©
2004 Uke Hani Rasalwati Posted ,
Makalah pribadi
Pengantar ke Falsafah Sains (PPS702)
Sekolah Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
April 2004
Dosen:
Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (penanggung jawab)
Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto
Dr Ir Hardjanto
KELUARGA SEBAGAI
KEKUATAN PENCEGAH KENAKALAN ANAK DAN REMAJA
Oleh:
A561024021
Kenakalan remaja merupakan salah
satu dari sekian banyak masalah sosial yang semakin merebak pada waktu sekarang
ini. Masalah sosial sering dikaitkan dengan masalah perilaku menyimpang dan
bahkan pelanggaran hukum atau tindak kejahatan. Upaya rehabilitasi dianggap
lebih tepat untuk mengatasi masalah kenakalan remaja. Hal ini karena remaja
adalah generasi penerus yang masih memungkinkan potensi sumberdaya manusianya
berkembang, sehingga pada saatnya akan menggantikan generasi sebelumnya menjadi
pemimpin-pemimpin bangsa.
Pada saat ini semakin berkembang
bentuk penyimpangan perilaku yang dilakukan remaja. Kenakalan remaja tidak
hanya berbentuk bolos sekolah, mencuri kecil-kecilan, tidak patuh pada orang
tua, tetapi mengarah pada tindakan kriminal, seperti perkelahian masal antar
pelajar (tawuran) yang menyebabkan kematian, perkosaan, pembunuhan dan
lain-lain. Di Amerika Serikat hampir lebih dari 40 % orang-orang yang melakukan
kejahatan serius adalah anak-anak remaja nakal. Ditemukan setiap harinya 2500
anak lahir di luar pernikahan, 700 anak lahir dengan berat badan rendah,
135.000 anak membawa senjata tajam ke sekolah, 7.700 anak umur belasan melakukan
kegiatan seksual aktif, 600 anak umur belasan mengidap syphilis atau gonorhoe,
dan 6 anak umur belasan memutuskan untuk bunuh diri (Horn, 1991). Di Indonesia
tercatat pada Direktorat Bimbingan Masyarakat POLRI, bahwa pada tahun 1994
menangkap 1.261 pelaku perkelahian antar pelajar dan pada tahun 1998 data ini
telah meningkat menjadi 18.946 pelaku
yang ditangkap (Justika, 1999).
Menurut C. Zastrow (1982), Juvenile
Deliquency atau kenakalan remaja adalah label perilaku-perilaku, seperti
menjauh/menghindar dari sekolah, dari kebosanan, dari orang tua yang
menterlantarkan, dari kesulitan diri, dari rumah yang bermasalah, dari situasi
rumah yang membosankan, dari rumah yang tidak bahagia, dari kehidupan yang
sulit, dan dari kesulitan yang satu ke kesulitan yang lain. Perilaku mereka
berkisar dari perilaku agresi pasif (bolos sekolah) ke perilaku kenakalan atau
kejahatan, perilaku yang tidak dapat dikendalikan (menentang aturan-aturan
disiplin keluarga, minggat, mencuri kecil-kecilan di toko) ke perilaku agresi
aktif dan kejahatan (vandalisme /
merusak tanpa alas an, membakar rumah dengan sengaja, dan penyerangan secara
fisik). Mereka berumur di bawah 17 tahun dan berasal dari semua tingkatan
ekonomi (orang kaya, berpenghasilan
menengah, pegawai tapi miskin, dan miskin akut), dan single parent
maupun keluarga utuh, laki-laki maupun perempuan, dan tidak mengenal ras.
Menurut Parillo, Stimpson
dan Stimpson (1985), yang tergolong remaja nakal adalah mereka yang ditangkap,
seperti :
Manusia, termasuk anak dan
remaja adalah mahluk sosial yang senantiasa melakukan interaksi yang terbuka dengan berbagai faktor yang sulit dideteksi secara jelas, dan memungkinkan
lebih bersifat individual.
Profesi pekerjaan sosial merupakan profesi yang bertanggung jawab atas masalah
sosial kenakalan remaja, menunjuk ketidakmampuan orang
tua sebagai penyebab kenakalan
remaja, yang dalam hal ini berarti
keluarga. Orang tua seharusnya memiliki
kompetensi untuk mengendalikan anak-anak mereka, terutama yang sedang memasuki
masa remaja. Sosiolog memandang disorganisasi sosial sebagai penyebab
terjadinya kenakalan semaja, sedangkan psikolog mengacu pada pandangan Freud,
bahwa kenakalan remaja disebabkan oleh terjadinya inner conflict,
kelabilan emosional dan emosi alam bawah sadar lainnya.
