©
Winny
Dian Wibawa Posted:
Makalah Perorangan
Pengantar Falsafah Sains (PPS
702)
Sekolah Pasca Sarjana /PSL - S3
Institut Pertanian Bogor
April 2004
Dosen : Prof. Dr. Ir. Rudy C.
Tarumingkeng
PENINGKATAN DAYA SAING BUAH TROPIKA NUSANTARA
Oleh :
Winny
Dian Wibawa
P062034214
Indonesia merupakan salah satu
produsen buah-buahan tropika utama yang mampu menghasilkan berbagai jenis
buah-buahan tropis maupun subtropis. Pada tahun 2002 produksi
buah-buahan Indonesia tercatat 11,6 juta ton. Di sisi
lain, ternyata buah-buahan impor secara bertahap terus meningkat masuk ke
Indonesia, dan pada tahun 2002 impor buah-buahan Indonesia tercatat 212.532 ton. Angka ini dikhawatirkan akan terus meningkat. Disamping itu, buah-buahan Indonesia
ternyata belum mampu untuk bersaing di pasar internasional yang diindikasikan
kecilnya jumlah ekspor buah-buahan Indonesia. Pada tahun 2002
ekspor buah Indonesia tercatat 27.880 ton. Jika kondisi ini tidak segera
diperbaiki maka dikhawatirkan buah-buahan impor akan
semakin terus meningkat. Oleh karena itu diperlukan strategi peningkatan
daya saing buah-buahan tropika nusantara agar mampu bersaing di pasar dalam
negeri maupun luar negeri. Berbagai upaya selama ini telah dilaksanakan antara
lain melalui pengembangan sentra-sentra produksi buah-buahan, keberadaan
kebun-kebuan buah swasta, hasil-hasil penelitian, varietas-varietas unggul
buah-buahan yang telah dilepas, kemampuan ekspor dan produksi yang ada, dapat
dilihat sebagai potensi dan modal dasar dalam melangkah ke depan. Dari berbagai
permasalahan serta mempertimbangkan potensi yang ada, maka strategi pengembangan buah-buahan ke depan dalam
rangka peningkatan daya saing buah-buahan tropika nusantara yang perlu
dilaksanakan adalah : (1) Pemilihan prioritas komoditas, (2) Pewilayahan
komoditas, (3) Fokus penelitian buah-buahan, (4) Pola pengembangan kawasan
buah-buahan, (5) Pengembangan kelembagaan, (6) Pengembangan mutu, (7)
Pengembangan SDM, dan (8) Pengembangan Pemasaran.
Indonesia dengan keragaman wilayah dan agroklimat telah
memungkinkan berbagai jenis dan varietas buah-buahan dapat tumbuh secara luas
dan berkembang di berbagai daerah di Indonesia. Oleh karena itu dikenal
berbagai buah-buahan yang mengacu pada nama asal daerah, seperti jeruk Bali,
duku Palembang, jeruk Pontianak, jeruk Soe, salak Bali, salak Nglumut, nenas
Subang, rambutan Binjai dan lain-lain. Hal ini menunjukkan
potensi dan kekayaan buah-buahan Indonesia sesuai dengan keragaman
agroklimatnya. Pada tahun 2002 produksi buah-buahan
Sebagai
gambaran bahwa konsumsi buah-buahan per kapita per tahun masyarakat Indonesia
pada tahun 1999 mencapai 18,70 kg/kapita/tahun, meningkat pada tahun 2002
menjadi 29,38 kg/kapita/ tahun. Walaupun konsumsi per kapita buah-buahan
tersebut masih jauh dari anjuran FAO sebanyak 65 kg/ kapita/tahun, maka jika
kita lihat bahwa jumlah penduduk
Indonesia terus meningkat serta diiringi oleh tingkat pendidikan yang
semakin baik, dan pendapatan yang semakain baik pula, maka pada akhirnya akan
berdampak pada peningkatan konsumsi per kapita buah-buahan. Dari aspek
kebutuhan buah-buahan, hal ini akan berdampak pada
besarnya kebutuhan buah-buahan masyarakat
Dibalik
meningkatnya produksi buah-buahan nasional, ternyata impor buah-buahan selama 5
(
Dari gambaran tersebut tampak jelas bahwa daya saing buah-buahan Indonesia perlu mendapat perhatian serius untuk dibenahi, karena dalam era globalisasi dimana produk negara lain yang mempunyai kualitas yang lebih baik, bukan tidak mungkin dapat menguasai pasar di dalam negeri dan menggeser produk buah-buahan asli Indonesia. Oleh karena itu, untuk menyikapi hal tersebut perlu dipersiapkan strategi dan langkah-langkah opersional dalam menghadapi era persaingan pasar global tersebut, melalui peningkatan daya saing buah-buahan nasional.
Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam
rangka peningkatan daya saing buah-buahan Indonesia antara lain adalah :
a. Buah yang dihasilkan berasal dari kebun
rakyat
Produk buah-buahan Indonesia pada umumnya
dihasilkan dari kebun-kebun rakyat, dimana pola pengusahaannya relatif sangat
sederhana dan cenderung mengharap pada kemurahan alam, serta memiliki keragaman
varietas yang tinggi dimana tanaman umumnya berasal dari biji. Pola kebun
rakyat ini umumnya terdiri dari pola agroforestry dan pekarangan. Dimana penerapan teknologi
budidayanya masih rendah. Baru sebagian kecil dari petani buah-buahan di daerah
sentra produksi yang memelihara tanamannya ddan menerapkan anjuran teknologi.
b. Sentra produksi yang ada belum membentuk
hamparan ekonomis
Sentra-sentra produksi yang berbasis pada
kebun-kebun rakyat pada umumnya tidak memenuhi skala luasan ekonomis, khususnya
dalam rangka memenuhi kesinambungan pasokan untuk memenuhi permintaan pasar
ekspor. Kalaupun ada hamparan kebun buah-buahan masih merupakan kantong-kantong
sentra produksi yang terpencar, yang masih perlu dikonsolidasikan (Supriyanto,
2003)
c. Penanganan pasca panen yang masih terbatas
Petani masih belum menerapkan perlakuan
pasca panen yang baik, karena tidak adanya
insentif harga dari penerapan perlakuan tersebut. Hal ini dikarenakan
sistim pemasaran ijon umumnya berkembang di daerah sentra produksi buah serta
tidak ada perbedaan harga antara buah yang berkualitas baik dan berkualitas
jelek. Dalam hal ini budaya untuk menghargai buah-buahan yang berkualitas baik
belum ada, dikarenakan adanya maksimalisasi keuntungan di tingkat pedagang
pengumpul.
d. Kelembagaan petani yang lemah
Petani di daerah sentra produksi buah-buahan umumnya baru sedikit yang memiliki kelompok tani khusus buah-buahan (kelompok tani komoditas), karena pada umumnya buah-buahan bukan merupakan komoditas utama. Pada umumnya kelompok yang ada adalah kelompok tani padi. Dengan demikian sosialisasi dan adopsi teknologi dalam rangka perbaikan budidaya sulit untuk diterapkan. Demikian pula dalam hal pemasaran buah, petani tidak mempunyai kemampuan tawar (bargaining position) terhadap para tengkulak dan pengijon
e. Sistim pemasaran yang tidak berpihak kepada petani
Sistim pemasaran yang berlaku di sentra-sentra produksi lebih banyak ditentukan oleh para pedagang dan petani sama sekali tidak mempunyai kemampuan dalam menentukan harga dan petani tidak mempunyai akses terhadap pasar. Kondisi ini diperburuk oleh adanya musim panen raya pada komoditas buah-buahan, dimana harga umumnya sangat rendah ditetapkan oleh para pedagang.
f.
Sumberdaya
manusia yang mengerti buah-buahan terbatas
Jumlah petugas penyuluh yang mengerti dan
menguasai teknologi budidaya buah-buahan sangat terbatas jumlahnya. Pada saat
ini penyuluh lapangan umumnya hanya menguasai padi dan palawija, sangat sedikit
sekali yang menguasai tentang buah-buahan, apalagi spesifik mengarah pada
komoditas buah-buahan tertentu.
