If you
intend
to use this material, please acknowledge the author and the source of
the
information.
Nama penulis dan sumber perlu nyatakan jika anda menggunakan bahan ini.
Pendahuluan
Kurang
lebih 1 juta spesies
serangga telah dideskripsi (dikenal dalam ilmu pengetahuan), dan hal
ini
merupakan petunjuk
bahwa serangga
merupakan mahluk hidup yang mendominasi bumi. Diperkirakan, masih ada
sekitar
10 juta spesies serangga yang belum dideskripsi. Peranan serangga
sangat besar
dalam menguraikan bahan-bahan tanaman dan binatang dalam rantai makanan
ekosistem dan sebagai bahan makanan mahluk hidup lain. Serangga
memiliki
kemampuan luar biasa dalam beradaptasi dengan keadaan lingkungan yang
ekstrem,
seperti di padang pasir dan Antarktika.
Walaupun
ukuran badan serangga relatif kecil dibandingkan dengan
vertebrata, kuantitasnya yang demikian besar menyebabkan serangga
sangat
berperan dalam biodiversity (keanekaragaman bentuk
hidup) dan dalam
siklus energi dalam suatu habitat. Ukuran tubuh serangga bervariasi
dari
mikroskopis (seperti Thysanoptera, berbagai macam kutu dll.) sampai
yang besar
seperti walang kayu, kupu-kupu gajah dsb. Dalam suatu habitat di hutan
hujan
tropika diperkirakan, dengan hanya memperhitungkan serangga sosial
(jenis-jenis
semut, lebah dan rayap), peranannya dalam siklus energi adalah 4 kali
peranan
jenis-jenis vertebrata.
Satu-satunya
ekosistem di
mana serangga tidak lazim ditemukan adalah di samudera. Serangga juga
memiliki
keanekaragaman luar biasa dalam ukuran, bentuk dan perilaku. Kesuksesan
eksistensi kehidupan serangga di bumi ini diduga berkaitan erat dengan
rangka
luar (eksoskeleton) yang dimilikinya, yaitu kulitnya yang juga
merangkap
sebagai rangka penunjang tubuhnya, dan ukurannya yang relatif kecil
serta
kemampuan terbang sebagian besar jenis serangga.
Ukuran
badannya yang relatif
kecil menyebabkan kebutuhan makannya juga relatif sedikit dan lebih
mudah
memperoleh perlindungan terhadap serangan musuhnya. Serangga juga
memiliki
kemampuan bereproduksi lebih besar dalam waktu singkat, dan keragaman
genetik
yang lebih besar. Dengan kemampuannya untuk beradaptasi, menyebabkan
banyak
jenis serangga merupakan hama tanaman budidaya, yang mampu dengan cepat
mengembangkan sifat resistensi terhadap insektisida.
Beberapa
jenis serangga juga
berguna bagi kehidupan manusia seperti lebah madu, ulat sutera, kutu
lak, serangga
penyerbuk, musuh alami hama atau serangga perusak tanaman, pemakan
detritus dan
sampah, dan bahkan sebagai makanan bagi mahluk lain, termasuk manusia.
Tetapi
sehari-hari kita mengenal serangga dari aspek merugikan kehidupan
manusia
karena banyak di antaranya menjadi hama perusak dan pemakan tanaman
pertanian
dan menjadi pembawa (vektor) bagi berbagai penyakit seperti malaria dan
demam
berdarah. Walaupun demikian sebenarnya serangga perusak hanya kurang
dari 1
persen dari semua jenis serangga. Dengan mengenal serangga terutama
biologi dan
perilakunya maka diharapkan akan efisien manusia mengendalikan
kehidupan
serangga yang merugikan ini.
Keanekaragaman
yang tinggi dalam sifat-sifat morfologi,
fisiologi dan perilaku adaptasi dalam lingkungannya, dan demilkian
banyaknya
jenis serangga yang terdapat di muka bumi, menyebabkan
banyak kajian ilmu pengetahuan, baik yang
murni maupun terapan, menggunakan serangga sebagai model. Kajian
dinamika
populasi misalnya, bertumpu pada perkembangan populasi serangga.
Demikian pula,
pola, kajian ekologi, ekosistem dan habitat mengambil serangga sebagai
model
untuk mengembangkannya ke spesies-spesies lain dan dalam skala yang
lebih
besar.
.
Kiri: Hippodamia
glacialis, predator
dari aphid (J.Ogrodnick)
Tengah: Cotesia congregata,
parasitoid pada ulat (K.Kester)
Kanan: Larva Sphenoptera
jugoslavica pada
akar tanaman knapweed
(R.Richard).
(Sumber: http://www.nysaes.cornell.edu/ent/biocontrol/info/primer.html
).
Serangga
pada umumnya ringan
dan memiliki eksoskeleton atau integumen yang kuat. Jaringan otot dan
organ-organ terdapat di dalamnya. Di seluruh permukaan tubuhnya,
integumen
serangga memiliki berbagai syaraf penerima rangsang cahaya, tekanan,
bunyi,
temperatur, angin dan bau.
Pada
umumnya serangga
memiliki 3 bagian tubuh yaitu kepala, toraks (“dada”) dan abdomen
(“badan”).
Kepala berfungsi sebagai tempat dan alat masukan makanan dan rangsangan
syaraf
, serta untuk memproses informasi (otak). Berbagai macam bagian mulut
serangga
seperti: pengunyah (Orthoptera, Coleoptera, ulat Lepidoptera,
penusuk-pengisap
(kutu daun, walang sangit, nyamuk), spons pengisap (lalat),
belalai-sifon
(kupu-kupu dang ngengat).
Toraks
yang terdiri atas tiga
ruas memberikan tumpuan bagi tiga pasang kaki (sepasang pada setiap
ruas), dan
jika terdapat sayap, dua pasang pada ruas kedua dan ketiga. Bentuk kaki
bervariasi menurut fungsinya seperti untuk menggali (jangkrik,
Gryllidae),
menangkap (walang sembah, Mantidae), untuk berjalan (semut, Formicidae)
dsb.
Fungsi
utama abdomen adalah
untuk menampung saluran pencernaan dan alat reproduksi.
Anatomi internal serangga dicirikan oleh
peredaran darah terbuka, adanya saluran-saluran atau pipa pernapasan
dan tiga
bagian saluran pencernaan.
Serangga
memiliki jantung dan
aorta tetapi darah beredar bebas di dalam rongga badannya. Udara
memasuki
tubuhnya melalui spirakel (lobang-lobang) pada dinding badannya, melaui
system
pipa yang becabang-cabang ke seluruh tubuh.
