Oleh: Prof.
Rudy C Tarumingkeng, PhD
Kayu adalah hasil yang diambil dari pohon, sedangkan pohon merupakan anggota dari komunitas lingkungan yang kita kenal sebagai hutan. Dengan perkataan lain, kayu merupakan hasil hutan yang di-ekstraksi atau dipungut dari hutan.
Deteriorasi hasil hutan adalah semua proses dan
akibat yang
menyebabkan menurunnya kualitas dan kuantitas hasil hutan. Terjadinya
deteriorsi hasil hutan diakibatkan oleh berbagai penyebab (causing
agents),
yaitu karena faktor-faktor
biologis (hama, penyakit)
dan faktor-faktor fisik.
Dalam keadaan
alami yang tidak ada interferensi manusia terhadap
hutan, kayu tidak diambil atau dikeluarkan dari hutan. Dalam keadaan demikian, pohon yang
mati karena akibat usia tua, tumbang karena pengaruh alam seperti
angin, dahan
atau cabang patah atau sebab-sebab lainnya, akan menyebabkan kayu
mengalami
dekomposisi akibat
pembusukan oleh
organisme fungi (jamur/cendawan), bakteri, dan/atau dikonsumsi oleh
hewan xylofag
(pemakan kayu) seperti
serangga, sehingga sisa-sisa kayu akan
menjadi humus sebagai bagian dari lapisan tanah. Keadaan seperti ini
merupakan
contoh dari apa yang
terjadi pada hutan yang tidak
dimanfaatkan hasilnya secara langsung (diambil kayu atau hasil hutan
lainnya).
Dengan perkataan lain, hutan tersebut tidak diusahakan untuk produksi
dalam
bentuk materi yang nyata (tangible) yang dikeluarkan
dari hutan sehingga
dari segi ekonomis nilai hutan menjadi berkurang karena kayu sebagi
salah satu hasil
utama dari hutan tidak dipungut (exploited) untuk
suatu jangka waktu.
Hutan lindung dan hutan konservasi merupakan contoh
hutan yang
tidak boleh
dipungut hasilnya secara langsung karena fungsinya memang bukan sebagai
hutan
produksi.
Kita memaklumi bahwa manfaat hutan tidaklah
semata-mata dilihat
dari segi produksi kayu atau hasil hutan lainnya yang dapat dikeluarkan
dari
hutan, karena masih banyak manfaat-manfaat lain dari hutan, seperti
pelindung
tata air dan tanah, pembersih udara,
sebagai habitat hewan langkah yang dilindungi atau sebagai
lingkungan
konservasi plasma nutfah.
Tinjauan terhadap hutan yang idle
seperti dikemukakan di
muka adalah terhadap hutan yang diperuntukkan bagi produksi yaitu hutan
yang
diklasifikasikan sebagai hutan produksi, bukan pada hutan yang
berfungsi
konservasi.
Secara holistik
(menyeluruh) kita menilik hutan sebagai bagian
dari lingkungan hidup.
Dari segi hutan sebagai sumber daya
yang bernilai bagi
kehidupan manusia di satu pihak dan manusia sebagai titik sentral
pengelola dan
sekaligus berkepentingan dalam lingkungan hidup ini, kita menggambarkan
adanya
dua sistem lingkungan, yaitu lingkungan hutan (atau ekosistem hutan)
dan lingkungan pemukiman manusia
(ekosistem manusia).
Kayu dan
bagian-bagian dari unsur komunitas hutan baru dapat
dianggap sebagai hasil hutan bila manusia menganggap bahwa bahan- bahan
itu
berguna bagi keperluan hidupnya sehingga dilakukan eksploatasi atau
usaha
pemungutan hasil.
Komoditi hasil hutan ini kemudian di ekstrak (dipungut) dan dikeluarkan
dari
hutan lalu diangkut ke luar dari lingkungan hutan dan biasanya lalu
masuk ke
dalam lingkungan pemukiman manusia untuk diolah (processing)
melalui
proses industri ataupun langsung digunakan.
Sejak kayu masih merupakan
bagian dari ekosistem hutan, ia
telah mengalami
gangguan-gangguan dari berbagai faktor. Demikian pula setelah kayu
ditebang,
gangguan akan lebih
banyak lagi, karena keadaan
menjadi tidak berimbang (unbalanced). Keadaan
lingkungan yang tidak seimbang ini disebabkan oleh gangguan (disturbances)
yang disebabkan oleh penebangan, gangguan hutan yang timbul akibat
kegiatan
pemungutan hasil hutan (misalnya logging). Demikian pula
setelah hasil
hutan diangkut keluar lingkungan hutan, hasil hutan akan
masuk dalam lingkungan pemukiman manusia, yang merupakan lingkungan
yang sangat berbeda dengan lingkungan hutan, akan mengalami lebih
banyak lagi
gangguan perusakan yang mengakibatkan deteriorasi.
