©  Winny Dian Wibawa                                                               Posted: 25 April 2004

Makalah Perorangan

Pengantar Falsafah Sains (PPS 702)

Sekolah Pasca Sarjana  /PSL - S3

Institut Pertanian Bogor

April 2004

Dosen : Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng

 

 

 

PENINGKATAN DAYA SAING BUAH TROPIKA NUSANTARA

 

 

Oleh :

 

Winny Dian Wibawa

P062034214

wdwibawa@yahoo.com

 

 

 

Abstract

 

Indonesia merupakan salah satu produsen buah-buahan tropika utama yang mampu menghasilkan berbagai jenis buah-buahan tropis maupun subtropis. Pada tahun 2002 produksi buah-buahan Indonesia tercatat 11,6 juta ton. Di sisi lain, ternyata buah-buahan impor secara bertahap terus meningkat masuk ke Indonesia, dan pada tahun 2002 impor buah-buahan Indonesia tercatat 212.532 ton. Angka ini dikhawatirkan akan terus meningkat. Disamping itu, buah-buahan Indonesia ternyata belum mampu untuk bersaing di pasar internasional yang diindikasikan kecilnya jumlah ekspor buah-buahan Indonesia. Pada tahun 2002 ekspor buah Indonesia tercatat 27.880 ton. Jika kondisi ini tidak segera diperbaiki maka dikhawatirkan buah-buahan impor akan semakin terus meningkat. Oleh karena itu diperlukan strategi peningkatan daya saing buah-buahan tropika nusantara agar mampu bersaing di pasar dalam negeri maupun luar negeri. Berbagai upaya selama ini telah dilaksanakan antara lain melalui pengembangan sentra-sentra produksi buah-buahan, keberadaan kebun-kebuan buah swasta, hasil-hasil penelitian, varietas-varietas unggul buah-buahan yang telah dilepas, kemampuan ekspor dan produksi yang ada, dapat dilihat sebagai potensi dan modal dasar dalam melangkah ke depan. Dari berbagai permasalahan serta mempertimbangkan potensi yang ada, maka strategi  pengembangan buah-buahan ke depan dalam rangka peningkatan daya saing buah-buahan tropika nusantara yang perlu dilaksanakan adalah : (1) Pemilihan prioritas komoditas, (2) Pewilayahan komoditas, (3) Fokus penelitian buah-buahan, (4) Pola pengembangan kawasan buah-buahan, (5) Pengembangan kelembagaan, (6) Pengembangan mutu, (7) Pengembangan SDM, dan (8) Pengembangan Pemasaran.

 

 

 

 

I.       Pendahuluan

 

      Indonesia dengan keragaman wilayah dan agroklimat telah memungkinkan berbagai jenis dan varietas buah-buahan dapat tumbuh secara luas dan berkembang di berbagai daerah di Indonesia. Oleh karena itu dikenal berbagai buah-buahan yang mengacu pada nama asal daerah, seperti jeruk Bali, duku Palembang, jeruk Pontianak, jeruk Soe, salak Bali, salak Nglumut, nenas Subang, rambutan Binjai dan lain-lain. Hal ini menunjukkan potensi dan kekayaan buah-buahan Indonesia sesuai dengan keragaman agroklimatnya. Pada tahun 2002 produksi buah-buahan Indonesia tercatat sebanyak 11.663.517 ton,  bila dibandingkan dengan data produksi buah-buahan selama 5 (lima) tahun terakhir, yaitu pada tahun 1998 yang mencapai 7.236.515 ton, berarti telah terjadi peningkatan sebesar  61,17 %. Peningkatan produksi ini juga diikuti oleh peningkatan areal, dimana pada tahun 1998 tercatat areal buah-buahan seluas 368.955 Ha, meningkat menjadi 650.590 Ha pada tahun 2002, yang berarti mengalami peningkatan sebesar 76,3%. Hal ini menunjukkan bahwa minat masyarakat dalam mengembangkan buah-buahan sangat besar, dan hal ini menunjukkan bahwa pengembangan buah-buahan mempunyai prospek yang baik.