Secara lebih rinci, Purwanto (2003) menggambarkan berbagai permasalahan serta saling keterkaitan penyebab rendahnya daya saing buah-buahan Indonesia yang antara lain diakibatkan oleh ketersediaan buah bermutu yang sangat terbatas, ketidakefisienan dalam usaha tani, kesinambungan pasokan yang tidak pasti, kelembagaan petani yang belum baik serta strategi pemasaran yang kurang baik. Kondisi ini disajikan dalam kerangka diagram pada Gambar 1.
Dalam pembangunan buah-buahan yang telah dilakukan selama ini merupakan suatu potensi (modal dasar) yang dapat digunakan untuk pengembangan buah-buahan ke depan dalam rangka meningkatkan daya saing buah-buahan Indonesia. Adapun potensi tersebut adalah :
a. Keberadaan sentra-sentra produksi buah-buahan yang telah dibangun
Pemerintah
sejak tahun 1992 sampai dengan 1997 telah mengembangkan sentra-sentra produksi
buah-buahan yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia dengan luasan
sekitar 100.000 Ha. Dalam pola pengembangan yang dilakukan
sudah diarahkan pada lahan dalam satu kawasan dan menggunakan benih unggul
bermutu (bersertifikat) yang dapat ditelusuri asal-usulnya. Disadari bahwa dalam pengembangan tersebut sifatnya masih belum
terintegrasi, yaitu masih menitikberatkan pada aspek budidaya dan waktu
pelaksanaannya hanya 1 (satu) tahun, sehingga aspek keberhasilannya tidaklah
besar, yaitu berkisar antara 40-50%. Tapi pengembangan
ini telah membawa dampak terjadinya pola pengembangan buah-buahan dalam sebuah
kawasan yang mengelompok, yang merupakan cikal-bakal sentra-sentra produksi
buah-buahan yang mengacu pada skala ekonomis. Lokasi-lokasi ini juga dapat dijadikan sebagai
langkah awal pemantapan daerah sentra-sentra produksi yang ada.
Baru sejak tahun 1997 pola pendekatan
tersebut diperbaiki, yaitu melalui pendekatan pengembangan yang multi years selama
5 (lima) tahun, serta tidak hanya aspek budidayanya saja tetapi juga aspek
sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia mendapatkan prioritas untuk
dikembangkan, yaitu melalui pembangunan sentra produksi buah-buahan yang
mendapat bantuan pembiayaan dari JBIC (Japan Bank for International
Cooperation ) seluas 21.000 Ha, tersebar di 31 kabupaten (15 provinsi). Pada
setiap lokasi areal yang dikembangkan mengacu pada luasan ekonomis, yaitu
antara 500-1.000 ha. Arah pengembangan sentra produksi buah-buahan ini adalah
untuk membangun kawasan agribisnis buah unggulan tropika (KABUT), yang
merupakan kawasan yang mampu menyediakan buah-buahan dalam jumlah yang
mencukupi yang didukung oleh keseragaman varietas tanaman sehingga mampu
menghasilkan kualitas buah yang baik dan seragam secara berkesinambungan
(Winarno, 2002). Pola ini kini menjadi acuan selanjutnya dalam pengembangan
buah-buahan dan sejak tahun 2001 telah dikembangkan di 187 kabupaten melalui
dana APBN.
b. Keberadaan kebun-kebun buah-buahan swasta
Prospek pengembangan buah-buahan yang baik
diindikasikan dengan berkembangnya pekebun buah-buahan swasta dengan luasan
yang kecil 10-50 Ha, sedang 50-100 Ha, dan besar (>100 Ha). Untuk
komoditas-komoditas potensial seperti jeruk, mangga, nenas, dan manggis. Para
pekebun buah ini umumnya telah menerapkan standar mutu tersendiri dan telah
mempunyai tujuan pasar bagi produk yang dihasilkannya. Para pekebun ini
merupakan aset nasional dalam mengembangkan buah-buahan yang ada di daerah
sekitarnya, khususnya dalam hal transfer of knowledge dan juga pembina
dalam hal mutu produk, sehingga sekaligus dapat berperan untuk mencarikan akses
jalur pasar. Untuk itu peran Kepala Daerah sangat besar dalam merangkul dan
mengajak para pekebun swasta untuk bertindak sebagai motor penggerak
pembangunan kebun buah-buahan di daerah.
