© 2004 Mulyadi Posted
, 23 April 2004
Makalah pribadi
Pengantar ke Falsafah
Sains (PPS702)
Sekolah Pasca Sarjana /
S3
Institut Pertanian Bogor
April 2004
Dosen:
Prof. Dr. Ir. Rudy C.
Tarumingkeng (penanggung jawab)
Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto
Dr Ir Hardjanto
PENDAHULUAN
Tumbangnya Pemerintahan Orde Baru (1998)
merupakan peluang besar bangsa Indonesia untuk merekonstruksi pembangunan ke
arah yang dicita-ciatakan oleh seluruh rakyatnya yaitu: Masyarakat yang aman
dan sejahtera. Karena semenjak tiga dasa warsa pembangunan yang dilakukan oleh
pemerintahan Presiden Soeharto belum mampu meningkatkan kesejahteraan seluruh
lapisan masyarakat Indonesia.
Keberpihakan atau mengangkat harkat
dan martabat seluruh lapisan masyarakat sudah tercantum di lembaran negara
seperti UUD 1945, TAP MPR dalam bentuk GBHN, dan kini ada UU Otonomi Daerah,
RENSTRANAS. Namun falsafah
negara tersebut belum mampu mengeluarkan bangsa ini dari keterpurukan ekonomi,
sosial, dan politik. Bahkan Frans Magnis Suseno dan Syafie Ma’arif (2003)
memprediksi, bila Pemilu 2004 gagal maka siap-siap bangsa ini masuk jurang
kehancuran. Hasil pengamatan empiris menyebutkan dari 213 negara di dunia, Indonesia berada pada
peringkat ke-6 sebagai negara terkorupsi. Dulu korupsi hanya pada lingkaran
presiden Suharto, namun sekarang setelah otonomi daerah sudah merambah seluruh
lembaga pemerintahan di daerah. Buruknya tata pemerintahan demikian – kalau
dibiarkan berlarut-larut akan menjadi bencana laten yang pada suatu saat akan
terjadi revolusi atau perubahan besar (great desruption) dan akhirnya
menimbulkan kekacauan (chaos).
Euphoria desentralisasi dalam nilai negara
demokratis yang bebas kebablasan dikhawatirkan munculnya stigma disintegrasi
bangsa. Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang setengah hati adalah kesempatan
oknum-oknum profokator masuk di tengah kegelisahan masyarakat akan memunculkan
kembali opini Papua untuk memisahkan diri dari NKRI.
Papua yang memiliki penduduk 2,5 juta diantaranya
300-an suku, dan 40% kaum pendatang dari luar Papua mulai terusik semenjak
keinginan Papua untuk memisahkan diri pada 1999, memancing eksodus warga
pendatang untuk ke luar Papua. Hadiah Otsus Papua pun bertiup isu papuanisasi
seluruh lapisan pemerintahan, terakhir simpang siur pemekaran propinsi Papua
menjadi tiga memicu konflik horisontal: antar suku maupun antar penduduk asli
dengan pendatang.
Mengapa komunitas pendatang menjadi sasaran
konflik? Hampir sebagian besar perekonomian dan jabatan pemerintahan dipegang
oleh kaum pendatang atau migran-perantau. Ekonomi dipegang oleh pendatang
China, Bugis-Makssar dan Jawa. Demikian juga jabatan di pemerintahan pada
priode tahun 1970-an – 1995 banyak dipegang oleh orang dari Jawa, Maluku, Sulut
dan Toraja . Dari sinilah muncul kebencian: “Kita dijajah oleh orang Jawa.”
