© 2004  Enny Widyati                                                                                         Posted:   26 April 2004 

Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS 702)   

Sekolah Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

 

Dosen:

 

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto, M.Sc

Dr. Ir. Hardjanto, M.Sc

 

 

 

 

 

TINJAUAN TENTANG PERANAN MIKROBA TANAH DALAM

REMEDIASI LAHAN TERDEGRADASI

(A REVIEW ON THE ROLE OF SOIL MICROBES ON

REMEDIATION OF DEGRADED LAND)

 

 

 

 

Oleh:

 

Enny Widyati

E.061020112/IPK 

enny_widyati@yahoo.com

 

 

 

ABSTRACT

The high growth rate of human population has put  pressure on land in  almost all aspects of human necessities, both direct or indirect manner.  As a result of the population pressure, the areas of  degraded land from time to time  is increasing in large amount.

Based on their causal factors, land degradation is categorized into two groups. First, quantitative land degradation which occur when the damage is caused by the movement of soil layer into lower location. This is also called erosive degradation. Second, is the degradation not caused by movement but due to repeated changes especially chemical in nature where toxic compound such as heavy metals and other toxic materials that accumulate in the soil. This consequently causes imbalances in the nutrient quality of the soil. This latter case is usually referred to as non erosive degradation.

Many soil microbes play important roles in the process of degraded land remediation. From their impact on the fate of the pollutants in soil, these microbes can be classified into two categories. Firstly, a group of soil microbes that is able to utilize the pollutants in the form of carbon for energy source for their growth and life. These microbes belong to the bioremediation agent category. They affect in reducing the contaminant compounds in soil directly. The second is a group of soil microbes that are able to decrease soil pollutant indirectly through plant growth processes. Microbes promote the growth of plants that are able to accumulate or absorb the soil pollutants. Soil decontamination utilizing plants activities are called phyto-remediation. Soil microbes thus support phyto-remediation, due to their ability to accelerate soil decontamination. 

Land remediation is determined by soil factors such as pH, temperature, soil organic matter, water holding capacity, aeration and nutrient availability.  Management of these factors will encourage the success of these activities.

 

 

Key words: bioremediation, degraded land, phyto-remediation, pollutant, rehabilitation, soil microbes.

 

 

 

 

 

I. PENDAHULUAN

Peningkatan populasi penduduk telah mengakibatkan tekanan terhadap lahan yang begitu luar biasa. Hampir semua kebutuhan manusia, bahkan oksigen untuk bernafas secara langsung atau tidak langsung dipenuhi oleh tanah. Kebutuhan  dasar manusia akan bahan pangan, sandang, tempat tinggal, dan kebutuhan lain seperti bahan bangunan, energi serta bahan penunjang prasarana produksi dapat dipenuhi oleh lahan. Disamping itu  benda-benda yang menjadi simbol kekayaan seperti emas dan batu permata juga digali manusia dari dalam perut bumi. Namun demikian, sebagian besar pemanfaatan lahan tidak disertai dengan pengelolaan tindakan konservasi yang memadai. Akibatnya,  pengelolaan lahan bagi sebagian besar manusia yang tanpa disadari telah menganut faham materialisme telah mengakibatkan terjadinya degradasi lahan. 

Untuk memenuhi segala macam kebutuhannya telah mendorong manusia membuka lahan hutan untuk mendapatkan kayu, serta mengubah lahan hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan, kawasan industri, pemukiman, dan lain-lain. Dengan alasan untuk meningkatkan produksi pertanian dan kesejahteraan, manusia juga memasukkan berbagai senyawa misalnya pupuk kimia dan pestisida ke dalam tanah.

Namun demikian, beberapa mikroba tanah digolongkan memiliki peranan yang penting bagi perbaikan lingkungan di sekitarnya. Aktivitas mikroba tanah dapat secara langsung atau tidak langsung dapat memperbaiki kondisi lingkungan. Secara langsung, beberapa mikroba tanah mampu menggunakan senyawa pencemar sebagai sumber makanan dan sumber energi, sehingga konsentrasi polutan akan menurun. Proses penurunan atau pembersihan bahan pencemar menggunakan aktivitas mikroba tanah disebut bioremediasi. Sedangkan secara tidak langsung adalah melalui sekresi metabolit sekunder, atau mikroba mampu meningkatkan ketersediaan dan memelihara keseimbangan unsur hara di lingkungan dan dapat bersimbiosis dengan suatu jenis tanaman sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan. Mikroba golongan yang kedua ini misalnya bakteri golongan plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) dan cendawan mikoriza arbuskula (CMA).

Metode lain remediasi lahan adalah dengan memanfaatkan tanaman untuk mengabsorb polutan. Teknik ini dikenal dengan fitoremediasi lahan. Dasar pemikiran aplikasi metode ini adalah tanaman memerlukan senyawa-senyawa kimia untuk pertumbuhannya. Beberapa logam berat merupakan unsur hara mikro yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Pada lahan terdegradasi unsur-unsur hara berada dalam kondisi tidak tersedia akibat penjerapan atau tidak seimbang komposisinya. Pemanfaatan mikroba fungsional akan meningkatkan ketersediaan hara melalui aktivitas enzim yang mampu melepaskan hara yang terjerap atau melalui modifikasi lingkungan menjadi lebih favourable akibat sekresi metabolit sekunder. Akibatnya pertumbuhan tanaman pada lahan terdegradasi akan menjadi lebih baik. Makin cepat pertumbuhan tanaman, laju penyerapan juga meningkat. Maka inokulasi mikroba yang mampu mempercepat pertumbuhan tanaman akan makin memacu proses remediasi lahan terdegradasi.

 Dengan demikian, aplikasi mikroorganisme  dalam kegiatan remediasi lahan merupakan suatu terobosan baru yang aman, murah dan ramah lingkungan. Disamping itu, secara tidak langsung aplikasi mikroba ‘fungsional’ dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap bahan beracun, meningkatkan pertumbuhan sehingga meningkatkan biomass yang pada akhirnya akan meningkatkan bahan organik tanah. Meningkatnya bahan organik tanah selain akan memperbaiki struktur, memantapkan agregat juga meningkatkan water holding capacity dan merupakan sumber makanan dan sumber energi bagi mikroba tanah. Hal ini akan mempercepat proses rehabilitasi dan reforestasi lahan terdegradasi.