Saluran
pencernaan terdiri
atas tiga bagian dengan fungsi yang berbeda-beda.
Sistem syaraf terdiri atas otak di kepala dan
simpul-simpul syaraf
di bagian toraks dan abdomen, berfungsi untuk mengolah informasi dan
memberikan
perintah-perintah ke organ-organ fungsional lainnya seperti otot dan
kelenjar-kelenjar.
Pengetahuan
tentang struktur
dan fungsi dari eksoskeleton serangga merupakan aspek penting karena
berguna
untuk pengembangan formulasi insektisida yang mampu menembus integumen
serangga
yang berlapis.
Kajian-kajian
tentang
komunikasi serangga menunjukkan bahwa terdapat senyawa-senyawa kimia
yang
berperan dalam komunikasi antar individu serangga, dan mekanisme dalam
menemukan makanannya. Bahan kimia ini disebut feromon (pheromones)
dan
banyak di antaranya telah diidentifikasi dan diproduksi secara
sintetik,
misalnya bahan penarik (atraktan) untuk lawan jenis, atraktan agregasi
(atraktan individu serangga sejenisnya) dan atraktan makanan. Feromon
sintetik
ini kini banyak digunakan untuk mengumpan serangga hama (kemudian
diracuni
dengan insektisida), mendeteksi adanya hama, mengestimasi kelimpahan
dan untuk
pengendalian. Apa pula feromon sintetik yang dalam pengendalian hama
berfungsi
membingungkan lawan jenis sehingga tidak memungkinkan terjadi
perkawinan, dan
berakibat pada penurunan populasi hama.
Struktur
bagian mulut serangga
digunakan juga dalam taktik pengendalian hama, terutama dalam aspek
selektivitas. Misalnya jika suatu serangga hama daun memiliki tipe
mulut
mengunyah maka insektisida digunakan dengan cara penyemprotan pada
permukaan
daun. Cara ini hanya efektif jika daun dimakan hama sedangkan dengan
kontak
saja tidak efektif. Perlu dipertimbangkan juga akan adanya serangga
yang
bersifat musuh alami dari hama yang perlu dihindarkan dari bahaya
insektisida.
Karena
serangga bernapas
melalui spirakel (lobang-lobang) pada integumen, penyumbatan spirakel
akan
meyebabkan kematiannya. Penggunaan insektisida berbasis minyak merusak
integumen (yang bahan utamanya adalah kutikel).
Ada
pula bakteri yang
menyebabkan penyakit serangga seperti Bacillus thuringiensis.
Komponen
bakteri ini seperti spora
kini telah
diproduksi dan dikemas sebagai insektisida thuricide.
Thuricide
menimbulkan penyakit saluran pencernaan pada serangga.
Sebagian besar insektisida yang digunakan
sekarang merupakan racun syaraf dan banyak di antaranya secara kimia
dikembangkan dari produk-produk alamiah seperti piretroida.
Contoh
feromon sintetik yang
kini digunakan sekarang antara lain untuk mengendalikan serangan rayap
pada
bangunan dengan jalan menarik (attracting); rayap
yang tertarik diberi
makan flumuron (bahan perusak kutukel), membawanya ke sarang koloni,
menyebabkan koloni rayap tidak dapat berganti kulit dan kemudian punah.
Kebanyakan
serangga memiliki
kelamin dan bereproduksi secara seksual. Pada beberapa spesies jarang
terdapat
jantan atau jika terdapat hanya pada musim-musim tertentu saja. Dalam
keadaan
tak ada jantan, betinanya masih bisa bereproduksi.
Hal ini umum di antara kutu daun (Aphids).
Pada beberapa
jenis penyengat (Hymenoptera), telur yang tak dibuahi menjadi jantan,
sedangkan
yang dibuahi menjadi betina.
Apa
pula spesies yang tak
memiliki jantan, semua keturunannya betina. Biasanya setiap telur
mengembangkan
satu embrio, tapi ada juga yang mengembangkan banyak embrio (polyembryony),
sampai ratusan. Biasanya, serangga bertelur; namun ada pula jesis-jenis
yang
telurnya menetas dalam tubuh induk sehingga melahirkan seperti ovipar,
pada Aphids (kutu daun).
Pertumbuhan
serangga biasanya
melalui empat tahap bentuk hidup yaitu:
telur, larva / nimfa, pupa dan stadium dewasa. Telur diletakkan secara
tunggal,
atau dalam kelompok, di dalam atau di atas jaringan tanaman atau
binatang inang
yang menjadi sasaran makanan serangga.
Embrio di dalam telur berkembang menjadi larva atau nimfa
(tergantung
macam metamorfosis atau perkembangan) yang keluar dari telur pada saat
telur
menetas.
Larva/nimfa
memiliki tahapan
perkembangan (instar), yang setiap tahapannya melalui proses pergantian
kulit (ecdysis),
karena setiap meningkatan ukuran tubuh pada satu instar ke instar
berikutnya
memerlukan integumen baru yang lebih besar (sama halnya dengan anak
yang
bertumbuh memerlukan pakaian yang ukurannya lebih besar). Larva
berkembang
menjadi pupa (pada ulat kup-kupu disebut cocoon
atau kepompong), dan
pupa dan nimfa berkembang menjadi serangga dewasa.
Dua
macam perkembangan yang dikenal dalam dunia serangga, yaitu
metamorfosis
sempurna atau holometabola yang melaui tahapan-tahapan atau stadium:
telur –
larva – pupa – dewasa, dan metamorfosis bertahap (hemimetabola) yang
melalui
stadium-stadium: telur – nimfa – dewasa.
Pada
hemimetabola, bentuk nimfa mirip
dewasa hanya saja sayap belum berkembang dan habitat (tempat tinggal
dan
makanan) nimfa biasanya sama dengan habitat stadium dewasanya. Contoh
hemimetabola adalah jenis-jenis kepik seperti walang sangit, yang
nimfanya
menempati habitat yang sama dengan kepik dewasa,
biasanya pada daun. Jenis-jenis belalang (Orthoptera) dan
lipas
(Blattaria) juga termasuk hemimetabola, nimfa dan stadium dewasanya
hidup dan
makan pada habitat yang sama.