 

Sebagai gambaran bahwa konsumsi buah-buahan per kapita per tahun masyarakat Indonesia pada tahun 1999 mencapai 18,70 kg/kapita/tahun, meningkat pada tahun 2002 menjadi 29,38 kg/kapita/ tahun. Walaupun konsumsi per kapita buah-buahan tersebut masih jauh dari anjuran FAO sebanyak 65 kg/ kapita/tahun, maka jika kita lihat bahwa jumlah penduduk  Indonesia terus meningkat serta diiringi oleh tingkat pendidikan yang semakin baik, dan pendapatan yang semakain baik pula, maka pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan konsumsi per kapita buah-buahan. Dari aspek kebutuhan buah-buahan, hal ini akan berdampak pada besarnya kebutuhan buah-buahan masyarakat Indonesia.

 

Dibalik meningkatnya produksi buah-buahan nasional, ternyata impor buah-buahan selama 5 (lima) tahun terakhir juga mengalami peningkatan yang nyata. Pada tahun 1998 impor buah-buahan segar mencapai 71.627 ton, dan meningkat tajam pada tahun 2002 yang mencapai 212.532 ton. Walaupun dari sisi kuantitas jumlah impor ini relatif kecil bila dibandingkan dengan produksi buah nasional (1,8%), namun dari segi peningkatan, terjadi lonjakan yang besar, yaitu sebesar 196%. Di sisi lain, ekspor buah segar Indonesia cenderung berfluktuasi, dimana pada tahun 1998 ekspor Indonesia tercatat 15.425 ton dan pada tahun 2002 tercatat 27.880 ton, yang berarti mengalami peningkatan sebesar 80,74%. Walaupun demikian jumlah tersebut hanya 0,23% dari total produksi. Besaran ekspor dan impor dapat pula dijadikan sebagai salah satu indikator daya saing buah-buahan tropika Indonesia di pasar dunia. Dalam era globalisasi dimana produk suatu negara dapat masuk dan diperdagangkan jauh melewati batas negara sesuai dengan ketentuan World Trade Organization (WTO), daya saing merupakan kunci dalam menyikapi era global di pasar internasional, yang dijabarkan melalui mutu yang baik, kuantitas yang mencukupi, kesinambungan pasokan serta efisiensi produksi. Sementara itu, produk buah-buahan Indonesia yang berkualitas baik diperkirakan baru mencapai sekitar 5-10% dari total produksi, mengingat sebagian besar produk buah-buahan Indonesia dihasilkan dari kebun-kebun rakyat yang tidak terpelihara dengan baik dan sedikit sekali yang benar-benar menerapkan budidaya yang baik dan benar, karena sebagian besar masih menyerahkan pemeliharaannya ke alam.

 

Dari gambaran tersebut tampak jelas bahwa daya saing buah-buahan Indonesia perlu mendapat perhatian serius untuk dibenahi, karena dalam era globalisasi dimana produk negara lain yang mempunyai kualitas yang lebih baik, bukan tidak mungkin dapat menguasai pasar di dalam negeri dan menggeser produk buah-buahan asli Indonesia. Oleh karena itu, untuk menyikapi hal tersebut perlu dipersiapkan strategi dan langkah-langkah opersional dalam menghadapi era persaingan pasar global tersebut, melalui peningkatan daya saing buah-buahan nasional.

 

 

II.    Permasalahan Peningkatan Daya Saing Buah-buahan

 

Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam rangka peningkatan daya saing buah-buahan Indonesia antara lain adalah :

 

a.       Buah yang dihasilkan berasal dari kebun rakyat

Produk buah-buahan Indonesia pada umumnya dihasilkan dari kebun-kebun rakyat, dimana pola pengusahaannya relatif sangat sederhana dan cenderung mengharap pada kemurahan alam, serta memiliki keragaman varietas yang tinggi dimana tanaman umumnya berasal dari biji. Pola kebun rakyat ini umumnya terdiri dari pola  agroforestry  dan pekarangan. Dimana penerapan teknologi budidayanya masih rendah. Baru sebagian kecil dari petani buah-buahan di daerah sentra produksi yang memelihara tanamannya ddan menerapkan anjuran teknologi.