 

II. PARADIGMA PEMBANGUNAN DAN DEGRADASI LAHAN DI INDONESIA

 

Sebagai negara berkembang Indonesia banyak melakukan pembangunan di segala bidang untuk mengejar ketertinggalannya dengan negara maju. Namun demikian, disadari atau tidak, pembangunan yang dilaksanakan seringkali hanya merupakan paradigma pertumbuhan ekonomi murni. Sehingga pembangunan nasional bertujuan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya, walaupun harus dibayar dengan pengorbanan deteriorasi (kerusakan) ekosistem, penyusutan sumber daya alam, timbulnya kesenjangan sosial dan ketergantungan manusia akan sumber daya alam yang sangat besar.

Degradasi lahan dapat terjadi karena pembangunan yang dilaksanakan tidak memperhatikan nilai-nilai etika keterbatasan sumber daya alam. Bahwa sumber daya alam non renewable yang dapat dieksploitasi ada batasnya, kemampuan lingkungan untuk menyerap polusi terbatas, lahan yang dapat digarap terbatas, serta produksi persatuan luas lahan juga terbatas, selama ini diabaikan. Kita hanya mengejar kepentingan jangka pendek dengan mengorbankan penderitaan jangka panjang yang harganya cukup mahal.

Disamping itu, dorongan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya sering mengakibatkan tidak adanya pembinaan kelembagaan. Pembangunan nasional yang dilaksanakan melalui perencanaan yang terpusat (centrally-imposed blue print plan) yang dirumuskan oleh teknokrat dan dengan sumber dana dari pusat akan melumpuhkan potensi masyarakat karena hanya akan meningkatkan tingkat ketergantungan rakyat terhadap proyek pembangunan. Begitu sumber dana dihentikan akan mengakibatkan terjadinya stagnasi dan disintegrasi proyek tersebut. Pembangunan dengan sistem keproyekan seperti yang selama ini dilaksanakan sangat sulit dicapai keberhasilannya. Apalagi setelah terjadi pergantian pimpinan akan merubah seluruh sistem.

Kegiatan sektor pertambangan, kehutanan dan industri merupakan pemasok anggaran pendapatan negara terbesar bagi Indonesia. Hampir dari sabang sampai Merauke wilayah Indonesia memiliki bahan galian yang potensial untuk di tambang. Demikian juga hampir tiap daerah di indonesia memiliki jenis andalan setempat komoditas hutan yang marketable. Namun demikian, ketiga sektor ini jugalah yang meninggalkan masalah lingkungan terbesar.

Salah satu problem terbesar akibat kegiatan penambangan yang sangat serius adalah terjadinya fenomena air asam tambang (AAT) atau acid mine drainage (AMD) atau acid rock drainage (ARD) Kleinmann et al, 1980 dalam Untung, 1993) yang dapat menurunkan pH secara drastis dan buangan limbah tambang (tailing). Menurunnya pH tanah dan perairan akan memacu populasi Thiobacillus thiooxidans dan T. ferrooxidans golongan bakteri pengoksidasi sulfur menjadi ion sulfat. Hasil aktivitas kedua bakteri ini akan menurunkan pH tanah dan air semakin rendah lagi. Dengan demikian, sekali terbentuk AAT akan terbentuk siklus yang merupakan lingkaran setan. Menurut Santosa, 2003 (komunikasi pribadi) di Amerika Serikat diperlukan waktu ratusan tahun untuk mengatasi AAT.

Selain itu, menurunnya pH juga akan meningkatkan kelarutan logam-logam berat yang dapat meracuni kehidupan tanaman, hewan dan mikroorganisme. Ion sulfit yang berikatan dengan logam-logam seperti tembaga (Cu), seng (Zn), cadmium (Cd), timbal (Pb) dan arsen (As) akan mengalami reaksi geokimiawi menghasilkan ion-ion logam beracun utama dalam perairan. Oleh karena itu EPA (Environment Protection Agency) menetapkan pyrite sebagai indikator utama pencemaran perairan akibat kegiatan penambangan yang menyebabkan meningkatnya derajad keasaman (www.mines.edu, 2001).

Kerusakan lain yang ditimbulkan secara fisik antara lain terjadinya peningkatan kerapatan limbak (BD) akibat penggunaan alat-alat berat, menurunnya porositas dan drainase serta menurunnya kemampuan tanah dalam mengikat air. Hal ini dapat mengakibatkan tanah mengalami penggenangan pada waktu musim hujan, memacu terjadinya erosi akibat tingginya run off dan  akan  mengalami kekeringan pada waktu musim kemarau.

            Secara biologi, populasi mikroba pada lahan tersebut sangat sedikit akibat terbatasnya sumber makanan dan sumber energi akibat hilangnya bahan organik tanah dan dipindahkannya lapisan top soil.  Banyak studi yang melaporkan bahwa lingkungan top soil merupakan tempat yang paling kondusif bagi tanaman, fauna tanah maupun mikroorganisme karena pada lapisan tersebut kaya akan sumber makanan, eksudat akar yang mengandung asam-asam organik, vitamin yang sangat diperlukan untuk kehidupan mereka. Dengan demikian hilangnya lapisan top soil  baik akibat pengupasan maupun erosi dapat menghilangkan spesies asli CMA yang memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan pertahanan, terutama pada kondisi di bawah cekaman. 

            Sektor kehutanan juga merupakan salah satu dulang emas bagi ekonomi Indonesia. Namun banyak sekali kaidah-kaidah pengusahaan hutan yang berasaskan kelestarian telah dilanggar. Pemberian ijin kepada HPH tanpa kontrol yang baik telah mengakibatkan rusaknya jutaan hektar lahan hutan di Indonesia hanya dalam waktu beberapa tahun. Apalagi adanya praktek pemalakan oleh oknum-oknum pejabat ke HPH yang akan mengakibatkan mereka mengabaikan batasan kubikasi kayu yang boleh ditebang untuk mengejar setoran. Penebangan baik yang legal maupun illegal tidak mengindahkan etika, sehingga banjir dan kekeringan sudah melanda negara kita.

