© 2004  Untung Susanto                                                                                      Posted , 25  April 2004

Makalah pribadi

Pengantar ke Falsafah Sains (PPS702)

Sekolah Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

April  2004

 

 

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (penanggung jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

Dr Ir Hardjanto

 

 

 

RETROSPEK DAN PROSPEK PERANAN PEMULIAAN TANAMAN PADI DALAM DINAMIKA PERKEMBANGAN ZAMAN

 

 

 

 

 

Oleh

Untung Susanto, S.P., M.P.

A361034011

untungsus2004@yahoo.com

 

 

 

I.  Pendahuluan

Padi merupakan bahan makanan pokok bagi sekitar setengah penduduk dunia. Di Indonesia padi merupakan makanan pokok utama, disusul jagung dan ketela pohon.    Sekitar 90% produksi dan konsumsi padi berada di Asia. Khusus di Asia tenggara, padi merupakan penyumbang 70-80% kalori dan 40-70% protein bagi kebutuhan penduduknya. 

Peningkatan produksi padi tetap merupakan tantangan utama di masa depan.  Pada tahun 2025 kebutuhan padi nasional diprediksikan sebesar 70 juta ton gabah kering giling (GKG),  dengan asumsi pertambahan penduduk 1,35% per tahun dan tingkat konsumsi 133 kg/kapita/th.  Hal itu berarti 20 juta ton lebih besar daripada produksi tahun 2001 yaitu sebesar 50 juta ton.  Produksi tersebut dapat dicapai pada luas lahan dan intensitas tanam seperti saat ini, jika rata-rata nasional hasil tanaman padi mencapai 6 t/ha atau 1,6 t/ha lebih tinggi daripada yang telah dicapai saat ini, yaitu 4,4 t/ha.  Data menunjukkan bahwa dengan aktivitas penelitian (termasuk pemuliaan tanaman) seperti saat ini, dalam waktu 15 tahun peningkatan hasil yang berhasil diraih hanya 0,5 t/ha, atau berarti memakan waktu 32 tahun untuk memenuhi kebutuhan pangan 21 tahun yang  akan datang.   Disisi lain, konversi lahan pertanian, penurunan kualitas lahan, sulitnya membuka lahan pertanian yang baru, serta dinamika nasional dan global yang kompleks, memperberat tantangan yang sudah ada.  Tanpa upaya yang serius, permasalahan tersebut tidak akan teratasi.

Pemuliaan tanaman merupakan suatu metoda yang secara sistematik merakit keragaman genetik mennjadi suatu bentuk yang bermanfaat bagi kehidupan manusia (Makmur, 1985).  Menurut Poehlman and Sleper (1995),  dalam pemuliaan tanaman berperan ilmu (science) dan seni (art) yang ada pada diri pemulia dalam melakukan pemuliaan tanaman.

Varietas unggul sebagai hasil kegiatan pemuliaan tanaman merupakan salah satu teknologi kunci dalam peningkatan hasil padi.  Menurut Las (2002) peningkatan produksi padi didominasi peranan peningkatan produktivitas (teknologi) sebesar 56,1%,  perluasan areal 26,3%, dan 17,6% interaksi antara keduanya. Sementara itu dalam teknologi, peran varietas bersama pupuk dan air terhadap peningkatan produktivitas padi adalah 75%.

Lahan sawah sangat berperan dalam produksi padi di Indonesia.  Lebih dari 90% produksi beras nasional di Indonesia dihasilkan dari lahan sawah (BPS, 2001), sementara lebih dari 80% total areal pertanaman padi sawah ditanami varietas unggul (BPS, 2000, dikutip Daradjat, dkk., 2001).  Informasi tersebut memberikan indikasi bahwa, varietas unggul khususnya padi sawah merupakan kunci keberhasilan peningkatan  produksi padi di Indonesia. 

Tinjauan sejarah dan perspektif kedepan pemuliaan padi sawah khususnya di Indonesia, diharapkan dapat mengungkap dinamika dan perannya dalam penyediaan  pangan di Indonesia dulu, kini, dan esok.

II.  Perkembangan Pemuliaan Padi Sawah di Indoenesia

Upaya perakitan varietas padi di Indonesia ditujukan untuk menciptakan varietas yang berdaya hasil tinggi dan sesuai dengan kondisi ekosistem, sosial, budaya, serta preferensi masyarakat.  Sejalan dengan berkembangnya kondisi sosial ekonomi masyarakat, varietas yang dirakit pun terus berkembang.  Perkembangan tipe varietas setiap kurun waktu tersebut berpengaruh pula terhadap produktivitas padi sawah secara nasional seperti dilaporkan BPS (1978; 1981; 1986; 1991; 1996; dan 2000). Perkembangan rata-rata produktivitas padi sawah di Indonesia pada kurun waktu tersebut ditampilkan pada Gambar 1.

 

 

Gambar 1.  Produktivitas padi di Indonesia (1972-2000)

 

2.1.    Pemuliaan Padi Sawah Sebelum Revolusi Hijau

Menurut Harahap, et al. (1972), persilangan padi di Indonesia dimulai pada tahun 1920-an, dengan memanfaatkan gene pool yang dibangun melalui introduksi tanaman.  Sampai dengan tahun 1960-an, pemuliaan padi diarahkan pada lahan dengan pemupukan yang rendah, atau tanaman kurang responsif terhadap pemupukan. 