 

b.      Sentra produksi yang ada belum membentuk hamparan ekonomis

Sentra-sentra produksi yang berbasis pada kebun-kebun rakyat pada umumnya tidak memenuhi skala luasan ekonomis, khususnya dalam rangka memenuhi kesinambungan pasokan untuk memenuhi permintaan pasar ekspor. Kalaupun ada hamparan kebun buah-buahan masih merupakan kantong-kantong sentra produksi yang terpencar, yang masih perlu dikonsolidasikan (Supriyanto, 2003)

 

c.       Penanganan pasca panen yang masih terbatas

Petani masih belum menerapkan perlakuan pasca panen yang baik, karena tidak adanya  insentif harga dari penerapan perlakuan tersebut. Hal ini dikarenakan sistim pemasaran ijon umumnya berkembang di daerah sentra produksi buah serta tidak ada perbedaan harga antara buah yang berkualitas baik dan berkualitas jelek. Dalam hal ini budaya untuk menghargai buah-buahan yang berkualitas baik belum ada, dikarenakan adanya maksimalisasi keuntungan di tingkat pedagang pengumpul.

 

 

 

d.      Kelembagaan petani yang lemah

Petani di daerah sentra produksi buah-buahan umumnya baru sedikit yang memiliki kelompok tani khusus buah-buahan (kelompok tani komoditas), karena pada umumnya buah-buahan bukan merupakan komoditas utama. Pada umumnya kelompok yang ada  adalah kelompok tani padi. Dengan demikian sosialisasi dan adopsi teknologi dalam rangka perbaikan budidaya sulit untuk diterapkan. Demikian pula dalam hal pemasaran buah, petani tidak mempunyai kemampuan tawar (bargaining position) terhadap para tengkulak dan pengijon

 

e.       Sistim pemasaran yang tidak berpihak kepada petani

Sistim pemasaran yang berlaku di sentra-sentra produksi lebih banyak ditentukan oleh para pedagang dan petani sama sekali tidak mempunyai kemampuan dalam menentukan harga dan petani tidak mempunyai akses terhadap pasar. Kondisi ini diperburuk oleh adanya musim panen raya pada komoditas buah-buahan, dimana  harga umumnya sangat rendah ditetapkan oleh para pedagang.

 

f.        Sumberdaya manusia yang mengerti buah-buahan terbatas

Jumlah petugas penyuluh yang mengerti dan menguasai teknologi budidaya buah-buahan sangat terbatas jumlahnya. Pada saat ini penyuluh lapangan umumnya hanya menguasai padi dan palawija, sangat sedikit sekali yang menguasai tentang buah-buahan, apalagi spesifik mengarah pada komoditas buah-buahan tertentu.

 

Secara lebih rinci, Purwanto (2003) menggambarkan berbagai  permasalahan serta saling keterkaitan penyebab rendahnya daya saing buah-buahan Indonesia yang antara lain diakibatkan oleh ketersediaan buah bermutu yang sangat terbatas, ketidakefisienan dalam usaha tani, kesinambungan pasokan yang tidak pasti, kelembagaan petani yang belum baik serta strategi pemasaran yang kurang baik. Kondisi ini disajikan dalam kerangka diagram pada Gambar 1.

 

III. Potensi Peningkatan Daya Saing

 

Dalam pembangunan buah-buahan yang telah dilakukan selama ini merupakan suatu potensi (modal dasar) yang dapat digunakan untuk pengembangan buah-buahan ke depan dalam rangka meningkatkan daya saing buah-buahan Indonesia. Adapun potensi tersebut adalah :

 

a.   Keberadaan sentra-sentra produksi buah-buahan yang telah dibangun

 