            Degradasi lahan akibat kegiatan industri yang paling besar adalah akibat managemen limbah yang salah. Apabila limbah ditangani sesuai standart operational procedure (SOP) masalah lingkungan yang ditimbulkan bisa dimimimalisir. Akan tetapi penanganan limbah memerlukan biaya yang cukup mahal sehingga banyak industri yang mengabaikannya dan membuang limbahnya langsung ke lingkungan.

            Secara ringkas, degradasi lahan dibedakan menjadi dua yaitu degradasi yang mengakibatkan terjadinya perpindahan masa tanah ke daerah yang lebih rendah yang disebut dengan degradasi erosif dan degradasi yang tidak mengakibatkan adanya gejala tersebut tetapi terjadi perubahan secara kimia misalnya terjadinya akumulasi senyawa toksik atau terjadi perubahan komposisi nutrien sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan unsur-unsur di dalam tanah (Sitorus, 2002).

 

III. PERANAN MIKROBA TANAH DALAM BIOREMEDIASI LAHAN TERPOLUSI LOGAM BERAT

 

Logam berat didefinisikan sebagai unsur logam yang mempunyai densitas lebih besar dari 6 g/cm3 (Semple, 2003). Beberapa polutan logam berat dalam tanah antara lain timbal (Pb), cadmium (Cd), seng (Zn), timah (Sn), tembaga (Cu), nikel (Ni), kobal (Co), barium (Ba), besi (Fe) dan  mangan (Mn) (Ma et al, 1995 dalam Chen et al, 1996). Logam-logam tersebut terutama digunakan dalam proses peleburan (smelting) atau sebagai katalisator dalam reaksi-reaksi kimia yang dapat menjadi sumber polutan logam berat bersama-sama dengan kegiatan pertambangan dan limbah industri dan rumah tangga (Semple, 2003). Secara umum logam berat merupakan bahan beracun bagi tanaman, manusia maupun mikroorganisme (Semple, 2003).

Teknologi remediasi dapat dilakukan baik secara ex situ maupun in situ. Aplikasi secara in situ dilakukan tanpa memindahkan tanah sehingga cenderung tidak akan lebih merusak tanah dan efisien karena tidak perlu ongkos pengangkutan. Sehingga teknik in situ kurang berbahaya terhadap struktur dan kesuburan tanah, kurang merembes (intrusif) dan residu yang ditinggalkan di pembuangan atau pengolahan (treatment) lanjutan jumlahnya sedikit.  Namun demikian teknologi ini memerlukan waktu yang lebih lama dan sulit untuk menjamin efektivitas sirkulasi aliran oksigen dan bahan kimia yang ditambahkan (Kearney,  2003).

Sebaliknya, aplikasi secara ex situ selain dapat merusak tanah, adanya tambahan ongkos pengangkutan, meningkatkan mobilitas polutan, memindahkan kontaminan ke tempat treatment juga kemungkinan terjadinya ceceran sepanjang perjalanan merupakan resiko yang harus diperhatikan (Kearney,  2003).

Merujuk pada Kearney (2003), keputusan untuk memilih apakah aplikasi secara ex situ atau in situ tergantung pada masalah kondisi alam yang dihadapi. Untuk daerah operasional yang di bawahnya terdapat instalasi/peralatan (underground services) akan sangat tepat menggunakan cara in situ karena secara umum akan mengurangi kerusakan lahan. Sebaliknya, aplikasi secara ex situ disarankan dilakukan di daerah yang memerlukan perlakuan secara cepat  dan mencegah perpindahan kontaminan atau peresapan ke ground water apalagi kalau merupakan sumber air minum.

Remediasi secara Biologi (Biological Treatment) didasarkan atas satu atau lebih dari 4 proses utama:

1.   Biodegradasi merupakan proses dekomposisi biokimiawi dari suatu senyawa menjadi senyawa dengan toksisitas yang lebih rendah atau menjadi produk yang tidak berbahaya (misalnya CO2 dan H2O) melalui aktivitas mikroorganisme seperti bakteri dan fungi.

2.   Biotransformasi merupakan proses konversi yang diperantarai secara biokimiawi oleh aktivitas mikroorganisme, suatu kontaminan menjadi kurang toksis atau kurang mobil.

3.   Akumulasi biologis, beberapa bakteri dan tanaman mampu mengakumulasi kontaminan di dalam jaringan mereka. Di dalam tanaman sifat ini dapat dimanfaatkan untuk mengakumulasikan kontaminan ke dalam biomassa yang dapat dipanen.

4.   Mobilisasi kontaminan, mobilisasi diperantarai secara biokimia dari kontaminan menjadi larutan yang kemudian dipisahkan dari tanah terkontaminasi dan kontaminan akan diambil kembali atau dihancurkan.

Proses biologis dapat dilakukan baik secara ex situ maupun in situ dan dioperasikan di bawah kondisi aerob dan/atau anaerob untuk mengembalikan tanah terpolusi menjadi suatu kawasan yang layak untuk digunakan. Aktivitas dari populasi mikroba asli (indigenous) ditingkatkan melalui penambahan nutrient (nitrat, fosfat, dll). Dapat juga ditambahkan atau diperbanyak (augmented) mikroba degradatif yang spesifik pada lahan terkontaminasi tersebut.