Kumbang
(Coleoptera), kupu-kupu dan
ngengat (Lepidoptera) dan semut serta lebah (Hymenoptera) adalah
serangga
holometabola. Bentuk pradewasa (larva dan pupa) jenis-jenis
holometabola ini
sangat berbeda dengan stadium dewasanya. Perhatikanlah bentuk-bentuk
larva
seperti ulat bulu, ulat hijau, ulat jengkal yang kelak menjadi pupa dan
kemudian menjadi kupu-kupu indah dan berwarna-warni. Habitat larva
bisanya
sangat berbeda dari habitat dewasanya. Ulat makan daun sedangkan kupu
mengisap
cairan bunga. Demikian pula, larva lebah madu dipelihara oleh pekerja
(dalam
koloni), makan madu; tapi lebah dewasa yang bersayap terbang mencari
serbuk
bunga sebagai makanannya.
Serangga
metabola, setelah stadium larva
memasuki tahapan pupa yang “tidak aktif” (tidak makan), terbungkus
dalam kulit
kepompong yang disebut puparium yang berfungsi sebagai pelindung.
Serangga
termasuk berdarah
dingin, sehingga pertumbuhannya banyak dipengaruhi suhu lingkungannya. Di daerah-daerah beriklim
dingin
pertumbuhannya lambat, sedangkan di daerah tropik seperti Indonesia
pertumbuhan
serangga relatif cepat. Dengan demikian banyaknya generasi yang terjadi
di
daerah beriklim panas lebih banyak daripada di daerah dingin.
Dengan
mempelajari perilaku
pertumbuhan serangga para pakar pengendalian hama serangga
mengembangkan
cara-cara pengendalian dengan menggunakan pengatur tumbuh (insect
growth
regulators, IGR). Salah satunya adalah pengendalian dengan
hormon
pertumbuhan, yang mengganggu pembentukan kutikel pada saat ganti kulit.
Cara
ini sangat efektif dan selektif (tidak mengganggu serangga yang bukan
sasaran)
karena hanya mempengaruhi serangga sasaran.
Dinamika
pertumbuhan serangga
hama tanaman budidaya telah benyak diteliti dan daripadanya dihasilkan
model-model pertumbuhan yang dapat digunakan untuk meramalkan saat-saat
terjadinya epidemi pada tanaman atau inang tertentu, sehingga tindakan
pengendalian dapat dilaksanakan secara lebih tepat.
Pengetahuan
mengenai
klasifikasi serangga diperlukan agar jenis-jenis serangga yang demikian
banyaknya dapat dibedakan. Misalnya, dari sekian banyak serangga yang
menjadi
hama tanaman padi, perlu diketahui jenis-jenisnya, karena mereka
memiliki
perilaku hidup yang berbeda, menyerang bagian tanaman yang berbeda
(daun, buah,
batang, akar) menyebabkan kerugian yang berbeda sehingga berbeda pula
cara
penanganannya.
Pada
umumnya spesies-spesies
serangga dibedakan sesuai dengan kemiripan dalam penampakannya.
Jenis-jenis
lalat misalnya, dibedakan dari kupu-kupa berdasarkan karakter sayap.
Lalat
hanya memilki sepasang sayap, sedangkan kupu-kupu dua pasang.
Secara
hirarki, dikenal
taksa-taksa (taxon, taxa) dalam klasifikasi, oleh
karenanya maka ilmu
mengenai penggolongan jenis-jenis mahluk hidup biasanya disebut
taksonomi (taxonomy).
Taksonomi ulat kubis misalnya adalah sebagai berikut:
·
Filum
(Phylum) - Arthropoda
·
Kelas
- Insecta
·
Ordo
- Lepidoptera
·
Famili
- Plutellidae
·
Genus
- Plutella
·
spesies
- Plutella xylostella
Dengan
demikian nama spesies Plutella
xylostella berlaku
universal bagi
ulat kubis di seluruh dunia.
Ekologi
adalah disiplin
kajian hubungan-hubungan antar mahluk hidup dan lingkungannya.
Mengetahui
kelimpahan (abundance) serangga (hama) yang
menyerang tanaman tertentu
serta pengetahuan tentang kegiatan dan penampilan hama tersebut
(phenology) merupakan
factor-faktor
penting dalam menentukan pengendaliannya.
Beberapa hama memiliki hanya satu generasi pada satu musim
(univoltine),
sedangkan ada pula yang banyak generasi per musim (multivoltine).
Dalam
pengendalian hama
berkonteks agrosistem biasanya hama dianggap sebagai populasi.
Atribut-atribut
penting populasi adalah kerapatan, distribusi umur, laju kelahiran dan
laju
kematian.
Dinamika
populasi
Di
bumi ini tak ada satupun yang tidak
berubah. "Semua berubah dari waktu ke waktu; tak ada yang tak berubah
kecuali perubahan itu sendiri". Demikian ucap Heraklitus 500 tahun S.M.
Oleh perubahan juga maka kita mengenal jenis-jenis hayati dan
individu-individu
populasi yang ada sekarang -- termasuk di dalamnya eksistensi (dan
status) kita
sebagai bagian dari populasi hayati di bumi. Dan mungkin kita menyesali
jika
suatu saat karena ulah manusia sendiri atau bukan, ada jenis (spesies)
tertentu
punah. Bahkan juga mungkin kita merasa berkeberatan jika ada jenis lain
yang
tak diinginkan muncul. Perubahan yang terjadi di bumi sebagian besar
melibatkan
populasi jenis-jenis hayati di mana manusia termasuk di dalamnya.
Tetapi
manusia pula yang dianggap bertanggung jawab untuk "memulihkan"
perubahan atau lebih etis jika dikatakan mengendalikan perubahan agar
"berubah" ke arah lebih menguntungkan manusia --
agar cukup tersedia populasi spesies-spesies
hayati seperti tanaman padi, ternak sapi, populasi
ikan di laut dan di danau, semuanya untuk pasokan pangan.
Tapi
kita tak menginginkan jika populasi tikus di Jakarta menjadi demikian
banyaknya
sehingga jumlahnya melebihi jumlah penduduk Jakarta sendiri (walaupun
perkiraan
itu mungkin benar) atau patogen koli (salah satu penyebab penyakit
saluran
pencernaan manusia) di sungai-sungai dan perairan menjadi demikian
meningkat
dan mengancam kesehatan kita, sehingga dari waktu ke waktu perlu
dikendalikan
(perlu diubah). Apa yang dikemukakan merupakan topik populasi dan
perubahan,
atau singkatnya -- dinamika
populasi.