Hasil hutan yang
telah diangkut ke lingkungan pemukiman biasanya
mengalami pengolahan melalui industri untuk diolah menjadi
barang-barang yang
sesuai dengan keperluan manusia, baik untuk penggunaan di dalam maupun
di luar
negeri. Dengan pengolahan ini dicapai pula nilai
tambah.
Dengan terjadinya berbagai gangguan terhadap kayu
dan hasil hutan
lainnya yang menyebabkan deteriorasi maka nilai hasil hutan akan
menurun baik
dari segi kualitas maupun kuantitas.Pada Gambar 1 disajikan tata aliran
sederhana
pengolahan
jhasil hutan sejak di hutan sampai proses pengawetan (jika tindakan
pengawetan
diperlukan).
2.
Konteks Deteriorasi Hasil Hutan
Untuk lebih menjelaskan konsepsi penyebab
deteriorasi hasil hutan
ditinjau dari berbagai faktor yang berkaitan dengan lingkungan dan
manusia, di
bawah ini diberikan ilustrasi dengan menggunakan hama
sebagai contoh penyebab deteriorasi hutan dan hasil hutan.
Pada Gambar 2 diberikan dua buah bidang lingkaran
yang berpotongan
yaitu lingkaran A sebagai lingkungan hutan dan
lingkaran B sebagai
lingkungan pemukiman manusia. Kedua
lingkaran ini terdapat
dalam sebuah bidang segi empat yang diibaratkan sebagai lingkungan
hidup (environment).
Hasil hutan yang ditebang merupakan bagian dari sebuah lingkaran kecil
di dalam
lingkaran A. Selanjutnya hasil hutan dikeluarkan dari hutan, diangkut
ke
lingkungan pemukiman (lingkaran B) untuk dimanfaatkan yaitu digunakan
secara langsung
(misalnya untuk kayu
bakar) atau diolah (dikeringkan, diawetkan, digergaji, dan selanjutnya
diolah
menjadi barang-barang untuk dipasarkan bagi keperluan manusia. Hasil
hutan yang
telah mengalami proses pengolahan ini merupakan hasil industri
dan kita sebut hasil hutan olahan.
Tiga lingkaran kecil yang menggambarkan ketiga macam hasil hutan sejak
ditebang
sampai menjadi hasil olahan, dapat diserang oleh hama
(P2, P3, dan P4).
P1 merupakan hama
hutan yang menyerang tegakan.
Tindakan
pengendalian untuk menekan kerusakan dan kerugian terhadap hasil hutan
adalah
menekan P2, P3 dan P4. yang
tidak terlepas dari konsepsi pengendalian/manajemen hama hutan (P1).
Dengan demikian maka tindakan pengendalian perlu dilakukan secara
terpadu mulai
dari P1, (hama
hutan), P2 (hama
hasil hutan di hutan), P3 (hama hasil hutan yang
telah diangkut ke
tempat pengumpulan kayu atau di tempat industri) dan P4
(hama yang
menyerang hasil hutan yang telah diolah).
Seluruh tindakan pengendalian hama untuk
mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh hama P1,
P2, P3
dan P4 adalah seluruh tindakan manajemen
(pengendalian) hama
tersebut.
3.
Pengenalan Penyebab Kerusakan
Tanda-tanda kerusakan yang terjadi
pada kayu oleh faktor-faktor perusak dapat terlihat dari adanya
cacat-cacat
berupa lobang gerek (bore holes), pewarnaan (staining),
pelapukan (decay), rekahan
(brittles),
pelembekan (softing),
dan lain-lain perubahan yang
semuanya merupakan penurunan kualitas dan bahkan kuantitas karena ada
juga yang
benar-benar memakan habis kayu.
Setiap tanda-tanda
kerusakan yang terlihat merupakan gejala
spesifik dari salah satu faktor penyebab. Sedangkan adanya tanda serangan itu sendiri
sekaligus merupakan
kriteria bahwa kayu atau hasil hutan yang bersangkutan telah terserang hama, penyakit atau penyebab
lainnya. Dalam
praktek kita sering mengabaikan adanya cacat-cacat dan
kerusakan-kerusakan lain
ditimbulkan oleh faktor-faktor perusak ini. Hanya bila
secara ekonomis nilai kerugian telah mencapai ambang tertentu (economic
threshold) barulah mulai dicari upaya
untuk melakukan tindakan
pengendalian tertentu agar kerugian dapat dikurangi sampai minimum dan
tidak
berlanjut kepada bahan-bahan lain yang belum terserang.
