Manajemen
Deteriorasi Hasil Hutan
© 2004 Rudy C
Tarumingkeng
.
2
MANAJEMEN HAMA HASIL HUTAN BERWAWASAN LINGKUNGAN[1]
(Ecological
Aspects of Forest Products
Oleh:
Prof. Rudy C
Tarumingkeng, PhD
Abstract
The
first part of the paper deals with building/construction pest control
within the context of food web and the dependencies between men as
consumer, green plants as producer and pest organisms as consumer as
well as decomposer. The control of building pests is also viewed in a
broader sense involving men and his activities in exploitation and
management of the natural resources and the environment where he lives.
Further, a brief narration is presented on the most common insects and
decay causing fungi that act as building pests in
Abstrak
Pengendalian
Pengantar
Dalam
upaya manusia untuk meningkatkan kesejahteraannya dan untuk mencapai
mutu kehidupan yang lebih baik, berbagai usaha ditempuhnya. Dalam
pemanfaatan produk-produk nabati non-makanan, khususnya kayu yang masih
banyak digunakan manusia sebagai komponen bangunan, manusia masih
menghadapi ancaman dari saingan-saingannya, yaitu mahluk-mahluk hidup
(organisme) perusak (perombak) seperti serangga (insects)
dan
jamur (fungi). Inilah yang antara lain menjadi penyebab sehingga kita
pada hari ini perlu berseminar untuk mendiskusikan berbagai implikasi
yang berkaitan dengan upaya-upaya kita untuk menanggulangi masalah
mahluk-mahluk hidup pengganggu bangunan itu. Dalam hubungan ini,
kiranya tidak berlebihan jika pada kesempatan ini kita meninjau
terlebih dahulu, sebab musabab mahluk-mahluk hidup ini mengganggu
ketenteraman kita serta beberapa
kaitan penting dari padanya. Materi yang dikemukakan berikut ini
dimaksudkan agar pembaca memperoleh sekadar insights mengenai pokok
permasalahan serta beberapa aitannya,sehingga kita dapat merencanakan
strategi-strategi yang lebih baik, lebih aman dan lebih "alami", hidup
lebih tenteram dalam satu sistem kehidupan di muka bumi ini, yang kita
huni bersama-sama dengan mahluk-mahluk lainnya. Pokok permasalahan ini
sendiri merupakan topik yang erat kaitannya dengan ilmu hayat dan
lingkungan hidup, maka mau tak mau kita perlu me-review
masalah-masalah
itu walaupun mungkin tidak sangat ber"bahasa" ilmiah.
Rantai
makanan: siapa makan siapa
Untuk
dapat bertahan dalam biosfer, manusia seringkali dihadapkan kepada
gangguan dan hambatan yang menimbulkan kerugian ekonomis yang
diakibatkan oleh persaingan dengan unsur-unsur hayati seperti serangga;
serangga hama, jamur, gulma (weeds),
binatang
pengerat (rodentia)
dan
sebagainya. Organisme-organisme pengganggu ini hidup dari tanaman dan
hewan termasuk berbagai budidaya manusia, dan bahkan mengganggu
kesehatan manusia. Berbagai upaya yang didasarkan atas pertimbangan
ekonomi, lingkungan hidup dan sosio-budaya telah diusahakan manusia
untuk menekan seminimum mungkin gangguan dan kerugian yang ditimbulkan
oleh organisme yang merugikan ini. Ungkapan di atas sangat bersifat
antropomorfis karena tinjauan terpusat kepada manusia sebagai Homo
economicus,
bukan sebagai Homo
sapiens yang
merupakan salah satu mata rantai makanan (atau lebih tepat jika
dikatakan jaring-jaring makanan (food
web) atau
rantai makanan (food
chain)
dari satu sistem kehidupan di muka bumi ini, yang saling tergantung.
Ketergantungan satu dengan lainnya (satu fungsi implisit) di antara
semua mahluk hidup di muka bumi ini memang sudah sangat disadari secara
global sehingga kita mengenal berbagai istilah seberti biodioversity,
pelestarian jenis, dan sebagainya. Bahkan sejak tahun 60-an kita telah
mengenal kelompok-kelompok seperti Green Peace dsb., yang begitu
gigihnya memperjuangkan keaslian alam dan pencegahan penggunaan
bahan-bahan racun.
Untuk
dapat memperoleh sekadar pengertian mengenai persoalanpersoalan
lingkungan hidup yang dianggap bersifat praktis memang mungkin tidak
sulit, tetapi seorang yang benar-benar menggeluti masalah-masalah
lingkungan hidup cenderung menganggap masalah-masalah lingkungan tidak
dapat dipraktiskan, apalagi jika hanya untuk melontarkan berbagai isyu
lingkungan tanpa memberikan alternatif yang lebih aman dan ekonomis.