Perkembangan
ilmu dan teknologi yang
berlangsung demikian cepatnya masa kini diiringi oleh pengurasan
sumber-sumber
alam dalam bentuk populasi hayati yang cenderung semakin meningkat dan
dampaknya pun semakin terasa. Dampak-dampak yang merupakan akibat
perubahan-perubahan status sistem sumber-sumber hayati sepanjang
dimensi waktu
kehidupan manusia dari generasi ke generasi, termasuk konteks ilmu
perilaku
alam -- yang perlu dikuasai dengan teknologi, termasuk metode-metode
kuantitatif/ numerika. Tanpa analisis kuantatif rasanya tak mungkin
manusia
dapat meramalkan dampak-dampak kualitatif akibat perubahan-perubahan
perilaku
manusia dalam ia memanfaatkan dan mengelola sumber daya alamnya. Upaya
ini
merupakan salah satu jawaban atas tantangan-tantangan yang dihadapi
yang tak
dapat tidak dilakukan melalui ilmu dan teknologi juga.
Masalah
populasi mencakup sistem hayati
apa saja yang ada di bumi ini dan sehari-hari mungkin menjadi
pembicaraan
bahkan menjadi isyu politik dan pembangunan. Jelaslah bahwa apa yang
dimaksud
dengan sistem dalam pembahasan selanjutnya tak lain dari sistem
populasi dalam
konteks populasi hayati yang menghuni bumi ini seperti jenis-jenis
tetumbuhan (tanaman
budidaya, pohon
dsb.), satwa liar, ikan, ternak dan jasad renik seperti bakteria dan
protozoa
baik yang kini diketahui bermanfaat maupun yang diketahui tak
bermanfaat atau
bahkan merugikan yang semuanya dikenal sebagai sumber daya hayati yang
bertumbuh sehingga terus-menerus mengalami perubahan.
Sistem
pertumbuhan populasi dikaji menurut
perjalanan waktu tertentu dan menurut laju tertentu, sehingga ia tunduk
pada
kaidah-kaidah dinamika. Demikian pula ekosistem yang terbentuk dari
populasi
serta lingkungan fisiknya senantiasa berubah dan bertumbuh sepanjang
waktu. Pertumbuhan
ekonomi, perubahan
sosial, proses pendidikan dan bahkan proses pembangunan merupakan
contoh-contoh
lain yang memerlukan berbagai analisis yang didasarkan atas
kaidah-kaidah
perubahan (dinamika) dengan mempertimbangkan sumberdaya hayati awal,
laju
pertumbuhan dan batas-batas pertumbuhan (kemampuan sumber serta daya
dukung
lingkungan), pengaruh-pengaruh lain dari lingkungan dan sistem-sistem
terkait
lainnya.
Suatu
keunggulan (advantage) bagi
ekologi masakini adalah tidak seperti 40 tahun yang lampau, ekologi
baru
merupakan masalah "akademik" yang dibicarakan di sekolah atau
institusi yang berkaitan, kini ekologi telah menjadi perbincangan
khalayak dan
merupakan isyu pembangunan, karena kesadaran akan dampak-dampak masalah
ekologi
semakin memasyarakat. Khalayak juga telah menyadari akan terbatasnya
sumber-sumber alam seperti hutan, tanah dan air, terancamnya perairan,
komunitas-komunitas dalam ekosistem dan sebagainya. Masalah-masalah
yang
berkaitan dengan keterbatasan sumber, usaha-usaha pelestarian dalam
hubungannya
dengan keanekaragaman hayati --- dan
yang kini populer dengan ungkapan pemungutan hasil berasaskan
kelestarian
sumber, --- perlu dipecahkan oleh para pakar sumberdaya berdasarkan
analisis
yang mendalam dan pengetahuan yang komprehensif karena ramifikasi
sistem dan
komponen lingkungan serta sumberdaya hayati yang sangat kompleks dan
dinamis
tidaklah sesederhana konstruksi fisik. Hal ini merupakan salah satu
kendala
dalam pengkajian masalah lingkungan dan sumberdaya hayati.
Dalam
kaitan dengan hubungan
inang-parasitoid atau mangsa-pemangsa, model teoretik dinamika
pertumbuhan
"mangsa” (sumberdaya)
dan dinamika
"pemangsa" (pemungut hasil, the exploiter), dapat
dikaji lebih
lanjut bagi pemecahan pemanfaatan sumberdaya alam berasaskan
kelestarian dalam
konteks manajemen populasi sumber daya hayati untuk keperluan
pembangunan umat
manusia. Lebih jauh, masalah keseimbangan dan kestabilan populasi dan
ekosistem
merupakan salah satu kajian kunci bagi analisis kelestarian dan
keanekaragaman
hayati.
Ekologi
dan studi
populasi
Studi
populasi dan ekosistem merupakan
bagian dari ekologi. Sejak tahun 1960-an telah banyak diterbitkan
buku-buku
teks ekologi. Di antara sekian banyak buku-buku ekologi yang digunakan
untuk
subyek ini antara lain dapat diacu Odum (edisi ketiga, 1971), Watts
(1973), Southwick
(1976), Price (1975),
Krebs (1978) dan Begon, Harper dan Townsend, (edisi kedua, 1990).
Sejak
zaman dahulu orang telah mengamati
masalah-masalah ekologi tetapi istilah ekologi sendiri belum digunakan
pada
waktu itu. Masyarakat primitif telah menggunakan tumbuhan dan hewan di
sekitar
mereka untuk keperluan hidupnya. Peradaban manusia secara bertahap
tumbuh sejak
manusia mulai menggunakan api dan alat-alat untuk mengubah
lingkungannya bagi
kepentingan kelangsungan hidupnya. Kemajuan penguasaan manusia terhadap
alam
sejalan dengan berkembangnya peradaban yang berarti juga perkembangan
ilmu
pengetahuan dan teknologi yang menghasilkan teknik-teknik pemanfaatan
sumber-sumber alam secara lebih efisien. Pertumbuhan peradaban juga
menyebabkan
penduduk dunia semakin meningkat dan hal ini diiringi oleh berkurangnya
kualitas dan kuantitas sumber-sumber alam yang dieksploitasi manusia.
Proses-proses perubahan yang bersifat dinamik ini lambat laun
menginsyafkan
manusia bahwa sumber-sumber alam yang persediaannya terbatas perlu
dikelola
secara lestari agar hasil yang diperoleh dari padanya tak mengalami
penurunan,
akan tetapi tetap berlanjut (sustainable) dan
sumber-sumber alam hayati
yang digunakan diusahakan
untuk dapat
dibaharui (renewable).