Musaddad, dkk. (1993) malaporkan bahwa pelepasan varietas pertama kali dilakukan pada tahun 1943, yaitu Varietas Bengawan.  Selanjutnya pemuliaan padi terus berkembang dengan tujuan memperbaiki sifat padi lokal, agar berumur lebih genjah.  Varietas unggul padi umur genjah memungkinkan penanaman dua bahkan tiga kali dalam satu tahun.  Karakteristik padi sawah yang selanjutnya dikenal dengan “tipe varietas bengawan” menurut Daradjat, dkk. (2001b) adalah: umur 140-155 Hari Setelah Sebar (HSS), tinggi Tanaman 145-165 cm, tidak responsif terhadap pemupukan, rasa nasi pada umumnya enak, dan daya hasil menurut Musaddad, dkk (1993) sekitar 3,5 - 4 t/ha

Contoh varietas “tipe varietas Bengawan” menurut deskripsi varietas yang dilaporkan oleh Djunainah, dkk. (1993), Musaddad, dkk. (1993), Sunihardi, dkk. (1999), dan Harahap et al. (1972) antara lain adalah: Jelita (1955), Dara (1960), Sintha (1963), Bathara (1965), dan Dewi Ratih (1969).

Varietas “tipe bengawan” memiliki latar belakang genetik yang merupakan perbaikan dari Varietas Cina yang berasal dari Cina, Latisail dari India, dan Benong dari Indonesia (Hargrove et al, 1979).

2.2.    Pemuliaan Padi Sawah dalam Revolusi Hijau

Revolusi hijau khususnya pada tanaman padi diawali dengan ditemukannya varietas IR5 dan IR8 oleh IRRI (Inetrnational Rice Research Institute) yang dapat melipatgandakan hasil karena memiliki daya hasil yang jauh lebih tinggi daripada padi varietas lokal dan berumur genjah, sehingga dapat ditanam dua sampai tiga kali dalam setahun.  Hal tersebut menyebabkan berlipatgandanya produksi padi dunia.

Varietas IR8 diintrodusi pada tahun 1967 dan diberi nama PB8, sementara IR5 pada tahun 1968 sebagai PB5.  Kedua varietas tersebut memberikan hasil yang tinggi yaitu 4,5 - 5,5 t/ha, sementara varietas lokal hanya sekitar 2 t/ha.   Hal tersebut menyebabkan berlipatgandanya produksi karena peningkatan produktivitas dan jumlah musim panen tiap tahunnya. 

Menurut Daradjat, dkk. (2001b), varietas PB5 atau yang setipe dengan PB5 memiliki beberapa karakteristik, yaitu umur sedang (135-145 HSS), postur tanaman pendek-sedang (100-130 cm), bentuk tanaman tegak, posisi daun tegak, jumlah anakan sedang (15-20), panjang malai sedang (75-125 butir/malai), responsif  terhadap pemupukan, tahan rebah, daya hasil rata-rata sedang (4-5 t/ha), serta rasa nasi antara pera sampai pulen

Selain dimanfaatkan langsung sebagai  varietas unggul baru, varietas-varietas tersebut juga dijadikan sebagai sumber gen untuk memperbaiki sifat-sifat varietas yang sudah ada.  Varietas PB5 selanjutnya disilangkan dengan Sintha menghasilkan Pelita I-1 dan Pelita I-2.  Dari kedua varietas yang disebut terakhir berkembang  lagi sejumlah varietas baru seperti Cisadane dan Sintanur. 

2.3.    Pemuliaan Padi  Sawah Pasca Revolusi Hijau

Setelah penemuan IR5 dan IR8, potensi hasil tanaman padi tidak banyak meningkat.  Varietas-varietas baru yang dihasilkan memiliki potensi hasil dibawah 10 t/ha.  Pengembangan varietas banyak diarahkan untuk meningkatkan daya adaptasi dan  toleransi terhadap cekaman biotik maupun abiotik pada agroekosistem yang dihadapi, sehingga mampu menciptakan stabilitas hasil tanaman yang baik. 

Varietas unggul yang paling populer kemudian adalah IR64 diintroduksi dan dilepas sebagai varietas unggul di Indonesia pada tahun 1986.  Varietas tersebut sangat digemari oleh petani dan konsumen, terutama karena  rasa nasi yang enak, umur genjah, daya adaptasi luas, dan produktivitasnya tinggi.  Menurut Direktorat Bina Perbenihan (2000), IR64 merupakan varietas yang paling luas ditanam di Indonesia (2 118  000 ha), disusul Memberamo (271 557 ha), Way apo buru (285 985 ha), IR66 (216 020 ha), dan Cisadane (195 768 ha). 

Karakteristik dari varietas “tipe varietas IR64” menurut Daradjat, dkk. (2001b) antara lain adalah umur sedang (100-125 HSS), postur tanaman pendek – sedang (95-115 cm), bentuk tanaman tegak, posisi daun tegak, jumlah anakan sedang (20-25 anakan/rumpun, dengan anakan produktif 15-16 anakan/rumpun), panjang malai sedang, responsif  terhadap pemupukan, tahan rebah, daya hasil agak tinggi (5-6 t/ha), tahan hama dan penyakit utama, mutu giling baik, dan rasa nasi enak.  Varietas IR64 memiliki daya adaptasi yang sangat luas, dapat dibudidayakan sebagai padi gogo maupun padi rawa.