Pemerintah sejak tahun 1992 sampai dengan 1997 telah mengembangkan sentra-sentra produksi buah-buahan yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia dengan luasan sekitar 100.000 Ha. Dalam pola pengembangan yang dilakukan sudah diarahkan pada lahan dalam satu kawasan dan menggunakan benih unggul bermutu (bersertifikat) yang dapat ditelusuri asal-usulnya. Disadari bahwa dalam pengembangan tersebut sifatnya masih belum terintegrasi, yaitu masih menitikberatkan pada aspek budidaya dan waktu pelaksanaannya hanya 1 (satu) tahun, sehingga aspek keberhasilannya tidaklah besar, yaitu berkisar antara 40-50%. Tapi pengembangan ini telah membawa dampak terjadinya pola pengembangan buah-buahan dalam sebuah kawasan yang mengelompok, yang merupakan cikal-bakal sentra-sentra produksi buah-buahan yang mengacu pada skala ekonomis. Lokasi-lokasi ini juga dapat dijadikan sebagai langkah awal pemantapan daerah sentra-sentra produksi yang ada.

 

 

 

 

 

 


 

 

Baru sejak tahun 1997 pola pendekatan tersebut diperbaiki, yaitu melalui pendekatan pengembangan yang multi years selama 5 (lima) tahun, serta tidak hanya aspek budidayanya saja tetapi juga aspek sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia mendapatkan prioritas untuk dikembangkan, yaitu melalui pembangunan sentra produksi buah-buahan yang mendapat bantuan pembiayaan dari JBIC (Japan Bank for International Cooperation ) seluas 21.000 Ha, tersebar di 31 kabupaten (15 provinsi). Pada setiap lokasi areal yang dikembangkan mengacu pada luasan ekonomis, yaitu antara 500-1.000 ha. Arah pengembangan sentra produksi buah-buahan ini adalah untuk membangun kawasan agribisnis buah unggulan tropika (KABUT), yang merupakan kawasan yang mampu menyediakan buah-buahan dalam jumlah yang mencukupi yang didukung oleh keseragaman varietas tanaman sehingga mampu menghasilkan kualitas buah yang baik dan seragam secara berkesinambungan (Winarno, 2002). Pola ini kini menjadi acuan selanjutnya dalam pengembangan buah-buahan dan sejak tahun 2001 telah dikembangkan di 187 kabupaten melalui dana APBN.

 

      b.   Keberadaan kebun-kebun buah-buahan swasta

 

Prospek pengembangan buah-buahan yang baik diindikasikan dengan berkembangnya pekebun buah-buahan swasta dengan luasan yang kecil 10-50 Ha, sedang 50-100 Ha, dan besar (>100 Ha). Untuk komoditas-komoditas potensial seperti jeruk, mangga, nenas, dan manggis. Para pekebun buah ini umumnya telah menerapkan standar mutu tersendiri dan telah mempunyai tujuan pasar bagi produk yang dihasilkannya. Para pekebun ini merupakan aset nasional dalam mengembangkan buah-buahan yang ada di daerah sekitarnya, khususnya dalam hal transfer of knowledge dan juga pembina dalam hal mutu produk, sehingga sekaligus dapat berperan untuk mencarikan akses jalur pasar. Untuk itu peran Kepala Daerah sangat besar dalam merangkul dan mengajak para pekebun swasta untuk bertindak sebagai motor penggerak pembangunan kebun buah-buahan di daerah.

 

 

c.       Keberadaan lembaga penelitian dan hasil-hasil penelitian

Pada saat ini lembaga penelitian yang bergerak dibidang buah-buahan berada di bawah koordinasi Balai Penelitian Tanaman Buah (Balibu) yang berada di Solok (Sumatra barat), yang dibantu oleh Loka Penelitian Jeruk yang berada di Tlekung, Malang. Disamping itu, disetiap provinsi telah dikembangkan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) untuk menghasilkan paket-paket teknologi yang spesifik lokasi. Mengacu pada hasil penelitian  yang diterbitkan oleh Badan Litbang Pertanian selama 15 tahun terakhir (periode tahun 1990-2004) tercatat 213 hasil penelitian buah-buahan yang mencakup 23 komoditas, dimana  komposisi terbanyak secara berturut-turut adalah jeruk (20%), mangga (15%), pisang (14%), manggis (13%), papaya (11%), dan komoditas lainnya jumlah penelitiannya masih sangat terbatas. (Puslitbang Hortikultura, 2003).