Tulisan-tulisan
mengenai ekologi pada
zaman dahulu muncul dalam konteks ilmu hewan, ilmu tumbuhan dan/atau
ilmu
hayat. Pada abad ke 4 sebelum Masehi filsuf Aristoteles mencoba
menjelaskan
masalah-masalah epidemi hama belalang dan tikus yang sering mengancam
tanaman
pertanian Yunani. Dalam bukunya Historia Animalium,
Aristoteles
menjelaskan bahwa terjadinya ledakan hama tikus disebabkan oleh laju
pertumbuhan populasi tikus yang tak terkendalikan oleh musuh-musuh
alaminya,
dan pada waktu itu manusia tidak sanggup mengatasinya. Menurut
Aristoteles,
hanya hujan deraslah yang dapat menghempaskan populasi tikus itu sampai
mati
dan mengalirkannya ke sungai-sungai dan selanjutnya ke laut. Plato dan
Herodotus juga dalam tulisan mereka menyinggung mengenai alam dan
sumber-sumbernya yang mampu menjamin berlangsungnya kehidupan
spesies-spesies
mahluk hidup. Mereka menganggap bahwa kerapatan populasi atau jumlah
individu
dari setiap spesies tidak banyak berubah sepanjang waktu. Jika terjadi
ledakan
populasi yang dapat membawa bencana, hal ini disebabkan oleh tindakan
dewa-dewa
untuk menghukum orang-orang yang hidupnya tidak berkenan kepada para
dewa.
Penulis-penulis ini beranggapan bahwa dalam alam terdapat keseimbangan,
dan
keselarasan (harmony) sehingga tidak akan ada
spesies yang dapat punah
karena kepunahan spesies akan menyebabkan gangguan keseimbangan dan
keselarasan
dalam alam. Anggapan ini mungkin cukup berdasar pada zaman Plato karena
pada
waktu itu manusia belum banyak melakukan perubahan-perubahan dalam
ekosistemnya.
Jadi,
apa yang dikemukakan oleh
filsuf-filsuf zaman dahulu merupakan pemikiran pada zaman itu mengenai
ekologi,
walaupun istilah ekologi belum digunakan sampai dengan abad ke 19.
Istilah
“oekologi" pertama kali dimunculkan pada tahun 1869 oleh ahli ilmu
hayat
bangsa Jerman, Ernst Haeckel. Oekologi atau ekologi berasal dari kata
Junani
oikos yang berarti rumah, dan logos yang artinya pengetahuan. Ekologi
biasanya
didefinisikan sebagai hubungan antara makhluk hidup dengan
lingkungannya.
Karena ekologi berkaitan dengan biologi kelompok-kelompok makhluk hidup
dan
proses-proses fungsional yang berlangsung di darat, di lautan, di
perairan dan
di udara maka ekologi merupakan kajian terhadap struktur dan fungsi
alam, di
mana manusia merupakan bagian utama dari padanya. Ekologi dapat pula
didefinisikan sebagai keseluruhan pola-pola hubungan antara makhluk
hidup
dengan lingkungannya. Keadaan lingkungan hidup mempengaruhi
keanekaragaman
bentuk-bentuk hayati dan banyaknya jenis makhluk hidup atau
keanekaragaman
hayati (biodiversitas) dan sebaliknya keaneka‑ragaman dan banyaknya
makhluk hidup juga menentukan keadaan lingkungan. Misalnya, kualitas
dan
kuantitas penutupan tanah oleh hutan ditentukan oleh banyaknya jenis
pohon yang
ada dalam hutan yang bersangkutan. Hutan Pinus merkusii
yang cenderung
berkembang dalam formasi sejenis (hutan pinus "monokultur") membentuk
serasah yang proses humifikasinya lebih lambat sehingga sangat kurang
memberikan peluang bagi pertumbuhan tumbuhan bawah. Di lain pihak,
proses
pertumbuhan hutan tropik yang pada umumnya terdiri atas berbagai
spesies pohon,
menghasilkan serasah dengan humifikasi yang cepat dan menumbuhkan
berbagai
jenis tumbuhan bawah. Hutan tropik yang lebat ini memberikan konservasi
lahan
yang lebih baik karena tingkat erosi tanah menjadi sangat berkurang,
air hujan
dapat diserap lebih banyak ke dalam tanah sehingga pada musim penghujan
tidak
mengakibatkan banjir di daerah aliran sungai sekitarnya.
Demikian
pula, ekosistem hutan tropik yang
memiliki komunitas dengan keanekaragaman hayati yang tinggi merupakan
habitat
bagi pelbagai makhluk hidup seperti bakteria, lumut, rayap dan berbagai
satwa
liar. Keanekaragaman dan jumlah makhluk hidup yang ada dalam ekosistem
hutan
menjamin keadaan lingkungan yang baik.
Dari uraian ini jelas bahwa ekologi merupakan keseluruhan
pola hubungan
timbal-balik antara makhluk hidup dan lingkungan.
Dewasa
ini dengan berkembangnya berbagai
cabang ilmu pengetahuan dan berkembangnya penekanan-penekanan khusus
sesuai
dengan keperluan pembangunan, maka kajian-kajian ekologi juga
berkembang
demikian rupa sehingga kita kini mengenal berbagai macam ekologi
seperti
ekologi kependudukan, ekologi perairan, ekologi hutan, ekologi
pertanian,
ekologi serangga dan bahkan ekologi perkotaan dan sebagainya.
Kemajuan-kemajuan
dalam ilmu-ilmu dasar (matematika, biologi, kimia, fisika dan
statistika)
sebagai dasar pengembangan teknologi telah banyak berjasa dalam
perkembangan ekologi
terutama sekitar 40 tahun terakhir. Kemajuan teknologi yang pada satu
sisi
telah menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan, pada sisi lain
merupakan
tumpuan harapan manusia dalam upayanya mengelola lingkungannya secara
lebih
baik.
Kajian
ekologi antara lain dapat
dipelajari dengan membagi lingkungan hidup (environment) atau biosfer (biosphere)
dalam beberapa bagian sesuai dengan komponen-komponen atau bagian yang
membentuk lingkungan yaitu:
1. Lingkungan fisik atau
abiotik,
2.
Lingkungan
hayati atau biotic
3.
Lingkungan
fisik mencakup unsur-unsur litosfer (lithosphere)
atau lapisan kerak bumi termasuk tanah) yang mencakup tipe tanah, bahan
induk,
serta parameter-parameternya seperti struktur, tekstur, sifat-sifat
fisik,
kimia dan kesuburan), hidrosfer (hydrosphere), yang
meliputi lautan dan
perairan lainnya dengan parameter-parameter: arus, kedalaman,
salinitas,
keasaman (pH), kandungan bahan-bahan, suhu dll.) dan atmosfer (atmosphere,
udara: iklim, cuaca, angin, suhu dll.).