Keluarga sering dianggap sebagai
sumber tunggal dari banyak masalah sosial. Teoritisi Fungsionalis
beranggapan bahwa ketidakmampuan kelompok tertentu, terutama orang-orang miskin
dan para imigran, mengakibatkan anak-anak mereka mencari hubungan-hubungan
alternatif seperti gang, kelompok kriminal, dan kelompok sebaya yang menyimpang
lainnya. Teoritisi Interaksionist mempelajari pola-pola interaksi keluarga sebagai petunjuk mengapa beberapa
anggota keluarga berubah menyimpang, misalnya : keluarga-keluarga yang
dikepalai oleh perempuan dan keluarga yang pasangannya tidak menikah, tetapi
menganut norma-norma keluarga konvensional, sering mendapat stigma dan
sumber masalah sosial. Bagi Teoritisi Konflik, keluarga adalah sumber
masalah sosial ketika nilai-nilai yang diajarkan bertentangan dengan masyarakat
yang lebih besar. Para sosiolog mengabaikan perspektif teoritis tentang
keluarga tersebut dan cenderung memfokuskan pada apa yang dapat dilakukan oleh
institusi-institusi dalam masyarakat, terutama institusi-institusi
kesejahteraan sosial, untuk mempertahankan dan memperkuat stabilitas keluarga.
Keluarga sebagai iakatan sosial
pertama yang dialami oleh seseorang. Di dalam keluargalah anak belajar untuk
hidup sebagai mahluk sosial yang berinteraksi dengan orang lain dalam
lingkungannya (learning to live as a social being) (Brill, 1978).
Keluarga merupakan wadah pertama bagi seseorang untuk mempelajari bagaimana
dirinya merupakan suatu pribadi yang terpisah dan harus berinteraksi dengan
orang-orang lain di luar dirinya. Interaksi sosial yang terjadi dalam keluarga
ini merupakan suatu komponen vital dalam sosialisasi seorang manusia.
Anak akan menyerap berbagai macam pengetahuan, norma, nilai, budi pekerti,
tatakrama, sopan santun, serta berbagai keterampilan sosial lainnya yang sangat
berguna dalam berbagai kehidupan masyarakat. Anak akan belajar bagaimana
memikul rasa bersalah, bagaimana menghadapi secara konstruktif berbagai
tanggapan anggota keluarganya yang lain, anak akan mengembangkan rasa percaya
diri, harga diri, kepuasan, dan cinta kasih terhadap sesama mahluk. Dengan
demikian, keluargalah pelaku pendidikan utama bagi seorang anak menjadi manusia
secara penuh, manusia yang mampu hidup bersama manusia lain dalam lingkungannya
yang diliputi suasana harmonis, bukan manusia congkak yang memiliki dorongan
agresi, merusak, dan mengganggu lingkungan sosialnya.
Suatu keluarga yang penuh dengan
kehangatan, cinta kasih, dan dialog terbuka akan diserap oleh anak dan dijadikan
sebagai nilainya sendiri. Hal inilah yang menjadi landasan kuat anak dalam
berinteraksi dengan orang lain di masyarakat yang lebih luas. Pada
kenyataannya, keluarga dengan kondisi seperti itu tidak selalu terbentuk.
Banyak keluarga yang penuh dengan kekerasan, akibat berbagai situasinya tidak
sempat mendidik anaknya menjadi manusia yang secara sosial memiliki kematangan,
misalnya anak yang hanya diarahkan kepada pembantu rumah tangga dari pagi
hingga malam hari, enam hari dalam seminggu, akibat kedua orang tuanya harus
bekerja mencari nafkah. Banyak keluarga yang merasa lingkungan sosialnya kurang
aman sehingga melarang anak-anaknya bergaul di luar rumah, sedangkan orang
tuanya sendiri sibuk dengan pekerjaannya. Keluarga akan menghasilkan manusia
yang “kering”, “kerdil” dan “tidak bersahabat”. Inilah yang memungkinkan
menjadi pra kondisi bagi kenakalan anak dan remaja. Anak akan menyerap
perilaku, kebiasaan, tatakrama, serta norma yang berasal dari televisi tanpa
mendapat bimbingan yang cukup berarti dari kedua orang tuanya. Anak akan
menyerap tanpa evaluasi, atas perilaku orang lain yang diamatinya.
