Re-edited
Copyright © 2000 Kamir
R. Brata
Makalah Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana - S3
Institut Pertanian
Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng
FALSAFAH SAINS UNTUK
PENYEMPURNAAN TEKNIK BUDI DAYA LORONG
(ALLEY
CROPPING) PADA LAHAN PERTANIAN BERLERENG
Oleh:
Nrp.:P02600003
I. PENDAHULUAN
Budidaya lorong (alley cropping) merupakan salah satu teknik
konservasi tanah dan air yang telah lama diperkenalkan untuk pengembangan sistem
pertanian berkelanjutan pada lahan kering, namun belum diterapkan secara meluas oleh petani. Beberapa kendala penerapan budidaya lorong
oleh petani secara meluas antara lain:
(1) lambatnya pertumbuhan barisan tanaman pagar (hedgerows)
pada lahan marginal, (2) kurang efektifnya fungsi barisan tanaman pagar untuk
menghambat aliran permukaan dan erosi, (3) sulitnya pemeliharaan dan penanganan
hasil pangkasan tanaman pagar, dan (4) terjadinya persaingan penyerapan air dan
unsur hara antara tanaman budidaya yang ditanam di lorong (alley)
dengan tanaman pagar.
Falsafah sains dapat mendorong ilmuwan secara jujur mengevaluasi kelebihan
dan kekurangan dari ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi yang telah
dikembangkan (Suriasumantri, 1988).
Dengan kemampuan daya nalarnya, secara teleologi ilmuwan berusaha
mencari keterangan yang dapat menerangkan mengapa kendala-kendala tersebut
terjadi (Nasoetion, 1988). Dengan
demikian ilmuwan terdorong untuk berfalsafah memikirkan kembali usaha
penyempurnaan-nya, dengan modifikasi teknik yang dapat mengatasi kendala
tersebut.
Makalah ini membahas apa dan mengapa teknik budidaya lorong perlu
disempurnakan (landasan ontologis), bagaimana usaha penyempurnaannya
dapat dilakukan (landasan epistemologis), serta manfaat usaha penyempurnaan
(landasan aksiologis).
Teknik budidaya lorong telah lama dikembangkan dan diperkenalkan sebagai
salah satu teknik konservasi tanah dan air untuk pengembangan sistem pertanian
berkelanjutan pada lahan kering di daerah tropika basah, namun belum diterapkan
secara meluas oleh petani (Juo, Caldwell, dan Kang, 1994). Pada budidaya lorong
konvensional, tanaman pertanian ditanam pada lorong-lorong di antara barisan
tanaman pagar yang ditanam menurut kontur.
Barisan tanaman pagar yang rapat diharapkan dapat menahan aliran
permukaan serta erosi yang terjadi pada areal tanaman budidaya, sedangkan
akarnya yang dalam dapat menyerap unsur hara dari lapisan tanah yang lebih
dalam untuk kemudian dikembalikan ke permukaan melalui pengembalian sisa
tanaman hasil pangkasan tanaman pagar.
Efektivitas budidaya lorong pada lahan pertanian berlereng miring dalam
pengendalian aliran permukaan dan erosi ditentukan oleh perkembangan tanaman pagar
serta jarak antar barisan tanaman pagar.
Pada awal penerapan budidaya lorong aliran permukaan dan erosi dapat
menerobos tanaman pagar yang belum tumbuh merapat, meskipun ditanam lebih dari
satu baris tanaman. Pada kondisi
demikian, tanaman pagar kurang efektif
dalam menghambat aliran permukaan dan menjaring sedimen yang terangkut,
sehingga dapat menghanyutkan pupuk dan bahan organik. Setelah tanaman pagar berkembang, persaingan
penyerapan air, unsur hara dan sinar matahari antara tanaman pagar dengan
tanaman budidaya dapat mengurangi produksi tanaman yang dibudidayakan.
Hasil penelitian Rachman,
Abdurachman, dan Haryono (1995) tentang sistem budidaya lorong pada tanah Eutropepts
Ungaran berlereng 10 - 15 %, menunjukkan bahwa setelah tahun ke-4 tanaman pagar
Kaliandra, Vetiver (Vetiveria zizanioides), dan Flemingia (Flemingia
congesta) masih menghasilkan jumlah aliran permukaan masing-masing
sebesar 2039, 1007, dan 470 m3/ha/tahun; meskipun tanaman pagar
tersebut ditanam dalam strip 2 baris tanaman.