 

d.      Ekspor buah-buahan

Jumlah ekspor buah-buahan Indonesia jumlahnya memang masih sangat kecil apabila dibandingkan dengan produksi yang dihasilkannya. Beberapa komoditas buah-buahan utama yang telah diekspor antara lain adalah jeruk, mangga, manggis, pisang, nenas, melon, semangka, rambutan, salak, pepaya dan durian. Buah-buahan tersebut walaupun jumlahnya relatif kecil, tetapi telah mampu diekspor ke berbagai negara. Ini merupakan potensi dan titik tolak dalam rangka pengembangan pasar ekspor, sehingga  perlu mendapat perhatian dan penanganan yang serius. Sebagai gambaran, bahwa mangga Indonesia telah berhasil diekspor dan mendapat pasar yang baik di 9 (sembilan) negara,  manggis di 18 (delapan belas) negara, nenas di 13 (tiga belas) negara, pisang di 11 (sebelas) negara dan semangka di 9 (sembilan) negara (Direktorat Pengembangan Usaha Hortikultura, 2003).

 

e.       Varietas unggul yang telah dilepas

Pemerintah selama ini telah memberikan pengakuan pada varietas-varietas unggul buah-buahan yang mempunyai keunggulan-keunggulan tertentu, seperti produksi yang tinggi, aroma,rasa, ketebalan daging buah dan lain-lainnya dalam bentuk pelepasan varietas  melalui Keputusan Menteri Pertanian. Pelepasan varietas buah unggul ini dimulai sejak tahun 1984 dan pada saat ini telah dilepas 29 jenis buah-buahan yang mencakup 227 varietas (Direktorat Perbenihan, 2003). Pelepasan varietas unggul buah-buahan merupakan upaya pemerintah untuk menunjukkan kepada masyarakat buah-buahan yang mempunyai karakteristik unggul dibandingkan buah-buahan sejenis lainnya. Varietas-varietas yang telah dilepas ini merupakan suatu potensi untuk dapat digunakan sebagai acuan dalam menghasilkan produk buah unggulan Indonesia.

 

f.        Produksi buah-buahan

Produksi buah-buahan Indonesia selama 5 (lima) tahun terakhir (1998-2002) berdasarkan hasil statistik terus mengalami peningkatan dengan peningkatan sebesar 61,17% yang diikuti oleh peningkatan areal sebesar 67,3%. Beberapa komoditas yang mengalami peningkatan yang cukup nyata antara lain ialah mangga, manggis, jeruk , pisang dan salak

 

 

IV.  Strategi Peningkatan Daya Saing Buah-buahan

 

Dalam rangka meningkatkan daya saing buah-buahan Indonesia diperlukan strategi pengembangan sebagai berikut :

 

a.   Pemilihan Prioritas Komoditas

Indonesia mempunyai potensi komoditas buah-buahan dalam jumlah yang sangat banyak. Tidak semua komoditas yang ada tersebut dikembangkan, tetapi pelu dipilih sesuai dengan prioritas yang ada serta keterbatasan ketersediaan yang ada. Setelah ditetapkan dan terpilih, maka segala sumberdaya dan dana yang ada perlu difokuskan untuk mengembangkan komoditas tersebut. Fokus komoditas yang akan dikembangkan perlu mengacu pada klasifikasi sebagai berikut :

1.   Komoditas yang banyak dikonsumsi di dalam negeri ( mangga, pepaya, pisang, jeruk, salak, rambutan, duku, melon, semangka, nenas dan durian)

2.   Komoditas untuk substitusi impor (jeruk, durian, sawo,)

3.   Komoditas untuk tujuan ekspor (manggis, pisang, mangga, jeruk, salak, rambutan))

4.   Komoditas untuk industri olahan (nenas, sirsak, jambu biji, rambutan, pisang, nangka))

 

