SERANGGA DAN LINGKUNGAN

Prof Ir Rudy C Tarumingkeng, PhD

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

If you intend to use this material, please acknowledge the author and the source of the information.
Nama penulis dan sumber perlu nyatakan jika anda menggunakan bahan ini.   

 

Pendahuluan

Kurang lebih 1 juta spesies serangga telah dideskripsi (dikenal dalam ilmu pengetahuan), dan hal ini merupakan  petunjuk bahwa serangga merupakan mahluk hidup yang mendominasi bumi. Diperkirakan, masih ada sekitar 10 juta spesies serangga yang belum dideskripsi. Peranan serangga sangat besar dalam menguraikan bahan-bahan tanaman dan binatang dalam rantai makanan ekosistem dan sebagai bahan makanan mahluk hidup lain. Serangga memiliki kemampuan luar biasa dalam beradaptasi dengan keadaan lingkungan yang ekstrem, seperti di padang pasir dan  Antarktika.

Walaupun ukuran badan serangga relatif kecil dibandingkan dengan vertebrata, kuantitasnya yang demikian besar menyebabkan serangga sangat berperan dalam biodiversity (keanekaragaman bentuk hidup) dan dalam siklus energi dalam suatu habitat. Ukuran tubuh serangga bervariasi dari mikroskopis (seperti Thysanoptera, berbagai macam kutu dll.) sampai yang besar seperti walang kayu, kupu-kupu gajah dsb. Dalam suatu habitat di hutan hujan tropika diperkirakan, dengan hanya memperhitungkan serangga sosial (jenis-jenis semut, lebah dan rayap), peranannya dalam siklus energi adalah 4 kali peranan jenis-jenis vertebrata.

Satu-satunya ekosistem di mana serangga tidak lazim ditemukan adalah di samudera. Serangga juga memiliki keanekaragaman luar biasa dalam ukuran, bentuk dan perilaku. Kesuksesan eksistensi kehidupan serangga di bumi ini diduga berkaitan erat dengan rangka luar (eksoskeleton) yang dimilikinya, yaitu kulitnya yang juga merangkap sebagai rangka penunjang tubuhnya, dan ukurannya yang relatif kecil serta kemampuan terbang sebagian besar jenis serangga. 

Ukuran badannya yang relatif kecil menyebabkan kebutuhan makannya juga relatif sedikit dan lebih mudah memperoleh perlindungan terhadap serangan musuhnya. Serangga juga memiliki kemampuan bereproduksi lebih besar dalam waktu singkat, dan keragaman genetik yang lebih besar. Dengan kemampuannya untuk beradaptasi, menyebabkan banyak jenis serangga merupakan hama tanaman budidaya, yang mampu dengan cepat mengembangkan sifat resistensi terhadap insektisida.

Beberapa jenis serangga juga berguna bagi kehidupan manusia seperti lebah madu, ulat sutera, kutu lak, serangga penyerbuk, musuh alami hama atau serangga perusak tanaman, pemakan detritus dan sampah, dan bahkan sebagai makanan bagi mahluk lain, termasuk manusia. Tetapi sehari-hari kita mengenal serangga dari aspek merugikan kehidupan manusia karena banyak di antaranya menjadi hama perusak dan pemakan tanaman pertanian dan menjadi pembawa (vektor) bagi berbagai penyakit seperti malaria dan demam berdarah. Walaupun demikian sebenarnya serangga perusak hanya kurang dari 1 persen dari semua jenis serangga. Dengan mengenal serangga terutama biologi dan perilakunya maka diharapkan akan efisien manusia mengendalikan kehidupan serangga yang merugikan ini.

Keanekaragaman yang tinggi dalam sifat-sifat morfologi, fisiologi dan perilaku adaptasi dalam lingkungannya, dan demilkian banyaknya jenis serangga yang terdapat di muka bumi, menyebabkan  banyak kajian ilmu pengetahuan, baik yang murni maupun terapan, menggunakan serangga sebagai model. Kajian dinamika populasi misalnya, bertumpu pada perkembangan populasi serangga. Demikian pula, pola, kajian ekologi, ekosistem dan habitat mengambil serangga sebagai model untuk mengembangkannya ke spesies-spesies lain dan dalam skala yang lebih besar.

.

Kiri:  Hippodamia glacialis,  predator dari aphid (J.Ogrodnick)
Tengah: Cotesia congregata,  parasitoid pada ulat (K.Kester)
Kanan: Larva  Sphenoptera jugoslavica   pada akar tanaman knapweed  (R.Richard).

(Sumber:  http://www.nysaes.cornell.edu/ent/biocontrol/info/primer.html ).  

Anatomi serangga

Serangga pada umumnya ringan dan memiliki eksoskeleton atau integumen yang kuat. Jaringan otot dan organ-organ terdapat di dalamnya. Di seluruh permukaan tubuhnya, integumen serangga memiliki berbagai syaraf penerima rangsang cahaya, tekanan, bunyi, temperatur, angin dan bau.

Pada umumnya serangga memiliki 3 bagian tubuh yaitu kepala, toraks (“dada”) dan abdomen (“badan”). Kepala berfungsi sebagai tempat dan alat masukan makanan dan rangsangan syaraf , serta untuk memproses informasi (otak). Berbagai macam bagian mulut serangga seperti: pengunyah (Orthoptera, Coleoptera, ulat Lepidoptera, penusuk-pengisap (kutu daun, walang sangit, nyamuk), spons pengisap (lalat), belalai-sifon (kupu-kupu dang ngengat).

Toraks yang terdiri atas tiga ruas memberikan tumpuan bagi tiga pasang kaki (sepasang pada setiap ruas), dan jika terdapat sayap, dua pasang pada ruas kedua dan ketiga. Bentuk kaki bervariasi menurut fungsinya seperti untuk menggali (jangkrik, Gryllidae), menangkap (walang sembah, Mantidae), untuk berjalan (semut, Formicidae) dsb.

Fungsi utama abdomen adalah untuk menampung saluran pencernaan dan alat reproduksi.  Anatomi internal serangga dicirikan oleh peredaran darah terbuka, adanya saluran-saluran atau pipa pernapasan dan tiga bagian saluran pencernaan.