Bioremediasi merupakan proses pembersihan (remediasi) bahan pencemar tanah dengan menggunakan aktivitas mikroorganisme. Mikroorganisme dapat menggunakan bahan pencemar sebagai sumber energi, sumber karbon atau aseptor elektron untuk metabolisme hidupnya (Alexander, 1978).  Masuknya bakteri pada ukuran populasi tertentu  terutama bakteri yang adaptif dan resisten terhadap lahan terpolusi, dapat mengikat logam  berat karena mereka memproduksi protein permukaan atau sequens peptida yang mampu mengikat logam berat (www.beids.lt/Naujienos/Projektai/26.htm). Beberapa bakteri yang adaptif pada lahan yang terpolusi logam berat antara lain Ralstonia, Pseudomonas dan Bacillus, mereka menghasilkan protein pengikat logam berat yang disebut metallothionein (www.beids.lt/Naujienos/Projektai/26.htm). Banyak bakteri, khamir dan algae mampu mengakumulasikan ion logam dalam sel mereka beberapa kali lipat dari konsentrasi logam di lingkungan sekitarnya (Semple, 2003).  Namun demikian, jika kemudian  tergabung ke dalam rantai makanan maka hal ini dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius (Semple, 2003). Menurut Anas (1997), teknik bioremediasi akan mempercepat proses perombakan polutan dengan memilih inokulan mikroba yang sesuai dan memanipulasi lingkungan yang sesuai bagi mikroba tersebut sehingga memungkinkan proses terjadinya perombakan polutan secara maksimal.

            Teknik bioremediasi memiliki beberapa keuntungan antara lain:

·        bioremediasi merupakan proses alami

·        hasil proses bioremediasi bukan merupakan produk yang berbahaya

·        tanah terkontaminasi dapat kembali ditanami  (Anas, 1997)

            Namun demikian teknik ini juga memiliki beberapa kelemahan, yaitu:

·        tidak seluruh polutan mampu didegradasikan oleh mikroba

·        akumulasi senyawa toksik yang merupakan metabolit sekunder selama proses bioremediasi tidak dapat dihindari

·        proses perombakan akan mengalami kesulitan apabila polutan logam berat bercampur dengan polutan organik (Anas, 1997)

Dengan demikian, untuk dapat berlangsungnya proses bioremediasi memerlukan beberapa persyaratan, antara lain:

·        Mikroorganisme merupakan kunci pada kegiatan bioremediasi.  Sehingga organisme yang digunakan harus dapat merombak polutan secara lengkap dengan kecepatan yang reasonable sampai mencapai batas aman.         

·        Mikroorganisme memerlukan tambahan sumber C dalam melakukan proses degradasi polutan. Sehingga, perlu dilakukan penambahan elektron aseptor yang sesuai, tergantung pada spesies mikroba dan kondisi lingkungan setempat,  misalnya O2 untuk polutan yang memerlukan kondisi aerob, nitrat, fumarat atau sulfat untuk yang memerlukan kondisi anaerob.

·        Kondisi lingkungan setempat sangat penting dalam aktivitas degradasi oleh mikroorganisme, hal ini meliputi ketersediaan oksigen, kelembaban, pH, bahan organik dan suhu.

·        Proses metabolisme oleh mikroorganisme perombak, hasil metabolismenya tidak terakumulasi dan tidak menghasilkan metabolit yang lebih toksik dari polutan induknya.

·        Bioavailability polutan menjadi faktor yang lebih penting untuk keberhasilan atau kegagalan proses bioremediasi.

·        Faktor ekologi bagi mikroba sangat penting untuk diperhatikan, jangan sampai  mikroba perombak berada dalam kondisi stres secara ekologis atau berkompetisi dengan mikroba lain yang non degradatif.

·        Faktor yang tidak kalah penting adalah biaya. Jika strategi bioremediasi sangat mahal  dan masyarakat pengguna (industri, pemerintah) tidak akan menggunakannya. Dengan demikian, teknik bioremediasi hendaknya tidak lebih mahal daripada pengolahan secara fisik atau kimia dan dapat digunakan setiap saat.

Merujuk pada Lovley (1995), bioremediasi dapat terjadi secara intrinsik dan direkayasa (engineered). Bioremediasi intrinsik adalah bioremediasi yang berlangsung dengan sendirinya tanpa campur tangan manusia karena kondisi lingkungan menunjang (nutrien tersedia) dan mikroba yang berperanan dalam jumlah yang mencukupi (Anas, 1997). Namun demikian seringkali faktor lingkungan tidak optimal sehingga tidak memungkinkan terjadinya bioremediasi intrinsik sehingga memerlukan perbaikan faktor lingkungan, hal ini disebut engineered bioremediation.

Berikut ini dipaparkan beberapa mikroba yang mampu menurunkan toksisitas logam berat dan mekanisme bioremediasinya.

 

a.      Bioremediasi Uranium

            Selain berasal dari pertambangan (Macaskie, 1991 dalam Lovely, 1995), Uranium berasal dari pengairan (Bradford et al, 1990 dalam Lovely, 1995), fenomena alami (Steinberg & Oremland, 1990 dalam Lovely, 1995) sehingga konsentrasinya dalam badan air  sangat tinggi. Uranium terlarut ini biasanya dalam bentuk kompleks U(VI) karbonat (Lovley & Phillip, 1992 dalam Lovely, 1995).

            Hasil penelitian Lovley et al (1991) dalam Lovley (1995) beberapa mikroorganisme diketahui dapat mereduksi U(VI), antara lain Geobacter metallireducens dan Shewanella putrefaciens yang dapat menghemat (conserve) energi untuk mendukung pertumbuhannya melalui serangkaian reaksi oksidasi asetat. Beberapa spesies Desulfovibrio juga dapat mereduksi U(VI) tetapi tidak memanfaatkan energi dari hasil metabolisme ini Lovley et al (1994) dalam Lovley (1995). Akhir-akhir ini penelitian difokuskan pada Desulfovibrio karena mereka mudah dibiakkan, dapat disimpan secara aerob pada freeze-drier tanpa kehilangan kemampuannya dalam mereduksi U(VI) (Lovley & Phillip, 1992 dalam Lovley, 1995).