Dalam penetapan prioritas komoditas tersebut walaupun jenisnya sama tapi varietasnya bisa saja berbeda. Oleh karena itu dalam satu jenis buah memungkinkan dikembangkan beberapa varietas. Varietas yang terpilih merupakan hasil seleksi dari varietas-varietas buah-buahan yang telah dilepas oleh Menteri Pertanian. Varietas yang dikembangkan (terpilih) dari setiap jenis buah jumlahnya tidak terlalu banyak, tapi merupakan yang terbaik dari varietas-varietas yang ada. Komoditas terpilih ditetapkan menjadi komoditas nasional dan dalam pengembangannya akan didukung oleh pendanaan yang berasal dari dana Pemerintah Pusat. Bagi komoditas dan varietas yang tidak termasuk dalam komoditas prioritas, maka tanggung jawab pengembangannya ada pada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota.

 

b.      Pewilayahan komoditas

Setelah komoditas ditetapkan maka langkah selanjutnya adalah menetapkan lokasi-lokasi pengembangan yang sesuai dengan agroklimat, selanjutnya mempertimbangkan aspek ketersediaan sumberdaya manusia dan pemasaran. Dalam rangka tujuan ekspor, perlu dipertimbangkan aspek dukungan sarana dan prasarana serta akses yang menuju ke lokasi sentra-sentra produksi yang akan dikembangkan. Pewilayah komoditas perlu mengacu dan disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) daerah dan perlu disosialisasikan dan didukung oleh pimpinan daerah tersebut. Selanjutnya pewilayahan komoditas ini menjadi acuan master plan dalam pembangunan nasional buah-buahan.

 

c.       Penelitian Buah-buahan

Penelitian merupakan kunci keberhasilan dalam pengembangan buah-buahan, terutama dalam menghasilkan varietas-varietas unggul dan paket-paket rekomendasi teknologi spesifik lokasi dan spesifik komoditas. Perlu difokuskan arah penelitian pada komoditas-komoditas prioritas yang telah ditetapkan. Peran Balai Penelitian Buah-buahan perlu lebih ditekankan sebagai lead agency dan lead coordinator dalam menjalin kerjasama penelitian dengan universitas. Perlu disusun road map penelitian komoditas prioritas, sehingga dapat ditetapkan urutan prioritas kegiatan-kegiatan penelitian berbasis komoditas serta dapat dihindarkan tumpang tindih penelitian antara swasta, universitas dan lembaga penilitian, dan selanjutnya diarahkan sebagai suatu kekuatan yang sinergis dalam mengembangkan komoditas.

 

Penelitian dibidang pemuliaan buah-buahan perlu mendapat perhatian yang besar terutama untuk menghasilkan komoditas-komoditas unggulan nasional yang mempunyai daya saing di pasar internasional. Sebagai plasma nutfah buah unggulan dapat dimanfaatkan varietas unggul buah-buahan yang telah dilepas oleh Menteri Pertanian.

 

Peran BPTP sebagai ujung tombak penyedia paket teknologi rekomendasi spesifik lokasi dan spesifik komoditas perlu diberdayakan, sehingga BPTP dapat berperan sebagai pusat penyedia informasi teknologi dan pusat konsultasi teknologi komoditas. Dalam hal ini BPTP dapat berperan sebagai lead institution yang mengkoordinasikan lembaga penyuluhan yang ada di kabupaten, khususnya dalam penyampaian paket-paket rekomendasi kepada petani.

 

d.      Pola Pengembangan Kawasan Buah-buahan

Pengembangan buah-buahan mengacu pada pengembangan sentra produksi buah-buahan baik sentra produksi tradisional maupun sentra-sentra yang telah dibangun oleh pemerintah. Pengembangan sentra diarahkan pada pemantapan sentra dan penumbuhan sentra. Pemantapan sentra diarahkan pada  pemberdayaan dan penguatan kelembagaan petani, perbaikan varietas, pengelompokan kawasan / kolonisasi kantung-kantung sentra (Supriyanto, 2003), perbaikan teknologi budidaya,  perbaikan mutu dan rehabilitasi sentra. Penumbuhan sentra diarahkan pada pengembangan pada lokasi-lokasi baru yang secara agroklimat dan secara ekomomi layak untuk dikembangkan. Komoditas yang dikembangkan menggunakan benih unggul bermutu dengan konsep 1 (satu) kawasan. Melalui pola ini maka pengembangan buah-buahan dapat lebih terarah dalam menuju skala luasan ekonomis dan keseragaman varietas, yang merupakan faktor penting dalam meningkatkan daya saing buah-buahan di pasar internasional.