Unit keluarga adalah sekelompok
individu-individu yang satu sama lain dihubungkan baik oleh darah, maupun oleh
institusi seperti perkawinan. Didalam kelompok tersebut biasanya terdapat
pembagian wewenang (otoritas), hak tanggung jawab, serta peran-peran ekonomi
dan seks. Definisi keluarga mungkin berbeda antara masyarakat yang satu dengan
yang lainnya, yang menimbulkan perbedaan pula dalam standar perilakunya. Unit Nuclear
Family terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak mereka, dan Extended Family,
terdiri atas orang tua, anak-anak, kakek-nenek, bibi, paman dan lain-lain yang
tinggal bersama. Pada extended family, orang tua mempertahankan otoritas
atas perkawinan diantara sepupu dilarang. Pada nuclear family unit
keluarga tidak tergantung, perkawinan antar sepupu dianggap normal. Nuclear
family adalah tipe keluarga yang menonjol dalam masyarakat industri,
sedangkan extended family banyak ditemukan pada kultur masyarakat
agraris.
Menurut W. Kornblum (1989), dewasa
ini keluarga mengalami perubahan-perubahan dari extended family menjadi nuclear
family, dan single earner menjadi dual earner, dari agraris
ke industri dan teknologi. Bahkan definisi keluargapun berubah dari kumpulan
orang-orang yang didasarkan pada hubungan darah atau perkawinan menjadi atas
dasar companionship (kesepakatan atau komitmen) saja, seperti
yang dilakukan oleh para kaum homo seksual di Amerika Serikat. Bila
perubahan-perubahan ini tidak menimbulkan akibat negatif pada fungsi utama
keluarga, yaitu memelihara dan membesarkan anak, mungkin bukan masalah. Akan
tetapi, bila terjadi sebaliknya maka itu adalah sebuah masalah.
Semua keluarga secara kontinyu berubah,
sebab mereka harus secara konstan menyesuaikan diri dengan siklus perkembangan
keluarga, dimana peran-peran dari semua anggota keluarga berubah. Misalnya,
sebagian besar keluarga melampaui tahap-tahap pra nikah, membesarkan anak,
kesepian, dan pensiun. Selama dalam tahap dan pada masa transisi ke tahap yang
lain, keluarga menghadapi tantangan untuk mempertahankan stabilitas atau
kontinuitas, sehingga berfungsi secara memadai. Menurut Glasser dan Glasser
(1965) ada lima kriteria keluarga berfungsi memadai, yaitu :
Kegagalan melaksanakan fungsi-fungsi ini dapat menimbulkan masalah-masalah
dalam keluarga. Kegagalan tersebut biasanya tanpa sengaja dan mengakibatkan
krisis internal dan eksternal. Krisis eksternal berasal
dari luar, misalnya orang tua menganggur karena terkena PHK. Ini dapat
mengakibatkan orang tua kehilangan harga diri dan otoritas, dan senua anggota
akan takut dan cemas karena tidak adanya jaminan ekonomi. Krisis internal
muncul dalam keluarga sebagai akibat, misalnya salah seorang anak mengalami mental
disorder, ketidaksetiaan perkawinan dan lain-lain. Perubahan besar dalam
satu peran keluarga dapat mempengaruhi krisis internal, misalnya orang tua yang
tiba-tiba memutuskan untuk bekerja disamping mengurus anak, atau tiba-tiba
berhenti bekerja.
Tekanan-tekanan dan
masalah-masalah interpersonal lainnya dapat menimbulkan “empty shell”
dalam keluarga, yaitu tidak lagi memiliki perasaan kehangatan dan kemenarikan
diantara anggota-anggota keluarga karena tekanan dari luar. Di dalam keluarga
tidak ada lagi strong attachment, saling mengabaikan kewajiban,
dan berkomunikasi seminimal mungkin. Situasi rumah seperti demikian merupakan
tempat yang subur untuk tumbuh dan berkembangnya masalah kenakalan anak dan
remaja. Rumah atau keluarga yang bahagiapun dapat mengakibatkan terjadinya
masalah kenakalan remaja, bila keluarga lost event dalam
memperhatikan anak remajanya.
Kenakalan anak dan remaja
merupakan hal yang harus diperhatikan oleh orang tua dalam upaya pemecahannya.