c. Keberadaan lembaga penelitian dan hasil-hasil penelitian
Pada saat ini lembaga penelitian yang bergerak dibidang buah-buahan berada di bawah koordinasi Balai Penelitian Tanaman Buah (Balibu) yang berada di Solok (Sumatra barat), yang dibantu oleh Loka Penelitian Jeruk yang berada di Tlekung, Malang. Disamping itu, disetiap provinsi telah dikembangkan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) untuk menghasilkan paket-paket teknologi yang spesifik lokasi. Mengacu pada hasil penelitian yang diterbitkan oleh Badan Litbang Pertanian selama 15 tahun terakhir (periode tahun 1990-2004) tercatat 213 hasil penelitian buah-buahan yang mencakup 23 komoditas, dimana komposisi terbanyak secara berturut-turut adalah jeruk (20%), mangga (15%), pisang (14%), manggis (13%), papaya (11%), dan komoditas lainnya jumlah penelitiannya masih sangat terbatas. (Puslitbang Hortikultura, 2003).
d. Ekspor buah-buahan
Jumlah ekspor buah-buahan
Indonesia jumlahnya memang masih sangat kecil apabila dibandingkan dengan
produksi yang dihasilkannya. Beberapa komoditas
buah-buahan utama yang telah diekspor antara lain adalah jeruk, mangga,
manggis, pisang, nenas, melon, semangka, rambutan, salak, pepaya dan durian.
Buah-buahan tersebut walaupun jumlahnya relatif kecil, tetapi
telah mampu diekspor ke berbagai negara. Ini merupakan potensi dan titik tolak dalam rangka pengembangan pasar
ekspor, sehingga perlu mendapat
perhatian dan penanganan yang serius. Sebagai gambaran, bahwa mangga Indonesia
telah berhasil diekspor dan mendapat pasar yang baik di 9 (sembilan)
negara, manggis di 18 (delapan belas)
negara, nenas di 13 (tiga belas) negara, pisang di 11 (sebelas) negara dan
semangka di 9 (sembilan) negara (Direktorat Pengembangan Usaha Hortikultura,
2003).
e. Varietas unggul yang telah dilepas
Pemerintah selama ini telah memberikan pengakuan pada varietas-varietas unggul buah-buahan yang mempunyai keunggulan-keunggulan tertentu, seperti produksi yang tinggi, aroma,rasa, ketebalan daging buah dan lain-lainnya dalam bentuk pelepasan varietas melalui Keputusan Menteri Pertanian. Pelepasan varietas buah unggul ini dimulai sejak tahun 1984 dan pada saat ini telah dilepas 29 jenis buah-buahan yang mencakup 227 varietas (Direktorat Perbenihan, 2003). Pelepasan varietas unggul buah-buahan merupakan upaya pemerintah untuk menunjukkan kepada masyarakat buah-buahan yang mempunyai karakteristik unggul dibandingkan buah-buahan sejenis lainnya. Varietas-varietas yang telah dilepas ini merupakan suatu potensi untuk dapat digunakan sebagai acuan dalam menghasilkan produk buah unggulan Indonesia.
f. Produksi buah-buahan
Produksi buah-buahan Indonesia selama 5 (lima) tahun terakhir (1998-2002) berdasarkan hasil statistik terus mengalami peningkatan dengan peningkatan sebesar 61,17% yang diikuti oleh peningkatan areal sebesar 67,3%. Beberapa komoditas yang mengalami peningkatan yang cukup nyata antara lain ialah mangga, manggis, jeruk , pisang dan salak
Dalam rangka meningkatkan daya saing
buah-buahan Indonesia diperlukan strategi pengembangan sebagai berikut :
a. Pemilihan
Prioritas Komoditas
Indonesia mempunyai potensi komoditas
buah-buahan dalam jumlah yang sangat banyak. Tidak semua komoditas yang ada
tersebut dikembangkan, tetapi pelu dipilih sesuai dengan prioritas yang ada
serta keterbatasan ketersediaan yang ada. Setelah ditetapkan dan terpilih, maka
segala sumberdaya dan dana yang ada perlu difokuskan untuk mengembangkan
komoditas tersebut. Fokus komoditas yang akan dikembangkan perlu mengacu pada
klasifikasi sebagai berikut :
1. Komoditas
yang banyak dikonsumsi di dalam negeri ( mangga, pepaya, pisang, jeruk, salak,
rambutan, duku, melon, semangka, nenas dan durian)
2. Komoditas
untuk substitusi impor (jeruk, durian, sawo,)
3. Komoditas
untuk tujuan ekspor (manggis, pisang, mangga, jeruk, salak, rambutan))
4. Komoditas
untuk industri olahan (nenas, sirsak, jambu biji, rambutan, pisang, nangka))
Dalam penetapan prioritas komoditas
tersebut walaupun jenisnya sama tapi varietasnya bisa saja berbeda. Oleh karena
itu dalam satu jenis buah memungkinkan dikembangkan beberapa varietas. Varietas
yang terpilih merupakan hasil seleksi dari varietas-varietas buah-buahan yang
telah dilepas oleh Menteri Pertanian. Varietas yang dikembangkan (terpilih)
dari setiap jenis buah jumlahnya tidak terlalu banyak, tapi merupakan yang
terbaik dari varietas-varietas yang ada. Komoditas terpilih ditetapkan menjadi
komoditas nasional dan dalam pengembangannya akan didukung oleh pendanaan yang
berasal dari dana Pemerintah Pusat. Bagi komoditas dan varietas yang tidak
termasuk dalam komoditas prioritas, maka tanggung jawab pengembangannya ada
pada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota.