 

e.       Pengembangan Kelembagaan

Pengembangan kelembagaan diarahkan untuk memberdayakan kelompok tani di sentra-sentra produksi yang ada dalam hal pengelolaan kebun rakyat (orchard management) dan pemasaran hasil, dalam rangka meningkatkan daya tawar petani terhadap konsumen. Penguatan institusi kelompok dan penguatan modal kelompok merupakan kunci penting dalam pemberdayaan kelompok. Ketergantungan terhadap akses permodalan akibat ketidaktersediaan dana sering menjadi kunci masuk dan berkembangnya sistem ijon di daerah sentra. Oleh karena itu adanya modal kelompok perlu menjadi prioritas pemerintah dalam memberdayakan petani yang diikuti oleh cara pengelolaan yang baik. Kelembagaan petani yang kuat akan mengefektifkan penyampaian informasi teknologi dan penerapan teknologi oleh kelompok yang berdampak meningkatnya produktifitas dan mutu produk yang dihasilkan.

 

Pengembangan kelembagaan juga diarahkan menjadi kelembagaan usaha yang mampu pada akhirnya memasarkan produk yang dihasilkan oleh kelompok ataupun kawasannya. Kelembagaan disini dapat dalam bentuk kelompok, gabungan antar kelompok, koperasi ataupun asosiasi, yang pada tujuan akhirnya adalah mampu untuk memasarkan produk dari daerah sentra produksi di wilayahnya.

 

f.        Pengembangan Mutu

Dalam era perdagangan bebas, mutu merupakan kata kunci dalam peningkatan daya saing produk yang dihasilkan. Mutu yang baik saja tidak cukup untuk dapat bersaing di pasar  internasional, oleh karena itu perlu didukung oleh faktor keamanan pangan. Kini di dunia telah diterapkan standar-standar baku dalam menghasilkan produk bermutu yang aman konsumsi, diantaranya adalah penerpan sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Points) yang telah diadopsi secara luas oleh berbagai negara di dunia, yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara. Penerapan sistem ini mengacu pada penerapan good farming practices (GFP) untuk menghasilkan komoditas. Oleh karena itu mulai kini perlu disiapkan dan disosialisasikan pedoman dalam penerapan HACCP bagi komoditas buah-buahan dengan berbagai tahapan pencapaiannya, sehingga memungkinkan diterapkannya sistem HACCP pada pengembangan komoditas buah-buahan. Untuk itu perangkat institusi yang mensertifikasi institusi yang menerapkan sistem HACCP perlu segera diaktifkan, yaitu LSSM Hortikultura (Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu Hortikultura), kemudian diikuti oleh sosialisasi serta penerapan GFP dan HACCP.

 

g.       Pengembangan Sumberdaya Manusia

Kunci dalam adopsi paket-paket rekomendasi teknologi oleh petani adalah keberadaan penyuluh di lapangan. Oleh karena itu pemberdayaan penyuluh untuk menguasai teknologi budidaya hortikultura, khususnya buah-buahan  sangat penting. Para penyuluh dan petugas pertanian di sentra-sentra produksi buah-buahan perlu ditingkatkan pengetahuan, ketrampilan dan wawasannya dibidang budidaya buah-buahan, baik dalam bentuk pelatihan, magang, studi banding ataupun jalur pendidikan formal di bidang hortikultura. Pada saat ini sebagai contoh, di IPB telah ada pendidikan pasca sarjana (S-2) hortikultura, yang merupakan akses penting untuk meningkatkan kualitas SDM  (Purwanto, 2003).