Para
ahli dalam berbagai bidang terus-menerus berusaha untuk mencari dan
mengembangkan taktik-taktik yang lebih aman dalam upaya mengatasi
masalah-masalah kerugian yang ditimbulkan oleh komponenkomponen hayati
pengganggu manusia. Namun kompleksnya masalah yang juga tergambar dari
kompleksnya unsur-unsur dan komponen-komponen sistem lingkungan hidup
serta hubungan saling ketergantungannya, menyebabkan penyelesaian
masalah pengelolaaan hama yang merugikan ini mungkin tidak dapat
dilakukan secara tuntas dalam waktu yang relatif singkat.
Ada
dua diktum utama yang berlaku dalam kehidupan mahluk-mahluk di alam
fana ini yaitu:
1/ bahwa semua mahluk hidup saling tergantung satu
dengan yang lain, dan
2/ semua mahluk hidup akan mati dan jasadnya
dimakan mahluk yang lain.
Tanpa ketergantungan ini maka tak mungkin ada
kehidupan. Sehari-hari kita memerlukan makanan (beras, gandum, ayam,
sapi dll.) yang tidak lain adalah spesies-spesies mahluk hidup yang
menjadi komponen dalam mata rantai ekosistem sebagaimana juga Homo sapiens. Dinamika alam kehidupan merupakan skenario
"siapa makan siapa dan semua akhirnya menjadi apa". Dinamika inilah
yang dikenal sebagai rantai makanan di mana mahluk-mahluk hidup perusak
bangunan seperti rayap, kumbang dan jamur sangat berperan dalam
menentukan "semua menjadi apa" -- karena semua jasad akhirnya akan
dimakan (mengalami dekomposisi) oleh mahluk-mahluk perusak seperti itu
-- kembali ke tanah dan menjadi bagian dari daur-daur (cycles) senyawa penting bagi kehidupan di bumi (gas CO2, Nn, air dll.).
Ketergantungan antar mahluk hidup, khususnya
antara manusia sebagai konsumen dan tumbuhan berhijaudaun sebagai
produsen primer dapat kita hubungkan dengan interaksi multisistem
dengan memasukkan jamur (konsumen primer) dan serangga perusak
(konsumen) serta kaitan dengan sistem alami (fisik: udara dan tanah),
sebagaimana diilustrasikan dalam suatu bagan sistem pada Gambar 1.
Ilustrasi pada Gambar 1 menempatkan kita
(manusia) sebagai Homo sapiens dalam peranan yang sejajar dengan mahluk-mahluk
lain seperti rayap, kumbang dsb. istem yang diilustrasikan ini tampak
terlampau luas sehingga perlu lebih disederhanakan. Lagi pula, sebagai H. economicus yang sehari-hari memikirkan kesejahteraan
manusia, kita perlu lebih menyoroti segi-segi yang lebih menguntungkan
manusia, tanpa terlampau mengganggu keseimbangan sistem yang kompleks
itu, dan kita hentikan saja dahulu elaborasi kita mengenai
jaring-jaring makanan.
Pengendalian
manusia
Gambar 1 menjelaskan kepada kita bahwa untuk
mendiskusikan perihal keamanan bangunan yang menggunakan komponen kayu
(yang berasal dari tumbuhan hijau) sistem kompleks pada Gambar 1 dapat
direduksi menjadi satu sistem yang lebih sederhana, hanya melibatkan
empat komponen atau subsistem penting --- dalam bentuk digraf bertanda (signed digraphs) dan analognya dalam bentuk daftar (matriks)
kualitatif, dengan komponen-komponen yang menjadi perhatian kita
sekarang sesuai konteks bahasan kita yaitu :
1. kita sendiri (manusia) -
2. bahan yang kita ingin lindungi (kayu) -
3. serangga perusak bangunan - dan
4. jamur perusak bangunan.
Pada tahap awal, marilah kita perhatikan beberapa
tanda utama yang ditunjukkan oleh kedua bagan di bawah ini (Gambar 2),
yang menghasilkan empat kondisi yang relevant dengan pokok bahasan :
Pertama, (1-1), yaitu tanda min ( - ) yang
melingkari 1, yang berarti interaksi keempat komponen ini memberikan negative feedback kepada kita sendiri -- atau dalam memanfaatkan
kayu kita perlu membatasi diri karena jika tidak maka akan muncul
dampak negatif (over exploitation, gangguan
keseimbangan gas atmosfer dll). Memang lebih baik kita berusaha untuk
menggantikan saja kayu dengan bahan sintetik yang lebih tahan -- tetapi
bagaimanapun juga masyarakat luas terutama di daerah pedesaan masih
mengandalkan pada kayu untuk bangunan huniannya, lagipula terdapat
berbagai sifat unggul pada kayu yang tidak dimiliki bahan-bahan lain.