Serangga memiliki jantung dan aorta tetapi darah beredar bebas di dalam rongga badannya. Udara memasuki tubuhnya melalui spirakel (lobang-lobang) pada dinding badannya, melaui system pipa yang becabang-cabang ke seluruh tubuh. 

Saluran pencernaan terdiri atas tiga bagian dengan fungsi yang berbeda-beda.  Sistem syaraf terdiri atas otak di kepala dan simpul-simpul syaraf di bagian toraks dan abdomen, berfungsi untuk mengolah informasi dan memberikan perintah-perintah ke organ-organ fungsional lainnya seperti otot dan kelenjar-kelenjar. 

Pengetahuan tentang struktur dan fungsi dari eksoskeleton serangga merupakan aspek penting karena berguna untuk pengembangan formulasi insektisida yang mampu menembus integumen serangga yang berlapis.

Kajian-kajian tentang komunikasi serangga menunjukkan bahwa terdapat senyawa-senyawa kimia yang berperan dalam komunikasi antar individu serangga, dan mekanisme dalam menemukan makanannya. Bahan kimia ini disebut feromon (pheromones) dan banyak di antaranya telah diidentifikasi dan diproduksi secara sintetik, misalnya bahan penarik (atraktan) untuk lawan jenis, atraktan agregasi (atraktan individu serangga sejenisnya) dan atraktan makanan. Feromon sintetik ini kini banyak digunakan untuk mengumpan serangga hama (kemudian diracuni dengan insektisida), mendeteksi adanya hama, mengestimasi kelimpahan dan untuk pengendalian. Apa pula feromon sintetik yang dalam pengendalian hama berfungsi membingungkan lawan jenis sehingga tidak memungkinkan terjadi perkawinan, dan berakibat pada penurunan populasi hama.

Struktur bagian mulut serangga digunakan juga dalam taktik pengendalian hama, terutama dalam aspek selektivitas. Misalnya jika suatu serangga hama daun memiliki tipe mulut mengunyah maka insektisida digunakan dengan cara penyemprotan pada permukaan daun. Cara ini hanya efektif jika daun dimakan hama sedangkan dengan kontak saja tidak efektif. Perlu dipertimbangkan juga akan adanya serangga yang bersifat musuh alami dari hama yang perlu dihindarkan dari bahaya insektisida.

Karena serangga bernapas melalui spirakel (lobang-lobang) pada integumen, penyumbatan spirakel akan meyebabkan kematiannya. Penggunaan insektisida berbasis minyak merusak integumen (yang bahan utamanya adalah kutikel).

Ada pula bakteri yang menyebabkan penyakit serangga seperti Bacillus thuringiensis. Komponen bakteri ini seperti  spora kini telah diproduksi dan dikemas sebagai insektisida thuricide. Thuricide menimbulkan penyakit saluran pencernaan pada serangga.  Sebagian besar insektisida yang digunakan sekarang merupakan racun syaraf dan banyak di antaranya secara kimia dikembangkan dari produk-produk alamiah seperti piretroida.

Contoh feromon sintetik yang kini digunakan sekarang antara lain untuk mengendalikan serangan rayap pada bangunan dengan jalan menarik (attracting); rayap yang tertarik diberi makan flumuron (bahan perusak kutukel), membawanya ke sarang koloni, menyebabkan koloni rayap tidak dapat berganti kulit dan kemudian punah.

Reproduksi serangga

Kebanyakan serangga memiliki kelamin dan bereproduksi secara seksual. Pada beberapa spesies jarang terdapat jantan atau jika terdapat hanya pada musim-musim tertentu saja. Dalam keadaan tak ada jantan, betinanya masih bisa bereproduksi.  Hal ini umum di antara kutu daun (Aphids). Pada beberapa jenis penyengat (Hymenoptera), telur yang tak dibuahi menjadi jantan, sedangkan yang dibuahi menjadi betina.

Apa pula spesies yang tak memiliki jantan, semua keturunannya betina. Biasanya setiap telur mengembangkan satu embrio, tapi ada juga yang mengembangkan banyak embrio (polyembryony), sampai ratusan. Biasanya, serangga bertelur; namun ada pula jesis-jenis yang telurnya menetas dalam tubuh induk sehingga melahirkan seperti ovipar, pada Aphids (kutu daun).

Pertumbuhan serangga dan perkembangan (Metamorfosis)

Pertumbuhan serangga biasanya melalui empat tahap bentuk hidup  yaitu: telur, larva / nimfa, pupa dan stadium dewasa. Telur diletakkan secara tunggal, atau dalam kelompok, di dalam atau di atas jaringan tanaman atau binatang inang yang menjadi sasaran makanan serangga.  Embrio di dalam telur berkembang menjadi larva atau nimfa (tergantung macam metamorfosis atau perkembangan) yang keluar dari telur pada saat telur menetas.

 

Larva/nimfa memiliki tahapan perkembangan (instar), yang setiap tahapannya melalui proses pergantian kulit (ecdysis), karena setiap meningkatan ukuran tubuh pada satu instar ke instar berikutnya memerlukan integumen baru yang lebih besar (sama halnya dengan anak yang bertumbuh memerlukan pakaian yang ukurannya lebih besar). Larva berkembang menjadi pupa (pada ulat kup-kupu disebut cocoon atau kepompong), dan pupa dan nimfa berkembang menjadi serangga dewasa.

 

Dua macam perkembangan yang dikenal dalam dunia serangga, yaitu metamorfosis sempurna atau holometabola yang melaui tahapan-tahapan atau stadium: telur – larva – pupa – dewasa, dan metamorfosis bertahap (hemimetabola) yang melalui stadium-stadium: telur – nimfa – dewasa.

Pada hemimetabola, bentuk nimfa mirip dewasa hanya saja sayap belum berkembang dan habitat (tempat tinggal dan makanan) nimfa biasanya sama dengan habitat stadium dewasanya. Contoh hemimetabola adalah jenis-jenis kepik seperti walang sangit, yang nimfanya menempati habitat yang sama dengan kepik dewasa,  biasanya pada daun. Jenis-jenis belalang (Orthoptera) dan lipas (Blattaria) juga termasuk hemimetabola, nimfa dan stadium dewasanya hidup dan makan pada habitat yang sama.