Selanjutnya Varietas IR64 ini banyak dijadikan sebagai tetua dalam program pemuliaan dan banyak sekali varietas unggul baru yang merupakan keturunan dari IR64 tersebut.  Diantaranya adalah:  Way apo buru (1988), Widas (1999), Ciherang (2000), Tukad Unda (2000), Code (2001), Angke (2001), Konawe (2001), Cigeulis (2003), dan Cibogo (2003) (Balai Penelitian Tanaman Padi, 2003).

Ada beberapa teknologi yang dikembangkan untuk mengatasi sulitnya meningkatkan potensi hasil tanaman padi, dianaranya adalah perakitan padi hibrida dan padi tipe baru.  Rekayasa Genetika dengan memanfaatkan bioteknologi modern pun turut dimanfaatkan misalnya dalam peningkatan ketahanan terhadap hama/penyakit serta peningkatan mutu rasa dan nilai gizi beras.

2.3.1. Perakitan Padi Hibrida

Padi hibrida merupakan salah satu terobosan untuk mengatasi terjadinya stagnasi peningkatan potensi hasil varietas-varietas tipe sebelumnya.  Kunci kemampuan hibrida untuk memecahkan kemandekan peningkatan potensi hasil adalah potensi heterosisnya (hybrid vigor), yaitu superioritas F1 hibrida atas tetuanya (Virmani et al., 1997). 

Pengembangan padi hibrida diawali dengan penemuan CMS (cytoplasmic male sterile) dan paket teknologi produksi benih padi hibrida. Teknologi padi hibrida dalam hal ini memerlukan pemanfaatan tiga galur, yaitu CMS, Restorer, dan Maintainer, sehingga biasa disebut dengan teknik tiga galur  Selanjutnya berkembang teknik hibrida dua galur yang memanfaatkan galur EGMS = Environment Genic Male Sterility.  Galur EGMS dapat menjadi steril pada kondisi tertentu sehingga  digunakan sebagai mandul jantan, tetapi dapat menjadi fertil pada kondisi yang lain sehingga digunakan untuk memperbanyak galur EGMS tersebut.  Satu galur yang lain adalah tetua jantan. 

Menurut Virmani et al (1997), teknik tiga galur memerlukan dukungan komponen-komponen berikut :

1.     Galur mandul jantan  (CMS = galur A) yang 100% mandul dan stabil kemandulannya

2.     Galur pemulih kesuburan (restorer = galur R) yang tinggi daya pemulihan kesuburannya, serta daya gabung khususnya, sehingga  nilai heterosis tinggi

3.     Galur pelestari kemandulan tepung sari (galur B) yang murni

Negara yang pertama meneliti padi hibrida adalah Cina.  Pada tahun 1960 telah ditemukan CMS yang pertama dan pada tahun 1973 diperoleh hibrida padi yang pertama.  Pada tahun 1976 disebar luaskan kepada petani dan memberikan nilai standart heterosis sebesar 20% - 30%.  Hibrida terus berkembang pesat dan pada tahun 1994 lebih dari 50 % areal pertanaman padi di Cina ditanami padi hibrida  (Yuan, 1994).  Selanjutnya, IRRI mulai meneliti kembali padi hibrida pada tahun 1979 yang diikuti oleh 17 negara seperti India, Korea, Jepang, Amerika Serikat, Brazil, Vietnam, dan beberapa perusahaan swasta internasional.  Pada tahun 1986 IRRI meneliti TGMS dan memanfaatan bioteknologi dalam perakitan varietas padi hibrida (Rothschild, 1998).  Indonesia memulai penelitian padi hibrida pada tahun 1983 (Suprihatno and Satoto, 1998), setelah sebelumnya mengintroduksi padi hibrida dari Cina pada tahun 1979 (Danakusuma, 1985).

Varietas padi hibrida diharapkan memiliki karakteristik daya hasil lebih tinggi daripada varietas yang umum ditanam petani saat ini.  Selain keunggulan potensi hasil tersebut, padi  hibrida harus disertai dengan berbagai sifat unggul yang terdapat pada varietas pembanding yang saat ini umum ditanam petani.  Virmani (1994) melaporkan bahwa berdasarkan penelitian MK 1986  sampai MH 1992, diketahui bahwa padi hibrida dapat meningkatkan hasil 15% - 20% daripada varietas nonhibrida (inbrida).

Padi hibrida yang dihasilkan saat ini banyak memiliki latar belakang  genetik galur-galur yang berasal dari IRRI.  Namun demikian, pemanfaatan galur-galur yang beradaptasi baik di Indonesia mulai dilaksanakan, sehingga pada masa datang diharapkan hibrida yang dihasilkan sudah beradaptasi terhadap kondisi agroekosistem di Indonesia.  Peluang untuk memperoleh padi hibrida yang demikian cukup besar karena Virmani, et al (1997) melaporkan bahwa persilangan indica/japonica tropic prospektif menghasilkan hibrida yang unggul.

