggi dibandingkan lainnya. Seperti halnya mikroorganisme lain,
bakteri penambat N dipengaruhi oleh kondisi fisik, kimia dan biologi dari
lingkungan, dan harus berkompetisi dengan mikroorganisme lainnya untuk
memperoleh faktor tumbuh yang terbatas. Bakteri yang berasosiasi simbiotik
dengan tanaman legum, pembentukan bintilnya bersifat spesifik. Melalui asosiasi
simbiotik tersebut bakteri memperoleh sumber energi dan tempat tumbuh yang
lebih baik, sedangkan tanaman akan memperoleh unsur hara N dan faktor tumbuh,
sehingga keduanya memperoleh manfaat dari asosiasi tersebut (Kahindi, Woomer,
George, Moreira, Karanja and Giller, 1997). Rhizobium dan Bradyrrhizobium
japonicum mempunyai toleransi yang rendah terhadap cekaman yang disebabkan oleh
pH rendah pada tanah yang pelapukannya lanjut, tetapi beradaptasi cukup baik
pada kondisi semiarid (Woomer cit
Kahindi et al., 1997).
Selain bakteri penambat N, terdapat beberapa macam bakteri
pelarut fosfat yang mempunyai peranan sangat besar pula dalam membantu
penyediaan unsur hara bagi tanaman. Bakteri pelarut fosfat mampu merubah
bentuk-bentuk fosfat yang tidak tersedia bagi tanaman menjadi bentuk terlarut
sehingga tersedia bagi tanaman, antara lain melarutkan fosfat yang terikat oleh
aluminium, besi maupun kalsium serta mampu memineralisasi fosfat organik,
misalnya fitat. Bakteri pelarut fosfat tersebut antara lain adalah Azospirillum spp., Bacillus spp., Pseudomonas spp.,
Enterobacter spp. (Toro, Azcon and
Herrera, 1996). Mengingat keberadaan
bakteri pelarut fosfat tersebut di dalam tanah dipengaruhi oleh kondisi
biologi, fisik maupun kimia tanah, maka beberapa penelitian telah dilakukan
untuk mengetahui pengaruh interaksi antara bakteri pelarut fosfat tersebut
dengan mikoriza.
Terdapat jenis bakteri lainnya yang juga bermanfaat bagi
tanaman, yaitu bakteri penghasil faktor tumbuh atau plant growth-promoting rhizobacteria (PGPR) yang dapat menghasilkan
senyawa pendorong pertumbuhan antara lain biotin, tiamin, niacin, pantotenat,
kolin, inositol, piridoksin, p-amino
benzoic acid, n-methyl nicotinic acid (Bolton, Fredrickson and Elliot,
1993), GA, sitokinin dan IAA (Azcon, 1993). Bakteri penghasil faktor tumbuh
antara lain adalah Pseudomonas cepacia,
P. aeruginosa, P. fluorescens, dan P.
putida (Germida and Walley, 1996). Interaksi akar dengan rhizobia terjadi
pada tingkat gen, yaitu melalui pemberian sinyal untuk mengaktifkan gen yang
bertanggung jawab pada simbiosis yang terjadi pada tahap awal infeksi.
Sayangnya pengetahuan tentang faktor lingkungan yang mempengaruhi tahap infeksi
tersebut masih sangat sedikit. Proses infeksi barangkali merupakan tahap yang
paling peka cekaman lingkungan, utamanya cekaman kemasaman dan salinitas. Telah
banyak peneliti yang menunjukkan adanya kompetisi antar rhizobia dalam
mengokupansi akar dan membentuk bintil. Setelah legum dinfeksi oleh suatu
strain rhizobia maka infeksi berikutnya akan sangat rendah, bahkan jika dipakai
strain yang sama juga akan terjadi penurunan yang tajam dari infeksi kedua
tersebut (Keyser et al., 1993).