Kumbang (Coleoptera), kupu-kupu dan ngengat (Lepidoptera) dan semut serta lebah (Hymenoptera) adalah serangga holometabola. Bentuk pradewasa (larva dan pupa) jenis-jenis holometabola ini sangat berbeda dengan stadium dewasanya. Perhatikanlah bentuk-bentuk larva seperti ulat bulu, ulat hijau, ulat jengkal yang kelak menjadi pupa dan kemudian menjadi kupu-kupu indah dan berwarna-warni. Habitat larva bisanya sangat berbeda dari habitat dewasanya. Ulat makan daun sedangkan kupu mengisap cairan bunga. Demikian pula, larva lebah madu dipelihara oleh pekerja (dalam koloni), makan madu; tapi lebah dewasa yang bersayap terbang mencari serbuk bunga sebagai makanannya.

Serangga metabola, setelah stadium larva memasuki tahapan pupa yang “tidak aktif” (tidak makan), terbungkus dalam kulit kepompong yang disebut puparium yang berfungsi sebagai pelindung.

Serangga termasuk berdarah dingin, sehingga pertumbuhannya banyak dipengaruhi suhu lingkungannya.  Di daerah-daerah beriklim dingin pertumbuhannya lambat, sedangkan di daerah tropik seperti Indonesia pertumbuhan serangga relatif cepat. Dengan demikian banyaknya generasi yang terjadi di daerah beriklim panas lebih banyak daripada di daerah dingin.

Dengan mempelajari perilaku pertumbuhan serangga para pakar pengendalian hama serangga mengembangkan cara-cara pengendalian dengan menggunakan pengatur tumbuh (insect growth regulators, IGR). Salah satunya adalah pengendalian dengan hormon pertumbuhan, yang mengganggu pembentukan kutikel pada saat ganti kulit. Cara ini sangat efektif dan selektif (tidak mengganggu serangga yang bukan sasaran) karena hanya mempengaruhi serangga sasaran.

Dinamika pertumbuhan serangga hama tanaman budidaya telah benyak diteliti dan daripadanya dihasilkan model-model pertumbuhan yang dapat digunakan untuk meramalkan saat-saat terjadinya epidemi pada tanaman atau inang tertentu, sehingga tindakan pengendalian dapat dilaksanakan secara lebih tepat.

Identifikasi dan klasifikasi serangga

Pengetahuan mengenai klasifikasi serangga diperlukan agar jenis-jenis serangga yang demikian banyaknya dapat dibedakan. Misalnya, dari sekian banyak serangga yang menjadi hama tanaman padi, perlu diketahui jenis-jenisnya, karena mereka memiliki perilaku hidup yang berbeda, menyerang bagian tanaman yang berbeda (daun, buah, batang, akar) menyebabkan kerugian yang berbeda sehingga berbeda pula cara penanganannya.

Pada umumnya spesies-spesies serangga dibedakan sesuai dengan kemiripan dalam penampakannya. Jenis-jenis lalat misalnya, dibedakan dari kupu-kupa berdasarkan karakter sayap. Lalat hanya memilki sepasang sayap, sedangkan kupu-kupu dua pasang.

Secara hirarki, dikenal taksa-taksa (taxon, taxa) dalam klasifikasi, oleh karenanya maka ilmu mengenai penggolongan jenis-jenis mahluk hidup biasanya disebut taksonomi (taxonomy). Taksonomi ulat kubis misalnya adalah sebagai berikut:

·         Filum (Phylum) - Arthropoda

·         Kelas - Insecta

·         Ordo - Lepidoptera

·         Famili - Plutellidae

·         Genus - Plutella

·         spesies - Plutella xylostella

Dengan demikian nama spesies Plutella xylostella   berlaku universal bagi ulat kubis di seluruh dunia.

Ekologi serangga

Ekologi adalah disiplin kajian hubungan-hubungan antar mahluk hidup dan lingkungannya. Mengetahui kelimpahan (abundance) serangga (hama) yang menyerang tanaman tertentu serta pengetahuan tentang kegiatan dan penampilan hama tersebut (phenology)  merupakan factor-faktor penting dalam menentukan pengendaliannya.  Beberapa hama memiliki hanya satu generasi pada satu musim (univoltine), sedangkan ada pula yang banyak generasi per musim (multivoltine).

Dalam pengendalian hama berkonteks agrosistem biasanya hama dianggap sebagai populasi. Atribut-atribut penting populasi adalah kerapatan, distribusi umur, laju kelahiran dan laju kematian.

Dinamika populasi

Di bumi ini tak ada satupun yang tidak berubah. "Semua berubah dari waktu ke waktu; tak ada yang tak berubah kecuali perubahan itu sendiri". Demikian ucap Heraklitus 500 tahun S.M. Oleh perubahan juga maka kita mengenal jenis-jenis hayati dan individu-individu populasi yang ada sekarang -- termasuk di dalamnya eksistensi (dan status) kita sebagai bagian dari populasi hayati di bumi. Dan mungkin kita menyesali jika suatu saat karena ulah manusia sendiri atau bukan, ada jenis (spesies) tertentu punah. Bahkan juga mungkin kita merasa berkeberatan jika ada jenis lain yang tak diinginkan muncul. Perubahan yang terjadi di bumi sebagian besar melibatkan populasi jenis-jenis hayati di mana manusia termasuk di dalamnya. Tetapi manusia pula yang dianggap bertanggung jawab untuk "memulihkan" perubahan atau lebih etis jika dikatakan mengendalikan perubahan agar "berubah" ke arah lebih menguntungkan manusia --  agar cukup tersedia populasi spesies-spesies hayati seperti tanaman padi, ternak sapi, populasi  ikan di laut dan di danau, semuanya untuk pasokan pangan. Tapi kita tak menginginkan jika populasi tikus di Jakarta menjadi demikian banyaknya sehingga jumlahnya melebihi jumlah penduduk Jakarta sendiri (walaupun perkiraan itu mungkin benar) atau patogen koli (salah satu penyebab penyakit saluran pencernaan manusia) di sungai-sungai dan perairan menjadi demikian meningkat dan mengancam kesehatan kita, sehingga dari waktu ke waktu perlu dikendalikan (perlu diubah). Apa yang dikemukakan merupakan topik populasi dan perubahan, atau singkatnya  --   dinamika populasi.