4.
Lingkungan
biotik merupakan bagian dari keseluruhan lingkungan
yang terbentuk dari semua fungsi hayati makhluk-makhluk hidup yang satu
dengan
yang lainnya saling berinteraksi. Asosiasi atau hubungan-hubungan
fungsional
antar makhluk hidup dapat dikaji dalam berbagai tahapan. Misalnya ada
studi
mengenai satu makhluk hidup dan seluruh populasinya, ada pula studi
yang
mencakup seluruh komunitas yaitu kajian atas interaksi berbagai
populasi dalam
satu daerah tertentu.
Perkembangan
ekologi yang berkaitan dengan
dinamika populasi walau berkembang agak lambat tetapi cukup konsisten.
Dapat
dikatakan walaupun sejak dahulu pada waktu-waktu tertentu orang telah
tertarik
kepada masalah sensus penduduk, teori-teori populasi baru berkembang
pesat pada
abad ke-19. Memang dasar-dasar studi populasi telah ada sejak abad ke
17 tetapi
kajian-kajian yang lebih mendalam baru mulai mendapat perhatian setelah
para
ahli mulai memikirkan masalah keterbatasan sumber daya (bahan makanan,
perumahan dsb.) dalam hubungannya dengan peningkatan penduduk.
Sepanjang
sejarah dunia sejak abad-abad
pertama bangsa-bangsa di Eropah dan Asia Kecil telah mengenal sensus
atau
penghitungan jumlah penduduk. Antara lain karena para penguasa ingin
mengetahui
besarnya pajak yang dapat dipungut dari rakyatnya dan berapa besar
angkatan
perang yang dapat dikerahkan untuk menaklukkan daerah-daerah sekitar
yang dapat
dijangkau untuk melebarkan daerah jajahan.
Konsep-konsep
mengenai analisis
kependudukan baru mulai muncul pada abad ke 17 di Inggeris. Pada tahun
1662
Graunt mengemukakan argumentasi mengenai pentingnya data sensus
penduduk untuk
menentukan laju kelahiran, laju kematian, nisbah kelamin (sex
ratio) dan
struktur umur untuk mengukur potensi pertumbuhan penduduk, dan ia
berkesimpulan
bahwa walaupun tanpa imigrasi penduduk London pada waktu itu akan
meningkat dua
kali setelah 64 tahun.
Anthonie
van Leeuwenhoek, yang dikenal
sebagai penemu mikroskop karena kegemarannya memeriksa makhluk-makhluk
renik,
juga gemar mengamati perkembangan binatang kecil seperti kumbang beras,
lalat carrion
dan kutu kepala manusia. Ia menghitung banyaknya telur yang diletakkan
oleh
lalat carrion betina dan menyimpulkan bahwa dalam
tiga bulan sepasang
lalat tersebut dapat menghasilkan 746.496 lalat.
Dalam
bukunya berjudul Natural History,
Buffon pada tahun 1756 (vide Krebs, 1978)
mengemukakan bahwa setiap
populasi makhluk hidup mengalami proses yang sama. Antara lain
dikemukakan,
walaupun tingkat keperidian (fertilitas) suatu organisme mungkin sangat
tinggi
tetapi bahaya yang mengancam populasinya juga besar. Lebih jauh ia
mengemukakan
bahwa ledakan populasi yang sewaktu-waktu terjadi pada tikus lapangan
sebagian
dapat ditekan oleh penyakit dan kekurangan makanan. Demikian pula, jika
tidak
terdapat penyakit yang mengancam populasi kelinci, maka kelimpahan
populasi
kelinci akan mengubah setiap padang rumput yang ada di dunia menjadi
padang
pasir. Buffon menolak hipotesis Aristoteles mengenai ledakan populasi
tikus
lapangan yang dapat ditekan oleh hujan deras. Akan ikhwal kelimpahan
populasi
tikus, seperti halnya dengan kelinci, ia berpendapat bahwa epidemi
tikus
lapangan kemudian menurun karena timbulnya wabah penyakit. Ternyata
bahwa
masalah-masalah yang telah dikemukakan oleh Buffon mengenai hama dan
penyakit
pada pertengahan abad ke 18 itu masih saja merupakan masalah kita
sekarang ---
250 tahun sesudahnya.
Perlu
pula disinggung mengenai teori
demografi yang kontroversial dari Malthus. Dalam bukunya Essay on
Population
Malthus menghitung, walaupun jumlah individu suatu organisme dapat
berkembang
secara geometrik (deret ukur: 1, 2, 4, 8 ...) tetapi sumber-sumber
makanan
tidak melampaui pertumbuhan aritmatik (deret hitung: 1, 2, 3, 4 ...).
Besarnya
perbedaan dalam pola peningkatan kedua model ini menyebabkan Malthus
mengambil
kesimpulan bahwa perkembangbiakan populasi makhluk hidup akan
dikendalikan oleh
kemampuan makhluk hidup itu untuk menghasilkan bahan makanan baginya.
Peningkatan bahan makanan secara aritmatik yang diberikan oleh Malthus
memang
merupakan hipotesis yang kurang berdasar, tetapi sampai saat ini, 200
tahun
setelah teori Malthus dicetuskan, kita masih saja mempermasalahkan
implikasi-implikasi teori itu, antara lain kendali-kendali apa yang
dapat
dilakukan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk yang memang tidak
sesederhana
pertumbuhan menurut pola geometrik seperti yang dihipotesiskan oleh
Malthus
itu. Salah seorang yang mempertanyakan teori Malthus adalah Doubleday
(vide
Krebs, 1978). Berdasarkan pengamatannya terhadap perkembangan populasi
manusia,
pada tahun 1841 ia mengemukakan suatu teori bahwa jika suatu spesies
terancam
populasinya maka kesuburannya akan meningkat. Teori ini didasarkan atas
beberapa kenyataan yang diamatinya pada saat itu yaitu adanya
orang-orang yang
gizinya kurang akan tetapi tingkat kesuburannya lebih tinggi dari
orang-orang
yang makanannya berkelimpahan. Doubleday menjelaskan bahwa penurunan
kesuburan
pada orang-orang yang makanannya melimpah disebabkan oleh kelebihan
mineral
dalam tubuhnya. Walaupun apa yang diamati oleh Doubleday mungkin dapat
kita
amati sekarang namun pendekatan yang digunakannya untuk menjelaskan
masalah ini
kini dianggap kurang tepat.