Kedua, (2+1), yaitu tanda plus (+) antara 2 dan 1
(bahwa kayu bermanfaat untuk manusia). Tanda ini perlu ditingkatkan,
bila perlu menjadi ++ atau beberapa + , agar manfaat benar-benar
ptimum, atau penggunaan yang efektif dan efisien, sejalan dengan (1-1).
Ketiga, (3-2), , yaitu tanda (- ) antara 3 dan 2
yang menyatakan bahwa terdapat beberapa jenis serangga yang merusak
kayu atau bangunan kita. Nilai kualitatif interaksi yang sangat merusak
kayu (merugikan manusia) ini harus ditingkatkan, dari min menjadi 0.
Keempat (4-2) atau tanda (- ) antara 4 dan 2
berarti terdapat beberapa jenis jamur yang berperan sebagai perusak
kayu bangunan. Kondisi ini sama dengan yang kedua, yaitu secara
kualitatif perlu dinolkan.
Kondisi
(1 - 1) dan (2 + 1)
Kondisi pertama dan kedua adalah sejalan, keduanya
mengisyaratkan agar manusia lebih cermat dan hemat dalam penggunaan
energi (bahan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan). Kondisi pertama
(sistem interaksi yang secara keseluruhan berdampak negatif bagi
manusia) mengisyaratkan agar kita lebih mengendalikan diri, dan sadar
akan hubungan-hubungan rantai makanan yang telah dibahas di muka. Kita
perlu terus menerus berupaya untuk mengurangi entropi (seperti limbah)
karena bagaimanapun di samping kayu sebagai sumber yang terbatas,
mahluk-mahluk lain juga memerlukannya agar semua proses kehidupan di
bumi ini dapat berjalan mulus, bukan bagi manusia saja tetapi bagi
semua mahluk hidup.
Kondisi
(3 - 2) dan (4 - 2)
Dari uraian ini dapatlah kita simpulkan bahwa
perhatian utama kita sekarang tertuju pada kondisi ketiga [(3 - 2)] dan
keempat [(4 -2)] yaitu interaksi bahan bangunan kayu dengan serangga
dan jamur, yang pada umumnya secara alamiah, dimenangkan oleh serangga
dan jamur. Di sinilah manusia diharapkan berperan untuk mengendalikan
sistem interaksi ini (yang sangat merugikan kita) dalam rangka
menyelamatkan hasil-hasil yang dioperoleh dari tumbuhan, khususnya kayu
bangunan. Marilah kita masuki topik berikut ini.
Pengendalian
oleh manusia
Pertanyaan pokok sekarang adalah : Siapa-siapa
yang dikendalikan ? Sebagian besar hadirin telah mengenal bahwa
jawabannya adalah berbagai jenis serangga dan jamur yang biasa merusak
bangunan kita. Dalam hubungan ini, sebagai penyegar, berikut akan di-review beberapa aspek esensial berkaitan dengan masalah
rayap. Di antara serangga yang penting adalah : rayap, anai-anai atau
"semut" putih, terdiri atas ratusan jenis dan bagi mata awam agak sulit
dibedakan. Mereka hidup dalam satu keluarga besar yang biasa disebut
koloni. Dalam garis besar, terdapat dua macam rayap yaitu rayap tanah
(atau rayap subteran) dan rayap kayu kering[2].
Rayap tanah, sesuai namanya hidup dalam tanah
tetapi mereka dapat menyerang sampai jauh di atas tanah, bahkan sampai
ke lantai beberapa puluh dari gedung bertingkat. Mereka selalu membawa
bahan-bahan tanah dalam penyerangannya sehingga tidak terlampau sulit
untuk mengetahui apakah rumah kita diserang rayap tanah atau rayap kayu
kering yang tidak berhubungan dengan tanah. Rayap tanah memiliki
kemampuan menyerang yang luar biasa, sehingga pada saat ini rayap tanah
merupakan ancaman utama bagi gedung-gedung kita, tidak ada yang
terkecuali walau milik siapapun. Kerugian disebabkan oleh serangan
rayap di Indonesia terhadap seluruh konstruksi bangunan setiap tahunnya
diperkirakan sekitar Rp 300 milyar. Semua bahan yang mengandung
selulosa dilahap oleh rayap dan mereka mampu menembus tembok-tembok
fondasi serta lobang-lobang atau retak-retak kecil di tembok walau
hanya selebar rambut, karena dengan enzim ludahnya mereka mampu
melarutkan bahan semen secara lambat laun. Kesulitan kita dalam
mengendalikan serangan rayap terutama adalah karena mereka selalu
bersembunyi (sifat kriptobiotik) di liang-liang kembaranya. Beberapa
jenis rayap seperti. Macrotermes (ini rayap perusak yang paling besar ukuran
badannya di tanah air kita), menyerang secara frontal dan simultan,
berbondong-bondong bagai bodol desa saja. Dengan dikawal para
prajuritnya hampir semua pekerja dalam koloni dimobilisasikan, sehingga
kadang kala dalam satu malam saja kosen pintu atau lemari buku serta
arsip-arsip kita dapat dilahap dan diobrak-abriknya menjadi tanah.