Tidak mudah untuk mendekati mereka tanpa memahami siapa mereka dan dalam
kondisi apa. Jones dan Pritchard (1985) mengemukakan lima model pendekatan
untuk memahami remaja, yaitu :
1. Model
Konstitusi (Constitutional Model)
Model ini memahami remaja dari
perkembangan biologis dan fisiologis. Perkembangan fisik dan biologis yang
terlalu dini atau terlalu lambat dapat menimbulkan masalah bagi remaja,
terutama dalam menyesuaikan dirinya dengan lingkungan. Misalnya anak perempuan
terlalu cepat mengalami menstruasi dan mengalami pembesaran buah dada, atau
sebaliknya terlambat (sudah lewat masa remaja) belum mengalami masa menstruasi
dan buah dadanya masih belum muncul. Hal ini dapat menimbulkan kepanikan,
rendah diri, yang akhirnya sulit
berkomunikasi dan tidak dapat menyesuaikan dengan lingkungan. Demikian
pula dengan perkembangan biologis dan fisiologis anak laki-laki, misalnya mimpi
basah, tumbuh bulu dan lain-lain. Peran orang tua dalam hal ini sangat
penting untuk membimbing mempersiapkan berbagai kemungkinan menghadapi
perkembangan biologis dan fisiologis.
2. Model
Krisis Identitas (Identity Crises Model)
Model ini memahami remaja
berdasarkan pemahaman remaja terhadap identitas dan konsep dirinya. Memandang
remaja mengalami krisis identitas, belum memiliki kejelasan tentang siapa
dirinya, apa potensinya dan apa kekurangannya. Berdasarkan model ini, remaja
harus dibantu untuk menjawab pertanyaan siapa saya?, sehingga memperoleh
kejelasan tentang konsep diri dan identitas dirinya. Bila tidak, remaja akan
mengidentifikasi dan melakukan imitasi identitas orang lain, terutama tokoh
idolanya sebagai dirinya. Masalah muncul bila tokoh yang menjadi idolanya
adalah tokoh mafia, yang sering digambarkan sebagai pembunuh berdarah dingin.
Dalam hal ini peran orang tua dan para profesional yang
berkepentingan mempunyai tanggung jawab untuk membantu remaja agar memiliki
kejelasan terhadap identitas dan konsep dirinya.
3. Model
Kebutuhan (Need Model)
Mengacu pada teori kebutuhan
untuk memahami remaja. Menurut teori kebutuhan Maslow (1970), bila kebutuhan
fisiologis dan kebutuhan akan rasa aman terpenuhi, maka pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan lainnya tidak akan banyak menemukan kesulitan yang berarti.
Kedua kebutuhan tersebut sangat berpengaruh pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
remaja yang lainnya. Remaja sering menampilkan perilaku kasar bila perutnya
lapar, kurang tidur an perasaannya tidak aman. Dalam hal ini orang tua
sangat berperanan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan fisiologis dan rasa
aman remaja.
4. Model
Belajar Sosial (Social Learning Model)
Memandang bahwa remaja sangat
sensitive atas model-model perilaku di lingkungannya. Bandura (1970)
mengemukakan sebuah teori bahwa apabila seseorang terekspos pada satu model
perilaku, kemudian exposure tersebut terjadi berulang-ulang (repetition),
maka akan terjadi retention (penyimpanan dalam long-term memory).
Bila ini terjadi, maka seseorang tersebut akan mengikuti model perilaku
tersebut. Exposure ini biasanya dialami remaja dari media massa terutama
televisi atau dari lingkungan sebayanya. Bila model perilaku yang menempa
remaja tersebut ternyata dianggap cocok, maka remaja akan mengikuti model
perilaku tersebut. Selain itu, pada saat
berkumpul dengan lingkungan kelompoknya, biasanya mereka berperilaku sama, yang
sebenarnya merupakan hasil belajar sosial. Masalah muncul apabila model
perilaku yang mengeksposnya adalah model perilaku negatif atau menyimpang. Orang
tua dan para profesional yang berkepentingan juga mempunyai tanggung
jawab dalam hal mencegah tereksposnya remaja pada model-model perilaku negatif
atau menyimpang, atau mempersiapkan remaja agar memiliki ketahanan dalam
menghadapi pengaruh model-model perilaku tersebut.