            Hasil penelitian (Gorby & Lovley, 1992; Lovley & Phillip, 1992 dalam Lovley, 1995) baik G. matallireducens dan D. desulfuricans dapat mengkonversi U(VI) menjadi U(IV) secara cepat pada konsentrasi tinggi (1mM) dan mempresipitasikan seluruh uranium dari larutan dalam beberapa jam. Oleh kedua mikroorganisme tersebut presipitat U(IV) terjadi secara ekstraseluler dan dalam bentuk mineral uraninit (UO2).  Kemampuan reduksi ini dapat dihambat oleh ion tembaga pada konsentrasi lebih dari 20 mM. Hasil penelitian Phillips  et al (1994) dalam Lovley (1995), D. vulgaris menghasilkan ensim C3 cytochrome U(VI) reductase, hal ini memacu kemungkinan untuk mengembangkan sistem ensim bebas sel (cell-free fixed enzyme) dan/atau rekayasa organisme dengan meningkatkan kemampuan mereduksi U(VI) untuk mengolah air yang tercemar uranium (Lovley  et al, 1993 dalam Lovley, 1995).

 

b.     Bioremediasi Chromium (Cr)

            Sumber pencemar Cr berasal dari limbah pabrik, limbah rumah tangga dan penimbunan lumpur, dan ditemukan dalam bentuk Cr(VI) dan Cr(III). Cr(VI) mempunyai kelarutan yang tinggi dan toksik sedangkan Cr(III) kurang toksik dan cenderung membentuk hidroksid yang tidak larut (Palmer & Wittbrodt, 1991 dalam Lovley, 1995).  Cr(III) juga terimobilisasi dengan cepat dalam sedimen melalui adsorpsi, sedangkan Cr(VI) tidak demikian (Moore, 1990 dalam Lovley, 1995). Dengan demikian reduksi Cr(VI) menjadi Cr(III) merupakan proses yang potensial dalam remediasi air dan limbah yang terkontaminasi krom.

            Banyak jenis mikroba yang dapat mereduksi Cr(VI) menjadi Cr(III) secara enzimatik (Lovley, 1993 dalam Lovley, 1995). Salah satu mikroba yang telah diteliti secara ekstensif adalah Enterobacter cloacae strain HO1. Hasil penelitian Komori et al (1990) dalam Lovley (1995) reduksi Cr (VI) dengan bakteri E. cloacae dapat mereduksi pada konsentrasi yang sangat tinggi (10 mM) secara cepat tetapi Cr(III) sangat sulit dipisahkan dari larutan, hanya 30 % yang dapat dipisahkan melalui sentrifugasi.  Hasil penelitian Komori et al (1990) dalam Lovley (1995) menunjukkan bahwa E. cloacae dapat mereduksi 1 mM Cr(VI) menurun menjadi 0.04 mM krom terlarut selama 55 jam.

            Namun demikian, reduksi krom tidak dapat terjad apabila suspensi sel E. cloacae ditambahkan langsung ke dalam limbah yang mengandung kromat (Morgan & Watkinson, 1992 dalam Lovley, 1995), setidaknya harus diencerkan sekurang-kurangnya 2 kali dan harus ditambahkan larutan hara yang mengandung pepton, ekstrak daging, urea dan fosfat. Diduga proses reduksi juga dihambat oleh kehadiran ion logam berat. Kemampuan penghambatan tersebut Hg2+ > Ag+ > Cu2+ > Zn2+ > Ni2+  > Co2+ >Mn2+, dengan Hg2+ menghambat reduksi Cr(VI) pada konsentrasi kurang dari 1mM (Hardoyo & Obtake, 1990 dalam Lovley, 1995). Ion sulfat juga dapat menghambat reduksi Cr(VI), jika limbah mengandung sulfat 60 mM proses reduksi akan dihambat 50 %.

            Desulfovibrio vulgaris mungkin lebih baik daripada E cloacae dalam mereduksi kromat, sebab bagi bakteri ini sulfat dan beberapa ion logam tidak mempengaruhi aktivitas reduksinya. Disamping itu, D. vulgaris dapat mereduksi Cr(VI) pada medium yang sederhana dengan H2 sebagai donor elektron dan aktivitas sitokrom C3 yang berperan sebagai Cr(VI) reduktase tidak terganggu meskipun disimpan secara kering beku (Lovley & Phillip, 1994 dalam Lovley, 1995).

 

c.      Bioremediasi Selenium

            Kontaminasi selenium berhubungan dengan proses pemurnian logam, debu dan air irigasi pertanian (Adriano et al, 1980 dalam Lovley 1995 dan Nriagu & Wong, 1983 dalam Lovley, 1995). Selenium secara alami terdapat dalam bentuk selenat (SeO42-), Se(IV), selenit (SeO32-), Se(II) dan selenida (Doran, 1982 dalam Lovley, 1995).  Selenat, Se(IV) dan selenit dapat berfungsi sebagai aseptor elektron dalam metabolisme mikroorganisme.

            Beberapa mikroba dapat mereduksi selenium, salah satunya adalah Thauera selenatis   yang mereduksi selenat menjadi selenit ( Macy et al, 1993 dalam Lovley, 1995), tetapi banyak mikroba yang dapat merombak selenit menjadi unsur selenium, sehingga T selenatis dapat digabungkan dengan mikroba pereduksi selenit untuk menghasilkan unsur selenium (Macy et al, 1989 dalam Lovley, 1995).

 

d.     Bioremediasi Timbal (Pb)

            Oleh mikroba tanah timbal terlarut Pb(II) akan direduksi menjadi unsur Pb(0) yang tidak larut. Mikroorganisme yang sudah diteliti dapat mereduksi timbal adalah Pseudomonas maltophilia yang ditumbuhkan secara aerob pada media yang kaya bahan organik dengan penambahan 1mM timbal asetat. Timbal akan diendapkan sebagai koloid berwarna abu-abu kehitaman (Saiz & Barton, 1992 dalam Lovley, 1995).

 

B.     Bioremediasi Merkuri (Hg)

            Merkuri merupakan pencemar yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.  Beberapa mikroorganisme dapat mereduksi ion Hg(II)  menjadi   unsur    Hg(0)     

secara  aerob ( Robinson & Tauvinen, 1984 dalam Lovley, 1995). Kemampuan mereduksi dikendalikan oleh gen mer operon (Silver, 1991 dalam Lovley, 1995). Mikroba yang tahan merkuri adalah Pseudomonas. Sedangkan Pseudomonas putida dapat membersihkan merkuri ketika ditumbuhkan pada kultur yang kontinyu pada media yang kaya bahan organik (Baldi et al , 1993 dalam Lovley, 1995). Ensim yang berperan dalam reaksi ini adalah merkuri reduktase sehingga dapat ditingkatkan melalui rekayasa genetika bagi mikroba yang menghasilkan Hg(II)-reduktase (Brunke et al, 1993 dalam Lovley, 1995).