STUDI PEMANFAATAN MIKORIZA
DENGAN BAKTERI SECARA BERSAMA
Dalam rangka
pemanfaatan mikroorganisme untuk membantu peningkatan pertumbuhan dan produksi
tanaman, telah banyak dilakukan studi inokulasi ganda antara dua kelompok
organisme yaitu mikoriza dan bakteri penambat N, bakteri pelarut fosfat dan
bakteri penghasil faktor tumbuh, baik yang dilakukan secara in vitro, dalam tanah steril, ataupun di
lapangan. Pengaruh interaksi tersebut
perlu dipertimbangkan karena asosiasi antara tanaman, mikoriza dan bakteri,
tidak hanya berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman, tetapi juga
berpengaruh terhadap fisiologi ketiga organisme tersebut. Oleh karena itu untuk
memperoleh manfaat yang maksimum pada pertumbuhan tanaman dari kedua organisme
yang diinokulasikan tersebut, pemahaman interaksi antar keduanya, terutama pada
kondisi tanah tidak steril, sangat diperlukan. Mengingat interaksi antar
organisme tersebut sangat spesifik, tergantung spesies/strain bakteri,
spesies/strain jamur mikoriza, spesies/kultivar tanaman dan lingkungan, maka
pemahaman interaksi yang sangat spesifik tersebut dapat menjadi kunci
keberhasilan pemanfaatan mikoriza dan bakteri secara bersamaan. Dalam bab ini disajikan
interaksi antara mikoriza dengan bakteri penambat N, bakteri pelarut fosfat dan
bakteri penghasil faktor tumbuh.
Inokulasi Jamur Mikoriza dengan
Bakteri Penambat N
Penelitian lapangan
inokulasi G. mosseae pada tanaman
kedelai telah dilakukan oleh Ganry, Diem and Dommergues (1982). Hasil
penelitian mereka menunjukkan bahwa inokulasi G. mosseae menyebabkab berkurangnya serapan N asal pupuk oleh
tanaman kedelai. Penurunan serapan N asal pupuk tersebut terjadi karena
meningkatnya serapan N asal bakteri. Fenomena tersebut menunjukkan adanya
sinergi oleh mikoriza dalam fiksasi N dari udara. Dari analisis jaringan
tanaman juga tampak adanya peningkatan unsur N dan P sebagai akibat inokulasi
jamur VAM tersebut. Peningkatan serapan hara tersebut selanjutnya berpengaruh
terhadap peningkatan indeks panen tanaman kedelai.
Adanya interaksi antara jamur AM (G. mosseae) dengan bakteri penambat N (Rhizobium) pada tanaman alfalfa
(Medicago sativa) dilaporkan oleh
Azcon and Al-Atrash (1997). Bobot kering alfalfa
dan toleransinya terhadap salinitas tanah meningkat jika diinokulasi G. mosseae. Selain itu adanya mikoriza
juga menyebabkan meningkatnya pembentukan bintil oleh Rhizobium. Pada salinitas rendah maupun tinggi, pembentukan bintil
pada tanaman yang diinokulasi jamur mikoriza lebih tinggi daripada yang tidak
diinokulasi jamur mikoriza. Hal ini terjadi karena adanya perlindungan secara
fisiologis oleh mikoriza terhadap bakteri penambat N tersebut, sehingga bakteri
lebih tahan terhadap salinitas yang lebih tinggi. Mekanisme perlindungan
tersebut terjadi melaui akumulasi solute
atau melalui pengaturan laju fotosintesis. Pada salinitas lebih tinggi, fiksasi
N oleh bakteri tidak dapat berlangsung dengan kapasitas penuh, namun demikian
tanaman masih mampu memenuhi kebutuhan unsur N tersebut melalui penyerapan yang
lebih besar dari larutan tanah karena adanya hifa eksternal dari mikoriza. Hal
ini menunjukkan bahwa tanaman bermikoriza lebih mampu memanfaatkan unsur hara
yang tersedia di dalam tanah dibandingkan dengan tanaman tidak bermikoriza.
Kajian simbiosis segitiga (tripartite)
antara jamur mikoriza (Glomus mosseae, G.
fasciculatum, G. macrocarpum, Gigaspora gilmorei, G. margarita, Scutellospora
calospora dan Endogone duseii)
dengan bakteri penambat N (Bradyrhizobium
sp. (vigna) strain S 24) dan tanaman Vigna
radiata dilaporkan oleh Saxena, Rathi and Tilak (1997). Hasil penelitian mereka menunjukkan
bahwa Bradyrhizobium sp. (vigna) strain S 24 berinteraksi berbeda-beda
terhadap setiap spesies mikoriza dan menyebabkan terjadinya variabilitas dalam
pembentukan bintil. Hal ini menunjukkan adanya spesifitas antar organisme yang
berinteraksi tersebut. Bradyrhizobium sp.