Sebagaimana telah
diutarakan di muka, deteriorasi hasil hutan
disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu penyebab utama adalah hama. Hama
merupakan istilah umum yang diberikan bagi berbagai hewan
penyebab kerusakan dalam bidang pertanian (termasuk kehutanan).
Hewan-hewan ini adalah serangga,
binatang pengerat, moluska,
krustasea dan lain-lain. Di
antara hewan-hewan
penyebab kerusakan kayu, yang paling banyak adalah jenis-jenis serangga.
Penyebab utama deteriorasi hasil hutan/kayu dapat
dibagi dalam dua
bagian yaitu :
1. Penyebab yang berasal dari unsur-unsur hayati
(faktor biologis)
2. Penyebab yang berasal dari unsur-unsur alami
(faktor fisik).
Di antara berbagai
penyebab biologis hewani, serangga atau insekta
(atau Hexapoda) merupakan yang paling banyak jenis-jenis perusaknya. Di samping
serangga, terdapat juga beberapa jenis moluska dan krustasea yang
merupakan
penggerek kayu di laut (marine borers). Penyebab dari
faktor biologis nabati (fungi dan bakteria) yang juga disebut penyebab
mikrobial merupakan faktor perusak penting di samping serangga.
Ketiga golongan perusak ini yaitu
serangga, penggerek kayu di laut
dan penyebab mikrobial diberikan di bawah ini.
4.
Konsep Pengendalian
Pengintegrasian berbagai cara
dan teknik
untuk mengendalikan hama disebut pengendalian (pengelolaan/manajemen)
hama
terpadu atau Integrated Pest Management (IPM). Cara dan teknik yang dilakukan dalam IPM adalah
berbagai
kegiatan dalam aspek silvikultur, eksploatasi, pengeringan kayu,
pengawetan
kayu dan pengendalian hama
dan penyakit dengan
pestisida.
Pada prinsipnya hama
tidak dapat
diberantas (dieliminasi) atau dihilangkan seluruhnya. Tujuan
utama IPM adalah menekan populasi organisme penyebab kerusakan sehingga
kerugian yang diakibatkannya dapat ditekan seminimum mungkin dan secara
ekonomis hasil optimum dapat tercapai.
Di bawah ini diberikan tata-aliran tahap-tahap
proses produksi
hasil hutan dalam hubungan dengan event bilamana
hasil hutan mengalami
deteriorasi dan dianalisis penyebabnya kemudian ditentukan
teknik-teknik
pengendaliannya.
Setiap tahapan
dari rangkaian proses (1 s/d 7 pada Gambar 1)
merupakan sub-proses yang dapat dianggap sebagai event
(kejadian).atau
kegiatan. Pada
setiap kegiatan bila perlu yaitu bila terdapat kerugian yang disebabkan
oleh hama atau penyakit
atau penyebab lain, dan secara ekonomis
merugikan dapat dilakukan tindakan pengendalian. Tentu
saja
sebelum dilakukan tindakan pengendalian perlu lebih dahulu diadakan
analisis
apakah tindakan ini secara ekonomis menguntungkan.
Bila tindakan
pengendalian dilakukan secara serentak terhadap
seluruh atau sebagian kegiatan atau tahapan di atas dengan berbagai
metoda,
maka tindakan ini merupakan IPM. Pengendalian
secara terpadu (IPM) berlaku
pula bila beberapa teknik dilakukan
secara terpadu bagi salah satu kegiatan.
Bila pengendalian dilakukan pada kegiatan hulu
(misalnya di hutan)
volume / nilai produksi akan
lebih besar. Makin hilir nilai
kerugian yang disebabkan oleh hama-penyakit per
satuan volume semakin besar karena nilai kayu semakin tinggi. Tingginya
nilai kayu di
tahap hilir di samping disebabkan oleh besarnya biaya eksploitasi dan
pengolahan juga karena terjadinya kerugian-kerugian oleh kerusakan
mekanis dan
limbah pada kegiatan-kegiatan yang dilalui hasil hutan. Tindakan pengendalian seperti pengawetan
dengan tekanan merupakan
tindakan pada tahap hilir. Pengeringan kayu merupakan
salah satu teknik
pengendalian karena kayu kering akan
mengurangi
serangan kumbang ambrosia dan berbagai serangan mikrobia.
Kerugian Rk pada kegiatan
ke k merupakan jumlah
kerugian karena kerusakan yang disebabkan oleh hama/penyakit dan
faktor-faktor
penyebab deteriorasi lainnya (Pk) dan jumlah limbah yang
timbul pada kegiatan
yang bersangkutan (Lk) :
Rk
=
Pk
+ Lk
Dengan demikian maka jumlah kerugian yang dialami
pada seluruh
proses produksi hasil hutan adalah : (n
= 1
... k , banyaknya
kegiatan/event).
Rn
= S (Pk + Lk)