b. Pewilayahan komoditas
Setelah komoditas ditetapkan maka langkah selanjutnya adalah
menetapkan lokasi-lokasi pengembangan yang sesuai dengan agroklimat,
selanjutnya mempertimbangkan aspek ketersediaan sumberdaya manusia dan
pemasaran. Dalam rangka
tujuan ekspor, perlu dipertimbangkan aspek dukungan sarana dan prasarana serta
akses yang menuju ke lokasi sentra-sentra produksi yang akan dikembangkan. Pewilayah
komoditas perlu mengacu dan disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) daerah dan perlu disosialisasikan dan didukung oleh pimpinan daerah
tersebut. Selanjutnya pewilayahan komoditas ini menjadi acuan master plan
dalam pembangunan nasional buah-buahan.
c. Penelitian Buah-buahan
Penelitian merupakan kunci keberhasilan dalam pengembangan buah-buahan, terutama dalam menghasilkan varietas-varietas unggul dan paket-paket rekomendasi teknologi spesifik lokasi dan spesifik komoditas. Perlu difokuskan arah penelitian pada komoditas-komoditas prioritas yang telah ditetapkan. Peran Balai Penelitian Buah-buahan perlu lebih ditekankan sebagai lead agency dan lead coordinator dalam menjalin kerjasama penelitian dengan universitas. Perlu disusun road map penelitian komoditas prioritas, sehingga dapat ditetapkan urutan prioritas kegiatan-kegiatan penelitian berbasis komoditas serta dapat dihindarkan tumpang tindih penelitian antara swasta, universitas dan lembaga penilitian, dan selanjutnya diarahkan sebagai suatu kekuatan yang sinergis dalam mengembangkan komoditas.
Penelitian dibidang pemuliaan buah-buahan perlu mendapat perhatian yang besar terutama untuk menghasilkan komoditas-komoditas unggulan nasional yang mempunyai daya saing di pasar internasional. Sebagai plasma nutfah buah unggulan dapat dimanfaatkan varietas unggul buah-buahan yang telah dilepas oleh Menteri Pertanian.
Peran BPTP sebagai ujung tombak penyedia paket teknologi rekomendasi spesifik lokasi dan spesifik komoditas perlu diberdayakan, sehingga BPTP dapat berperan sebagai pusat penyedia informasi teknologi dan pusat konsultasi teknologi komoditas. Dalam hal ini BPTP dapat berperan sebagai lead institution yang mengkoordinasikan lembaga penyuluhan yang ada di kabupaten, khususnya dalam penyampaian paket-paket rekomendasi kepada petani.
d. Pola Pengembangan Kawasan Buah-buahan
Pengembangan buah-buahan mengacu pada pengembangan sentra produksi
buah-buahan baik sentra produksi tradisional maupun sentra-sentra yang telah
dibangun oleh pemerintah. Pengembangan sentra
diarahkan pada pemantapan sentra dan penumbuhan sentra. Pemantapan
sentra diarahkan pada
pemberdayaan dan penguatan kelembagaan petani, perbaikan
varietas, pengelompokan kawasan / kolonisasi kantung-kantung sentra
(Supriyanto, 2003), perbaikan teknologi budidaya, perbaikan mutu dan rehabilitasi sentra. Penumbuhan sentra diarahkan pada pengembangan pada lokasi-lokasi
baru yang secara agroklimat dan secara ekomomi layak untuk dikembangkan.