Quetelet,
seorang ahli statistika Belgia
adalah yang pertama kali mengetengahkan teori mengenai terjadinya
penekanan
populasi sebagai akibat peningkatan populasi secara geometrik. Pada
tahun 1838,
salah seorang mantan muridnya, Verhulst, menggambarkan peningkatan
suatu
populasi terhadap waktu, yang ia namakan kurva logistik dalam bentuk S.
Konsep
yang dikemukakan oleh Verhulst
telah membuka jalan bagi perkembangan studi populasi sampai pada tahap
yang
dicapai sekarang. Kelak dalam bab-bab berikut teori yang mendasari
kurva
logistik serta implikasi-implikasinya akan dikaji lebih mendalam.
Populasi
Populasi
adalah sehimpunan individu atau
kelompok individu suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam satu
spesies
(atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan
jenis
yang bersangkutan), dan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu
wilayah atau
tata ruang tertentu. Adapun sifat-sifat khas yang dimiliki oleh suatu
populasi
adalah kerapatan (densitas), laju kelahiran (natalitas), laju kematian
(mortalitas), sebaran (distribusi) umur, potensi biotik, sifat genetik,
perilaku dan pemencaran (dispersi).
Dalam studi populasi, lazimnya peneliti menentukan sendiri
secara
arbitrer kriteria yang membatasi populasi yang akan ditelitinya.
Sebagai contoh
seorang peneliti dapat secara arbitrer menentukan: populasi Eurema
blanda
L pada persemaian Paraseriathes falcataria di
Saradan, populasi banteng
(Bos sondaicus} di Baluran, populasi rayap kayu
kering (Cryptotermes
cynocephalus Light) di gedung-gedung Kampus Universitas
Pakuan, Bogor dan
seterusnya.
Dari
segi populasi, ekologi dapat
didefinisikan sebagai hubungan antara kerapatan biomas populasi dengan
lingkungan, interaksi antar (inter) populasi dan
dalam (intra)
populasi, serta efek populasi terhadap
lingkungan.
Tingkatan
organisasi
Seperti
telah dikemukakan terdahulu
populasi adalah sekelompok individu dari suatu spesies pada suatu
tempat yang
terbatas dan tertentu (limited and defined) dan
pada waktu tertentu
sedangkan lingkungan merupakan variabel fisik dan hayati yang
mempengaruhi
populasi, termasuk interaksi antara individu dalam populasi dan antar
individu
spesies-spesies yang berbeda.
Dem
(deme) adalah populasi setempat
(local population) yang merupakan sekelompok
individu di mana setiap
pasangan (jantan dan betina) dalam kelompok itu memiliki peluang yang
sama
untuk kawin (memiliki satu gene pool). Spesies
adalah himpunan
populasi-populasi yang memiliki gene pool yang
sama. Tingkatan
organisasi yang lebih tinggi adalah komunitas sebagai populasi dari
berbagai
spesies yang hidup pada satu wilayah tertentu, sedangkan ekosistem
adalah
komunitas bersama-sama dengan lingkungan fisiknya. Ekosistem-ekosistem
regional
seperti daerah padang rumput, hutan hujan tropik dan hutan gugur daun
adalah
bioma (biome).
Sistem
kehidupan atau sistem hayati (life
system) adalah suatu satuan ekologi yang merupakan bagian
dari ekosistem
yang menentukan eksistensi, kelimpahan dan evolusi dari populasi
tertentu. Dari
segi ini, ekosistem dapat dianggap sebagai himpunan sistem-sistem
kehidupan
yang saling mengunci (interlocking life system).
Jaring-jaring
makanan, rantai makanan dan hubungan trofik
Makanan
sebagai sumber energi adalah salah
satu komponen esensial untuk kelangsungan hidup yang dapat membatasi
pertumbuhan populasi. Hubungan trofik merupakan pola hubungan produksi
dan
konsumsi bahan makanan antar spesies dalam ekosistem, atau dalam
ungkapan
sederhana: apa yang dimakan oleh suatu makhluk dan siapa yang memakan
makhluk
yang bersangkutan. Jika ini diteruskan dengan beberapa spesies maka
terbentuklah suatu rantai atau bahkan beberapa rantai yang saling
berhubungan
dan membentuk jaring-jaring, yang dikenal sebagai rantai makanan atau
jaring-jaring makanan. Pola hubungan aras trofik (trophic
levels) tampak
sangat sederhana tetapi kenyataan menunjukkan bahwa jaring-jaring
makanan dapat
menjadi sangat kompleks.
Dari
segi hubungan trofik, makhluk
hidup dapat
digolongkan dalam dua
kategori yaitu autotrof atau makhluk hidup yang memperoleh energi dari
sinar
matahari dan/atau sumber-sumber non-hayati, dan heterotrof yang
memperoleh
energi dari sumber-sumber hayati (makan makhluk hidup lain). Sinar
matahari
merupakan sumber utama penghasil makanan melalui proses fotosintesis.
Makhluk
hidup utama yang bertindak sebagai produsen (autotrof)
adalah tumbuhan (termasuk beberapa jenis
bakteria), yang dapat memanfaatkan sinar matahari untuk membentuk
makanannya
(seperti tumbuhan yang memiliki klorofil), dan/atau dapat memanfaatkan
bahan-bahan non hayati di sekitarnya untuk makanannya. Sedangkan
konsumen
(heterotrof) adalah semua jenis makhluk hidup di luar tumbuh-tumbuhan
dan
bakteria yang hidupnya tergantung dari tersedianya makhluk hidup
produsen.
Sistem
hubungan trofik dapat diberikan
contoh, tegakan jati yang diserang rayap inger-inger (Neotermes
tectonae
Damm.), sedangkan inger-inger sendiri menjadi mangsa semut dan semut
dimangsa
oleh burung. Contoh lain adalah ayam yang memangsa cacing tanah,
dimangsa oleh
musang, sedangkan musang dimangsa oleh harimau. Pada contoh kedua ayam
berada
pada posisi ketiga (karena cacing tanah makan humus yang berasal dari
serasah
bahan tumbuhan) sedangkan musang keempat, dan harimau kelima. Dalam
contoh ini
baik ayam, musang dan harimau adalah karnivora (makhluk pemakan hewan)
tetapi
sebenarnya ayam yang makan cacing tanah tidak mutlak termasuk karnivora
melainkan omnivivora (yang dapat makan tumbuhan maupun hewan) sedangkan
harimau
dan musang lebih bersifat karnivora. Sebagaimana halnya ayam, manusia
juga
termasuk omnivora karena kita gemar makan kambing dan ayam dan
sekaligus juga
nasi, jagung dan sayur kubis. Herbivora (makhluk pemakan tumbuhan)
adalah
konsumen primer, sedangkan karnivora dapat dikategorikan kepada
konsumen
sekunder dan tertier. Serangga biasanya berada pada posisi kedua dan
ketiga
dalam rantai makanan.