           

Beberapa studi menyarankan bahwa reduksi merkuri secara mikrobiologis lebih baik daripada secara kimia karena metode secara kimia lebih mahal dan menghasilkan lahan dengan timbunan lumpur yang mengandung merkuri (Baldi et al, 1993 dalam Lovley, 1995).

           

IV. FITOREMEDIASI LAHAN TERDEGRADASI

 

Fitoremediasi merupakan proses penurunan kadar polutan tanah dengan menggunakan tanaman sebagai indikator dalam menemukan polutan atau akumulasi dari bijih (ore) atau sebagai akumulator untuk remediasi tanah (Baker et al, 1984 dalam Gaspar & Anton, 2002).  Fitoremediasi merupakan metode yang murah, ekonomis dan ramah lingkungan. Hal ini dapat menurunkan erosi tanah, meningkatkan bahan organik tanah, kesuburan tanah sehingga disebut green remediation (Tongbin et al, 2002).

Pada umumnya, terdapat dua mekanisme pendekatan  yang dapat dilakukan dalam fitoremediasi, yaitu Kemo-fito-stabilisasi (pada pendekatan ini, senyawa kimia diaplikasikan terlebih dahulu untuk mengikat logam dan untuk memperbaiki pH sehingga dapat menurunkan mobilitas logam. Tahapan berikutnya adalah menanam tanaman terutama rumput dan semak untuk menciptakan cover biologis pada lahan yang terkontaminasi). Pendekatan yang kedua adalah Induced-phyto extraction, yaitu menanam metal accumulating plant dan dibiarkan  tumbuh dalam jangka waktu tertentu.  Selanjutnya tanah diberi perlakuan khusus untuk memacu penyerapan logam oleh tanaman (www.nessling.fi/symposiot/symposio2.htm).

Pada prinsipnya terdapat beberapa mekanisme dalam proses fitoremediasi: 1). Tanaman mengeluarkan eksudat akar misalnya asam amino, asam-asam organik atau senyawa lain yang dapat langsung mengimobilisasi logam berat, 2). Tanaman berasosiasi dengan mikroba (mengeluarkan eksudat yang dapat memacu pertumbuhan mikroba tertentu) dan mikroba  yang aktif melakukan remediasi, 3). Tanaman menstabilized logam berat pada sistem perakarannya atau 4). Tanaman mengabsorb logam berat dan diakumulasikan pada jaringan tanaman (Setiadi, 2003 hasil komunikasi secara personal). Dari mekanisme tersebut maka terdapat tanaman yang dapat diklasifikasikan sebagai tolerant species dan remediant species.

Beberapa penelitian terhadap tanaman  heavy metal tolerant telah dilakukan di Indonesia. Supriyanto (2002) telah mencoba menanam beberapa jenis tanaman dengan media tailing (limbah pengolahan) tambang emas. Hasilnya Eucalyptus urophyla, Duabanga molucana, Cananga odorata, Paraseriantes falcataria dan Acacia mangium mampu tumbuh dengan baik dengan beberapa tambahan input antara lain pemberian kompos dan inokulasi endomikoriza. Hasil penelitian Anwar (2002) di rumah kaca dengan media tailing dan penanaman di lapangan pada lahan bekas tambang emas Pongkor menunjukkan bahwa bibit Gmelina arborea dan E. pellita dapat tumbuh baik pada kondisi tersebut apabila ditambah pupuk organik (kasting) dan inokulasi endomikoriza Glomus fasciculatum.  Hal ini menjadi landasan untuk melakukan introduksi jenis-jenis tanaman yang akan ditanam dalam melakukan revegetasi lahan terpolusi.

Setiadi (2003) menambahkan bahwa untuk mempercepat terjadinya reforestasi pada lahan bekas tambang sebaiknya selain species indikator tanaman yang dipilih juga bersifat katalitik. Artinya tanaman yang dipilih tersebut selain mampu tumbuh baik, juga mampu memfasilitasi spesies lain untuk tumbuh di tempat tersebut. Katalitik spesies mempunyai sifat tumbuh cepat, menghasilkan banyak serasah yang cepat terdekomposisi, menghasilkan buah yang dapat mengundang hewan yang berperan dalam seed dispersal sehingga akan terjadi speed colonization pada lahan tersebut. Jenis-jenis tanaman katalitik antara lain sengon, jambu-jambuan misalnya jamblang, buni, salam, macaranga, kelompok beringin (Ficus spp).  Apabila suatu lahan cepat terkolonisasi oleh tanaman maka iklim mikro setempat akan termodified sedemikian rupa, sehingga reaktivitas logam berat dapat ditekan. Dengan demikian lingkungan yang terpolusi perlahan-lahan akan pulih kembali mendekati kondisi semula.

Fitoremediasi lahan terpolusi dapat ditingkatkan  dengan memanfaatkan mikroba fungsional, misalnya mikoriza dan bakteri dari kelompok PGPR (plant growth promoting rhizobacteria) yang diinokulasikan pada tanaman. Salah satu contoh PGPR  misalnya bakteri Pseudmonas, suatu bakteri yang resisten terhadap senyawa toksis dan mampu merombak bagian polutan dan mampu memacu pertumbuhan tanaman yang ditanam pada lahan terpolusi. Peranan tanaman adalah sebagai penyedia sumber nutrien yang secara terus menerus memasok melalui eksudat akar misalnya gula, asam amino dan asam organik, hormon dan vitamin, yang membantu mempercepat proses bioremediasi. Sudah diketahui bahwa  12 - 40 % karbon yang diasimilasi sebagai fotosintat dilepaskan melalui akar (Boronin & Kochetkov, 2002).  Hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa  Pseudomonas secara signifikan mampu memacu fitoremediasi lahan terpolusi dan secara efisien menekan meluasnya serangan patogen. Dengan analisis HPLC, TLC dan PCR Pseudomonas menghasilkan berbagai macam antibiotik antara lain phenazines, 2.4-diacethylphloroglucinol, pyoluteroin dan pyrrolnitrin. Pada beberapa strain Pseudomonas secara genetis membawa membawa berbagai plasmid yang resisten terhadap arsenit/arsenat, logam berat (Ni, Co, Zn, Cd) dan plasmid degradativ. Kombinasi antara  Pseudomonas dan cendawan endomikoriza lebih menjajikan untuk digunakan sebagai agen remediasi pada tanah tercemar arsen dan logam berat lainnya (Boronin & Kochetkov, 2002).