Perakitan dan pengujian padi hibrida yang dilaksanakan di Indonesia telah menghasilkan tiga kombinasi hibrida harapan yang telah diuji multi lokasi (Adijono, dkk., 2000).    Saat ini telah berhasil dilepas dua varietas hibrida, yaitu Maro dan Rokan.  Walaupun demikian, pengembangan padi hibrida saat ini masih menghadapi beberapa kendala seperti :

1.     Standart heterosis yang tidak stabil pada lingkungan yang berbeda (Adiyono, dkk., 2000 dan Yuniati, dkk., 2000)

2.     Produksi benih hibrida yang masih rendah, karena tidak sinkronnya pembungaan galur CMS dengan restorer (R) dan maintainer (B) (Suprihatno dan Satoto, 1989).  Namun demikian, pada penelitian terakhir di lapangan dilaporkan bahwa sinkronisasi pembungaan antara galur CMS dan Restorer cukup baik dan tidak ada interaksi yang nyata antara galur dengan lingkungan (Sutaryo, dkk., 2000).

3.     Galur-galur CMS sangat peka terhadap hama dan penyakit daerah tropis (Suprihatno, dkk., 1986).  Namun demikian, dengan pemanfaatan Restorer yang tahan kelemahan tersebut diharapkan dapat tertutupi. 

Berbagai penelitian dan percobaan terus dilakukan dengan melibatkan para peneliti dari berbagai disiplin ilmu, sehingga diharapkan kendala-kendala tersebut dapat teratasi.

2.3.2 Perakitan Padi Tipe Baru

            Sejak varietas IR8 yang sangat respon terhadap pemupukan tersebar luas di berbagai negara, revolusi hijau dimulai dan produksi padi meningkat luar biasa.   Namun, sejak tahun 1980-an produktivitas padi sawah tidak banyak meningkat, hal itu diduga karena diversitas genetik yang sempit.  Upaya terobosan dilakukan untuk membentuk arsitektur tanaman yang memungkinkan peningkatan produktivitas tanaman.  Padi yang akan dibentuk tersebut kemudian dikenal dengan padi tipe baru.  IRRI mulai mengembangkan padi tipe baru pada tahun 1989 dan pada tahun 2000 hasil-hasilnya telah didistribusikan ke berbagai negara untuk dikembangkan lebih lanjut. 

Menurut Khush (1996), landasan pemikiran dalam pembentukan padi “tipe baru” adalah meningkatkan Indeks Panen (IP) dan produksi biomassa tanaman. Indeks panen adalah perbandingan bobot kering gabah dengan total biomassa tanaman.  IP varietas padi sebelumnya (semi dwarft) berkisar antara 0,45-0,50.  IP tersebut diupayakan untuk ditingkatkan menjadi 0,6.  Cara untuk meningkatkan IP tersebut adalah dengan meningkatkan proporsi distribusi fotosintat ke sink daripada ke source yang akan diperoleh dengan cara meningkatkan sink size yang meliputi : peningkatan jumlah gabah per malai dan peningkatan translokasi asimilat ke gabah, serta meningkatkan masa pengisian gabah, antara lain dengan penundaan senescence kanopi, memperpanjang masa pengisian biji, dan peningkatan ketahanan terhadap rebah.   Adapun cara untuk meningkatkan biomassa tanaman adalah memodifikasi kanopi sehingga pembentukan kanopi dan penyerapan hara cepat serta mengurangi konsumsi karbon

Karakteristik arsitektur tanaman yang diperkirakan dapat meningkatkan indeks panen menurut Peng et al. (1994) dan Khush (1996) adalah berpotensi hasil tinggi, malai lebat (± 250 butir gabah per malai), jumlah anakan produktif lebih dari 10 buah dengan  pertumbuhan yang serempak, tanaman pendek (± 90 cm), bentuk daun lebih efisien, hijau tua, dan senescence lambat, tahan rebah, perakaran vigorous, batang lurus, tegak, besar, dan berwarna hijau gelap, sterilitas gabah rendah, berumur genjah ( 100-130 hari), beradaptasi tinggi pada kondisi musim yang berbeda, indeks panen mencapai 0,6, efektif dalam translokasi fotosintat dari source ke sink (biji), responsif terhadap pemupukan berat, dan tahan terhadap hama dan penyakit.

Kendala dalam program NPT menurut Peng et al, 1998 adalah produksi biomassa yang masih rendah, serta tingkat sterilitas yang masih tinggi, diduga karena populasi awalnya dibuat dengan menyilangkan padi yang berbeda sub spesies (indica x japonica tropic), sehingga terjadi ketidak teraturan meiosis dan tidak samanya distribusi kromosom pada keturunannya (Abdullah, et al, 2001).

Upaya pemecahan yang dilakukan antara lain adalah melakukan persilangan sebanyak-banyaknya untuk membentuk populasi dengan memanfatkan tetua tropical japonica dengan sterilitas malai yang rendah (Daradjat, 2001), dan melakukan kultur embrio untuk persilangan yang sulit menghasilkan benih (Abdullah, et al., 2001).