Komoditas yang dikembangkan
menggunakan benih unggul bermutu dengan konsep 1 (satu) kawasan. Melalui pola
ini maka pengembangan buah-buahan dapat lebih terarah dalam menuju skala luasan
ekonomis dan keseragaman varietas, yang merupakan faktor penting dalam
meningkatkan daya saing buah-buahan di pasar internasional.
e. Pengembangan Kelembagaan
Pengembangan kelembagaan diarahkan untuk memberdayakan kelompok
tani di sentra-sentra produksi yang ada dalam hal pengelolaan kebun rakyat (orchard
management) dan pemasaran hasil, dalam rangka meningkatkan daya tawar
petani terhadap konsumen. Penguatan institusi kelompok
dan penguatan modal kelompok merupakan kunci penting dalam pemberdayaan
kelompok. Ketergantungan
terhadap akses permodalan akibat ketidaktersediaan dana sering menjadi kunci
masuk dan berkembangnya sistem ijon di daerah sentra. Oleh karena itu adanya
modal kelompok perlu menjadi prioritas pemerintah dalam memberdayakan petani
yang diikuti oleh cara pengelolaan yang baik. Kelembagaan petani yang kuat akan
mengefektifkan penyampaian informasi teknologi dan penerapan teknologi oleh
kelompok yang berdampak meningkatnya produktifitas dan mutu produk yang
dihasilkan.
Pengembangan kelembagaan juga diarahkan
menjadi kelembagaan usaha yang mampu pada akhirnya memasarkan produk yang
dihasilkan oleh kelompok ataupun kawasannya. Kelembagaan disini dapat dalam
bentuk kelompok, gabungan antar kelompok, koperasi ataupun asosiasi, yang pada
tujuan akhirnya adalah mampu untuk memasarkan produk dari daerah sentra produksi
di wilayahnya.
f. Pengembangan Mutu
Dalam era perdagangan bebas, mutu
merupakan kata kunci dalam peningkatan daya saing produk yang dihasilkan. Mutu
yang baik saja tidak cukup untuk dapat bersaing di pasar internasional, oleh karena itu perlu didukung
oleh faktor keamanan pangan. Kini di dunia telah diterapkan standar-standar
baku dalam menghasilkan produk bermutu yang aman konsumsi, diantaranya adalah
penerpan sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Points) yang
telah diadopsi secara luas oleh berbagai negara di dunia, yang disesuaikan
dengan kondisi masing-masing negara. Penerapan sistem ini mengacu pada
penerapan good farming practices (GFP) untuk menghasilkan komoditas.
Oleh karena itu mulai kini perlu disiapkan dan disosialisasikan pedoman dalam
penerapan HACCP bagi komoditas buah-buahan dengan berbagai tahapan
pencapaiannya, sehingga memungkinkan diterapkannya sistem HACCP pada
pengembangan komoditas buah-buahan. Untuk itu perangkat institusi yang
mensertifikasi institusi yang menerapkan sistem HACCP perlu segera diaktifkan,
yaitu LSSM Hortikultura (Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu Hortikultura),
kemudian diikuti oleh sosialisasi serta penerapan GFP dan HACCP.
g. Pengembangan Sumberdaya Manusia
Kunci dalam adopsi paket-paket rekomendasi
teknologi oleh petani adalah keberadaan penyuluh di lapangan. Oleh karena itu
pemberdayaan penyuluh untuk menguasai teknologi budidaya hortikultura,
khususnya buah-buahan sangat penting. Para
penyuluh dan petugas pertanian di sentra-sentra produksi buah-buahan perlu
ditingkatkan pengetahuan, ketrampilan dan wawasannya dibidang budidaya
buah-buahan, baik dalam bentuk pelatihan, magang, studi banding ataupun jalur
pendidikan formal di bidang hortikultura. Pada saat ini sebagai contoh, di IPB
telah ada pendidikan pasca sarjana (S-2) hortikultura, yang merupakan akses
penting untuk meningkatkan kualitas SDM
(Purwanto, 2003).