 

IV. FAKTOR-FAKTOR TANAH YANG MEMPENGARUHI PROSES BIOREMADIASI  LAHAN TERDEGRADASI

 

            Proses revegetasi sangat tergantung pada sifat fisik dan kimia tanah, karena kondisi tanah akan mempengaruhi aktivitas mikroorganisme tanah baik yang berperan dalam proses perombakan polutan maupun yang secara tidak langsung berasosiasi dengan tanaman revegetan. Proses remediasi baik fisik, kimia atau biologi dalam tanah secara alami tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dengan demikian kondisi tanah yang mendukung akan mempercepat proses remediasi akibat terjadinya reaksi kimia maupun fisik yang berlangsung secara alami. Jika kadar air tanah mencukupi, maka akan terjadi reaksi hidrolisis dari bahan pencemar yang mudah larut, demikian juga jika oksigen tercukupi maka akan terjadi oksidasi polutan secara alami, sehingga selain terjadi penurunan polutan juga terjadi peningkatan ketersediaan hara bagi pertumbuhan tanaman. Faktor tanah yang mempengaruhi laju proses remediasi polutan dalam tanah dan proses revegetasi yang harus diperhatikan antara lain: aerasi tanah, pH tanah, kadar air tanah, ketersediaan hara, temperatur dan kandungan bahan organik tanah (Anas, 1997).

 

A.     Aerasi Tanah

            Kehidupan mikroorganisme tanah yang aerobik sangat tergantung pada ketersediaan oksigen dalam tanah. Tanpa  oksigen mikroba aerob akan berhenti aktivitasnya dan akan menggiring pada kematian. Dengan demikian proses perombakan akan terhambat. Proses perombakan yang memerlukan kondisi aerob misalnya polutan minyak bumi (Anas, 1997).

            Sebaliknya, oksigen justru akan memperburuk keadaan pada lahan yang tercemar unsur tertentu, misalnya sulfur. Kehadiran oksigen akan memacu reaksi oksidasi membentuk sulfat sehingga akan menurunkan pH tanah dan badan air. Turunnya pH akan memacu pertumbuhan bakteri Thiobacillus thiooxidans dan T. ferrooxidans yang obligat aerob. Bakteri ini yang bertanggung jawab akan oksidasi sulfur menjadi sulfat secara biologis, sehingga meningkatnya populasi bakteri ini akan makin memperburuk kondisi lahan  (www.mines.edu). Untuk menghambat laju pertumbuhan kedua bakteri tersebut dapat dilakukan penggenangan pada lahan tersebut dan ditanami dengan tanaman yang cocok dengan kondisi yang selalu tergenang misalnya tifa, mendong dan lain-lain.

            Dengan demikian, keputusan untuk memperbaiki aerasi tanah tergantung pada polutan yang akan ditangani, agar proses remediasi dapat berlangsung dengan maksimal.

            Untuk kegiatan revegetasi, oksigen diperlukan untuk pertumbuhan tanaman, karena akar sangat memerlukan ketersediaan oksigen. Disamping itu, mikroba yang membantu pertumbuhan tanaman juga memerlukan gas tersebut.

 

B.     Derajad Keasaman (pH) Tanah

            Mikroba tanah sangat dibatasi oleh derajat keasaman tanah. Mikroba tumbuh baik pada kisaran pH 6.5-7.5. Demikian juga tanaman tidak dapat ditumbuhkan pada kisaran pH yang terlalu panjang. Pada pH yang terlalu rendah dapat mengganggu pertumbuhan tanaman karena beberapa unsur hara makro ketersediaannya terbatas, sebaliknya unsur hara mikro yang biasanya merupakan unsur logam kelarutannya menjadi meningkat. Dengan demikian unsur-unsur ini dapat meracuni tumbuhan. Beberapa bahan kimia dapat digunakan untuk mengontrol pH tanah, misalnya kapur  untuk meningkatkan pH atau belerang untuk menurunkan pH (Anas, 1997).

 

C.     Kadar Air Tanah

            Air merupakan pelarut universal, di mana semua reaksi kimia dalam tanah sangat ditentukan oleh kelarutan bahan dan kadar air tanah. Bagi mikroorganisme tanah, air diperlukan selain untuk melarutkan unsur hara yang masuk ke dalam sel, air merupakan bahan utama penyusun sel, di dalam sel air merupakan medium berbagai reaksi metabolisme sel (Anas, 1997).

            Jika kandungan air dalam tanah terlalu tinggi akan mengakibatkan terjadinya suasana anaerob. Hal ini akan menghambat pertumbuhan mikroba aerob dan akan mengganggu proses bioremediasi bahan yang memerlukan kondisi aerobik. Sebaliknya, untuk polutan yang memerlukan remediasi melalui proses reduksi atau memerlukan kondisi anaerob, kondisi ini sangat menguntungkan. Hasil penelitian di lapang menunjukkan bahwa kadar air yang baik untuk proses bioremediasi pada umumnya memerlukan kadar air antara 20 - 80% (Anas, 1997).

            Pada lahan yang direvegetasi, air sangat diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Pada fase awal dimana sel-sel muda sangat banyak mengandung air, ketersediaan air sangat menentukan. Apabila kekeringan tanaman muda mudah mati, sebaliknya apabila terlalu banyak air tanaman juga akan mengalami pembusukan. Pada fase lanjut, kadar air yang cukup juga diperlukan untuk terjadinya regenerasi. Air yang cukup akan mengakibatkan terjadinya germinasi sehingga tersedia bibit untuk terjadinya regenerasi atau kolonisasi.