Populasi dasar padi NPT banyak dibentuk dengan memanfaatkan tetua dari sub spesies Indica dan Japonica tropik sehingga latar belakang genetiknya cukup luas dan diharapkan dapat memecahkan stagnasi yang terjadi pada varietas-varietas yang sudah ada.  Hidayat, 2001 melaporkan bahwa IRRI banyak sekali memanfaatkan varietas lokal Indonesia sebagai tetua dalam pembentukan NPT.  Varietas yang dijadikan sebagai donor untuk sifat anakan sedikit antara lain : Gaok, Genjah gempol, dan Genjah wangkal.  Varietas-varietas yang dapat membentuk sifat malai lebat antara lain: Djawa, Ketan Gubat, dan Pare Bogor. Sumber gen sifat batang kuat antara lain : Putih Dayen, Gunang, dan Sirah Bareh.  Varietas tahan tungro : Bali Ontjer, Gundil Kuning, Jimbrug, dan Umbuk putih.  Pada awalnya pembentukan populasi tanaman padi NPT di Indonesia telah digunakan varietas-varietas, IRBB5, Weshang II, Memberamo, Maros, TB154, BP68, IR65600 sebagai tetua persilangan.  Kegiatan tersebut telah menghasilkan galur-galur yang sedang diuji daya hasilnya seperti : BP138E-KN-36-2-2, BP364B-MR-33-2-PN-5-1, dan IR66160-121-4-5-3-MR-3-PN-1-2-1-1 (Balai Penelitian Tanaman Padi, 2001).  Diharapkan dalam beberapa tahun ke depan salah satu dari galur tersebut dapat dilepas sebagai varietas padi “tipe baru”.

2.3.3.  Pemanfaatan Bioteknologi

Kemajuan teknologi instrumentasi mendorong kepada penelitian molekuler sel, sehingga ditemukan susunan mikroskopis dalam sel, inti sel, dan akhirnya DNA, yang membawa informasi genetik dalam sel.   Penemuan DNA tersebut melandasi berkembangnya bioteknologi (modern), yaitu suatu teknologi pemanfaatan organisme sebagai agen pengubah senyawa untuk menghasilkan barang atau jasa.

Teknik kultur jaringan memegang peranan penting dalam bioteknologi tanaman.  Isolasi dan modisikasi DNA dilakukan pada taraf sel, melalui teknik kultur jaringan sel tersebut ditumbuhkan menjadi kalus, plant let atau tanaman dewasa untuk pengujian lebih lanjut.   Beberapa kegiatan kultur jaringan yang mendukung kegiatan pemuliaan tanaman diantaranya adalah : 

1.      Kultur anther (kotak sari)

Kotak sari dapat dikulturkan pada media yang tepat menjadi individu baru.  Individu tersebut ternyata berasal dari tepung saari yang haploid (n), sehingga e\individu yang terbentuk juga haploid.  Jumlah kromosom tersebut dapat digandakan menggunakan senyawa colchicine, sehingga terbentuklah individu diploid yang homosigot pada semua lokusnya (galur murni) dalam waktu satu generasi.  Sementaraa, pembentukan galur murni pada pemuliaan konvensional memerlukan waktu lebih dari 5 generasi.

2.      Embrio Rescue

Pada persilangan kerabat jauh misalnya varietas padi modern dengan varietas liar, atau persilangan Oryza sativa dengan Oryza glaberima atau spesies lain kadang-kadang tidak dapat diperoleh biji, karena ketidak sesuaian genetik diantara tetuanya.  Pada kondisi demikian, jika ternyata mampu dihasilkan embrio dari hasil persilangan namun tidak dapaat tumbuh lebih lanjut, maka embrio yang dihasilkan tersebut dapat ditumbuhkan pada media kultur yang tepat.  Contoh lain adalah pada persilangan Lycopersicum esculentum x L. Peruvianum tidak dapat  dihasilkan F1 karena ketidaksesuaian antara pertumbuhan embrio dengan endosperma dalam biji. Pemisahan embrio sejak dini dari endosperm, kemudianmemeliharanya pada media kultur yang sesuai dapaaat  menghasilkan tanaman F1.

3.  Rekayasa Genetik Tanaman Padi

Penemuan DNA memungkinkan dilakukannya identifikasi, isolasi dan modifikasi gen.  Karena setiap makhluk hidup pada dasarnya memiliki struktur DNA yang sama, maka Gen yang pada dasarnya merupakan segmen DNA dari spesies manapun, dari hewan, bakteri,  maupun tumbuhan dapat  disisipkan pada segmen DNA tanaman.  Proses tersebut dinamakan transformasi gen dan tanaman yang telah dimasuki gen asing disebut dengan tanaman transgenik. 

Rekayasa genetik pada tanaman padi telah banyak dan dilakukan dan telah berhasil dirakit beberapa varietas padi transgenik.  Upaya yang telah dilakukan mislnya untuk memasukkan gen ketahanan terhadap bakteri, fungi, serangga, serta perbaikan kualitas nutrisi tanaman.  Ketahanan terhadap bakteri Xanthomonas oryzae dirakit dengan memanfaatkan gen Xa yang berasal dari spesies Oryza longistaminata (Khus et al., 1990).  Padi transgenik yang telah ada antara lain adalah Bt rice yang tahan terhadap hama penggerek batang (Wu, et al., 2002),  Golden rice yang merupakan padi transgenik dengan kandungan beta karoten (provitamin A) yang tinggi (Dawe,et al 2002), varietas dengan kandungan Fe pada beras yang tinggi (Lucca et al., 2001), serta upaya memodifikikasi fotosintesis dari C3 menjadi C4 (Matsuoke, et al., 2000).  Kegiatan besar yang saat ini tengah dilakukan adalah pemetaan genetik genom padi secara molekuler (Sasaki, 1999).