Rayap kayu kering hanya menyerang kayu yang kering
udara, mereka tidak berhubungan dengan tanah, sehingga kayu
dijadikannya sebagai rumahnya dan sekaligus makanannya. Tanda-tanda
serangannya sangat mudah dikenal dari adanya ekskremen berbentuk
butir-butir kecil berwarna putih atau kuning kadang-kadang mengonggok
di lantai rumah, keluar dari sarangnya yang mungkin berada di
langit-langit rumah, kosen pintu, piano atau kursi. Berbeda dengan
rayap tanah, laju penyerangan rayap kayu kering agak perlahan, tetapi
pasti. Kayu yang diserangnya seringkali tampak utuh, tapi jika ditekan
dengan jari tangan akan nyata bahwa bagian dalamnya sudah hancur sama
sekali. Jenis kumbang perusak bangunan tidak sebanyak jenis rayap.
Kerusakan yang ditimbulkan mereka juga tidak sebesar yang ditimbulkan
oleh rayap. Ukuran tubuh kumbang-kumbang perusak kayu ini biasanya
kecil, panjangnya sekitar 2 - 8 mm. Kerusakan berbentuk lobang-lobang
terowongan dalam kayu. Dalam keadaan ekstrem, kayu yang diserang dapat
hancur hanya dengan menekannya sedikit saja dengan jari, karena bagian
dalam kayu telah menjadi bubuk. Kumbang yang menyebabkan kerusakan
seperti ini disebut kumbang bubuk (powderpost beetles). Ada
lagi kumbang yang membuat lobang-lobang "jarum" dalam kayu, disertai
pewarnaan (blue staining yang disebabkan oleh sejenis jamur yang dipelihara
oleh si kumbang itu) di sekitar lobang-lobang gereknya. Di samping kayu
menjadi berlobang, cacat karena pewarnaan juga sangat menurunkan
kualitas kayu. Kumbang-kumbang penyebabnya disebut kumbang penggerek
lubang jarum (pinhole borers).
Berbeda dengan serangga yang termasuk kelompok
besar dunia hewan, jamur termasuk kelompok besar dunia nabati. Kalau
tumbuhan berhijaudaun mampu membuat hidrat arang (dari sintesis CO2 dan air dari udara dengan bantuan sinar matahari),
dalam rantai makanan, jamur masuk kategori konsumen semata-mata (sama
seperti manusia, yang harus makan mahluk hidup lain agar dapat hidup),
karena mereka tak mampu membuat hidrat arang. Oleh karenanya maka jika
kita ingin memelihara jamur merang kita perlu menyediakan jerami atau
bahan selulosa lain untuk makanannya. Sayang sekali bahwa di antara
jenis-jenis jamur, walau diberi jerami yang lebih empuk, mereka lebih
menghendaki balok atau papan rumah kita yang lebih keras. Jamur-jamur
pelapuk kayu yang menyebabkan terjadinya lapuk (decay) pada kayu, lebih sesuai bila kita sebut saja
lapuk kayu – bukan jamur kayu, agar tidak terasosiasi dengan
jamur-jamur lain seperti jamur merang yang biasa kita makan. Jadi lapuk
kayu menyebabkan
terjadinya kayu lapuk. Lapuk kayu umumnya terdiri atas 3 golongan yaitu
lapuk putih (white rot) lapuk kering atau lapuk coklat (dry rot, brown rot), dan lapuk lunak (soft rot).Pada tingkat lanjut, kayu yang lapuk oleh lapuk
putih tampak pucat seperti dikelantang, sehingga tadinya disangka bahwa
lapuk putih hanya makan lignin (bagian dari kayu di samping selulosa).
Lapuk coklat menyebabkan kayu menjadi tampak kecoklatan dengan pola
retak-retak yang saling tegak lurus (kubikal). Sebenarnya jenis-jenis
lapuk ini lebih banyak mengkonsumsi karbohidrat dan sedikit lignin di
dalam kayu dari pada komponen utama kayu (selulosa), tetapi dengan
penyerangan ini kekuatan kayu menjadi sangat menurun, karena dengan
eksploitasi ini keutuhan kayu menjadi terurai dan dapat rusak total.
Lapuk lunak biasanya menyerang bagian permukaan
kayu yang sering terkena air atau tanah lembab sehingga tampak
membusuk. Seperti juga lapuk-lapuk coklat dan putih, lapuk lunak makan
karbohidrat dan lignin. Itulah narasi singkat yang dapat diberikan
mengenai contoh-contoh penting, siapa-siapa yang perlu kita kendalikan,
dalam konteks bahasan kita sekarang. Masih banyak jenis-jenis serangga
dan lapuk perusak kayu yang tidak sempat kita tinjau. Uraian ini juga
memberikan isyarat kepada kita bahwa manusia perlu menghemat penggunaan
sumber daya alam, karena bukan manusia saja yang memerlukannya --
mahluk-mahluk lain juga memerlukan sumber-sumber yang kita gunakan. Dan
mahluk-mahluk lain ini merupakan bagian dari lingkungan hidup kita.