h. Pengembangan Pemasaran
Pemasaran buah-buahan diarahkan pada sistem pemasaran yang integratif dimana produk buah-buahan diharapkan dapat sampai ke tangan konsumen dengan harga yang serendah-rendahnya. Dalam sistem tersebut pelaku pemasaran, sejak dari produsen, pengumpul, grosir, dan pengecer harus bekerjasama dalam 1 (satu) ikatan rantai pemasaran dan merupakan satu kesatuan. Diperlukan rasa saling percaya dan transparansi antar pelaku pemasaran, sehingga arus informasi penting yang dibutuhkan oleh setiap mata rantai pemasaran dapat sampai dengan cepat dan akurat (Basuki dan Dimyati, 2003).
Dalam upaya peningkatan daya saing buah-buahan tropika nusantara, pengembangan buah-buahan perlu dilihat sebagai satu kesatuan sistem agribisnis buah-buahan, yang meliputi subsistem sarana dan prasarana, subsistem produksi (on farm), subsistem pasca panen dan pengolahan (off farm) serta subsistem pemasaran; yang didukung oleh subsistem penunjang yaitu penelitian (penyedia teknologi), sumber daya manusia dan kelembagaan. Berbagai upaya perbaikan pada masing-masing subsistem perlu dilakukan secara bersamaan (tidak parsial) sehingga akan menimbulkan suatu dampak yang sinergis terhadap peningkatan daya saing. Perbaikan hanya di salah satu subsistem, sebagai contoh subsistem produksi, tanpa diikuti oleh adanya penataan di subsistem lainnya, misalnya subsistem pemasaran, tidak akan menghasilkan dampak peningkatan daya saing (misal mutu), karena tidak adanya insentif harga. Oleh karena itu semua subsistem perlu bersama-sama diperbaiki dan ditingkakan kinerjanya, sehingga buah-buahan Indonesia dapat meningkat kualitasnya, mampu berperan di pasar internasional disamping menjadi tuan rumah di dalam negeri, serta yang terpenting adalah pendapatan petani buah-buahan dapat meningkat sepadan dengan upaya yang telah dilakukannya. Strategi pengembangan yang telah diuraikan di atas merupakan penggambaran tentang simpul-simpul kritis dari berbagai subsistem agribisnis buah-buahan yang perlu mendapat prioritas penanganan dalam rangka meningkatkan daya saing buah-buahan tropika nusantara.
DAFTAR PUSTAKA
Basuki, R.S. dan A. Dimyati. 2003.
Penyiapan Kelembagaan Integrasi Vertikal dan Horizontal untuk
Meningkatkan Perdagangan Buah. Laporan Lokakarya Buah Tropika Nusantara, Bali,
4 Desember 2003. Direktorat jenderal Bina Produksi Hortikultura, Jakarta.
Direktorat Pengembangan Usaha Hortikultura. 2003. Direktori Hortikultura. Direktorat
Jenderal Bina produksi Hortikultura, Jakarta.
Direktorat Perbenihan, 2003. Pelepasan Varietas Buah-buahan. Direktorat
Jenderal Bina Produksi Hortikultura, Jakarta.
Purwanto, R. 2003. Peran Manajemen Budidaya Dalam Peningkatan
Ketersediaan dan Mutu Buah-buahan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu
Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. 2003.
Judul Hasil Penelitian. Jurnal Hortikultura, Tahun 1991-2003, Badan
Penelitian dan Pengembangan Hortikultutra, Jakarta
Sumarno,
2004. Agribisnis Buah Nasional
Menghadapi Perdagangan Bebas. Direktorat Tanaman Buah, Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura
Supriyanto, A.
2003. Bedah Plastik Perbuahan Nasional Dalam Mengantisipasi Pasar
Global. Laporan Lokakarya Buah Tropika Nusantara. Direktorat jenderal Bina
Produksi Hortikultura, Jakarta.
Winarno, M.
2002. Kawasan Agribisnis Buah
Unggulan Tropika. Direktorat Tanaman Buah, Direktorat Jenderal Bina Produksi
Hortikultura, Jakarta.