(vigna) strain S 24 jika berpasangan dengan Glomus
mosseae, G. fasciculatum dan S.
calospora adalah kompatibel dan sinergis dan berdampak positif terhadap
tanaman, sedangkan jika berpasangan dengan E.
duseii tidak kompatibel dan berdampak negatif terhadap tanaman. Pengaruh
kedua mikroorganisme tersebut terhadap pertumbuhan tanaman adalah bersifat
tidak langsung. Hubungan langsung antara mikroorganisme dengan tanaman adalah
berupa meningkatnya pembentukan bintil, meningkatnya infeksi, serta
meningkatnya kolonisasi jamur mikoriza pada akar. Okupasi bintil dan kolonisasi
akar yang maksimum dicapai pada pasangan
Bradyrhizobium dengan Glomus mosseae, G. fasciculatum dan S. calospora. Aktivitas jamur mikoriza
dan bakteri saling terpengaruh satu sama lainnya. Jamur mikoriza yang
mengkolonisasi akar merubah fisiologi tanaman dan mampu merubah pola
eksudasinya. Eksudat yang dilepaskan tanaman mengandung sinyal pembentukan
bintil, sehingga strain rhizobia yang cepat dan memberi tanggapan terhadap
sinyal tersebut akan mendominasi dan menjadi strain yang paling kompetitif.
Bethlenfalvay, Andrade and Azcon-Aguilar (1997) juga menunjukkan bahwa
interaksi antara jamur mikoriza dengan bakteri dipengaruhi oleh adanya
mikroorganisme lain. Pertumbuhan tanaman meningkat dengan adanya G. mosseae. Jika tanaman bermikoriza
tersebut diinokulasi bakteri Bacillus sp.
maka pertumbuhan tanaman akan lebih terhambat dan kolonisasi jamur mikoriza
pada akar tertekan. Bacillus sp.
tersebut juga menekan pembentukan bintil oleh bakteri penambat N (Rhizobium).
Rahman and Parsons (1997) melaporkan hasil penelitian inokulasi
jamur mikoriza Glomus mosseae dan
bekteri Azorhizobium caulinodans pada
tanaman Sesbania rostrata. Kesimpulan
hasil penelitian tersebut adalah koiinokulasi jamur mikoriza bersama dengan
bakteri tersebut nyata menyebabkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik dibandingkan
dengan inokulasi jamur mikoriza saja atau bakteri saja. Hal ini menunjukkan
adanya sinergi antara jamur mikoriza dengan bakteri penambat N dalam
meningkatkan pertumbuhan tanaman inang. Serapan unsur hara N, P, dan K, yang
dicerminkan oleh kadar hara tersebut
dalam tanaman, nyata lebih tinggi pada perlakuan koinokulasi dibandingkan
dengan inokulasi tunggal. Infeksi jamur mikoriza pada akar diperkuat dengan
adanya bakteri penambat N yang diinokulasikan. Bethlenvalvay, Cantrel, Mihara
and Schreiner (1999) menyatakan bahwa pertumbuhan hifa dan kolonisasi akar oleh
jamur mikoriza meningkat jika tanaman kedelai diinokulasi dengan bakteri
penambat N, Bradyrhizobium japonicum.
Inokulasi Jamur Mikoriza dengan
Bakteri Pelarut Fosfat
Interaksi antara dua spesies
jamur mikoriza Glomus mosseae dan G. fasciculatum dengan bakteri pelarut
fosfat Azospirillum spp., Pseodomonas spp., Bacillus spp., dan Enterobacter
spp. pada tanaman legum Pueraria
phaseolides telah diteliti oleh Toro, Azcon and Herrera (1996). Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa secara umum simbiosis antara tanaman,
mikoriza dan bakteri pelarut fosfat tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan dan
serapan nutrisi tanaman. Kondisi tanaman yang lebih baik tersebut terjadi
karena bakteri yang diinokulasikan mampu melarutkan fosfat dari bentuk terikat
sehingga tidak tersedia bagi tanaman menjadi bentuk terlarut yang tersedia bagi
tanaman diikuti oleh serapan yang lebih intensif karena adanya mikoriza. Selain
itu, interaksi segi tiga yang positif tersebut terjadi karena adanya pengaruh
fisiologis yang berkaitan dengan asimilasi C. Pelarutan fosfat oleh bakteri
pelarut fosfat berlangsung karena bakteri pelarut fosfat melepaskan senyawa
organik (asam-asam organik) yang mampu membuat kation-kation pengikat P menjadi
tidak aktif karena berikatan dengan senyawa organik yang dilepaskan oleh
bakteri. Sifak asam organik tersebut lebih penting dibandingkan jumlahnya.