5. Model
Stress (Stress Model)
Memandang bahwa setiap
orang pasti mengalami stress pada suatu saat. Kemampuan mengatasi stress (Coping
Ability) sangat berperanan. Stress yang tidak teratasi akan mengakibatkan
kecemasan, baik kecemasan ringan, seperti berkeringat, sampai kecemasan berat
seperti psikosomatis. Daya untuk mengatasi atau mengelola stress pada
diri remaja perlu dikembangkan. Banyak kasus-kasus kenakalan remaja disebabkan
oleh stress dan rendahnya kemampuan untuk mengatasi. Pelatihan-pelatihan untuk
mengatasi stress dapat membantu para remaja mengembangkan coping ability.
Pemberdayaan Untuk Memperkuat Keluarga
Pemberdayaan keluarga yang
ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan perkembangan
anak dan remaja didasarkan atas asumsi-asumsi untuk memperkuat keluarga.
Seorang Pekerja Sosial yang menggunakan model pemberdayaan didalam
prakteknya akan mampu membantu keluarga yang mengalami masalah dimana : 1)
mereka sama sekali tidak bertanggung jawab terhadap masalahnya akan tetapi akan
bertanggung jawab terhadap solusi terhadap masalah tersebut; 2) membantu
profesional dalam mencapai keahlian yang dapat digunakan dalam proses pemecahan
masalah; 3) resolusi masalah yang menuntut kolaborasi antara keluarga dan
“penolong” sebagai suatu kesatuan; 4) relasi mereka dengan beberapa institusi
sosial akan mempengaruhi etiologi dan terpeliharanya masalah yang dialami oleh
mereka, misalnya relasinya dengan polisi, rumah sakit, sekolah, lembaga
probasi; 5) sistem tidak monilitis tetapi terbentuk dari subsistem dan
cara-cara yang efektif yang berhubungan dengan sistem ini dapat dipelajari
dalam cara yang sama dimana relasi dengan individu-individu dapat dipelajari.
1. Enabling
Asumsi dari strategi ini adalah bahwa keluarga
mungkin memiliki sumber-sumber yang tidak selalu dikenali sebagai hal yang
bermanfaat didalam pencapaian sistem apa yang keluarga butuhkan. Enabling
menunjuk pada tindakan pekerja sosial untuk menyediakan informasi atau kontak
yang akan memberikan kemampuan terhadap keluarga untuk memanfaatkan
sumber-sumber yang ada pada keluarga lebih efektif. Keluarga mencoba untuk
memperoleh pelayanan dukungan khusus untuk anaknya yang mengalami kegagalan di
sekolah. Keluarga diberikan kemampuan untuk dapat menghadapi otoritas sekolah
dan mendapatkan pelayanan.
2. Linking
Asumsi strategi ini bahwa
keluarga dapat memperbesar kekuatannya sendiri melalui berhubungan dengan orang
lain yang dapat menyediakan persepsi-persepsi dan atau kesempatan-kesempatan
baru. Mungkin keluarga berhubungan dengan orang lain untuk menyediakan kekuatan
kolektif yang dapat membuat lebih kuat didalam menghadapi sistem. Linking
menunjuk pada tindakan yang dilakukan oleh pekerja sosial untuk menghubungkan
keluarga-keluarga kepada keluarga-keluarga lain, kelompok atau jaringan kerja.
3. Catalyzing
Asumsi strategi ini bahwa
keluarga memiliki sumber-sumber akan tetapi sumber tambahan dibutuhkan sebelum
sumber yang ada pada keluarga digunakan secara penuh. Sebagai contoh, apabila
orang tua memiliki keterampilan kerja, maka mereka akan membutuhkan pekerjaan
sebelum keterampilan tersebut digunakan. Catalyzing menunjuk pada
tindakan pekerja sosial untuk mendapatkan sumber-sumber yang menjadi prasyarat
untuk keluarga menggunakan secara penuh sumber-sumbernya yang sudah ada.
4. Priming
Asumsi strategi ini bahwa
banyak sistem dimana keluarga yang tadinya memiliki respon negatif, diarahkan
kepada pemberian respon yang lebih positif.
Keluarga menjadi berpengalaman didalam berhubungan dengan konflik.
Sebagai contoh, seorang ibu diberi kemampuan untuk mendiskusikan reaksi anak
laki-lakinya terhadap situasi stress di rumah dengan konselor sekolah dan
gurunya.
Kesimpulan
Masalah kenakalan anak dan
remaja tidak memandang tempat maupun status sosial ekonomi, ada pada setiap
lapisan masyarakat, di kota maupun di desa, pada lingkungan kaya maupun miskin.