Berbagai
hewan memiliki perilaku makan
yang berbeda menurut musim. Misalnya serigala Spitzbergen di dekat
kutub Utara
pada musim dingin bersifat saprofag (memakan sisa-sisa jasad hidup yang
telah
mati) di perairan beku, sedangkan pada musim panas memangsa
burung-burung,
serangga dan tumbuhan. Beberapa jenis serangga berperilaku makan yang
berbeda
pula pada tahap-tahap perkembangannya. Serangga holometabola seperti
kupu-kupu
jelas menunjukkan sifat ini. Nyamuk pada stadium larva makan jasad
renik dalam
air, pada stadium dewasa mengisap darah vertebrata. Karena makanan
seringkali
tidak tersedia dalam kuantitas yang memadai, serangga holometabola
(yang
mengalami metamorfosis sempurna seperti Lepidoptera Coleoptera,
Hymenoptera dan
Diptera) yang makanannya berbeda pada stadium larva dan imago selalu
menghindar
dari persaingan makanan dalam spesiesnya (intra-spesies). Sifat
adaptasi ini
menyebabkan keberhasilan eksistensi serangga holometabola, yang
mencakup 85
persen dari seluruh spesies serangga. Sisanya (15 persen) adalah
serangga
hemimetabola yang pada stadium dewasa dan pradewasa memiliki morfologi
dan
perilaku makan yang sangat mirip satu dengan yang lain.
Studi
populasi bertujuan untuk menjelaskan
dan meramalkan perkembangan suatu populasi. Dalam studi ini acapkali
dipergunakan model untuk menjelaskan sistem serta hubungan-hubungannya
dapat
diberikan secara kualitatif maupun kuantitatif. Model adalah
simplifikasi dari
suatu sistem, yang menggambarkan keadaan yang sebenarnya.
Untuk
menyatakan bahwa hama kutu loncat, Heteropsylla
sp. pada lamtoro (Leucaena spp.) misalnya tahun
depan tidak akan menjadi
wabah lagi karena menurut ramalan cuaca, hujan yang turun tahun depan
di bawah
normal. Dengan curah hujan yang kurang, pucuk lamtoro sebagai makanan
kutu akan
berkurang, pemangsa kutu loncat (Curinus coeruleus)
akan menurun
populasinya dan mungkin akan kesulitan memperoleh mangsa yang lain.
Dengan
berkurangnya predator, kemungkinan pada musim kemarau tahun berikutnya
populasi
kutu akan naik. Turun naiknya populasi kutu daun berlangsung terus
dalam bentuk
siklus dua tahunan sehingga kurva trayektori populasi berlangsung turun
naik
(osilasi). Dasar-dasar pernyataan yang bersifat deskriptif ini telah
memadai,
jika faktor penentu naik turunnya populasi kutu loncat semata-mata
hanya faktor
curah hujan dan pemangsanya.
Untuk
mendapatkan model yang lebih baik,
wawasan kajian perlu diperluas dengan memasukkan faktor-faktor lain
seperti
informasi mengenai pengaruh curah hujan yang tinggi terhadap
pertumbuhan
lamtoro, musuh-musuh lain dari kutu lamtoro (parasit, parasitoid),
kemungkinan
imigrasi individu kutu loncat dari tempat lain, sifat genetik dan
perilaku kutu
loncat, dan seterusnya. Karena faktor yang menentukan naik turunnya
populasi
organisme tidak semata-mata hanya tergantung pada curah hujan dan
pemangsanya
saja. Berbagai faktor perlu diketahui kemudian dicari besarnya pengaruh
setiap
faktor terhadap faktor yang lain yang juga mungkin merupakan faktor
yang
menentukan untuk faktor yang mempengaruhi pertumbuhan populasi obyek
yang kita
kaji.
Penelitian
ekologi populasi merupakan
pencarian jawaban atas berbagai pertanyaan seperti bagaimana perilaku
pertumbuhan populasi jenis hayati A ? Bagaimana nasib hutan hujan
tropik
Indonesia nanti setelah tahun 2000 ? Atau, berapa pengaruh hutan kita
dalam
memasok oksigen di atmosfer pada tahun 2020 ? Banyak jawaban atas
masalah-masalah
seperti disebutkan di atas dapat diberikan secara deskriptif tetapi
ketepatan
(atau lebih tepat bila dikatakan kesimpulan yang mendekati tepat)
cenderung
lebih mudah untuk diyakini bila semua pengaruh, kaitan, fungsi,
derivasi dan
kecenderungan perilaku yang kita kaji itu dianalisis dengan metode
kuantitatif
agar kesimpulan yang diambil tidak terlampau samar-samar, dan
ketidak-tepatan
yang dihasilkan dapat diumpan-balikkan kepada proses kajian kita untuk
diulangi
kembali sehingga diperoleh hasil yang lebih tajam.
Kepustakaan:
Begon,
M, J.L. Harper dan C. L. Townsend (1990). Ecology:
Individuals, Populations and Communities. 2nd
Ed. Blackwell Sci.
Publ. , Boston, Oxford etc. 945 p.
Hoffmann,
M.P. and Frodsham, A.C. (1993) Natural Enemies of
Vegetable Insect Pests. Cooperative Extension, Cornell University,
Ithaca, NY.
63 pp.
Insect
Biology and
Ecology: A Primer.
http://www.nysaes.cornell.edu/ent/biocontrol/info/primer.html (Cornell
University), dikunjungi 15 Desember 2000.
Krebs,
C.J. (1978). Ecology: The experimental Analysis of
Distribution and Abundance, 2nd Ed.. Harper
& Raw Publ., New
York etc. 678 p.
Meyer,
John R. ;
Department of Entomology, NC State University, ENT 425 http://www.cals.ncsu.edu/course/ent425
, dikunjungi 1 November 2000.
Odum,
E.P. (1971). Fundamental of Ecology. W.B.Saunders Co.
Philadelphia etc., 574.
Tarumingkeng,
PhD, Rudy C. (1994). Dinamika Populasi. Pustaka Sinar Harapan. 284 p.
4
January 2001.
Rudy
C Tarumingkeng. PhD