Mereka melaporkan bahwa pertumbuhan tanaman pagar Teprosia (Tephrosia
vogelii) sangat buruk sehingga diganti dengan Vetiver. Ai Dariah, Suganda, Sujitno, Tala’ohu, dan
Sutrisno (1995) menggunakan sistem budidaya lorong untuk merehabilitasi lahan
semi kritis bervegetasi Alang-alang (Imperata cylindrica)
di Desa Jatiwangi, Garut. Budidaya
lorong dengan tanaman pagar Flemingia, Vetiver, dan Lamtoro (Leucaena
leucocephala) masing-masing masih menim-bulkan aliran pemukaan sebesar
15.8, 69.1, dan 24.1 m3/ha dalam bulan Februari 1994 (tahun ke-4)
dan menghasilkan erosi kumulatif masing-masing sebesar 4.1, 11.2, dan 1.9
ton/ha selama 6 bulan.
Persaingan sinar matahari oleh tajuk tanaman pagar dapat diatasi dengan
memangkas tajuk tanaman pagar secara teratur selama musim pertanaman komoditas
tanaman yang dibudidayakan di lorongnya, tetapi persaingan penyerapan air dan
unsur hara oleh akar tanaman pagar sulit dihindari karena terus berkembang menyebar di dalam tanah pada
areal tanaman budidaya. Sisa tanaman hasil pangkasan tanaman pagar disarankan
untuk dikembalikan sebagai mulsa disebarkan di antara barisan tanaman budidya,
sering dianggap sulit untuk dilakukan karena pangkasan cabang/ranting tanaman
pagar relatif lebih sulit mengatur penyebarannya.
Kelemahan-kelemahan yang mengakibatkan kesulitan teknis dalam penerapan dan
pemeliharaannya merupakan kendala bagi keberlanjutan dan penyebarluasan adopsi
teknologi budidaya lorong oleh petani.
Seringkali kegiatan pembinaan dalam penerapan teknologi konservasi tanah
dan air memerlukan biaya mahal diluar
kemampuan finansial petani sehingga bantuan pembiayaan yang dikeluarkan pada
saat penerapan teknologi tersebut akan menjadi sia-sia karena tidak dilanjutkan
oleh usaha pemeliharaan yang berkesinambungan.
Meskipun penerapan teknik budidaya lorong telah banyak dilaporkan dapat
mengurangi tingkat kerusakan lahan pertanian oleh erosi, etika ilmuwan
dapat memotivasi kemampuan menalarnya berfalsafah memikirkan pengembangan sains
bagi penyempurnaan teknologi yang dapat memudahkan pemakai teknologi memperoleh
keuntungan maksimal akibat mengadopsi teknologi tersebut.
Menurut Siswomartono dan
Wirodidjojo (1990), kendala utama dalam memotivasi petani untuk menerapkan paket
teknologi konservasi yang diperkenalkan meliputi: keterbatasan kemampuan
finansial petani untuk menerapkan dan memelihara tindakan konservasi, serta
tingkat pengetahuan dan keterampilan petani yang rendah. Untuk mengatasi kendala tersebut, mereka menyarankan
perlu dikembangkannya paket teknologi konservasi yang lebih tepat guna, yaitu
secara teknik lebih sederhana, lebih ekonomis, dapat diterima masyarakat,
tetapi lebih efektif dapat mengendalikan aliran permukaan dan erosi.
Menurut El-Swaify (1991), pengendalian aliran permukaan dan erosi harus
diusahakan melalui peningkatan laju peresapan air ke dalam tanah, pemanfaatan
sisa tanaman yang optimal untuk melindungi tanah dan memperbaiki kondisi fisik,
kimia dan biologis tanah. Pemanfaatan
sisa tanaman sebagai mulsa vertikal telah lama dikembangkan oleh Spain dan
McCune (1956) di Amerika Serikat.
Beberapa hasil penelitian yang dilakukan pada berbagai jenis tanah
menunjukkan bahwa berbagai macam sisa tanaman dapat dimanfaatkan sebagai mulsa
vertikal untuk memperbaiki sifat fisik, meningkatkan laju infiltrasi dan
produktivitas lahan (Parr,1959 ; Kingsley dan Shubeck, 1964 ; Fairbourn dan
Gardner, 1974 ; Rama Mohan Rao, Ranga Rao, Ramachandram dan Agnihotri, 1978).