Tanpa kehadiran mereka, sistem kehidupan di bumi mungkin akan lain pula
keadaannya (mungkin tak ada manusia?), karena semua mahluk terkait satu
sama lain melalui rantai makanan [ini diberikan dalam model digraf
(Gambar 2 a) yaitu tanda negatif yang melingkari komponen nomor 1
(manusia)].
Bagaimana
mengendalikan: beberapa prinsip
Tibalah kita pada bagian penting dari bahasan
yaitu bagaimana kita mengendalikan serangga dan lapuk ini, dan
selanjutnya kedua golongan mahluk hidup ini (serangga dan lapuk) untuk
keperluan pembahasan ini akan kita sebut saja hama, atau lebih
spesifik, hama bangunan. Kita akan lebih menyoroti bagaimana mencegah
(segi-segi preventif) dan sedikit saja mengenai bagaimana "memberantas"
hama atau "menyembuhkan" bangunan yang terserang hama karena kita
sama-sama maklum menyembuhkan kayu berlobang atau lapuk yang sudah
terpasang dalam konstruksi bangunan mungkin akan lebih mahal dari pada
menggantikan saja komponen yang rusak itu, jika ditinjau secara
totalitas dari segi biaya dan manfaat. Bayangkan saja membongkar balok
besar yang growong oleh rayap kemudian meracuni rayap yang menempel
pada lobang-lobang serangan -- nota bene dengan perlakuan itu kekuatan konstruksi tidak
terperbaiki--apakah lebih baik daripada menggantikan saja secara total
seluruh bagian konstruksi yang telah rusak ?
Memang sering terpikir, alangkah sayangnya membongkar
seluruh konstruksi yang terserang itu, jika penampakan konstrusi masih
utuh ---tetapi kenyataannya sesuai petitih "bak kayu dimakan bubuk",
konstruksi tak berdaya lagi. Pemberantasan dapat dicoba tapi konstruksi
tetap tak berdaya dan proses melemah berlangsung terus. Oleh karenanya
maka tindakan yang paling baik adalah menyusun rencana pengendalian
yang lebih baik : sebelum konstruksi dibangun, lakukanlah tindakan
pencegahan. Prinsip pengendalian (pencegahan) hama bangunan antara lain
yang penting adalah:
1.
Hindari sumber perusak
Menghindarkan obyek serangan (bangunan) dari
sumber hama merupakan cara pertahanan yang paling wajar. Jika rayap
merupakan pengancam utama, perlu dihindari adanya sisa-sisa kayu
(tunggak, kayu bekas pakai , tumpukan sampah, maupun sampah yang
dibenam dalam tanah, karena obyek-obyek seperti ini merupakan atraktan
dan tempat bersarang yang paling baik bagi rayap. Cara yang masuk
kategori sanitasi lingkungan ini sangat dianjurkan karena kenyataan
menunjukkan bahwa di sekitar (sampai 200 m) gedung yang terancam
serangan rayap terdapat pohon yang sudah mati atau sisa-sisa pohon
seperti tunggak dsb. Lapuk
kayu biasanya merusak pada lingkungan dengan suhu udara 25 - 30oC,
yang merupakan suhu ruangan hunian manusia. Dengan pengatur suhu
ruangan (AC) yang kini banyak digunakan di rumah-rumah golongan
menengah ke atas, ancaman lapuk dapat dihindari tapi untuk kebanyakan
bangunan hunian masyarakat lapuk kayu masih merupakan ancaman besar.
Kondensasi AC seringkali merupakan sumber hama jika tetesan kondensasi
mengalir ke komponen kayu. Rayap Coptotermes mampu membuat sarang hanya mengandalkan air dari
sumber-sumber seperti ini, tanpa berhubungan dengan tanah.
2.
Penggunaan kayu awet alamiah
Penggunaan kayu awet yang secara alamiah dapat
menahan serangan adalah cara yang paling aman dari segi kelestarian
lingkungan hidup. Ada beberapa jenis kayu yang memang menunjukkan sifat
relatif tahan terhadap mahluk-mahluk perusak kayu. Kayu jati merupakan
salah satunya yang belum tertandingi. Hanya saja, kayu-kayu awet
semakin langka dan jika ada harganya juga sangat mahal.
3.