Perkembangan ilmu dan teknologi yang berlangsung demikian cepatnya masa kini diiringi oleh pengurasan sumber-sumber alam dalam bentuk populasi hayati yang cenderung semakin meningkat dan dampaknya pun semakin terasa. Dampak-dampak yang merupakan akibat perubahan-perubahan status sistem sumber-sumber hayati sepanjang dimensi waktu kehidupan manusia dari generasi ke generasi, termasuk konteks ilmu perilaku alam -- yang perlu dikuasai dengan teknologi, termasuk metode-metode kuantitatif/ numerika. Tanpa analisis kuantatif rasanya tak mungkin manusia dapat meramalkan dampak-dampak kualitatif akibat perubahan-perubahan perilaku manusia dalam ia memanfaatkan dan mengelola sumber daya alamnya. Upaya ini merupakan salah satu jawaban atas tantangan-tantangan yang dihadapi yang tak dapat tidak dilakukan melalui ilmu dan teknologi juga.

Masalah populasi mencakup sistem hayati apa saja yang ada di bumi ini dan sehari-hari mungkin menjadi pembicaraan bahkan menjadi isyu politik dan pembangunan. Jelaslah bahwa apa yang dimaksud dengan sistem dalam pembahasan selanjutnya tak lain dari sistem populasi dalam konteks populasi hayati yang menghuni bumi ini seperti jenis-jenis tetumbuhan  (tanaman budidaya, pohon dsb.), satwa liar, ikan, ternak dan jasad renik seperti bakteria dan protozoa baik yang kini diketahui bermanfaat maupun yang diketahui tak bermanfaat atau bahkan merugikan yang semuanya dikenal sebagai sumber daya hayati yang bertumbuh sehingga terus-menerus mengalami perubahan.

Sistem pertumbuhan populasi dikaji menurut perjalanan waktu tertentu dan menurut laju tertentu, sehingga ia tunduk pada kaidah-kaidah dinamika. Demikian pula ekosistem yang terbentuk dari populasi serta lingkungan fisiknya senantiasa berubah dan bertumbuh sepanjang waktu.  Pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial, proses pendidikan dan bahkan proses pembangunan merupakan contoh-contoh lain yang memerlukan berbagai analisis yang didasarkan atas kaidah-kaidah perubahan (dinamika) dengan mempertimbangkan sumberdaya hayati awal, laju pertumbuhan dan batas-batas pertumbuhan (kemampuan sumber serta daya dukung lingkungan), pengaruh-pengaruh lain dari lingkungan dan sistem-sistem terkait lainnya.

Suatu keunggulan (advantage) bagi ekologi masakini adalah tidak seperti 40 tahun yang lampau, ekologi baru merupakan masalah "akademik" yang dibicarakan di sekolah atau institusi yang berkaitan, kini ekologi telah menjadi perbincangan khalayak dan merupakan isyu pembangunan, karena kesadaran akan dampak-dampak masalah ekologi semakin memasyarakat. Khalayak juga telah menyadari akan terbatasnya sumber-sumber alam seperti hutan, tanah dan air, terancamnya perairan, komunitas-komunitas dalam ekosistem dan sebagainya. Masalah-masalah yang berkaitan dengan keterbatasan sumber, usaha-usaha pelestarian dalam hubungannya dengan keanekaragaman hayati ---  dan yang kini populer dengan ungkapan pemungutan hasil berasaskan kelestarian sumber, --- perlu dipecahkan oleh para pakar sumberdaya berdasarkan analisis yang mendalam dan pengetahuan yang komprehensif karena ramifikasi sistem dan komponen lingkungan serta sumberdaya hayati yang sangat kompleks dan dinamis tidaklah sesederhana konstruksi fisik. Hal ini merupakan salah satu kendala dalam pengkajian masalah lingkungan dan sumberdaya hayati.

Dalam kaitan dengan hubungan inang-parasitoid atau mangsa-pemangsa, model teoretik dinamika pertumbuhan "mangsa”  (sumberdaya) dan dinamika "pemangsa" (pemungut hasil, the exploiter), dapat dikaji lebih lanjut bagi pemecahan pemanfaatan sumberdaya alam berasaskan kelestarian dalam konteks manajemen populasi sumber daya hayati untuk keperluan pembangunan umat manusia. Lebih jauh, masalah keseimbangan dan kestabilan populasi dan ekosistem merupakan salah satu kajian kunci bagi analisis kelestarian dan keanekaragaman hayati.

Ekologi dan studi populasi

Studi populasi dan ekosistem merupakan bagian dari ekologi. Sejak tahun 1960-an telah banyak diterbitkan buku-buku teks ekologi. Di antara sekian banyak buku-buku ekologi yang digunakan untuk subyek ini antara lain dapat diacu Odum (edisi ketiga, 1971), Watts (1973),  Southwick (1976), Price (1975), Krebs (1978) dan Begon, Harper dan Townsend, (edisi kedua, 1990).

Sejak zaman dahulu orang telah mengamati masalah-masalah ekologi tetapi istilah ekologi sendiri belum digunakan pada waktu itu. Masyarakat primitif telah menggunakan tumbuhan dan hewan di sekitar mereka untuk keperluan hidupnya. Peradaban manusia secara bertahap tumbuh sejak manusia mulai menggunakan api dan alat-alat untuk mengubah lingkungannya bagi kepentingan kelangsungan hidupnya. Kemajuan penguasaan manusia terhadap alam sejalan dengan berkembangnya peradaban yang berarti juga perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menghasilkan teknik-teknik pemanfaatan sumber-sumber alam secara lebih efisien. Pertumbuhan peradaban juga menyebabkan penduduk dunia semakin meningkat dan hal ini diiringi oleh berkurangnya kualitas dan kuantitas sumber-sumber alam yang dieksploitasi manusia. Proses-proses perubahan yang bersifat dinamik ini lambat laun menginsyafkan manusia bahwa sumber-sumber alam yang persediaannya terbatas perlu dikelola secara lestari agar hasil yang diperoleh dari padanya tak mengalami penurunan, akan tetapi tetap berlanjut (sustainable) dan sumber-sumber alam hayati yang digunakan  diusahakan untuk dapat dibaharui (renewable).