Untuk mempermudah penerapan mulsa vertikal, Brata (1993) berusaha
memodifikasi teknik mulsa vertikal dengan memanfaatkan saluran teras gulud
untuk mengumpulkan sisa tanaman sebagai mulsa vertikal (Gambar 1). Hasil penelitian Brata (1995a, 1995b)
menunjukkan bahwa modifikasi teknik mulsa vertikal tersebut mampu dengan nyata
menurunkan jumlah aliran permukaan dan erosi, serta kehilangan hara yang
ditimbulkannya; dibandingkan dengan teras gulud dan mulsa konvensional. Modifikasi teknik mulsa tersebut telah
berhasil diterapkan untuk rehabilitasi lahan pada proyek Kaji Tindak Usaha
Pertanian Lahan Kering di Desa Sejuah, Kecamatan Kembayan, Kabupaten Sanggau -
Kalimantan Barat (Tim Lembaga Penelitian IPB, 1995) dan Proyek Rehabilitasi
Lahan dan Konservasi Tanah di Unit Pemukiman Transmigrasi Bekambit SP 2,
Kabupaten Kota Baru - Kalimantan Selatan (Fakultas Pertanian IPB, 1996).
|
Gambar 1. Modifikasi Teras Gulud
Dengan Mulsa Vertikal
Berdasarkan beberapa hasil penelitian dan pengamatan pada kaji tindak
(action research) tersebut, pada beberapa kesempatan presentasi teknik mulsa
vertikal, Brata (1995c) menyarankan perlu digunakannya teknik mulsa vertikal
untuk penyempurnaan budidaya lorong (Gambar 2).
a |
b |
Gambar
2. Budidaya lorong konvensional (a) dan
dengan mulsa vertikal (b)
Barisan tanaman pagar berperakaran dalam yang ditanam pada guludan diharapkan
dapat memperkuat guludan untuk menahan aliran permukaan dan menyerap unsur hara
dari subsoil untuk pendaur-ulangan unsur hara yang lebih efisien. Penanaman
tanaman pagar pada guludan juga dapat berfungsi ganda, antara lain: (1) untuk
memperkuat guludan, (2) menyerap kelebihan air dan unsur hara yang terkumpul di
saluran untuk menghasilkan bahan organik, serta (3) mengurangi volume perakaran
tanaman pagar yang dapat menjangkau dan bersaing dalam pengambilan air dan
unsur hara dengan tanaman budidaya.
Sedangkan saluran bermulsa sangat
penting untuk menampung dan meresapkan air aliran permukaan, sekaligus dapat
membatasi persaingan air dan unsur hara oleh perkembangan akar tanaman pagar ke
bidang pertanaman budidaya. Saluran juga
berfungsi untuk mengumpulkan sisa tanaman dan hasil pangkasan tanaman
pagar. Saluran teras gulud lebih
didayagunakan untuk tempat pengomposan, sekaligus dapat menambah permukaan
resapan yang berfungsi ganda yaitu untuk memperlancar drainase dari bidang
pertanaman di bagian hulu/atas dan untuk mengairi bidang pertanaman di bagian
hilir/bawah.
Pemanfaatan sisa tanaman sebagai mulsa vertikal untuk mengisi saluran teras
gulud dapat mempunyai manfaat ganda, antara lain: (1) sebelum mengalami pelapukan sisa tanaman
dapat mencegah longsornya dinding saluran serta melindungi permukaan resapan
dari tumbukan air hujan dan penyumbatan pori oleh sedimen halus, (2) aktivitas
organisme yang membantu proses pelapukan sisa tanaman bahkan dapat memperbaiki
kondisi fisik tanah sekitar saluran dan meningkatkan daya resap saluran, (3)
unsur hara yang dilepaskan selama proses pengomposan akan diserap oleh tanaman
pagar yang kemudian dapat dikembalikan dalam bentuk sisa tanaman, (4) campuran
kompos dan sedimen yang tertampung dalam
saluran cukup gembur sehingga mudah diangkat dari saluran untuk dikembalikan ke
bidang pertanaman setelah panen, dan (5) saluran yang sudah dikosongkan dapat
digunakan untuk mengumpulkan sisa tanaman, sehingga dapat memudahkan persiapan
lahan untuk musim tanam berikutnya (Brata, 1999).
Tindakan
penyempurnaan budidaya lorong yang direncanakan lebih bersifat memaksimalkan
fungsi saluran dan guludan untuk mempermudah pengomposan sisa tanaman,
meningkatkan peresapan air, mengurangi persaingan air dan unsur hara, serta
mempermudah pemeliharaan saluran dan guludan.
Beberapa tambahan keuntungan tersebut diharapkan dapat mempermudah dan
meningkatkan efisiensi pemanfaatan sisa tanaman serta upaya konservasi air dan
unsur hara untuk mencegah erosi, banjir dan pencemaran perairan.