Sinyalemen kebencian ‘orang papua’ terhadap ‘orang jawa’ diungkapkan oleh
Hajriyanto Y. Tohari, Sekjen DPP Muhammadiyah mengungkapkan bahwa betapa kini
orang di luar Jawa membenci orang Jawa. Orang di luar Jawa, seakan menganggap
orang menjajah di wilayah mereka. Kalau dibiarkan hujatan seperti ini akan
memicu disintegrasi bangsa dan akibatnya akan dibayar mahal oleh bangsa ini (Republika,
8 September 2003). Selain di Papua kebencian terhadap orang jawa juga
terjadi di Aceh yang dilakukan oleh GAM terhadap warga transmigrasi asal pulau
Jawa yang kini mengungsi ke propinsi sekitarnya akibat operasi militer.
Melalui telaah pustaka mata kuliah Pengantar ke
Falsafah Sains (PPS 702) ini penulis
mencoba menemukan proposisi-proposisi konstruktif yang menyebabkan munculnya
kebencian kepada orang Jawa khususnya di Papua dan menemukan jawaban
penanggulangan melalui pendekatan komunikasi antarbudaya.
Permasalahan
Pembangunan dianggap berhasil bila
pembangunan itu sendiri mampu mensejahtrakan masyarakat dan mandiri sebagai
modal pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan berjalan baik mana kala
partisipasi masyarakat ikut dalam pembangunan itu. Namun harapan melalui
pendekatan pembangunan pertumbuhan mengalami distorsi kepada lapisan masyarakat
tertentu (konglomerat dan pejabat), justru menghasilkan kesenjangan ekonomi, sosial dan politik di
tengah bangsa Indonesia. Apakah model pembangunan Rostow telah gagal? Sebuah
model adalah ‘alat’ akan bermanfaat bila pemakai alat itu mampu dan komited
menghasilkan pembangunan yang dicita-citakan bersama.
Larutnya Pemerintah Pusat melalui kebijakan top down
membuat masyarakat merasa ‘dipaksa’ menelan kebijakan yang belum tentu cocok. Penyeragaman
model pembangunan sama dengan menghilangkan potensi lokal yang beribu-ribu
banyaknya. Kebijakan keuangan dan regulasi/perijinan dipegang pemerintah pusat
membuat pemerintah daerah bagai ‘macan ompong’; hasil kekayaan daerah diserap
oleh pusat. Daerah hanya berfungsi sebagai ‘satpam’ yang menjaga sumberdaya
alam yang sudah hancur. Ketika muncul kesadaran untuk menuntut hak-hak
masyarakat lokal ketika itu pula depresi militer dikerahkan untuk meredam
gejolak masyarakat.
Hasil pembangunan adalah kesenjangan ekonomi
antara pusat dan daerah. Di daerah kaya sumberdaya alam seperti Papua hanya
dirasakan oleh pendatang dan pejabat-pejabat tertentu. Sumberdaya manusia
masyarakat asli Papua sangat rendah sebagai penyebab utama tidak mampu
berpartisipasi dan berkompetisi dengan para pendatang. Ada kecenderungan
penduduk asli ‘manja’ dengan ketersediaan sumberdaya alam yang dimiliki
sedangkan pendatang memiliki tekad ‘kerja keras’ untuk hidup yang lebih baik. Hasilnya
adalah ketergantungan hidup antara si miskin terhadap si kaya dan kesenjangan
hidup sosial. Dalam kehidupan masyarakat yang tidak seimbang akan muncul
kecemburuan-kecumburuan sosial. Kalau kecemburuan ini tidak dijembatani akan
menimbulkan kompensasi yang berlebihan dalam bentuk kekerasan dan perpecahan. Perpecahan
masyarakat inilah adalah pertanda disintegrasi bangsa akan menjadi kenyataan.