Tulisan-tulisan mengenai ekologi pada zaman dahulu muncul dalam konteks ilmu hewan, ilmu tumbuhan dan/atau ilmu hayat. Pada abad ke 4 sebelum Masehi filsuf Aristoteles mencoba menjelaskan masalah-masalah epidemi hama belalang dan tikus yang sering mengancam tanaman pertanian Yunani. Dalam bukunya Historia Animalium, Aristoteles menjelaskan bahwa terjadinya ledakan hama tikus disebabkan oleh laju pertumbuhan populasi tikus yang tak terkendalikan oleh musuh-musuh alaminya, dan pada waktu itu manusia tidak sanggup mengatasinya. Menurut Aristoteles, hanya hujan deraslah yang dapat menghempaskan populasi tikus itu sampai mati dan mengalirkannya ke sungai-sungai dan selanjutnya ke laut. Plato dan Herodotus juga dalam tulisan mereka menyinggung mengenai alam dan sumber-sumbernya yang mampu menjamin berlangsungnya kehidupan spesies-spesies mahluk hidup. Mereka menganggap bahwa kerapatan populasi atau jumlah individu dari setiap spesies tidak banyak berubah sepanjang waktu. Jika terjadi ledakan populasi yang dapat membawa bencana, hal ini disebabkan oleh tindakan dewa-dewa untuk menghukum orang-orang yang hidupnya tidak berkenan kepada para dewa. Penulis-penulis ini beranggapan bahwa dalam alam terdapat keseimbangan, dan keselarasan (harmony) sehingga tidak akan ada spesies yang dapat punah karena kepunahan spesies akan menyebabkan gangguan keseimbangan dan keselarasan dalam alam. Anggapan ini mungkin cukup berdasar pada zaman Plato karena pada waktu itu manusia belum banyak melakukan perubahan-perubahan dalam ekosistemnya.

Jadi, apa yang dikemukakan oleh filsuf-filsuf zaman dahulu merupakan pemikiran pada zaman itu mengenai ekologi, walaupun istilah ekologi belum digunakan sampai dengan abad ke 19. Istilah “oekologi" pertama kali dimunculkan pada tahun 1869 oleh ahli ilmu hayat bangsa Jerman, Ernst Haeckel. Oekologi atau ekologi berasal dari kata Junani oikos yang berarti rumah, dan logos yang artinya pengetahuan. Ekologi biasanya didefinisikan sebagai hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Karena ekologi berkaitan dengan biologi kelompok-kelompok makhluk hidup dan proses-proses fungsional yang berlangsung di darat, di lautan, di perairan dan di udara maka ekologi merupakan kajian terhadap struktur dan fungsi alam, di mana manusia merupakan bagian utama dari padanya. Ekologi dapat pula didefinisikan sebagai keseluruhan pola-pola hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Keadaan lingkungan hidup mempengaruhi keanekaragaman bentuk-bentuk hayati dan banyaknya jenis makhluk hidup atau keanekaragaman hayati (biodiversitas) dan sebaliknya keaneka‑ragaman dan banyaknya makhluk hidup juga menentukan keadaan lingkungan. Misalnya, kualitas dan kuantitas penutupan tanah oleh hutan ditentukan oleh banyaknya jenis pohon yang ada dalam hutan yang bersangkutan. Hutan Pinus merkusii yang cenderung berkembang dalam formasi sejenis (hutan pinus "monokultur") membentuk serasah yang proses humifikasinya lebih lambat sehingga sangat kurang memberikan peluang bagi pertumbuhan tumbuhan bawah. Di lain pihak, proses pertumbuhan hutan tropik yang pada umumnya terdiri atas berbagai spesies pohon, menghasilkan serasah dengan humifikasi yang cepat dan menumbuhkan berbagai jenis tumbuhan bawah. Hutan tropik yang lebat ini memberikan konservasi lahan yang lebih baik karena tingkat erosi tanah menjadi sangat berkurang, air hujan dapat diserap lebih banyak ke dalam tanah sehingga pada musim penghujan tidak mengakibatkan banjir di daerah aliran sungai sekitarnya.

Demikian pula, ekosistem hutan tropik yang memiliki komunitas dengan keanekaragaman hayati yang tinggi merupakan habitat bagi pelbagai makhluk hidup seperti bakteria, lumut, rayap dan berbagai satwa liar. Keanekaragaman dan jumlah makhluk hidup yang ada dalam ekosistem hutan menjamin keadaan lingkungan yang baik.  Dari uraian ini jelas bahwa ekologi merupakan keseluruhan pola hubungan timbal-balik antara makhluk hidup dan lingkungan.

Dewasa ini dengan berkembangnya berbagai cabang ilmu pengetahuan dan berkembangnya penekanan-penekanan khusus sesuai dengan keperluan pembangunan, maka kajian-kajian ekologi juga berkembang demikian rupa sehingga kita kini mengenal berbagai macam ekologi seperti ekologi kependudukan, ekologi perairan, ekologi hutan, ekologi pertanian, ekologi serangga dan bahkan ekologi perkotaan dan sebagainya. Kemajuan-kemajuan dalam ilmu-ilmu dasar (matematika, biologi, kimia, fisika dan statistika) sebagai dasar pengembangan teknologi telah banyak berjasa dalam perkembangan ekologi terutama sekitar 40 tahun terakhir. Kemajuan teknologi yang pada satu sisi telah menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan, pada sisi lain merupakan tumpuan harapan manusia dalam upayanya mengelola lingkungannya secara lebih baik.

Kajian ekologi antara lain dapat dipelajari dengan membagi lingkungan hidup (environment) atau biosfer (biosphere) dalam beberapa bagian sesuai dengan komponen-komponen atau bagian yang membentuk lingkungan yaitu:

1.  Lingkungan fisik atau abiotik,

2.     Lingkungan hayati atau biotic

3.     Lingkungan fisik mencakup unsur-unsur litosfer (lithosphere) atau lapisan kerak bumi termasuk tanah) yang mencakup tipe tanah, bahan induk, serta parameter-parameternya seperti struktur, tekstur, sifat-sifat fisik, kimia dan kesuburan), hidrosfer (hydrosphere), yang meliputi lautan dan perairan lainnya dengan parameter-parameter: arus, kedalaman, salinitas, keasaman (pH), kandungan bahan-bahan, suhu dll.) dan atmosfer (atmosphere, udara: iklim, cuaca, angin, suhu dll.).