Pengawetan kayu
Penggunaan kayu awet karena diberi bahan-bahan
pengawet efeknya sama dengan menggunakan kayu awet. Pengawetan kayu
tidak lain dari proses memasukkan bahan-bahan racun (pestisida) yang
mampu menolak bahkan membunuh hama. Beberapa bahaya yang ditimbulkan
dari penggunaan bahan pengawet ini (termasuk juga bahan-bahan racun
yang dicampurkan pada perekat kayu lapis) adalah racunnya terbawa terus
dalam kayu atau dapat dikeluarkan secara perlahan-lahan (emisi gas)
sehingga dapat mengancam penggunanya, apalagi jika konstruksi kayu
merupakan hunian manusia, atau perabot yang digunakan sehari-hari
(kursi, meja dsb.).
4. Memberi penghalang
Ini mencakup semua cara yang prinsipnya adalah
menghalangi hama agar tak dapat menjangkau obyek yang akan diserangnya.
Yang kini paling umum adalah "proteksi bangunan" terhadap rayap tanah
dengan perlakuan tanah (soil treatment) yaitu melapisi dengan pestisida semua permukaan
tanah di bawah bangunan/fondasi, rayap tak dapat menjangkau bangunan.
Atau melapisi bagian-bagian tertentu yang dapat
menjadi jalan masuk hama, misalnya dengan tameng-rayap (termite shields). Memang cara inipun belum mutlak dapat
melindungi bangunan dari serangan rayap, karena mungkin saja dapat
terjadi retak-retak di dasar bangunan setelah konstruksi berdiri,
misalnya jika terjadi longsoran karena ketidak stabilan tanah atau
karena getaran oleh gempa bumi sehingga rayap dapat menyelinap masuk
melalui retak-retak yang terjadi.
Pestisida:
buah simalakama
Pada pembahasan di muka, telah beberapa kali
disinggung mengenai pestisida. Walaupun hadirin semua saya yakin telah
mengenal apa pestisida itu dan bahkan mungkin sekali-sekali
menggunakannya dalam bentuk "obat" nyamuk atau racun tikus, tidak ada
salahnya jika pada kesempatan ini kita adakan sedikit review mengenai pestisida itu. Bukan dalam konteks
toksikologi, farmakodinamika apalagi sampai kepada diagnosis klinis
bagi kita para pengguna yang mungkin saja salah kena jika kita keliru
menggunakannya, tetapi kita akan meninjau status pestisida sekarang dan
coba melihat ke depan (prospektif) secara perspektif ke mana dan
bagaimana mestinya manusia mengendalikan pestisida. Pestisida (sida, cide = racun) sampai kini masih merupakan alat utama
yang digunakan dalam pengendalian hama. Karena sifatnya sebagai racun
itulah maka selama manusia menggunakan pestisida masalah "buah
simalakama" selalu saja menghantui kita. Tidak digunakan kita rugi,
menggunakannya kita juga rugi, karena pada hakikatnya tidak ada
pestisida yang benar-benar "target specific". Jenis-jenis insektisida modern yang
dikembangkan dari racun hasil alami dan kini populer seperti piretroid
sintetik masih sangat beracun bagi semua jenis ikan, sehingga
penggunaannya akan sangat mempengaruhi rantai makanan. Apalagi jika
piretroid memiliki sifat persisten seperti halnya hidrokarbon-berklor
(HK) atau organoklorin (misalnya DDT, chlordane, dieldrin dsb.).
Belum lagi kita berbicara mengenai dosis atau
takaran banyaknya bahan aktif pestisida yang seringkali digunakan
secara berlebihan. Memang dosis yang besar memberikan peluang kematian
yang lebih pasti bagi hama tetapi juga kerusakan yang lebih besar bagi
sistem kehidupan alam. Di antara racun kimia biosida yang digunakan
manusia, dan di antara bahan-bahan kimia beracun yang digunakan untuk
pengelolaan pertanian, bangunan dan kesehatan masyarakat, golongan
pestisida merupakan bagian yang paling besar. Dapat ditarik kesimpulan
bahwa pestisida merupakan kelompok bahan kimia beracun yang paling
banyak digunakan dalam lingkungan hidup manusia dewasa ini.
Patut diingat bahwa kebijaksanaan penggunaan
pestisida seharusnya hanya merupakan salah satu strategi manajemen
dalam konteks pengendalian hama terpadu [integrated pest management; IPM atau pendalian hama secara terpadu yang
lazim disingkat PHT]. Dalam konteks IPM hama bangunan, penggunaan
pestisida (mencakup insektisida dan fungisida) hanya merupakan salah
satu di antara berbagai cara yang dapat dilakukan, seperti sanitasi
lingkungan, penggunaan kayu awet dsb.