 

h.       Pengembangan Pemasaran

Pemasaran buah-buahan diarahkan pada sistem pemasaran yang integratif dimana produk buah-buahan diharapkan dapat sampai ke tangan konsumen dengan harga yang serendah-rendahnya. Dalam sistem tersebut pelaku pemasaran, sejak dari produsen, pengumpul, grosir, dan pengecer harus bekerjasama dalam 1 (satu) ikatan rantai pemasaran dan merupakan satu kesatuan. Diperlukan rasa saling percaya dan transparansi antar pelaku pemasaran, sehingga arus informasi penting yang dibutuhkan oleh setiap mata rantai pemasaran dapat sampai dengan cepat dan akurat (Basuki dan Dimyati, 2003).

 

 

V.     Penutup

 

Dalam upaya peningkatan daya saing buah-buahan tropika nusantara, pengembangan buah-buahan perlu dilihat sebagai satu kesatuan sistem agribisnis buah-buahan, yang meliputi subsistem sarana dan prasarana, subsistem produksi (on farm), subsistem pasca panen dan pengolahan (off farm) serta subsistem pemasaran; yang didukung oleh subsistem penunjang yaitu penelitian (penyedia teknologi), sumber daya manusia dan kelembagaan. Berbagai upaya perbaikan pada masing-masing subsistem  perlu dilakukan secara bersamaan (tidak parsial) sehingga akan menimbulkan suatu dampak yang sinergis terhadap peningkatan daya saing. Perbaikan hanya di salah satu subsistem, sebagai contoh subsistem produksi, tanpa diikuti oleh adanya penataan di subsistem lainnya, misalnya subsistem pemasaran, tidak akan menghasilkan dampak peningkatan daya saing (misal mutu), karena tidak adanya insentif harga. Oleh karena itu semua subsistem perlu bersama-sama diperbaiki dan ditingkakan kinerjanya, sehingga buah-buahan Indonesia dapat meningkat kualitasnya, mampu berperan di pasar internasional disamping menjadi tuan rumah di dalam negeri, serta yang terpenting adalah pendapatan petani buah-buahan dapat meningkat sepadan dengan upaya yang telah dilakukannya. Strategi pengembangan yang telah diuraikan di atas merupakan penggambaran tentang simpul-simpul kritis dari berbagai subsistem agribisnis buah-buahan yang perlu mendapat prioritas penanganan dalam rangka meningkatkan daya saing buah-buahan tropika nusantara.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Basuki, R.S. dan A. Dimyati.  2003.  Penyiapan Kelembagaan Integrasi Vertikal dan Horizontal untuk Meningkatkan Perdagangan Buah. Laporan Lokakarya Buah Tropika Nusantara, Bali, 4 Desember 2003. Direktorat jenderal Bina Produksi Hortikultura, Jakarta.

Direktorat Pengembangan Usaha Hortikultura.  2003. Direktori Hortikultura. Direktorat Jenderal Bina produksi Hortikultura, Jakarta.

Direktorat Perbenihan,  2003.  Pelepasan Varietas Buah-buahan. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura, Jakarta.

Purwanto, R.  2003.  Peran Manajemen Budidaya Dalam Peningkatan Ketersediaan dan Mutu Buah-buahan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura.  2003.  Judul Hasil Penelitian. Jurnal Hortikultura, Tahun 1991-2003, Badan Penelitian dan Pengembangan Hortikultutra, Jakarta

Sumarno,  2004.  Agribisnis Buah Nasional Menghadapi Perdagangan Bebas. Direktorat Tanaman Buah, Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura

Supriyanto, A.  2003. Bedah Plastik Perbuahan Nasional Dalam Mengantisipasi Pasar Global. Laporan Lokakarya Buah Tropika Nusantara. Direktorat jenderal Bina Produksi Hortikultura, Jakarta.

Winarno, M.  2002.  Kawasan Agribisnis Buah Unggulan Tropika. Direktorat Tanaman Buah, Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura, Jakarta.