4.     Lingkungan biotik merupakan bagian dari keseluruhan lingkungan yang terbentuk dari semua fungsi hayati makhluk-makhluk hidup yang satu dengan yang lainnya saling berinteraksi. Asosiasi atau hubungan-hubungan fungsional antar makhluk hidup dapat dikaji dalam berbagai tahapan. Misalnya ada studi mengenai satu makhluk hidup dan seluruh populasinya, ada pula studi yang mencakup seluruh komunitas yaitu kajian atas interaksi berbagai populasi dalam satu daerah tertentu.

Perkembangan ekologi yang berkaitan dengan dinamika populasi walau berkembang agak lambat tetapi cukup konsisten. Dapat dikatakan walaupun sejak dahulu pada waktu-waktu tertentu orang telah tertarik kepada masalah sensus penduduk, teori-teori populasi baru berkembang pesat pada abad ke-19. Memang dasar-dasar studi populasi telah ada sejak abad ke 17 tetapi kajian-kajian yang lebih mendalam baru mulai mendapat perhatian setelah para ahli mulai memikirkan masalah keterbatasan sumber daya (bahan makanan, perumahan dsb.) dalam hubungannya dengan peningkatan penduduk.

Sepanjang sejarah dunia sejak abad-abad pertama bangsa-bangsa di Eropah dan Asia Kecil telah mengenal sensus atau penghitungan jumlah penduduk. Antara lain karena para penguasa ingin mengetahui besarnya pajak yang dapat dipungut dari rakyatnya dan berapa besar angkatan perang yang dapat dikerahkan untuk menaklukkan daerah-daerah sekitar yang dapat dijangkau untuk melebarkan daerah jajahan.

Konsep-konsep mengenai analisis kependudukan baru mulai muncul pada abad ke 17 di Inggeris. Pada tahun 1662 Graunt mengemukakan argumentasi mengenai pentingnya data sensus penduduk untuk menentukan laju kelahiran, laju kematian, nisbah kelamin (sex ratio) dan struktur umur untuk mengukur potensi pertumbuhan penduduk, dan ia berkesimpulan bahwa walaupun tanpa imigrasi penduduk London pada waktu itu akan meningkat dua kali setelah 64 tahun.

Anthonie van Leeuwenhoek, yang dikenal sebagai penemu mikroskop karena kegemarannya memeriksa makhluk-makhluk renik, juga gemar mengamati perkembangan binatang kecil seperti kumbang beras, lalat carrion dan kutu kepala manusia. Ia menghitung banyaknya telur yang diletakkan oleh lalat carrion betina dan menyimpulkan bahwa dalam tiga bulan sepasang lalat tersebut dapat menghasilkan 746.496 lalat.

Dalam bukunya berjudul Natural History, Buffon pada tahun 1756 (vide Krebs, 1978) mengemukakan bahwa setiap populasi makhluk hidup mengalami proses yang sama. Antara lain dikemukakan, walaupun tingkat keperidian (fertilitas) suatu organisme mungkin sangat tinggi tetapi bahaya yang mengancam populasinya juga besar. Lebih jauh ia mengemukakan bahwa ledakan populasi yang sewaktu-waktu terjadi pada tikus lapangan sebagian dapat ditekan oleh penyakit dan kekurangan makanan. Demikian pula, jika tidak terdapat penyakit yang mengancam populasi kelinci, maka kelimpahan populasi kelinci akan mengubah setiap padang rumput yang ada di dunia menjadi padang pasir. Buffon menolak hipotesis Aristoteles mengenai ledakan populasi tikus lapangan yang dapat ditekan oleh hujan deras. Akan ikhwal kelimpahan populasi tikus, seperti halnya dengan kelinci, ia berpendapat bahwa epidemi tikus lapangan kemudian menurun karena timbulnya wabah penyakit. Ternyata bahwa masalah-masalah yang telah dikemukakan oleh Buffon mengenai hama dan penyakit pada pertengahan abad ke 18 itu masih saja merupakan masalah kita sekarang  ---    250 tahun sesudahnya.

Perlu pula disinggung mengenai teori demografi yang kontroversial dari Malthus. Dalam bukunya Essay on Population Malthus menghitung, walaupun jumlah individu suatu organisme dapat berkembang secara geometrik (deret ukur: 1, 2, 4, 8 ...) tetapi sumber-sumber makanan tidak melampaui pertumbuhan aritmatik (deret hitung: 1, 2, 3, 4 ...). Besarnya perbedaan dalam pola peningkatan kedua model ini menyebabkan Malthus mengambil kesimpulan bahwa perkembangbiakan populasi makhluk hidup akan dikendalikan oleh kemampuan makhluk hidup itu untuk menghasilkan bahan makanan baginya. Peningkatan bahan makanan secara aritmatik yang diberikan oleh Malthus memang merupakan hipotesis yang kurang berdasar, tetapi sampai saat ini, 200 tahun setelah teori Malthus dicetuskan, kita masih saja mempermasalahkan implikasi-implikasi teori itu, antara lain kendali-kendali apa yang dapat dilakukan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk yang memang tidak sesederhana pertumbuhan menurut pola geometrik seperti yang dihipotesiskan oleh Malthus itu. Salah seorang yang mempertanyakan teori Malthus adalah Doubleday (vide Krebs, 1978). Berdasarkan pengamatannya terhadap perkembangan populasi manusia, pada tahun 1841 ia mengemukakan suatu teori bahwa jika suatu spesies terancam populasinya maka kesuburannya akan meningkat. Teori ini didasarkan atas beberapa kenyataan yang diamatinya pada saat itu yaitu adanya orang-orang yang gizinya kurang akan tetapi tingkat kesuburannya lebih tinggi dari orang-orang yang makanannya berkelimpahan. Doubleday menjelaskan bahwa penurunan kesuburan pada orang-orang yang makanannya melimpah disebabkan oleh kelebihan mineral dalam tubuhnya. Walaupun apa yang diamati oleh Doubleday mungkin dapat kita amati sekarang namun pendekatan yang digunakannya untuk menjelaskan masalah ini kini dianggap kurang tepat.