Karena pestisida adalah racun yang dapat
mempengaruhi kehidupan organisme bukan sasaran (non target organisms), penggunaannya harus didasarkan atas
pertimbangan ekologis yang sangat bijaksana, dan hanya merupakan taktik
yang bersifat darurat, dalam arti bahwa keadaan memaksa kita untuk
menggunakannya pada suatu saat tertentu sambil menunggu cara-cara lain
yang lebih aman, dan dengan pertimbangan keselamatan manusia dan
kelestarian lingkungan [lingkungan hidup]; pelestarian lingkungan.
Keadaan darurat yang dimaksud adalah jika terjadi
hal-hal yang dapat menghambat pembangunan dan kesejahteraan hidup
manusia dalam skala yang luas misalnya wabah, epidemi hama padi (yang
sangat menentukan nasib orang banyak), epidemi penyakit yang ditularkan
serangga misalnya malaria, epidemi demam berdarah dsb. Namun "taktik
darurat" menjadi hal yang dianggap biasa. Insektisida "obat" nyamuk
diperjual-belikan over over the counter. Petani dianjurkan menyemprot sawahnya dengan
pestisida karena target produksi yang ditetapkan perlu dicapai, dan
sebagainya. Hal ini terjadi karena saat ini kita masih berusaha
mengembangkan strategi , pengendalian hama secara terpadu bebas racun
yang seefektif penggunaan "racun darurat" (dalam hal ini pestisida)
untuk mengatasi masalah-masalah hama ini, dan setiap ahli lingkungan
mungkin mengakui betapa peliknya masalah ini. Penemuan baru sering kali
menimbulkan beberapa masalah baru. DDT;
hidrokarbon berklor dan senyawa-senyawa racun golongan HK
(Hidroharbon berklor atau organoklorin) lainnya (endrin,
chlordane dll.) yang ditemukan menjelang Perang Dunia Kedua telah
membantu umat manusia dalam mengatasi berbagai wabah seperti epidemi
malaria dan typhoid serta berbagai peningkatan produksi pertanian yang
kita kenal sebagai salah satu komponen revolusi hijau (green revolution). "Kesuksesan" ini berlangsung sampai akhir
dekade 60-an. Salah satu kelemahan HK adalah hampir semua HK bersifat
spektrum lebar, hampir tidak pandang bulu, serangga bukan sasaran
bahkan itik, ikan dan manusia walau dengan dosis yang rendah sekalipun
terkena dampaknya karena sifatnya yang akumulatif dan biomagnifikatif.
Penemuan kemudian memastikan beberapa masalah
antara lain,
senyawa sintetik HK dapat menimbulkan resistensi. Dan yang
lebih gawat lagi adalah bahwa senyawa ini merupakan racun kronis yang
persisten, yang dapat mengalami biomagnifikasi serta berakumulasi dalam
organ mahluk hidup. Derivatnya dapat bertahan dalam lingkungan untuk
jangka waktu beberapa generasi umat manusia. Inilah penyebab utama
sehingga sebagian besar negara-negara yang telah mapan telah melarang
penggunaan insektisida hidrokarbon-berklor walaupun beberapa negara
berkembang, mungkin karena "bantuan" negara yang ekonominya kuat,
pertimbangan ekonomis dan kondisi kesehatan masyarakatnya memerlukan
penananggulangan darurat (malaria, demam berdarah dsb.) masih
menggunakannya[3].
Gelombang kedua pestisida modern setelah HK, yang
dianggap lebih "aman" dari HK -- namun sebagian besar merupakan racun
saraf yang bersifat akut, yaitu terutama golongan organofos pestisida
organofosfat (OF) dan karbamat. Walaupun kurang mencemari lingkungan,
karena relatif mudah terurai oleh faktor-faktor hayati dan alami
lingkungan, sampai kini pestisida jenis organofosfat dan karbamat ini
telah menelan korban jiwa manusia dalam jumlah yang tidak sedikit
karena sifat racun akutnya. Sifat target specificity OF dan karbamat ini juga kurang sehingga tidak
jarang kita mendengar bahwa ayam yang menelan biji yang diawetkan
dengan OF dan karbamat ikut terberantas.
Kini
dan antisipasi kita
Gelombang yang kini berlangsung adalah
pengembangan pestisida yang sangat selektif (tidak mempengaruhi
organisme bukan sasaran) seperti hormon anti pertumbuhan dan bahan
kimia derivat hasil alam (sintetik) serta analog-analognya. Walaupun
sejalan dengan kemajuan dalam bidang-bidang ilmu hayat, kimia dan
kedokteran, dikonstatir bahwa sebagian pestisida baru ini merupakan
bahan kimia yang bersifat imunotoksik, karsinogenik dan bahkan hampir
semua karsinogenik dapat berlaku sebagai teratogenik dan mutagenik.
Namun usaha-usaha ke arah penggunaan pestisida yang lebih aman tidak
akan berhenti, dengan berprinsip: mengembangkan pestisida dengan dosis
yang aman bagi mamalia serta dasar-dasar yang logis dalam penentuan
toksisitas secara selektif untuk jenis hama sasaran, dan berdampak
negatif minimum bagi manusia.