            Untuk daerah dengan curah hujan yang rendah bisa ditambahkan bahan organik untuk meningkatkan water holding capacity tanah.  Jika lokasi jauh dari tempat pembuatan kompos atau lokasi peternakan, dapat dilakukan dengan penanaman cover crop dengan tujuan untuk menghasilkan serasah. Disamping itu, penanaman cover crop dapat menciptakan iklim mikro, sehingga akan mengundang fauna tanah, sehingga akan dapat lebih memperbaiki kondisi tanah.

            Untuk daerah yang mempunyai kemiringan yang tinggi dapat dibuat terrasering, untuk menghambat larinya air ke bawah dan mencegah erosi. Dapat juga digunakan mulsa untuk meningkatkan kelembaban tanah.

 

D.     Ketersediaan Hara

            Mikroba tanah memerlukan unsur-unsur untuk menyusun sel tubuhnya. Seperti halnya organisme lain yang lebih tinggi, mikroba juga memerlukan unsur hara makro dan mikro untuk pertumbuhannya. Demikian juga tanaman revegetan juga memerlukan unsure hara tersedia dan seimbang. Dengan demikian, perlu ditambahkan unsur-unsur yang mengalami defisiensi pada lahan yang terdegradasi.

 

E.     Temperatur

            Tanah-tanah pada lahan bekas tambang umumnya terbuka dan tanpa vegetasi yang tumbuh di atasnya, sehingga fluktuasi suhu antara siang dan malam sangat tinggi.  Mikroba pada umumnya tumbuh pada kisaran suhu (25-40)°C (Anas, 1997). Dengan demikian, untuk memacu pertumbuhan mikroba pada daerah yang terbuka tersebut dapat dilakukan seperti yang dilakukan untuk mengendalikan kelembaban, yaitu dengan menanam tanaman cover crop atau dengan menutup mulsa.

           

F.    Kandungan Bahan Organik Tanah

            Di dalam tanah bahan organik mempunyai banyak sekali peranan, antara lain mempengaruhi KTK tanah, mengikat air, meningkatkan aerasi tanah, struktur tanah, dll. Pada lahan yang terganggu biasanya mempunyai KTK yang rendah, bulk density yang tinggi serta kandungan hara yang rendah. Penambahan bahan organik dapat memperbaiki kondisi tersebut.  Bahan organik dapat ditambahkan melalui pemberian pupuk kandang dan kompos tetapi apabila lokasi lahan yang direhabilitasi jauh dari peternakan dan pemukiman dapat dilakukan penanaman cover crop sehingga akan menghasilkan serasah.

     

VI. KESIMPULAN

     

      Mikroba tanah memegang peranan yang sangat penting dalam kegiatan remediasi lahan terdegradasi. Peranan tersebut dapat secara langsung dimana mikroba mampu memanfaatkan polutan sebagai sumber energi dan sumber makanannya, mikroba demikian disebut bioremediator. Golongan mikroba yang lain berperanan dalam degradasi polutan melalui simbiosis atau asosiasi dengan tanaman. Mikroba ini membantu tanaman dalam menyediakan unsur hara dan air atau menghasilkan senyawa yang mampu mengkelat polutan atau senyawa yang meningkatkan ketahanan tanaman terhadap toksisitas polutan.

 

 

 

 DAFTAR   PUSTAKA

 

Alexander, M. 1978. Introduction to Soil Microbiology 2nd Ed. John Wiley&Son. New York.

Anas, I., 1997. Bioteknologi Tanah. Laboratorium Biologi Tanah, Jurusan Tanah, Fakultas pertanian IPB. Bogor. (tidak dipublikasikan).

Anwar, C. A., 2002. Manipulasi sifat kimia lumpur tailing pada pertambangan emas Pongkor sebagai media tanaman melalui aplikasi pupuk organik, arang aktif dan mikoriza untuk menunjang pertumbuhan tanaman indikator pada rehabilitasi lahan kritis. Prosiding Diskusi Hasil-hasil Litbang Rehabilitasi dan Konservasi Sumber Daya Hutan, 23 Desember 2002. Bogor.

Boronin, A.M. and V.V. Kochetkov, 2002. Beneficial rhizobacteria Pseudomonas for phyto-remediation of arsenical and heavy metal contaminated soil. Www.tech-db.ru/istc/db/pra.ssf/pran/2514

Chen, X., J.V. Wright, J.L. Conca and R. Peurrung, 1996. Evaluation of Heavy Metal Remediation Using Mineral Apatite. Water, Air and Soil Pollution (98: 58-78).

Gaspar, G.M. and A. Anton, 2002. Heavy Metal Uptake by Two Radish Varieties. Acta Biologica szegediensis (46: 113-114)

http/WWW.mines.edu/fs-homes/jhoran/ch126/thiobaci.htm. (Down load on 2001)

Kearney, T., 2003. Process Based Remediation of Land Contamination. http//www.undp.org.in/Programme/GEF/june/page24-25.htm

Lovley, D.R., 1995. Bioremediation of Organic and Metal Contaminants with Dissimilatory Metal Reduction. Journal of Industrial Microbiology (14: 85-93).

Semple, K.T., 2003. Environmental Microbiology. Lecture Note. Internet (download in April 28 2003)

Sitorus, R. P., 2002. Kualitas, Degradasi dan Rehabilitasi Tanah. Bahan Kuliah PS-PSL, Program Pascasarjana IPB, Bogor (tidak dipublikasikan)

Supriyanto, 2002. Rehabilitasi Lahan Bekas Pertambangan Emas: Memupuk Tanah Bukan Memupuk Tanaman. Prosiding Diskusi Hasil-hasil Litbang Rehabilitasi dan Konservasi Sumber Daya Hutan, 23 Desember 2002. Bogor.

--------, 2001. http/www.mines.edu/fs_homes/jhoran/ch126/thiobaci.htm