III.             Peranan Pemuliaan bagi kesejahteraan hidup manusia

Padi adalah sumber makanan pokok bagi hampir seluruh rakyat Indonesia.  Oleh karena itu, padi merupakan komoditi strategis yang dapat memberikan dampak yang serius pada bidang sosial, ekonomi, maupun politik di Indonesia.  Sejalan dengan hal tersebut, pengadaan padi nasional harus betul-betul diperhatikan agar tidak terjadi gejolak yang tidak diinginkan.

Berdasarkan pengalaman di Cina, penggunaan varietas hibrida dapat memberikan lonjakan peningkatan produktivitas yang memberikan harapan terpenuhinya kebutuhan padi dimasa yang akan datang.  Di Indonesia, hal serupa diiharapkan dapat terjadi.  Balai Penelitian Tanaman Padi (2001), melaporkan bahwa padi hibrida memberikan hasil 7 – 8 t/ha atau 15 % lebih tingi daripada IR64 pada lokasi-lokasi yang dicoba.  IRRI (2001) mengutip bahwa teknologi padi hibrida potensial untuk memenuhi kebutuhan pangan di Asia Selatan dan Asia Tenggara sebesar 800 juta ton.  Teknologi padi hibrida potensial untuk memenuhi kebutuhan pangan di Asia Selatan dan Asia Tenggara pada tahun 2020 sebesar 800 juta ton.

Padi Tipe Baru (New Plant Type, NPT), juga diharapkan dapat memacu peningkatan produksi padi di Indonesia.  Peng et al. (1994) melaporkan bahwa diduga potensi hasil varietas padi tipe baru mencapai 30 – 50% lebih tinggi daripada varietas unggul yang telah ada, pada kondisi lingkungan yang ideal.  Balai Penelitian Tanaman Padi (2001), dalam jangka panjang memprogramkan padi tipe baru dapat mencapai potensi hasil 12 – 15 ton/ha.  Keunggulan tersebut dapat ditingkatkan dengan memanfaatkannya sebagai  bahan dalam perakitan varietas hibrida.  Varietas hibrida yang dihasilkan diharapkan memiliki produktivitas 15% lebih tinggi daripada NPT asalnya.  Keunggulan tersebut memberi harapan bahwa pelandaian peningkatan produktivitas padi nasional dewasa ini dapat teratasi.

Berdasarkan informasi-informasi di atas, dapat diketahui bahwa upaya pemuliaan tanaman padi telah secara nyata meningkatkan produksi padi dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya.  Revolusi hiijau merupakan sumbangan nyata pemuliaan tanaman bagi kesejahteraan umat manusia.

Namun, tools tersebut tentunya memerlukan penerapan yang bijaksana.  Punahnya varietas-varietas lokal,bukan disebabkan oleh varietas unggul padi yang relatif baru, tetapi lebih disebabkan oleh faktor manusia yang menerapkan penanaman yang homogen dan monoton pada hampir seluruh areal persawahan yang ada.  Disinilah disadari perlunya lembaga publik yang membuat koleksi plasma nutfah atas semua keragaman genetik khususnya tanaman padi yang ada di seluruh Indonesia.  Hal tersebut menjaga varietas-varietas yang pernah ada dari kepunahan dan tetap memungkinkan dilakukannya penelitian agar dapat memanfaatkannya untuk mengatasi permasalahan dimasa yang akan datang.  Segala sarana dan prasarana, perangkat lunak maupun keras untuk kepentingan koleksi plasma nutfah tersebut selayaknya disediadakan.

Penghasilan petani yang minim, lebih disebabkan oleh tidak berlakunya hukum pasar dan kondisi kompleks yang menempatkan petani pada pihak yang tidak berdaya.  Penurunan kualitas lahan sebenarnya juga dapat diminimalisir, jika manusia secara bijaksana dalammenggunakan bahan-bahan kimia.  Dosis pupuk dan pestisida berlebih sering kali dilakukan karena belum sadar pentingnya dosis optmal bukan maksimal.

Pemanfaatan bioteknologi, memungkinkan untuk mengatasi hal-hal yang tidak dapat dilakukan melalui pemuliaan konvensional.  Kekurangan gizi besi yang melanda sekitar sepertiga penduduk dunia, dapat diatasi dengan merakit padi dengan kandungan Fe yang tinggi.  Hal tersebut sangat membantu para penderita defisiensi besi yang pada umumnya merupakan penduduk miskin dunia ketiga yang sangat menggantungkan sumber gizinya dari nasi.  Hal yang sama terjadi dalam perakitan padi dengan kandungan b-karoten yang tinggi untuk mengatasi defisiensi A.   Upaya di atas sangat membantu masyarakat miskin, meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, dan akhirnya bermuara pada meningkatnya kualitas hidup dan kesejahteraan manusia.

Dalam rekayasa genetik tanaman padi, diterapkan pengujian-pengujian yang sangat ketat, meliputi berbagai hal secara komprehensif dan pada standar periode waktu tertentu.   Varietas yang dilepas telah melewati pengujian-pengujian tersebut sehingga diyakini aman bagimanusia dan lingkungan.  Khusus produk bahan konsumsi manusia, telah ada protokol pengujian tersendiri yang menjamin kemanan pangan tersebut.  