Efektivitas asam-asam organik tersebut tergantung pada kondisi lingkungan mikro
di dalam tanah. Jika tanah tempat tumbuh tanaman tersebut mempunyai
kation-kation yang sangat banyak dan mempunyai kemampuan fiksasi P sangat
besar, maka inokulasi bakteri pelarut fosfat tidak akan bermanfaat.
Jamur mikoriza yang
diinokulasikan mampu merubah fisiologi tanaman, sehingga eksudat tanaman
bermikoriza akan berbeda dengan tanaman yang tidak bermikoriza. Spesies jamur
mikoriza yang berbeda juga akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap
tanaman. Seperti halnya pada interaksi antara jamur mikoriza dengan bakteri
penambat N, interaksi antara jamur mikoriza dengan bakteri pelarut fosfat juga
bersifat spesifik, tergantung pada spesies/strain jamur mikoriza,
spesies/strain bakteri, dan spesies/kultivar tanamannya. Azospirillum sp. 1, Bacillus sp.
1 dan Enterobacter sp. 1 maupun sp.
2 berinteraksi positif dengan G. mosseae, sedangkan jika dengan G. fasciculatum interaksinya negatif. Pseudomonas sp. 1 jika berpasangan
dengan G. fasciculatum akan
berinteraksi positif, sebaliknya jika berpasangan dengan G. mosseae interaksinya netral (tidak berinteraksi).
Inokulasi Jamur Mikoriza dengan
Bakteri Penghasil Faktor Tumbuh
Beberapa spesies
bakteri yang berada di dalam tanah dapat meghasilkan faktor tumbuh yang mampu
meningkatkan pertumbuhan tanaman. Kelompok bakteri ini disebut plant growth-promoting rhizobacteria
atau disingkat PGPR (Kloepper, 1993). Interaksi antara PGPR Pseudomonas putida dengan jamur VAM Glomus fasciculatum pada tanaman clover telah diteliti oleh Meyer and
Linderman (1986). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa inokulasi P. putida atau jamur VAM dapat
meningkatkan pertumbuhan tajuk tanaman clover
dibandingkan kontrol tanpa inokulasi setelah tanaman berumur 12 minggu. Namun
demikian peningkatan bobot kering akar hanya nyata pada perlakuan inokulasi
bersama P. putida dengan jamur VAM.
Bobot kering tajuk yang diinokulasi P.
putida dengan jamur VAM nyata lebih baik dibandingkan dengan yang
diinokulasi P. putida saja atau jamur
VAM saja. Pembentukan bintil juga meningkat dengan inokulasi P. putida saja atau jamur VAM saja,
namun peningkatannya menjadi lebih besar lagi jika dilakukan koinokulasi dengan
keduanya. Inokulasi P. putida dapat
meningkatkan kolonisasi jamur VAM dari 7 % menjadi 23 % pada tanaman umur 6
minggu, namun ketika tanaman telah berumur 12 minggu, kolonisasinya sama dengan
tanaman yang tidak diinokulasi P. putida.
Populasi P. putida pada rizosfer
tidak berbeda antara tanaman yang diinokulasi jamur VAM maupun yang tidak
diinokulasi dengan jamur tersebut. Konsentrasi Fe, Cu, Al, Zn, Co dan Ni nyata
lebih besar pada tanaman yang diinokulasi P.
putida bersama dengan jamur VAM dibandingkan yang diinokulasi P. putida saja atau jamur VAM saja.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya interaksi positif antara P. putida, jamur VAM dan tanaman. Keunggulan
koinokulasi P. putida dan jamur VAM
terjadi karena : (a) infeksi jamur VAM lebih cepat terjadi karena adanya P. putida, sehingga manfaatnya simbiosis
tersebut lebih cepat diperoleh tanaman, (b) meningkatnya serapan unsur hara
yang dilakukan oleh mikoriza terjadi karena P.
putida mampu melarutkan beberapa unsur hara, (c) adanya kontribusi kedua
organisme tersebut terhadap pembentukan dan aktivitas pembentukan bintil.