Keluarga sebagai penyebab tidak langsung terjadinya kenakalan remaja selain
masyarakat. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam keluarga, misalnya dari single
earner menjadi dual earner mengakibatkan ibu rumah tangga berkurang
waktunya untuk memperhatikan anaknya. Perubahan ini juga memberikan kontribusi
pada semakin besarnya peluang terjadinya perceraian. Fenomena empty shell
juga dapat disebabkan oleh perubahan akibat tidak langsung terjadinya kenakalan
remaja, sebab kebutuhan akan rasa aman remaja tidak terpenuhi.
Kenakalan remaja dapat
difahami melalui lima model pendekatan, yaitu model konstitusional, yang
memahami remaja dari perkembangan fisiologis dan biologis; model krisis
identitas untuk memahami kesulitan remaja dalam menemukan jati dirinya; model
kebutuhan yang memahami remaja dari kondisi pemenuhan kebutuhan dasar
manusia; model belajar sosial untuk memahami bagaimana perilaku remaja
sebagai hasil belajar dari lingkungannya; dan model stress untuk
memahami bagaimana kemampuan remaja dalam mengatasi stress (coping ability).
Keluarga, bagaimanapun
merupakan sumber terjadinya masalah kenakalan remaja, akan tetapi keluarga juga
merupakan sumber untuk mencegah dan mengatasi kenakalan remaja. Hal ini sejalan
dengan aliran konservatif yang menganggap bahwa keluarga, utamanya yang
memiliki orang tua lengkap, merupakan institusi yang sangat penting sebagai
tempat anak untuk tumbuh dan berkembang ke arah yang memadai dengan menerapkan
nilai dan moralitas yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Demikian pula
Parsons (1964) dan Parsons & Bales (1956) mengatakan bahwa modernisasi akan
melunturkan dan mengurangi fungsi keluarga. Fungsi sosialisasi anak dan tention
management untuk masing-masing anggota keluarga semakin terasa penting,
dimana keluarga berfungsi untuk memelihara keseimbangan sosial dalam masyarakat
(equilibrium state) karena keluarga berinteraksi dengan sistem-sistem
yang lain. Selanjutnya dikatakan bahwa keluarga selalu beradaptasi dengan mulus
dalam menghadapi perubahan-perubahan lingkungan (dynamic equilibrium).
Teori Struktural –
Fungsional berpandangan dimana secara struktural beranggapan bahwa ketertiban
sosial akan dapat tercipta apabila ada struktur atau strata dalam keluarga,
dimana masing-masing individu akan mengetahui dimana posisinya, patuh pada
sistem nilai yang melandasi struktur tersebut. Sementara aspek fungsional dari
teori ini beranggapan bahwa fungsi sebuah sistem adalah mengacu pada kegunaan
sebuah sistem untuk memelihara dirinya dan memberikan kontribusi pada
berfungsinya sub sistem – sub sistem lain dari sistem tersebut. Sebuah keluarga
yang strukturnya berubah, misalnya terjadi perceraian, individu-individu lain
(anak-anak) akan terpengaruh, bahkan dapat membuat sistem keseluruhan tidak
dapat berfungsi secara normal. Oleh karena itu, sangat tepat apabila solusi
terhadap penanganan masalah kenakalan anak dan remaja dilakukan oleh keluarga.
Profesi Pekerjaan Sosial
memberikan perhatian pada keluarga yang memiliki masalah kenakalan anak dan
remaja dengan melakukan pendekatan pemberdayaan terhadap keluarga-keluarga
tersebut. Pemberdayaan dilakukan melalui pemberian kemampuan untuk menjangkau
sumber yang dibutuhkan keluarga (enabling); penciptaan hubungan dengan
kelompok lain di luar keluarga (linking); pencapaian sumber sebagai
prasyarat awal berfungsinya keluarga (catalyzing); dan mengubah sistem
yang selama ini berpengaruh negatif kepada keluarga ke arah yang lebih positif
(priming).
DAFTAR
PUSTAKA
Bandura, Albert. 1970. The Stormy Decade
: Fact or Fiction, dalam Jones &
Pritchard, ‘Social Work with Adolescent’,
Compton, Beulah R & Galaway, Burt.
1999. Social Work Processes.
Horn, Wade. F.
1991. Children and Family in
Jones, Ray & Pritchard, Colin. 1985. Social Work with
Adolescent.
Justika,
Kornblum,
William. 1989. Social Problems.
Maslow, A.H. 1970. Motivation and Personality. Harper & Row.
Zastrow, Charles. 1982. Introduction to Social Welfare Institution : Social Problems, Service, and Current Issues. Illionis : The Dorsey Press.