Rekayasa genetik tanaman padi diharapkan dapat mengatasi permasalahan ke depan yang ada.  Pemuliaan tanaman diharapkan dapat memberikan peran nyatanya dalam setiap tahap perkembangan peradaban manusia.  Setelah green revolution, diharapkan muncul gene revolution yang mampu mengatasi permasalahan pangan ke depan tersebut.

IV.  KESIMPULAN

1.   Pemuliaan Padi di Indonesia terus berkembang sesuai dengan semakin kompleksnya kebutuhan.  Tipe varietas yang dihasilkan maupun teknologi yang digunakan terus mengalami perkembangan.

2.   Padi hibrida, padi tipe baru, maupun padi hasil rekayasa genetik diharapkan dapat menjawab permasalahan pangan dimasa yang akan datang,baik secara kuantitas maupunkualitas.

3.  Upaya pemuliaan tanaman telahmemberikan sumbangan nyata bagi kesejahteraan umat manusia, namun penerapannya secara bijaksana harus diperhatikan.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdullah, B., D.S. Brar, and A.L. Carpena. 2001.  Introgression of biotic resistance genes from Oryza minuta J.S. Presl. Ex C.B. Presl. into new plant type of rice (O. Sativa L).  Seminar Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Tanaman Pangan.  Bogor. 2001.

Adijono, Suwarno, Yuniati P, E. Lubis, Sudibyo, dan B. Sutaryo. 2000.  Pengujian Beberapa Padi Hibrida Harapan di Berbagai Lingkungan Pengujian dalam Upaya Pengembangan Varietas Padi Hibrida.  Kumpulan Makalah Hasil Penelitian 1999/2000 Buku II.  Balai Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi.

Baehaki.SE. dan A. Rifki. 1998.  Skrining galur-galur harapan terhadap wereng coklat Biotipe 1, 2, dan 3.  Kumpu lan makalah hasil penelitian 1997/1998 seri B.  Balai Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi.

Balai Penelitian Tanaman Padi, 2001.  Laporan tahunan 1999/2000 Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi.  Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi.

BPS. 1978.  Statistik Indonesia 1977.  BPS.  Jakarta.

BPS. 1981.  Statistik Indonesia 1980.  BPS.  Jakarta.

BPS. 1986.  Statistik Indonesia 1985.  BPS.  Jakarta.

BPS. 1991.  Statistik Indonesia 1990.  BPS.  Jakarta.

BPS. 1996.  Statistik Indonesia 1995.  BPS.  Jakarta.

BPS. 2000.  Statistik Indonesia 1999.  BPS.  Jakarta.

BPS. 2001.  Statistik Indonesia 2000.  BPS.  Jakarta.

Danakusuma, T. 1985. Hasil Pendahuluan Pengujian Dua Varietas Padi Hibrida.  Media Penelitian Sukamandi No. 1. Balittan Sukamandi.

Daradjat, A.A. 2001.  Laporan Perjalan Dinas ke Luar Negeri on Job Training On the Breeding High Yielding New Plant Type for Enhanching Productivity and Sustainability in Indonesia.  Seminar Ilmiah Rutin Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi.

Daradjat, A.A., Soewito Tj., Ismail B.P., Murdani D., Adijono P., and Mukelar A. 2001a.  INGER network activities in Indonesia. Paper presented at INGER workshop on intellectual property right, contracts and germplasm exchange. 17-18 july 2001.  Bangkok. Thailand.

Daradjat, A.A., Suwarno, B. Abdullah,., Soewito Tj., Ismail B.P., dan Z.A. Simanullang. 2001b.  Status penelitian pemuliaan padi untuk memenuhi kebutuhan pangan masa depan.  Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi.

Dawe, D.,Robertson, R., and Unnevehr, L. 2002.  Golden rice : what role could  it play in alleyviation of Vitamin A deficincy? Food Policy 27:541-560.

Direktorat Bina Perbenihan.  2000.  Inventarisasi penyebaran varietas padi (ha) MT 2000 seluruh Indonesia.  Dirjen Tanaman Pangan dan Hortikultura.  Jakarta.

Djunainah, Susanto Tw, Husni K. 1993.  Deskripsi varietas unggul padi 1943 - 1992.  Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.  Bogor.

Harahap, Z., H. Siregar, and B.H. Siwi. 1972.  Breeding Rice Varieties for Indonesia. p. 141 – 146. In.  Rice Breeding. IRRI. Philippines.

Hargrove, T.R., W.R. Coffman, and V.L. Cabanilla. 1979. Genetic interrelationship of improved rice varieties in Asia.  IRRI Research Paper Series No. 23

Hidayat, Y.R.   2001. Strategi pengembangan “New Plant Type” varietas-varietas padi.  Seminar Ilmiah Rutin Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi.

IRRI. 2001.  Sekilas Kerja Sama Indonesia-IRRI Dampak dan Tantangan ke Depan.  IRRI.  Philippines.

Khus GS,, Bacalangco E, Ogawa T. 1990. A new gene for resistance to bacterial blight for evaluating resistance of rice varieties to Xanthomonas oryzae.  Plant Des. Rep. 57:737-741

Khush, G.S. 1996.  Prospects of and Approaches to Increasing the Genetic Yield Potential of Rice. In Everson, R.I., R.W. Herdt, and M. Hossain (ed) Rice Research in Asia : Progress and Priorities. IRRI.