Germida and walley
(1996) telah melakukan penelitian inokulasi PGPR Pseudomonas cepacia, P. aeruginosa, P. fluorescens dan P. putida pada tanaman gandum yang
bermikoriza dan mengevaluasi hasil interaksinya. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa indeks panen gandum dapat naik atau turun tergantung spesies PGPR
yang diinokulasikan. Hal ini disebabkan oleh adanya spesifitas yang tinggi
antara tanaman dengan genotipe bakteri dalam kaitan kemampuannya untuk
mendorong pertumbuhan. Kolonisasi akar oleh jamur mikoriza nyata dipengaruhi
oleh inokulasi PGPR. Secara umum, sebagian besar PGPR yang diuji menurunkan
kolonisasi akar oleh jamur mikoriza pada lokasi penelitian di Aberdeen,
sedangkan di lokasi Hagen PGPR yang diuji umumya meningkatkan kolonisasi akar.
Hal ini menunjukkan adanya pengaruh kuat dari lingkungan terhadap interaksi
tersebut.
Pengaruh ekstrak PGPR
terhadap jamur mikoriza pada tanaman Hedysarum
coronarium dilaporkan oleh Azcon (1993).
Ekstrak PGPR yang mengandung GA, sitokinin dan IAA ternyata mampu
meningkatkan pertumbuhan tanaman, baik yang bermikoriza maupun yang tidak
bermikoriza. Inokolasi jamur mikoriza Glomus mosseae nyata meningkatkan
pertumbuhan tanaman dibandingkan kontrol, namun peningkatan pertumbuhan tanaman
tersebut akan lebih tinggi lagi apabila ditambah dengan perlakuan ekstrak PGPR.
Selain berinteraksi
dengan ketiga kelompok bakteri yang bermanfaat bagi tanaman tersebut, mikoriza
yang berasosiasi dengan tanaman juga berinteraksi dengan bakteri pelapuk bahan
organik, bakteri penyebab penyakit dan kelompok bakteri lainnya. Namun karena
keterbatasan pustaka pendukung, maka interaksi dengan ketiga kelompok bakteri
yang disebut terakhir tersebut tidak disajikan dalam ulasan ini.
Faktor-faktor lingkungan yang
mempengaruhi keberhasilan inokulasi
Sebagai bagian dari
penghuni tanah, aktivitas kehidupan mikoriza maupun bakteri yang ada di dalam
tanah sangat dipengaruhi oleh lingkungan mikro tanah, termasuk di dalamnya
adalah interaksi antara kedua mikroorganisme tersebut. Lingkungan mikro tanah
adalah kondisi fisik dan kimia dimana sel, populasi dan komunitas berada pada
waktu tertentu. Lingkungan mikro tanah meliputi koloid tanah, kondisi diffuse double layer (DDL), ketersediaan
air, suhu, sinar, pH, Eh, kondisi fisik dan kimia larutan tanah, serta atmosfer
tanah. Bakteri dan jamur mikoriza yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman berada
pada rizosfer yang kondisinya berbeda dengan bulk soil. Kondisi lingkungan mikro sangat heterogen dan dinamik,
terutama disebabkan oleh dinamika air dan udara di dalam tanah yang dapat
berubah secara cepat, serta adanya aktivitas organisme itu sendiri (Metting,
1993).
Faktor lingkungan yang
paling banyak diteliti adalah status hara tanah karena pengaruh pemberian pupuk
yang bervariasi, baik jenis maupun dosisnya. Secara umum terdapat korelasi
negatif antara pemberian pupuk N dengan fiksasi N oleh bakteri penambat N dan
korelasi negatif antara pemberian pupuk P dengan kolonisasi akar oleh jamur
mikoriza. Dengan demikian, pemberian pupuk N maupun P cenderung mengurangi
interaksi antara jamur mikoriza dengan bakteri ditinjau dari responnya oleh
tanaman. Pemberian pupuk N cenderung menyebabkan penurunan proporsi N asal
fiksasi bakteri yang dimanfaatkan oleh
tanaman. Jika kadar unsur hara N maupun
P di dalam tanah sudah cukup tinggi karena pemberian pupuk, maka tanaman akan
lebih banyak memanfaatkan unsur hara asal pupuk tersebut (Ganry et al.,1982; Toro, et al., 1996).