Tujuan dan Kegunaan Studi
Ada 2 (dua) tujuan pokok penulisan paper ini
adalah untuk:
1)
Melihat faktor-faktor penyebab
timbulnya rasa kebencian ‘orang Papua’ terhadap masyarakat pendatang ‘orang
Jawa’ di Propinsi Papua,
2)
Melihat faktor-faktor
pengerem/penghambat terjadinya kebencian orang Papua terhadap masyarakat
pendatang orang Jawa
Setelah
berhasil mengungkapkan tujuan dari penulisan ini maka dapat diperoleh kegunaan
yaitu untuk memperoleh informasi yang bersifat akademis empiris tentang
faktor-faktor penyebab kebencian orang Papua terhadap orang Jawa; adanya jalan
keluar bagi pemerintah sebagai pemegang kebiajakan yang dapat dijadikan payung
dalam rangka memperkuat intergrasi bangsa; dan dapat diuji lanjut oleh peneliti
lain yang berkompeten dengan thema pengamatan ini.
PENYEBAB DISINTEGRASI
Politik Keragaman
Indonesia adalah contoh negara yang
memiliki keragaman yang sangat besar dilihat dari suku, ras, agama, dan letak
geografis. Wilayahnya membentang dari Sabang (Aceh) hingga Merauke (Papua).
Keragaman bisa menjadi potensi pembangunan bila dikelola dengan baik dan
sebaliknya menjadi sumber perpecahan dan kehancuran sebuah bangsa bila keadilan
tidak dijalankan oleh penyelenggara negara.
Dua propinsi yang nampak mengarah kepada
perpecahan ingin memisahkan diri dari NKRI adalah Propinsi Nangro Aceh Darussalam
dan Papua. Selain secara geografis jauh dari pusat Jakarta, juga belum
memperoleh rasa keadilan oleh pemerintah. Dampak dari disintegrasi sosial,
ekonomi dan politik adalah konflik antar ras, suku, dan agama. Suku atau
masyarakat asli Aceh dan Papua membenci masyarakat pendatang terutama ‘orang
jawa’. Kenapa yang dituding orang jawa? Boleh jadi populasi dan peran orang
jawa sangat besar dibandingkan dengan masyarakat pendatang lainnya seperti
misalnya di Papua terdapat masyarakat pendatang atau suku Bugis-Makassar,
Ambon, Ternate, Manado, Buton, Toraja, dll.
Masyarakat jawa secara besar-besaran
didatangkan melalui program transmigrasi mulai pada tahun 1970-1996 di seluruh
kabupaten di Papua. Selain itu masa perebutan Irian Barat (1960-an) banyak sukarelawan
seperti guru, tentara, polisi, pegawai instansi lainnya bertugas menjalankan
roda pemerintahan, untuk mempersiapkan integrasi Irian ke NKRI. Tidak mustahil
terdapat komunitas Jamer (Jawa Merauke) yang sudah bernak pinak dan mengalami
akulturasi dengan penduduk setempat. Di Yapen Waropen terdapat komunitas
Prancis (Peranakan China Serui), pendatang China yang kawin dengan penduduk
setempat. Irian oleh pemerintah Hindia Belanda dijadikan sebagai tempat
pembuangan pemimpin-pemimpin yang dianggap berbahaya di Jawa seperti
Digul-Merauke dan Serui-Yapen Waropen.
Sebagai pejabat dan perantau yang memiliki
pengetahuan dan ketrampilan di tengah masyarakat Papua yang masih luguh,
pendidikan rendah, dan adat istiadat yang kental, orang jawa kehidupannya lebih
mapan kehidupan ekonomi dibandingkan dengan suku-suku lainnya. Tingginya
invlasi akibat nilai uang rupiah yang tinggi di Irian Barat adalah keuntungan
besar bagi pendatang jawa yang membawa barang-barang kebutuhan pokok dari Jawa.
Pejabat pemerintah mulai dari gubernur, bupati, camat, dan kepala-kepala dinas
kebanyakan dipegang oleh pendatang terutama dari jawa.
Gambaran seperti inilah yang menyebabkan
kesenjangan ekonomi dan politik yang dirasakan masyarakat asli Papua. Yaitu
selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru. Tidak mustahil muncul perkataan: “Kitong
ini dijajah oleh jawa-jawa dorang,” (“Kita ini dijajah oleh orang-orang
Jawa”). Semua pendatang bagi orang papua menyebutnya amber dan orang
berambut lurus. Hal ini untuk membedakan orang Papua dengan orang pendatang.