Untuk mengevaluasi manfaat penyempurnaan teknik budidaya lorong tersebut
diperlukan penelitian jangka panjang dalam petak permanen untuk mempelajari dan
memantau dampak teknik budidaya lorong yang disempurnakan terhadap besarnya
aliran permukaan dan erosi, pertumbuhan dan produksi tanaman, serta peubah
sifat-sifat fisik, kimia dan biologi; dibandingkan dengan teknik budidaya
lorong konvensional. Untuk menjamin terpeliharanya
petak permanen tersebut maka penelitian ini direncanakan akan dilakukan di
Kebun Percobaan Fakultas Pertanian IPB di Cikabayan yang telah dilengkapi
dengan stasiun pengamatan iklim yang memadai.
Dari lokasi yang strategis di dekat Kampus Institut Pertanian Bogor dan
tidak jauh dari Ibu Kota Negara, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat tambahan yang sangat penting yaitu menyediakan sarana peragaan bagi
pendidikan, pelatihan dan obyek kunjungan bagi kontak tani dan transmigran
teladan.
V. DAFTAR PUSTAKA
Ai Dariah,
H. Suganda, E. Suyitno, S.H. Tala’ohu, dan N. Sutrisno. 1995.
Rehabilitasi lahan Alang-alang dengan sistem budidaya lorong di
Pakenjeng, Kabupaten Garut. Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan
Agroklimat. Bidang Konservasi Tanah dan
Air, dan Agroklimat. pp. 31-41.
Brata,
K.R. 1993. Teknik Konservasi Tanah dan Air Tepat Guna
Untuk Rehabilitasi Lahan. Bahan Kuliah
Pembekalan KKN Mahasiswa Fakultas Pertanian IPB. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB, Bogor.
Brata,
K.R. 1995a. Efektivitas mulsa vertikal sebagai tindakan
konservasi tanah dan air pada pertanian lahan kering di Latosol Darmaga. J. Il. Pert.
Indon 5(1):13-19.
Brata,
K.R. 1995b. Peningkatan efektivitas mulsa vertikal sebagai tindakan konservasi tanah dan air pada
pertanian lahan kering dengan pemanfaatan
bantuan cacing tanah. J. Il. Pert. Indon 5(2):69-75.
Brata,
K.R. 1995c. Teknik mulsa vertikal
sebagai salah satu alternatif dalam membantu penyiapan lahan tanpa bakar di
daerah transmigrasi. Makalah disampaikan
pada Diskusi Teknis Staf Direktorat Pendayagunaan Lingkungan, di Dept. Trans. dan PPH,
Brata,
K.R. 1999. The utilization of plant residues as vertical
mulch to control runoff, erosion, and nutrient losses from sloping upland
agriculture. Proc. Seminar Toward Sustainable Agriculture in Humid Tropics Facing 21st
Century. Bandar Lampung,
El-Swaify,
Fairbourn, M.L. and H.R.
Gardner. 1974.
Field use of microwatersheds with vertical
mulch. Agron J. 66:740-744.
Juo, A.S.R., J.O.
Caldwell, and B.T. Kang. 1994. Place for alley cropping
in sustainable agriculture in the humid tropics. Trans.
15th World Congr. Soil
Kingsley, Q.S. and
F.E. Shubeck. 1964. The effects of organic trenching on runoff. J. Soil and Water Conserv.
19:19-22
Nasoetion, A.H. 1988. Pengantar ke Filsafat
Sains. Litera
Antar Nusa. Bogor.
Parr,
J.F. 1959. Effects of vertical mulching and subsoiling on soil physical properties. Agron
J. 51:412-414.
Rachman, A., A. Abdurachman,
dan Haryono. 1995. Erosi dan perubahan
sifat tanah dalam sistem pertanaman
lorong pada tanah Eutropepts, Ungaran. Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian
Tanah dan Agroklimat. Bidang Konservasi Tanah dan Air, dan Agroklimat. pp. 17-30.
Rama Mohan Rao, M.S., Ranga Rao, V.,
Ramachandram, M. and R.C. Agnihotri. 1978. Effects of vertical mulch on moisture
conservation and yield of sorghum in Vertisols. Agric. Water Management.
1:333-342.
Siswomartono, D. and S. Wirodidjojo. 1990. Overview of soil conservation in
Suriasumantri,
J.S. 1988. Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Tim
Lembaga Penelitian IPB. 1995. Laporan Akhir Kaji Tindak (Action Research)
Usaha Pertanian Lahan Kering Terpadu di Desa Sejuah, Kecamatan Kembayan,
Kabupaten Sanggau, Propinsi DT I Kalimantan Barat. Lembaga Penelitian
IPB,