Selain faktor-faktor
abiotik tersebut, interaksi antara jamur mikoriza dengan bakteri juga
dipengaruhi oleh faktor-faktor biotik, seperti kesesuaian antara mikroorganisme
yang diinokulasikan dengan tanaman inangnya (Ocampo, 1986; Fontenla,
Garcia-Romera and Ocampo, 1999; Schreiner and Betlenfalvay, 1996;
Bethlenfalvay, Cantrel, Mihara and Schreiner, 1999), adanya jamur lain
(MCAlliester, Garcia-Romera, Godeas and Ocampo, 1994; Meyer and Kinderman,
1986b, Calver, Barea, and Pera, 1992; Chu-Chou, Guo, An, Hendrix, Ferris,
Siegel, Dougherty and Burrus, 1992), adanya fauna pemangsa hifa mikoriza
(Klironomos and Moutoglis, 1999), sistem budidaya, seperti pola tanam,
pengolahan tanah, dan pengapuan (Hammel, Dalpe, Lapierre, Simard and Smith,
1996; Harikumar and Bagyaraj, 1996).
KESIMPULAN
Hasil-hasil penelitian
tersebut diatas menunjukkan bahwa beberapa mikroorganisme (jamur mikoriza dan
bakteri) dapat digunakan secara efektif dalam mengurangi penggunaan pupuk
buatan yang merupakan sumberdaya alam tak terbarukan. Penggunaan pupuk buatan,
apalagi jika dilakukan secara tidak bijaksana, dapat menyebabkan degradasi
lingkungan, baik pada lokasi yang diberi pupuk (on site) maupun di lokasi
lain/tempat akumulasi (off site). Substutusi fungsi pupuk buatan baik sebagian
atau secara keseluruhan akan mengurangi biaya produksi dan mengurangi degradasi
lingkungan, sehingga keberlanjutan sistem pertanian akan lebih terjamin,
utamanya pada ekosistem tropika basah di Indonesia yang sangat rentan terhadap
ketidaktepatan pengelolaan.
Jamur mikoriza, baik yang terolong dalam endomikoriza maupun
ektomikoriza mampu menggantikan fungsi pupuk buatan atau paling tidak mengurangi
volume penggunaannya. Meskipun terdapat beberapa spesies bakteri yang merugikan
tanaman, yaitu menjadi penyebab penyakit, atau pesaing unsur hara dan air;
cukup banyak spesies bakteri yang bermanfaat bagi tanaman, antara lain bakteri
penambat N, pelarut P, penghasil faktor tumbuh dan bakteri pelapuk bahan
organik. Pemanfaatan secara optimal jamur mikoriza dan bakteri yang bermanfaat
tersebut memerlukan pemahaman komprehensif tentang ekologinya, khususnya
ekologi pada rizosfer, dimana terjadi interaksi antara tanaman dengan
mikrorganisme tersebut. Pada rizosfer interaksi antar organisme dengan
organisme lain maupun dengan faktor-faktor abiotik lebih intensif dibandingkan
dengan bulk soil. Interaksi antara
jamur mikoriza dengan organisme lain yang sudah banyak diteliti umumnya
melibatkan jamur endomikoriza, sedangkan pada jamur ektomikoriza relatif masih
belum banyak hasil penelitian yang dipublikasikan. Secara umum jamur AM
berinteraksi positif dan bekerja secara sinergis dengan bakteri penambat N,
bakteri pelarut P, maupun dengan PGPR sehingga koinokulasi jamur AM dengan
ketiga kelompok bakteri tersebut lebih meningkatkan pertumbuhan tanaman
dibandingkan dengan inokulasi tunggal, meskipun beberapa kekecualian dari
generalisasi tersebut ditemukan. Peningkatan
pertumbuhan tanaman tersebut umumnya dikaitkan dengan penyediaan unsur hara
(khususnya N dan P) yang lebih baik pada perlakuan koinokulasi, sedangkan aspek
resistesi terhadap penyakit/hama sangat jarang dibahas.
DAFTAR PUSTAKA
Azcon,
R. 1993. Growth and nutrition of nodulated mycorrhizal and non-mycorrhizal Hedysarum coronarium as a result of
treatment with fractions from a plant growth-promoting rhizobacteria. Soil.