Anehnya, setiap peristiwa pertentangan dengan orang pendatang pasti menyebutnya
“orang jawa”, walaupun kejadian perkelahian misalnya dengan orang bugis. Kecurigaan
yang bias inilah yang menyebabkan orang jawa sebagai pusat tudingan.
Miskomuniksi Budaya
Hubungan sosial kemasyarakatan antara
penduduk asli Papua dengan pendatang nampak lebih nampak dengan orang yang
memiliki agama yang sama (Protestan/Katolik) misalnya dari Ambon dan Toraja. Sedangkan
orang Manado dan Ternate dianggap orang yang ‘netral’ dan fleksibel dalam
pergaulan. Mengapa orang Ternate lebih dekat dengan orang papua? Kemungkinan
ada tali sejarah bahwa Papua adalah wilayah kekuasaan raja Tidore dan dianggap
sama dengan warga muslim yang ada di Fakfak. Berlainan dengan orang Jawa dan
Bugis-Makassar yang kebanyakan muslim, banyak melakukan kontak dalam bentuk
hubungan atasan dengan bawahan (Jawa) atau hubungan jual-beli (Bugis-Makassar).
Dilihat dari kasus bentrok fisik kebanyakan terjadi dengan orang Bugis-Makassar
yang kental dengan budaya siri’.
Orang Jawa yang kebanyakan tinggal di
wilayah transmigrasi justru menjadi sasaran
teror, penipuan dan penganiayaan dari suku asli setempat. Terutama
berkaitan dengan pelanggaran-pelanggaran adat yang dianggap aneh oleh orang
jawa. Misalnya sengketa tanah yang belum memiliki pelepasan adat – walaupun
sudah bersertifikat, akan digugat secara adat. Korban perkelahian atau
kecelakaan lalu lintas harus membayar ‘uang darah’ yang dinilai tinggi oleh
pelaku. Demikian juga merusak harta seperti menebang pohon tanaman, menabrak
binatang peliharaan akan dikenai bayar denda adat. Masing-masing kelompok suku
memiliki kepala suku yang menentukan bentuk dan besarnya denda adat. Komunikasi
multikultural adalah pengakuan terhadap pluralitas dengan mengkaji upaya
manusia untuk melewati jarak budaya orang lain yang asing baginya guna
membangun sebuah masyarakat global yang penuh persahabatan dan perdamaian.
PEMBAHASAN
Di Bawah Payung Pancasila
Kelompok-kelompok masyarakat, baik yang
homogen maupun yang heterogen tersebut terintegrasi secara politis dalam
wilayah bernama Negara Kesatuan RI. Kesatuan yang berbentuk atas aneka ragam
etnis, ras, agama, kepercayaan dan budaya memang cukup absurd untuk dapat
bertahan dalam wadah sebuah negara kesatuan kecuali karena adanya semangat
nasionalisme yang tinggi. Kenyataan hari ini bahwa semboyan pluralitas
merupakan kekuatan untuk untuk bersatu bukan tanpa kekuatan, meskipun tanpa
mengurangi kesadaran adanya titik-titik kerawanan seperti terjadinya konflik
etnik, konflik kepentingan yang bisa mengakibatkan perpecahan nasional.
Untuk menerjemahkan pluralitas sebagai
kekuatan untuk bersatu para pendiri Republik Indonesia menggunakan dasar
Pancasila. Lima dasar negara yang merupakan cermin pluralitas masyarakat Indonesia,
yang ber-ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkeprimanusiaan yang adil dan beradab
untuk mengikatkan diri dalam persatuan nasional, yakni Tanah Air, bersatubangsa
dan bersatu bahasa, bernama Indonesia. Dalam spirit Pancasila terkandung aspek
religius, menjunjung tinggi kesederajatan pada setiap orang dalam segala hal
tanpa pandang bulu, semangat dan kemauan untuk hidup bersama, menjalankan
amanat musyawarah untuk mencapai mufakat menuju masyarakat yang berkeadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dasar negara tersebut menjadi payung
utama. Kemudian diterjemahkan lewat berbagai sosialisasi misalnya dunia
pendidikan. Meskipun sosialisasi tentang pluraisme masyarakat Indonesia belum
mencapai hasil seperti yang diharapkan, setidaknya masih terus ada upaya bagi
setiap daerah untuk mengembangkan kebudayaan lokalnya secara bebas, dengan
tetap mengutamakan kehidupan bersama.
Komunikasi Antarbudaya
Papua berasal dari ras Melanesia, di
dalamnya terbagi ke dalam 250-300 suku yang memiliki kekhususan-kehususan tertentu.
Selain itu, keragaman penduduk Papua yang diperkaya oleh berbagai etnis
non-Melanesia yang telah lama menjadi penduduk hingga lebih dari tiga generasi.
Tak kalah penting adalah kemajemukan agama bahkan didominasi
organisasi-organisasi gereja yang dianut oleh masyarakat Papua. Bukankah gereja
kuat dengan ajaran cinta kasih, hal sama
juga tercantum dalam kitab suci agama lain.
Realitas sosial menunjukkan bahwa manusia
ditakdirkan untuk berbeda. Berbeda tempat kelahiran; berbeda warna kulit;
berbeda jenis dan warna rambut; berbeda bahasa yang digunakan, berbeda pula
isyarat dan tanda-tanda, simbol dan kode-kode; berbeda jenis makanan, gaya
hidup; berbeda pula cara berkomunikasi; berbeda apa yang kita pikirkan,
cita-citakan, harapan hidup, cara berekspresi, mengeluarkan pendapat dan
bagaimana menempatkan diri dalam lingkungan sosial. Kita juga ditakdirkan untuk
berbeda agama dan kepercayaan, berbeda dalam pola kebiasaan dan hukum. Anthony
Giddens dalam Andrik Purwasito (2002) mengatakan bahwa perbedaan budaya adalah
sebuah realitas yang dirangkum dalam sebuah kata yang sama, yaitu multikultur.
Multikultur pada prinsipnya berisi tentang perbedaan-perbedaan latar budaya
antara manusia satu dengan manusia yang lain, antara komunitas yang satu dengan
komunitas yang lain, antara bangsa yang satu
dengan bangsa lain. Dalam sosiologi, perbedaan tersebut sebagai inequalities
untuk menyatakan adanya stratifikasi sosial.
Multikultur adalah suatu realitas yang
harus ditumbuhkembangkan dalam UU No. 21
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi propinsi Papua. Penghargaan akan
pluralisme sudah barang tentu harus diwarnai dengan keberpihakan secara tegas
kepada mereka yang paling menderita, paling tertinggal, dan berada pada
hirarkhi paling bawah dalam akses terhadap berbagaifasilitas kesejahteraan
sosial, ekonomi dan budaya.
Kebudayaan adalah ekspresi manusia sebagai manusia sebagai
mahluk individu yang bersifat pribadi dan mahluk sosial yang bersifat publik. Dalam
kehidupan yang semakin kompleks, kebudayaan yang melekat dalam diri atau
kelompok yang hidup dan berinteraksi, yang berpikir dan bertindak sehari-hari
disebut sebagai kehidupan multikultur.
Multikultur dapat hidup dan berkembang
dalam lingkungan negara kebangsaan. Secara politis mereka terikat dalam
identitas nasional, yang terikat dalam identitas nasional, yaitu terikat dalam
kelompok yang disebut nation (bangsa), dan negaranya disebut negara
kebangsaan. Namun warga masyarakat yang tinggal dan berdiam di negara
kebangsaan tersebut bisa berasal dari berbagai kelompok etnik, kelompok ras,
golongan dan agama, yang mempunyai berbagai gaya hidup, cara pandang dan hidup,
adat kebiasaan yang berbeda-beda. Perbedaan dalam lingkungan negara kebangsaan,
perbedaan etnik dan ras melahirkan istilah interaksi antaretnik dan antarras.
Perbedaan ras dan etnik, agama dan golongan dalam masyarakat, merupakan
hambatan potensial dalam komunikasi.
Dengan komunikasi, berbagai perbedaan
tersebut dapat disatukan secara simbolik dalam kekuatan konsensus sosial,
harmoni dan keinginan untuk menyatukan secara sukarela dalam kehidupan yang
dicita-citakan bersama, yakni rukun sejahteraan dan penuh kedamaian. Komunikasi
pula yang membuat jarak dan pertentangan menjadi lebih cair. Hal ini disebabkan
oleh adanya transaksi emosional dan rasional, berupa gagasan dan ide-ide yang
mampu dipertukarkan secara terus menerus dalam konteks kesederajatan sehingga
orang mampu merasakan kebahagiaan, kesedihan, gembira, suka, cinta dan kasih
sayang.
Sebaliknya berkat komunikasi pula,
semangat berperang mampu dikobar-kobarkan, semangat saling membenci mampu
ditularkan dan dengan komunikasi pula revolusi mampu dicetuskan. Komunikasi
sebuah interaksi dan bersifat transaksional. Buah dari proses transaksi inilah
yang membuahkan keanekaragaman pradaban sekaligus yang mampu mengikat warga
dalam kesatuan dan solidaritas sosial. Dengan kata lain, komunikasi menjadi
alat utama keberlangsungan hidup manusia dalam bermasyarakat. Pertukaran
pemikiran, ide-ide dan gagasan dari satu orang ke orang lain atau kelompok,
dari kelompok kepada orang per orang atau dengan kelompok lain terjalin lewat
komunikasi yang berkesinambungan. Dengan demikian, tujuan utama berkomunikasi
adalah membangun personal discovery (penemuan diri), survival (kelangsungan
hidup), memperoleh kebahagiaan dan menemukan hidup rukun dan damai.
Dalam pandangan Jawa, dunia mikrokosmos,
yang berhubungan dengan rasa menjadi utama. Maka, menjadi Jawa berhubungan
dengan kemampuan seseorang dalam menyembunyikan ambisi, perasaan iri, dan sakit
hati. Menjadi Jawa berkaitan erat dengan kemampuan seseorang dalam
mengendalikan konflik terbuka, kemampuan menjaga ketenagan dan ketentraman
serta selalu menjaga keseimbangan. Di samping itu menjadi Jawa selalu
berhubungan dengan perasaan solider bagi sesama, menebarkan cinta kasih
terhadap orang-orang yang lemah, kemampuan mengkomunikasikan rasa sedih dan
rasa senang kepada orang lain. Itulah komunitas Jawa yang sangat terbuka
sehingga sering menabrak privasi orang.
Komunitas Jawa mempunyai penilaian negatif
terhadap orang-orang sebrang. Penilaian tersebut biasanya disebabkan oleh
adanya ethnocentrism (etnosentrisme),
yaitu memberi penghakiman terhadap budaya lain dengan cara membandingkan atau
menggunakan standar kebudayaannya sendiri.
Masyarakat multikultural berisi tipe pola
tingkah-laku yang khas. Bagi orang-orang atau komunitas yang belum terintegrasi
dalam masyarakat tersebut, semua akan menjadi tampak asing dan sulit
dimengerti. Sesuatu dianggap tidak normal oleh budaya tertentu, tetapi dianggap
normal atau biasa-biasa saja oleh budaya lain. Perbedaan inilah yang sering
menyebabkan kontradiksi atau konflik, ketidaksepahaman dan disinteraksi dalam
masyarakat multikultur. Namun demikian masih ada peluang dan kesempatan yang
mempertemukan berbagai budaya yang berbeda tersebut. Anthony Giddens
menyebutnya sebagai cultural universal. Seperti lembaga perkawinan, larangan
untuk kawin dengan sesama saudara dekat, ritual keagamaan dan kepercayaan,
hak-hak pernikahan dll.
Berdasarkan kenyataan, kiranya mendesak
untuk mensosialisasikan dan membudayakan sharing
of culture antaretnis melalui penyebarluasan informasi budaya baik lewat
keluarga, lewat media massa, maupun lewat pendidikan sejak dari sekolah dasar
sampai perguruan tinggi.
Migrasi dan Kebijakan Affirmatif
Pengaturan tentang pengendalian
migrasi atau sering disebut transmigrasi ke Papua sebagaimana tercantum dalam
Pasal 61 UU Otonomi Khusus Papua dapat dipahami, namun hal ini perlu dilakukan
dengan hati-hati agar tidak menimbulkan kesan diskriminarif. Oleh sebab itu
dalam Perdasi (Peraturan Daerah Propinsi) --
yang sampai saat ini belum terbentuk – harus benar-benar ada komunikasi
yang baik antara Pemda Papua dengan Pemerintah Pusat. Transmigrasi adalah
kebijaksanaan atau program nasional sebagai penataan kependudukan sulit untuk
ditiadakan sepihak oleh pemerintah sasaran transmigrasi.
Diakui bahwa program ini banyak
menimbulkan masalah. Karena itu, yang terpenting adalah bagaimana melakukan
penataan terhadap program ini. Salah satu yang harus ditata ulang adalah
perkampungan transmigrasi yang selama
ini bersifat eksklusif, harus diubah. Perkampungan yang dikembangkan seharusnya
lebih memberi peluang untuk terjadinya proses pembauran. Eksklusivitas suatu
perkampungan merupakan penyebab utama terjadinya konflik sosial. Dalam kaitan
ini pula perlu disediakan fasilitas umum sebagai arena proses pertemuan
masyarakat yang pada akhirnya dapat menjadi arena pembauran.
Kebijakan affirmative (pasal 62
UU Otsus Papua) menegaskan bahwa orang asli Papua berhak memperoleh kesempatan
dan diutamakan untuk mendapatkan pekerjaan dalam semua bidang pekerjaan di
wilayah Propinsi Papua berdasarkan pendidikan dan keahliannya. Kebijakan yang
dapat dimengerti untuk menciptakan peluang kompetisi yang seimbang antara orang
Papua dan orang non-Papua. Hal ini hanya bisa terwujud jika kebijakan
affirmative tidak serta merta meniadakan hak dan kewajiban penduduk yang
non-Papua. Hal ini sangat prinsip, karena pembanguna tidak mungkin dilaksanakan
secara sendiri-sendiri atau oleh komponen tertentu saja, tetapi harus
bersama-sama dengan komponen lain dalam masyarakat. Karena itu kebijakan ini
harus diatur dengan baik dalam Perdasi sehingga tidak timbul masalah baru dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pelaksanaan UU ini harus
terhindar dari adanya nuansa diskriminatif yang berlebihan, sehingga tidak
menimbulkan terjadinya pelanggaran HAM.
Meningkatkan Kualitas SDM
Pembangunan yang dilaksanakan
di Papua oleh pemerintah pusat masih bersifat semu karena banyak pada bidang
fisik, melupakan pembangunan sumberdaya manusia misalnya pembangunan sektor
pendidikan, kesehatan dan gizi serta kesejahteraan rakyat. Ditemukan di Papua
banyak anak yang lulus SLTP ternyata memiliki kemampuan membaca dan berhitung
yang rendah. Kini yang mengecap pendidikan di perguruan tinggi hanya 12.635
orang. Oleh sebab itu perbaikan pendidikan akan secara langsung memperbaiki
kualitas sumberdaya manusia penduduk di wilayah ini. Sistem pendidikan berpola
asrama, pemberian beasiswa, penghapusan biaya pendidikan, perbaikan sarana dan
prasarana pendidikan, pengadaan buku, dan pengadaan guru yang betul-betul ingin
mengabdi di Papua, merupakan hal-hal yang penting dilakukan.
Upaya
peningkatan SDM seperti disebut di atas tercantum dalam Pasal 56, 57, dan 58 UU
Otsus Papua. Yang sangat menggembirakan pada ayat 2 pasal 58 menyebutkan:
Selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa Inggeris ditetapkan
sebagai bahasa kedua di semua jenjang pendidikan. Ini suatu jalan untuk
mengantarkan generasi masyarakat Papua yang berwawasan internasional. Terjadinya
konflik antar penduduk tidak lepas dari rendahnya kualitas sumberdaya manusia
penduduk Papua. Rendahnya SDM tidak mampu memahami keragaman dan manfaat budaya
bagi kepentingan pembangunan Propinsi Papua khususnya dan pembangunan bangsa
Indonesia pada umumnya.
KESIMPULAN
1) Konflik antar suku Jawa atau pendatang lainnya dengan
penduduk asli Papua disebabkan oleh kebijakan politik Pemerintahan Orde Baru
yang bersifat sentralistik tanpa melihat kondisi keragaman suku dan ciri khas
budaya asli Papua;
2) Dengan keragaman masih banyak masyarakat pendatang dan asli Papua belum memahami perbedaan budaya, ras, suku, agama, dan status sosial masing-masing. Artinya belum terjadi komunikasi antarbudaya yang intensif. Karena dengan komunikasi, berbagai perbedaan tersebut dapat disatukan secara simbolik dalam kekuatan konsensus sosial, harmoni dan keinginan untuk menyatukan secara sukarela dalam kehidupan yang dicita-citakan bersama, yakni rukun sejahteraan dan penuh kedamaian;
3) Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Propinsi Papua merupakan starting
point atau kesempatan yang paling baik untuk menata ulang ketertinggalan
pembangunannya sendiri dengan tetap berada dalam wadah Negara Kesatuan RI,
dimana falsafah Pancasila sebagai payung integrasi bangsa;
4) Prioritas utama pembangunan di Papua adalah
peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) yaitu melalui program pendidikan
yang bermutu, pembangunan kesehatan/gizi serta kesejahteraan masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Adrianto, T.
Tuhana. 2001. Mengapa Papua
Bergolak? Penerbit Gama Global Media,
Arifin,
Anwar. Komunikasi Politik, Pradigma,
Teori, Aplikasi, Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia. PT Balai Pustaka,
Fukuyama,
Francis. 2000. The Great
Disruption, Human Nature and The Reconstitution of Social Order. A
Touchstone Book, Published by
Mulder,
Niels. 1984. Kebatinan dan Kehidupan
Sehari-hari Orang Jawa, Kelangsungan dan Perubahan Kulturil. Cetakan kedua.
PT Gramedia, Jakarta.
Ngadisah. 2003. Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial Politik.
Penerbit Pustaka Raja, Yogyakarta.
Purwasito, Andrik. 2003. Komunikasi
Multikultural. Universitas Muhammadiyah, Surakarta.
Rangkuti, H. Sofia. 2002. Manusia dan Kebudayaan
Indonesia, Teori dan Konsep (Edisi Refisi). Dian Rakyat, Jakarta.
Sumule, Agus. 2003. Mencari Jalan Tengah,
Otonomi Khusus Provinsi Papua. Penerbit
PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2003.
*) Maklah Tugas Mandiri MK. Pengantar ke
Falsafah Sains (PPs 702), TA. 2003/2004 (Dosen: Prof DR Rudy Tarumingkeng).