Inilah dasar klasik yang senantiasa dipegang, sesuai
petuah yang diberikan oleh ilmuwan, dokter dan pelopor toksikologi,
Paracelsus pada abad Renaissance : "Semua bahan adalah racun -- tak ada
yang bukan racun -- hanyalah dosis yang tepat yang menentukan apakah
bahan itu racun atau obat ". Salah
satu golongan insektisida yang kini memberi harapan baik adalah
sintetik bahan alamiah, khususnya piretroid (bahan nabatinya adalah
pyrethrum, dari tumbuhan Chrysanthemum) yang sejak dahulu kala
sudah dikenal sebagai racun ikan. Beberapa di antara piretroid ini 5
tahun terakhir telah mulai muncul di pasaran (berakhiran - thrin
seperti cypermethrin, permethrin dll.). Piretroid sintetik memang sudah
sejak tahun 70-an diketahui memiliki persistensi dalam tanah sehingga
sesuai bagi pengendalian rayap tanah (persistensinya hampir sama dengan
chlordane) tetapi tidak akumulatif dan praktis sangat kurang beracun
bagi mamalia [dengan LD50 (otp) sekitar 1500 mg/kg]. Toksisitasnya yang
demikian rendah bagi mamalia juga memberi peluang baginya untuk
digunakan sebagai pestisida hama rumah (household pests). Tetapi salah satu kelemahannya adalah golongan
pestisida ini sangat beracun bagi ikan (rantai makanan !). Kita
harapkan saja bahwa iklim tropis kita akan mampu menguraikannya menjadi
asam atau alkohol yang kurang berbahaya sebelum mereka tercuci ke
sungai-sungai dan danau-danau kita. Atau daya afinitasnya terhadap
partikel tanah kita harapkan merupakan jaminan bahwa mereka akan
terurai sendirinya di dalam tanah setelah berpuluh-puluh tahun sehingga
tidak sempat mencemari perairan kita. Tapi kita belum tahu peranan
golongan piretroid ini dalam ikhwal karsinogenisitas dan
"genisitas-genisitas" lainnya seperti mutagenisitas, teratogenisitas
yang mengerikan itu.
Masih pada gelombang ini, para pakar muncul dengan
temuan baru yaitu: mengubah perilaku hama agar mereka tidak mau
menyerang sasaran atau bersikap "acuh" saja. Beberapa insektisida
seperti formamidine (chlordimeform dsb.) dan acylurea merupakan
beberapa contoh. Tetapi toksisitas golongan ini luar biasa, ada
serangga yang bukan saja tidak mau makan tetapi menjadi "sinting" dan
melompat-lompat dsb. sehingga dikuatirkan, jika kita keliru menelannya
pada dosis yang membahayakan, seperti kata Paracelcus, kitalah yang
kena getahnya. Inilah keberatan-keberatan
terhadap penggunaannya, mudah-mudahan belum ada yang lolos ke negara
kita. Penelitian mengenai penggunaan antibiotika sudah sejak setelah
PDII telah dimulai tetapi sampai kini baru dua produk yang dikenal
yaitu BT (Thuricide) yaitu racun delta-endotoksin yang berasal dari
bakteri Bacillus thuringiensis yang sangat beracun bagi ulat kupu dan ngengat.
Yang kedua adalah Avermectins yang berasal dari Streptomyces avermitilis yang digunakan bagi kutu daun dan hama ternak.
Jenis-jenis peniru hormon (hormone mimics) merupakan salah satu yang dikembangkan beberapa
telah masuk pasaran seperti methoprene yang meniru hormon juvenil
sehingga hama yang diberi insektisida ini tak mampu mencapai dewasa.
Pengembangan teknik-teknik pengendalian dengan "hi-tech" seperti jantan
mandul dsb. sampai kini lebih banyak bersifat akademik (bukan praktek)
demikian pula dengan rekayasa genetika. Tapi bukan mustahil jika di
kemudian hari kita akan menikmati hasil-hasil "hi-tech" ini, termasuk
untuk mengendalikan hama bangunan kita.
_________________________
Hak
cipta penulis dilindungi Undang-undang
[1] Dipresentasikan
pada Seminar Nasional Pengendalian Hama Berwawasan Lingkungan Sebagai
Pendukung Pembangunan Nasional, IPPHAMI-Ditjen PPM Depkes,
[2]
Istilah
rayap subteran dan rayap tanah sering diidentikkan, walau kadangkala
dibedakan antara rayap tanah (seperti jenis-jenis Macrotermes,
Microtermes dan Odontotermes) dan rayap
subteran yang bagian sarangnya sering muncul di atas tanah seperti Coptotermes
dan Schedorhinotermes.
[3] Keterangan
lebih mendalam tentang persistensi racun hidrokarbon berklor disajikan
dalam Bab 9.