Las, I. 2002. Alternatif inovasi teknologi peningkatan produktivitas dan daya saing padi.  Power Point PPN 2002. BALITPA. 2002

Lucca, P., Hurell, R., Potrycus, I. 2001.  Genetic engeenering approaches to improve the bioavailability and the level of iron in rice grains.  Theor Appl Genet 102:392-397.

Makmur, A., 1985. Pengantar Pemuliaan Tanaman.  Bina Aksara.  Jakarta. 77 hal.

Matsuoka, M. Fukayama, H., Tsuchida, H., Nomura, S., Agarie, S., Ku, M.S.B., and Miyao, M. 2000. How to express some C4 photosynthesis genes at high levels in rice. In.  Sheehy, J.E., Mitchell, P.L., and Hardy, B. Redisigning rice photosysthesis to increase yield.  IRRI. Philippines. 293p

McLaren, C.G., L. Ramos, C. Lopez, W. Eusebio.   Ref. ICIS05M. Application of The Genealogy Management System..

Musaddad, A., Husni K, Sunihardi. 1993.  Varietas unggul tanaman pangan (High yielding varieties of food crops) 1918-1993.  Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.  Bogor.

Peng, S., G.S. Khush, and K. G. Cassman. 1994. Evolution of the New Plant Idiotype for increased yield potential. In Cassman, K.G. (ed).  Breaking the yield barrier proceedings of a workshop on rice yield potential in favourable environment. IRRI.

Peng, S., G.S. Khush, R. Visperas, and A. Evangelista. 1998.  Progress in increasing grain yield by breeding a new plant type In IRRI. Program Report for 1998. IRRI.

Poehlman, J.M., D.A. Sleper. 1995.  Breeding Field Crop 4th ed. Iowa State University.

Poerbojo, I.B. 2001. Laporan Teknik Heterosis Dua Galur.  Seminar Ilmiah Rutin Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi.

Rothschild, G.H.L.1998.  IRRI’s Role an Vision for Hybrid Rice. In. Virmani, S.S., E.A. Siddiq, and K. Muralidharan (ed).  Advances in Hybrid Rice Technology.  IRRI. Philippines.

Sasaki, T. 1999. Current status of and future prospects for genome analysis in rice. In Shimamoto, K (ed) Molecular Biology of rice.   Spinger. Tokyo, 304 p

Soewito, T., Adijono Pa, E. Suparman, Supartopo, P.H. Siwi. 2000. Peningkatan ketahanan varietas padi unggul tahan terhadap wereng coklat.  Kumpulan makalah hasil penelitian 1999/2000.  Balai Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi.

Sunihardi, Yusanti, Sri K. 1999. Deskripsi varietas unggul padi dan palawija 1993-1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.  Bogor.

Suprihatno, B. and Satoto. 1998. Research and Development for Hybrid Rice Technology in Indonesia. In. Virmani, S.S., E.A. Siddiq, and K. Muralidharan (ed).  Advances in Hybrid Rice Technology.  IRRI. Philippines.

Suprihatno, B., B. Sutaryo, dan Yuniati P.M. 1986. Identifikasi Galur-galur Pelestari (Maintainer) dan Pemulih Kesuburan (Restorer) pada Usaha Pembuatan Galur Mandul Jantan Baru.  Media Penelitian Sukamandi. No. 2.  Balittan Sukamandi.

Suprihatno, B., dan Satoto. 1988. Ratio Barisan dan Pengguntingan Daun pada Perbanyakan Benih Galur Mandul Jantan V41A dan MR365A.  Media Penelitian Sukamandi No. 7.  Balittan Sukamandi.

Sutaryo, B., Suwarno, dan Adiyono. 2000. Interaksi Genotipe x Lingkungan pada Sinkronisasi Pembungaan Varietas Tetua Padi Hibrida.  Kumpulan Makalah Hasil Penelitian 1999/2000 Buku II.  Balai Penelitian Tanaman Padi.  Sukamandi.

Suwarno. 2000.  Orientasi penelitian plasma nutfah dan pemuliaan untuk menyongsong tantangan perpadian masa depan.  Apresiasi seminar hasil penelitian tanaman padi.  Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi, 10-11 November 2000.

Virmani, S.S. 1994.  Prospects of hybrid rice in the tropics and sub tropics. In Virmani, S.S. (ed) Hybrid rice technology new development and future prospects.  Selected papers from the International Rice Res. Conf. IRRI. Los Banos. Philippines.

Virmani, S.S., B.C. Viraktamath, C.L. Casal, R.S. Toledo, M.T. Lopez, J.O. Manalo. 1997. Hybrid Rice Breeding Manual.  IRRI. Philippines.

Wu, G., Cui, H., Ye, G., Xia, Y., Sardana, R., Cheng, X., Li, Y., Altosaar, I., Shu, Q. 2002.  Inheritance and expression of the cry1Ab gene in Bt (Bacillus thuringiensis) transgenic rice.  Thwor Appl Genet. 104: 727-734

Yuan, L.P. 1994.  Increasing yield potential in rice by exploitation of heterosis. P:1-6. In Virmani, S.S. (ed) Hybrid rice technology new development and future prospects.  Selected papers from the International Rice Res. Conf. IRRI. Los Banos. Philippines.

Yuniati PM, O. Syahromi, Suwarno. 2000. Respon Padi Hibrida Terhadap Pemupukan. Kumpulan Makalah Hasil Penelitian 1999/2000 Buku II.  Balai Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi.