DDT dan
permasalahannya di ABAD 21
(DDT
and its problem in 21st
century)
Oleh:
Prof.
Rudy C Tarumingkeng, PhD
Guru Besar IPB, Angg. Komisi
Pestisida,
Angg. Panel
Teknologi Lingkungan, RUT, DRN-LIPI
DDT (Dichloro Diphenyl
Trichlorethane) adalah
insektisida “tempo dulu” yang pernah disanjung “setinggi langit” karena
jasa-jasanya dalam penanggulangan berbagai penyakit yang ditularkan
vektor serangga. Tetapi kini penggunaan DDT di banyak negara di dunia
terutama di Amerika Utara, Eropah Barat dan juga di Indonesia telah
dilarang. Namun karena persistensi DDT dalam lingkungan sangat lama,
permasalahan DDT masih akan berlangsung pada abad 21 sekarang ini.
Adanya sisa (residu) insektisida ini di tanah dan perairan dari
penggunaan masa lalu dan adanya bahan DDT sisa yang belum digunakan dan
masih tersimpan di gudang tempat penyimpanan di selurun dunia (termasuk
di Indonesia) kini menghantui mahluk hidup di bumi. Bahan racun DDT
sangat persisten (tahan lama, berpuluh-puluh tahun, bahkan mungkin
sampai 100 tahun atau lebih?), bertahan dalam lingkungan hidup sambil
meracuni ekosistem tanpa dapat didegradasi secara fisik maupun
biologis, sehingga kini dan di masa mendatang kita masih terus
mewaspadai akibat-akibat buruk yang diduga dapat ditimbulkan oleh
keracunan DDT.
Sifat
kimiawi dan fisik DDT
Senyawa yang terdiri atas
bentuk-bentuk isomer dari 1,1,1-trichloro-2,2-bis-(p-chlorophenyl)
ethane yang secara awam disebut juga Dichoro
Diphenyl Trichlorethane
(DDT) diproduksi dengan menyampurkan chloralhydrate
dengan chlorobenzene.
Gambar 1. Struktur kimia DDT.
DDT-teknis
terdiri atas campuran tiga bentuk isomer DDT (65-80% p,p'-DDT, 15-21%
o,p'-DDT, dan 0-4% o,o'-DDT, dan dalam jumlah yang kecil sebagai
kontaminan juga terkandung DDE [1,1-dichloro-2,2-
bis(p-chlorophenyl) ethylene]
dan DDD [1,1-dichloro-2,2-bis(p-chlorophenyl)
ethane]. DDT-teknis
ini berupa tepung kristal putih tak berasa dan tak berbau. Daya
larutnya sangat tinggi dalam lemak dan sebagian besar pelarut organik,
tak larut dalam air, tahan terhadap asam keras dan tahan oksidasi
terhasap asam permanganat.
DDT
pertama kali disintesis oleh Zeidler pada
tahun 1873 tapi sifat insektisidalnya baru ditemukan oleh Dr Paul
Mueller pada
tahun 1939. Penggunaan DDT menjadi sangat populer selama Perang Dunia
II, terutama untuk penanggulangan penyakit malaria, tifus dan berbagai
penyakit lain yang ditularkan oleh nyamuk, lalat dan kutu. Di India, pada tahun 1960 kematian
oleh malaria mencapai 500.000 orang turun menjadi 1000 orang pada tahun
1970. WHO memperkirakan bahwa DDT selama Perang Dunia II telah
menyelamatkan sekitar 25 juta jiwa terutama dari ancaman malaria dan
tifus, sehingga Paul Mueller dianugerahi hadiah Nobel dalam ilmu
kedokteran dan fisiologi pada tahun 1948.
DDT adalah insektisida paling
ampuh yang pernah ditemukan dan digunakan manusia dalam membunuh
serangga tetapi juga paling berbahaya bagi umat manusia manusia
sehingga dijuluki “The Most Famous and Infamous Insecticide”.
Pada tahun 1962 Rachel Carson dalam
bukunya yang terkenal, Silenty Spring menjuluki DDT sebagai obat yang
membawa kematian bagi kehidupan di bumi. Demikian berbahayanya DDT bagi
kehidupan di bumi sehingga atas rekomendasi EPA (Environmental
Protection Agency) Amerika Serikat pada tahun 1972
DDT dilarang digunakan terhitung 1 Januari 1973. Pengaruh buruk DDT
terhadap lingkungan sudah
mulai tampak sejak awal penggunaannya pada tahun 1940-an, dengan
menurunnya populasi burung elang sampai hampir punah di Amerika
Serikat. Dari pengamatan ternyata elang terkontaminasi DDT dari
makanannya (terutama ikan sebagai mangsanya) yang tercemar DDT. DDT menyebabkan cangkang
telur elang menjadi sangat rapuh sehingga rusak jika dieram. Dari segi
bahayanya, oleh EPA DDT digolongkan dalam bahan racun PBT (persistent,
bioaccumulative, and toxic) material.
Dua sifat buruk yang menyebabkan
DDT sangat berbahaya terhadap lingkungan hidup adalah:
1.
Sifat apolar DDT: ia tak larut
dalam air tapi sangat larut dalam lemak. Makin larut suatu insektisida
dalam lemak (semakin lipofilik) semakin tinggi sifat apolarnya. Hal ini
merupakan salah satu faktor penyebab DDT sangat mudah menembus kulit
2. Sifat DDT yang sangat stabil dan persisten. Ia sukar terurai sehingga cenderung bertahan dalam lingkungan hidup, masuk rantai makanan (foodchain) melalui bahan lemak jaringan mahluk hidup. Itu sebabnya DDT bersifat bioakumulatif dan biomagnifikatif.
Karena sifatnya yang stabil dan persisten, DDT bertahan sangat lama di dalam tanah; bahkan DDT dapat terikat dengan bahan organik dalam partikel tanah.
Dalam ilmu lingkungan DDT termasuk dalam urutan ke 3 dari polutan organik yang persisten (Persistent Organic Pollutants, POP), yang memiliki sifat-sifat berikut:
·
tak terdegradasi melalui
fotolisis, biologis maupun secara kimia,
· berhalogen (biasanya klor),
·
daya larut dalam air sangat
rendah,
· sangat larut dalam lemak,
· semivolatile,
· di udara dapat dipindahkan oleh angin melalui jarak jauh,
· bioakumulatif,
· biomagnifikatif (toksisitas meningkat sepanjang rantai makanan)
Di Amerika Serikat, DDT masih terdapat dalam tanah,
air dan udara: kandungan
DDT dalam tanah berkisar sekitar 0.18 sampai 5.86 parts per million
(ppm), sedangkan sampel udara menunjukkan kandungan DDT
0.00001 sampai 1.56 microgram per meter kubik udara
(ug/m3), dan di perairan (danau) kandungan DDT dan DDE pada taraf 0.001
microgram per liter (ug/L). Gejala keracunan akut pada manusia
adalah paraestesia, tremor, sakit kepala, keletihan dan muntah. Efek
keracunan kronis DDT adalah kerusakan sel-sel hati, ginjal, sistem
saraf, system imunitas dan sistem reproduksi. Efek keracunan kronis
pada unggas sangat jelas antara lain terjadinya penipisan cangkang
telur dan demaskulinisasi
Sejak tidak digunakan lagi (1973)
kandungan DDT dalam tanaman semakin menurun. Pada tahun 1981 rata-rata
DDT dalam bahan makanan yang termakan
oleh manusia adalah 32-6
mg/kg/hari, terbanyak dari umbi-umbian dan dedaunan. DDT ditemukan juga
dalam daging, ikan dan unggas.
Walaupun di negara-negara maju
(khususnya di Amerika Utara dan Eropah Barat) penggunaan DDT telah
dilarang, di negara-negara berkembang terutama India, RRC dan
negara-negara Afrika dan Amerika Selatan, DDT masih digunakan. Banyak
negara telah melarang penggunaan DDT kecuali dalam keadaan darurat
terutama jika muncul wabah penyakit seperti malaria, demam berdarah
dsb. Departeman Pertanian RI telah melarang penggunaan DDT di bidang
pertanian sedangkan larangan penggunaan DDT di bidang kesehatan
dilakukan pada tahun 1995. Komisi
Pestisida RI juga sudah tidak memberi perijinan bagi pengunaan
pestisida golongan hidrokarbon-berklor (chlorinated
hydrocarbons) atau organoklorin (golongan insektisida di mana
DDT termasuk).
Walaupun secara undang-undang
telah dilarang, disinyalir DDT masih juga secara gelap digunakan karena
keefektifannya dalam membunuh hama serangga. Demikian pula, banyaknya
DDT yang masih tersimpan yang perlu dibinasakan tanpa membahayakan
ekosistem manusia maupun kehidupan pada umumnya merupakan permasalahan
bagi kita. Sebenarnya, bukan saja DDT yang memiliki daya racun serta
persistensi yang demikian lamanya dapat bertahan di lingkungan hidup.
Racun-racun POP lainnya yang juga perlu diwaspadai karena mungkin saja
terdapat di tanah, udara maupun perairan di sekitar kita adalah aldrin,
chlordane, dieldrin, endrin, heptachlor, mirex, toxaphene,
hexachlorobenzene, PCB(polychlorinated biphenyls), dioxins dan furans.
Untuk mengeliminasi bahan racun
biasanya berbagai cara dapat digunakan seperti secara termal, biologis
atau kimia/fisik. Untuk Indonesia dipertimbangkan untuk mengadopsi cara
stabilisasi/fiksasi karena dengan cara termal seperti insinerasi
memerlukan biaya sangat tinggi. Prinsip stabilisasi/fiksasi adalah
membuat racun tidak aktif/imobilisasi dengan enkapsulasi mikro dan
makro sehingga DDT menjadi berkurang daya larutnya. Namun permasalahan tetap masih
ada karena DDT yang telah di-imobilisasi ini masih harus “dibuang”
sebagailandfill di tempat yang “aman”. Namun dengan
cara ini potensi racun DDT masih tetap bertahan untuk waktu yang lama
pada abad 21 ini.
Kepustakaan
Alegria,
M. 2000. Problems with Final Disposal of DDT in
http://www.irptc.unep.ch/pops_Inc/proceedings/cartagena/ALEGRIA.html (dk. 20 Jan
2000).
Tarumingkeng, R.C., 1976: Pada suatu musim semi, tiada kembang yang mekar, tiada burung berkicau. Harian KOMPAS No. 28, Th.12, 26 Juli 1976, pp. IV dan VIII.
Tarumingkeng,
R.C. 1992. Insektisida:
Sifat, Mekanisme Kerja dan Dampak Penggunaannya. UKRIDA
Press.