Quetelet, seorang ahli statistika Belgia adalah yang pertama kali mengetengahkan teori mengenai terjadinya penekanan populasi sebagai akibat peningkatan populasi secara geometrik. Pada tahun 1838, salah seorang mantan muridnya, Verhulst, menggambarkan peningkatan suatu populasi terhadap waktu, yang ia namakan kurva logistik dalam bentuk S.

Konsep yang dikemukakan oleh Verhulst telah membuka jalan bagi perkembangan studi populasi sampai pada tahap yang dicapai sekarang. Kelak dalam bab-bab berikut teori yang mendasari kurva logistik serta implikasi-implikasinya akan dikaji lebih mendalam.

Populasi

Populasi adalah sehimpunan individu atau kelompok individu suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam satu spesies (atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan), dan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu wilayah atau tata ruang tertentu. Adapun sifat-sifat khas yang dimiliki oleh suatu populasi adalah kerapatan (densitas), laju kelahiran (natalitas), laju kematian (mortalitas), sebaran (distribusi) umur, potensi biotik, sifat genetik, perilaku dan pemencaran (dispersi).  Dalam studi populasi, lazimnya peneliti menentukan sendiri secara arbitrer kriteria yang membatasi populasi yang akan ditelitinya. Sebagai contoh seorang peneliti dapat secara arbitrer menentukan: populasi Eurema blanda L pada persemaian Paraseriathes falcataria di Saradan, populasi banteng (Bos sondaicus} di Baluran, populasi rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light) di gedung-gedung Kampus Universitas Pakuan, Bogor dan seterusnya.

Dari segi populasi, ekologi dapat didefinisikan sebagai hubungan antara kerapatan biomas populasi dengan lingkungan, interaksi antar (inter) populasi dan dalam (intra)  populasi, serta efek populasi terhadap lingkungan.

Tingkatan organisasi

Seperti telah dikemukakan terdahulu populasi adalah sekelompok individu dari suatu spesies pada suatu tempat yang terbatas dan tertentu (limited and defined) dan pada waktu tertentu sedangkan lingkungan merupakan variabel fisik dan hayati yang mempengaruhi populasi, termasuk interaksi antara individu dalam populasi dan antar individu spesies-spesies yang berbeda.

Dem (deme) adalah populasi setempat (local population) yang merupakan sekelompok individu di mana setiap pasangan (jantan dan betina) dalam kelompok itu memiliki peluang yang sama untuk kawin (memiliki satu gene pool). Spesies adalah himpunan populasi-populasi yang memiliki gene pool yang sama. Tingkatan organisasi yang lebih tinggi adalah komunitas sebagai populasi dari berbagai spesies yang hidup pada satu wilayah tertentu, sedangkan ekosistem adalah komunitas bersama-sama dengan lingkungan fisiknya. Ekosistem-ekosistem regional seperti daerah padang rumput, hutan hujan tropik dan hutan gugur daun adalah bioma (biome).

Sistem kehidupan atau sistem hayati (life system) adalah suatu satuan ekologi yang merupakan bagian dari ekosistem yang menentukan eksistensi, kelimpahan dan evolusi dari populasi tertentu. Dari segi ini, ekosistem dapat dianggap sebagai himpunan sistem-sistem kehidupan yang saling mengunci (interlocking life system).

Jaring-jaring makanan, rantai makanan dan hubungan trofik

Makanan sebagai sumber energi adalah salah satu komponen esensial untuk kelangsungan hidup yang dapat membatasi pertumbuhan populasi. Hubungan trofik merupakan pola hubungan produksi dan konsumsi bahan makanan antar spesies dalam ekosistem, atau dalam ungkapan sederhana: apa yang dimakan oleh suatu makhluk dan siapa yang memakan makhluk yang bersangkutan. Jika ini diteruskan dengan beberapa spesies maka terbentuklah suatu rantai atau bahkan beberapa rantai yang saling berhubungan dan membentuk jaring-jaring, yang dikenal sebagai rantai makanan atau jaring-jaring makanan. Pola hubungan aras trofik (trophic levels) tampak sangat sederhana tetapi kenyataan menunjukkan bahwa jaring-jaring makanan dapat menjadi sangat kompleks.

Dari segi hubungan trofik, makhluk hidup  dapat digolongkan dalam dua kategori yaitu autotrof atau makhluk hidup yang memperoleh energi dari sinar matahari dan/atau sumber-sumber non-hayati, dan heterotrof yang memperoleh energi dari sumber-sumber hayati (makan makhluk hidup lain). Sinar matahari merupakan sumber utama penghasil makanan melalui proses fotosintesis. Makhluk hidup utama yang bertindak sebagai produsen (autotrof)  adalah tumbuhan (termasuk beberapa jenis bakteria), yang dapat memanfaatkan sinar matahari untuk membentuk makanannya (seperti tumbuhan yang memiliki klorofil), dan/atau dapat memanfaatkan bahan-bahan non hayati di sekitarnya untuk makanannya. Sedangkan konsumen (heterotrof) adalah semua jenis makhluk hidup di luar tumbuh-tumbuhan dan bakteria yang hidupnya tergantung dari tersedianya makhluk hidup produsen.

Sistem hubungan trofik dapat diberikan contoh, tegakan jati yang diserang rayap inger-inger (Neotermes tectonae Damm.), sedangkan inger-inger sendiri menjadi mangsa semut dan semut dimangsa oleh burung. Contoh lain adalah ayam yang memangsa cacing tanah, dimangsa oleh musang, sedangkan musang dimangsa oleh harimau. Pada contoh kedua ayam berada pada posisi ketiga (karena cacing tanah makan humus yang berasal dari serasah bahan tumbuhan) sedangkan musang keempat, dan harimau kelima. Dalam contoh ini baik ayam, musang dan harimau adalah karnivora (makhluk pemakan hewan) tetapi sebenarnya ayam yang makan cacing tanah tidak mutlak termasuk karnivora melainkan omnivivora (yang dapat makan tumbuhan maupun hewan) sedangkan harimau dan musang lebih bersifat karnivora. Sebagaimana halnya ayam, manusia juga termasuk omnivora karena kita gemar makan kambing dan ayam dan sekaligus juga nasi, jagung dan sayur kubis. Herbivora (makhluk pemakan tumbuhan) adalah konsumen primer, sedangkan karnivora dapat dikategorikan kepada konsumen sekunder dan tertier. Serangga biasanya berada pada posisi kedua dan ketiga dalam rantai makanan.