Biol. Biochem. 25 : 1037 1042.
Azcon, R
and F. El-Atrash. 1997. Influence of arbuscular mycorrhizae and phosphorus
fertillization on growth, nodulation and N2 fixation (15N)
in Medicago sativa at four salinity
levels. Biol. Fertil. Soils. 24 : 81 86.
Bethlenfalvay,
G.J., G. Andrade and C. Azcon-Aguilar. 1997. Plant and soil responses to
mycorrhizal fungi and rhizobacteria in nodulated or nitrate-fertillized peas (Pisum sativum L.). Biol. Fertil. Soils.
24 : 164 168.
Bethlenfalvay,
G.J., I.C. Cantrel, K.L. Mihara and R.P.
Schreiner. 1999. Relationships between soil aggregation and mycorrhizae as
influenced by soil biota and nitrogen nutrition. Biol. Fertil. Soils. 28 : 356
363.
Bolton,
Jr. H., J.K. Fredrickson and L.F. Elliot. 1993. Microbial ecology of the
rizosfeer. p. 27 64. In. F.B.
Metting Jr. (eds). Soil Microbial
Ecology. Application in Agriculural and Environmental Management. Marcel Decker
Inc. New York Basel Hongkong.
Calvet,
C., J.M. Barea and J. Pera. 1992. In vitro interactions between
vesicular-arbuscular mycorrhizal fungus Glomus
mosseae and saprophytic fungi isolated from organic substrates. Soil. Biol.
Biochem. 24 : 775 780.
Chu-Chou,
M., B. Guo, Z.Q. An, J.W. Hendrix, R.S. Ferris, M.R. Siegel, C.T. Dougherty and
P.B. Burrus. 1992. Suppression of mycorrhizal fungi in fescue by the Acremonium coenophialum endophyte. Soil.
Biol. Biochem. 24 : 633 637.
Fontenla,
S., Garcia-Romera, I. And J.A. Ocampo. 1999. Negative influenced of non-host
plants on the colonization of Pisum
sativum by the arbuscular mycorrhizal fungus Glomus mosseae. Soil. Biol. Biochem. 31 : 1591 1597.
Ganry,
F., H.G. Diem and Y.R. Dommergues. 1982. Effect of inoculation with Glomus mosseae on nitrogen fixation by
field grown soybeans. Plant and Soil. 68 : 321 329.
Giller,
K.E., M.H. Beare, P. Lavelle, A.M.N. Izac and M.J. Swift. 1997. Agricultural
intensification, soil biodiversity and agroecosystem fuction. Applied soil
Ecology 6 : 3 16.
Gremida,
J.J. and F.L. Walley. 1996. Plant
growth-promoting rhizobacteria alter rooting patterns and arbuscular
mycorrhizal fungi colonization of field-grown spring wheat. Biol. Fertil.
Soils. 23 : 113 120.
Hammel,
C., Y. Dalpe, C. Lapierre, R.R. Simard and D. Smith. 1996. Endomycorrhizae in
newly cultivated acidic meadow : Effects of three years of barley cropping,
tillage, lime, and phosphorus on root colonization and soil infectivity. Biol.
Fertil. Soils. 21 : 160 165.
Harikumar,
K. M. and D. J. Bagyaraj. 1996. Persintence of introduced Glomus mosseae intraradices in the field as influenced by repeated
inoculation and cropping system. Biol. Fertil. Soils. 21 : 184 188.
Jarstfer,
A.G. and D.M. Sylvia. 1993. Inoculum production and inoculation strategies for
vesicular-arbuscular mycorrhiza fungi. p. 349 378. In. F.B. Metting Jr. (eds).
Soil Miccrobial Ecology. Application in Agriculural and Environmental
Management. Marcel Decker Inc. New York Basel Hongkong.
Kahindi,
J.H.P., P. Woomer, T. George, F.M.D.S. Moreira, N.K. Karanja and K.E. Giller. 1997. Agricultural intensification,
soil biodiversity and agroecosystem fuction in the tropics : the role of
nitrogen-fixing bacteria. Applied soil Ecology 6 : 55 76.
Keyser,
H.H., P. Somasegaran and B.B. Bohlool. 1993. Rhizobial ecology and technology.
p. 205 224. In. F.B. Metting
Jr. (eds). Soil Miccrobial Ecology.