Berbagai hewan memiliki perilaku makan yang berbeda menurut musim. Misalnya serigala Spitzbergen di dekat kutub Utara pada musim dingin bersifat saprofag (memakan sisa-sisa jasad hidup yang telah mati) di perairan beku, sedangkan pada musim panas memangsa burung-burung, serangga dan tumbuhan. Beberapa jenis serangga berperilaku makan yang berbeda pula pada tahap-tahap perkembangannya. Serangga holometabola seperti kupu-kupu jelas menunjukkan sifat ini. Nyamuk pada stadium larva makan jasad renik dalam air, pada stadium dewasa mengisap darah vertebrata. Karena makanan seringkali tidak tersedia dalam kuantitas yang memadai, serangga holometabola (yang mengalami metamorfosis sempurna seperti Lepidoptera Coleoptera, Hymenoptera dan Diptera) yang makanannya berbeda pada stadium larva dan imago selalu menghindar dari persaingan makanan dalam spesiesnya (intra-spesies). Sifat adaptasi ini menyebabkan keberhasilan eksistensi serangga holometabola, yang mencakup 85 persen dari seluruh spesies serangga. Sisanya (15 persen) adalah serangga hemimetabola yang pada stadium dewasa dan pradewasa memiliki morfologi dan perilaku makan yang sangat mirip satu dengan yang lain.

Studi populasi bertujuan untuk menjelaskan dan meramalkan perkembangan suatu populasi. Dalam studi ini acapkali dipergunakan model untuk menjelaskan sistem serta hubungan-hubungannya dapat diberikan secara kualitatif maupun kuantitatif. Model adalah simplifikasi dari suatu sistem, yang menggambarkan keadaan yang sebenarnya.

Untuk menyatakan bahwa hama kutu loncat, Heteropsylla sp. pada lamtoro (Leucaena spp.) misalnya tahun depan tidak akan menjadi wabah lagi karena menurut ramalan cuaca, hujan yang turun tahun depan di bawah normal. Dengan curah hujan yang kurang, pucuk lamtoro sebagai makanan kutu akan berkurang, pemangsa kutu loncat (Curinus coeruleus) akan menurun populasinya dan mungkin akan kesulitan memperoleh mangsa yang lain. Dengan berkurangnya predator, kemungkinan pada musim kemarau tahun berikutnya populasi kutu akan naik. Turun naiknya populasi kutu daun berlangsung terus dalam bentuk siklus dua tahunan sehingga kurva trayektori populasi berlangsung turun naik (osilasi). Dasar-dasar pernyataan yang bersifat deskriptif ini telah memadai, jika faktor penentu naik turunnya populasi kutu loncat semata-mata hanya faktor curah hujan dan pemangsanya.

Untuk mendapatkan model yang lebih baik, wawasan kajian perlu diperluas dengan memasukkan faktor-faktor lain seperti informasi mengenai pengaruh curah hujan yang tinggi terhadap pertumbuhan lamtoro, musuh-musuh lain dari kutu lamtoro (parasit, parasitoid), kemungkinan imigrasi individu kutu loncat dari tempat lain, sifat genetik dan perilaku kutu loncat, dan seterusnya. Karena faktor yang menentukan naik turunnya populasi organisme tidak semata-mata hanya tergantung pada curah hujan dan pemangsanya saja. Berbagai faktor perlu diketahui kemudian dicari besarnya pengaruh setiap faktor terhadap faktor yang lain yang juga mungkin merupakan faktor yang menentukan untuk faktor yang mempengaruhi pertumbuhan populasi obyek yang kita kaji.

Penelitian ekologi populasi merupakan pencarian jawaban atas berbagai pertanyaan seperti bagaimana perilaku pertumbuhan populasi jenis hayati A ? Bagaimana nasib hutan hujan tropik Indonesia nanti setelah tahun 2000 ? Atau, berapa pengaruh hutan kita dalam memasok oksigen di atmosfer pada tahun 2020 ? Banyak jawaban atas masalah-masalah seperti disebutkan di atas dapat diberikan secara deskriptif tetapi ketepatan (atau lebih tepat bila dikatakan kesimpulan yang mendekati tepat) cenderung lebih mudah untuk diyakini bila semua pengaruh, kaitan, fungsi, derivasi dan kecenderungan perilaku yang kita kaji itu dianalisis dengan metode kuantitatif agar kesimpulan yang diambil tidak terlampau samar-samar, dan ketidak-tepatan yang dihasilkan dapat diumpan-balikkan kepada proses kajian kita untuk diulangi kembali sehingga diperoleh hasil yang lebih tajam.

 


Kepustakaan:

Begon, M, J.L. Harper dan C. L. Townsend (1990). Ecology: Individuals, Populations and Communities. 2nd Ed. Blackwell Sci. Publ. , Boston, Oxford etc. 945 p.

Hoffmann, M.P. and Frodsham, A.C. (1993) Natural Enemies of Vegetable Insect Pests. Cooperative Extension, Cornell University, Ithaca, NY. 63 pp.

Insect Biology and Ecology: A Primer.
 
http://www.nysaes.cornell.edu/ent/biocontrol/info/primer.html     (Cornell University), dikunjungi 15 Desember 2000.

Krebs, C.J. (1978). Ecology: The experimental Analysis of Distribution and Abundance, 2nd Ed.. Harper & Raw Publ., New York etc. 678 p.

Meyer, John R. ; Department of Entomology, NC State University, ENT 425 http://www.cals.ncsu.edu/course/ent425 , dikunjungi 1 November 2000.

Odum, E.P. (1971). Fundamental of Ecology. W.B.Saunders Co. Philadelphia etc., 574.

Tarumingkeng, PhD, Rudy C. (1994). Dinamika Populasi. Pustaka Sinar Harapan. 284 p.

 

4 January 2001.      Rudy C Tarumingkeng. PhD