Application in Agriculural and Environmental Management. Marcel Decker Inc. New
York Basel Hongkong.
Kloepper,
J.W. 1993. Plant growth promoting rhizobacteria as biological control agents.
p. 225 274. In. F.B. Metting
Jr. (eds). Soil Miccrobial Ecology.
Application in Agriculural and Environmental Management. Marcel Decker Inc. New
York Basel Hongkong.
Kilham,
K. 1999. Soil Ecology. Cambridge University Press, Cambridge, UK, 242 p.
Klironomos,
J.N. and P. Moutoglis. 1999. Colonization of nonmycorrhizal plants by
mycorrhizal neighbours as influenced by the collembolon, Falsomia candida. Biol. Fertil. Soils. 29 : 277 281.
Lal, R.
and F.J. Pierce (1991). Soil Management for Sustainability. Soil. Sci. Soc.
Amer. p. 187.
Lal, R.
(1995). Sustainable Management of Soil
Resources in the Humid Tropics. United Nation University Press. Tokyo-New
York-Paris, p. 146.
MCAllister,
C.B, I. Garcia-Romera, A. Godeas and J. Ocampo. 1994. Interactions between Trichoderma koningii, Fusarium solani
and Glomus mosseae: effects on plant
growth, arbuscular mycorrhizas and the saprophyte inoculants. Soil. Biol. Biochem. 26 : 1363 1367.
Metting,
Jr. F.B. 1993. Structure and physiologycal ecology of soil microbial
communities. p. 3 26. In. F.B.
Metting Jr. (eds). Soil Miccrobial
Ecology. Application in Agriculural and Environmental Management. Marcel Decker
Inc. New York Basel Hongkong.
Munyanziza,
E., H.K. Kehri and D.J. Bagyaraj. 1997. Agricultural intensification, soil
biodiversity and agroecosystem fuction in the tropics : the role of mycorrhiza
in crops and trees. Applied soil Ecology
6 : 77 86.
Meyer,
J.R. and R.G. Linderman. 1986a. Response of subterranean clover to dual
inoculation with vesicular-arbuscular mycorrhizal fungi and a plant
growt-promoting bacterium, Pseoudomonas
putida. Soil. Biol. Biochem. 18 : 185 190.
Meyer,
J.R. and R.G. Linderman. 1986b. Selective influence on populations of
rhizosphere and rhizoplane bacteria and actinomycetes by mycorrhizas formed by Glomus fasciculatum. Soil. Biol.
Biochem. 18 : 191 196.
Ocampo,
J.A. 1986. Vesicular-arbuscular mycorrhizal infection of host and non-host
plants: effect on the growth responses of the plants and competition between
them. Soil. Biol. Biochem. 18 : 607 610.
ODell,
T.E., M.A. Castellano and J.M. Trappe. 1993. Biology and application of
ectomycorrhizal fungi. p. 379 416. In.
F.B. Metting Jr. (eds). Soil Miccrobial
Ecology. Application in Agriculural and Environmental Management. Marcel Decker
Inc. New York Basel Hongkong.
Rahman,
M.K. and J.W. Parsons. 1997. Effects of inoculation with Glomus mosseae, Azhorhizobium
caulinodans and rock phosphate on the growth of and nitrogen and phosphorus
accumulation in Sesbania Rostrata. Biol. Fertil. Soils. 25 : 47 52.
Reijntjer,
C., B. Haverkort and A. Water-Bayer (1992). Pertanian Masa Depan. Pengantar
untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. (Terjemahan). Kanisius, Jakarta, 270 hal.
Saxena,
A.K., S.K. Rathi and K.V.B.R Tilak. 1997. Differential effect of various
endomycorrhizal fungi on nodulating ability of green gram by Bradyrhizobium sp. (vigna) strain S24.
Biol. Fertil. Soils. 24 : 175 178.
Schreiner,
R.P. and G.J. Bethlenfalvay. 1996. Mycorrhizae, biocides, and biocontrol. 4.
Response of a mixed culture of arbuscular mycorrhizal fungi and host plant to
three fungicides. Biol. Fertil. Soils. 23 : 189 195.
Toro,
M., R. Azcon and R. Harrera. 1996. Effects on yield and nutrition of mycorrhizal
nodulated Pueraria pheseoloides
exerted by P-solubilizing rhizobacteria. Biol. Fertil. Soils. 21 : 23 29.