© 2004 Abimanyu D. Nusantara                                                                                        Posted:   26 April 2004  

Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS 702)   

Sekolah Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

 

Dosen:

 

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto, M.Sc

Dr. Ir. Hardjanto, M.Sc

 

 

STRATEGI PRODUKSI INOKULUM MIKORIZA ARBUSKULA BEBAS PATOGEN

 

 

 

o l e h:

 

Abimanyu D. Nusantara

E-061030132

 

 

 

The study of plants without their mycorrhizas is the study of artifacts.
The majority of plants, strictly speaking, do not have roots; they have mycorrhizas.


BEG-Committee, 25th May 1993

 

 

 

SUMMARY

 

Mycorrhiza is an association between  the roots of over 80% of all terrestrial plant species and Zygomycete fungi from the Order Glomales. This association has unique properties and functions for human being and ecosystem. Mycorrhizal associations vary widely in structure and function, but the most common interaction is the arbuscular mycorrhizal (AM) symbiosis. This association confers benefits directly to the host plant's growth and develop­ment through the acquisition of mineral nutrients from the soil by the fungus. In addition, they may also enhance the plant's resistance to biotic and abiotic stresses. A problem faced in utilizing AM symbiosis is in inoculums mass production. Presently inoculums produced by the system which potentially contaminated by pathogenic microorganisms through materials and equipments used. In this review I propose three potentially strategies which can be use to combat pathogenic microorganisms in mass inoculums production system, namely avoidance, plant and mycorrhizal fitness, and refuse strategies. There is no, however, single strategy which can fully satisfy to combat any pathogenic microorganisms for a single mycorrhizal species. All strategies should be considered as a single strategy which works concomitant  or in array.  

 

Keywords : arbuscular mycorrhiza, inoculum production, mycorrhizal fitness

 

 

 

 

I. Pendahuluan

 

Mikoriza merupakan asosiasi antara tanaman dan cendawan yang memiliki sifat dan peran yang unik bagi tanaman, manusia, dan lingkungan hidup manusia. Struktur dan fungsi mikoriza sangatlah beragam, namun hanya salah satu asosiasi yang paling sering ditemui, ditelaah, dikaji, dan digunakan dalam dunia nyata yaitu asosiasi mikoriza arbuskula. Asosiasi ini diketahui memiliki beraneka fungsi yang menguntungkan tanaman simbionnya, misalnya meningkatkan serapan hara dan ketahanan terhadap cekaman abiotik dan biotik. Tanaman yang dikolonisasi cendawan mikoriza arbuskula (CMA) akan lebih bugar yang bermakna lebih tegar pertumbuhannya dan produksinyapun lebih tinggi ditinjau dari aspek jumlah dan mutu. Namun demikian, berkah adanya cendawan mikoriza arbuskula ternyata diiringi dengan kesulitan dalam produksi massal inokulumnya. Membahas hakekat mikoriza sebagai benda yang maujud dan kegunaannya sesungguhnya sama dengan membahas gatra ontologi CMA dalam perspektif Falsafah Sains.

 

CMA merupakan jasad renik yang bersifat obligat yaitu kelengkapan daur hidupnya ditentukan oleh keberadaan inang dan kemampuan cendawan mengkolonisasi inang. Tanpa pasokan karbon dari inang kehidupan CMA tidak akan lama. Sampai sekarang belum ada yang berhasil memproduksi inokulum CMA secara in vitro. Belum selesai dengan masalah produksi inokulumnya, belakangan diketahui pada permukaan spora CMA ditemukan berbagai jenis bakteri. Sifat-sifat bakteri tersebut belum diketahui, namun demikian ada sementara peneliti yang berpendapat bahwa sebagian bakteri tersebut bersifat patogenik. Produksi inokulum dengan menggunakan spora yang tidak bebas patogen sangatlah tidak dianjurkan. Selain dari permukaan spora, patogen dapat tercampur dalam inokulum melalui berbagai sumber, misalnya dari bahan dan alat yang digunakan dalam produksi inokulum. Apapun dan darimanapun patogennya, tanaman inang tetap saja berpeluang terinfeksi oleh patogen jika inokulum cendawan mikorizanya berpatogen. Infeksi patogen pada akar tanaman jelas akan membuat tanaman inang menjadi tidak bugar lagi.

 

Telaah ini ditulis sebagai salah satu bentuk penugasan dalam Mata Kuliah Falsafah Sains. Tulisan ini disusun dengan tujuan untuk memberikan telaah teoritis singkat mengenai strategi produksi inokulum cendawan mikoriza arbuskula yang bebas patogen. Strategi tersebut disusun berdasarkan pengalaman penulis dalam menekuni mikoriza ditunjang dengan publikasi-publikasi yang gayut. Membahas strategi produksi inokulum CMA bebas patogen, berdasarkan pemikiran yang mendalam dan digabungkan dengan fakta-fakta empiris,  sesungguhnya merupakan kerangka epistemologi dari CMA dalam perspektif Falsafah Sains. Dalam strategi ini akan dibahas beberapa cara-cara dan prosedur-prosedur yang memungkinkan dihasilkannya inokulum bebas patogen. Adapun manfaat membahas strategi-strategi, kerangka aksiologi dari CMA, yang dipaparkan dalam makalah ini adalah diperolehnya pengetahuan tentang menghindarkan tanaman inang supaya tidak tertular patogen yang dibawa oleh inokulum mikoriza. Tujuan akhirnya, kerangka teleologi dari CMA, adalah didapatkannya simbiosis yang sehat yang mampu meningkatkan produktivitas tanaman yang seterusnya meningkatkan kesejahteraan umat manusia.

 

II. Cendawan Mikoriza Arbuskular (CMA)

 

Mikoriza sebagai benda yang maujud pada hakekatnya (gatra ontologi), sesuai dengan akar katanya yaitu myces dan rhiza, adalah  struktur simbiotis mutualisme yang dibentuk antara cendawan dan perakaran tamaman. Disebut simbiosis mutualisme karena cendawan mikoriza, yang hidup di dalam sel akar, mendapatkan sebagian karbon hasil fotosintesis tanaman dan tanaman mendapatkan hara atau keuntungan lain dari cendawan mikoriza.  Namun kemudian konsep mikoriza berubah menjadi struktur yang merupakan kesatuan hubungan kerja antara cendawan dan akar tanaman yang meningkatkan kebugaran salah satu atau kedua mitra (Read, 1999). Hubungan kerja yang dihasilkan dapat bersifat positif (mutualis), netral, ataupun negatif (parasitik). Dari takrif (definition) demikian jelas bahwa mikoriza bukanlah cendawan, seperti yang selama ini dikelirukan orang, yang benar mikoriza adalah asosiasi atau struktur kerja. Karena itu penyebutan yang benar adalah cendawan mikoriza untuk menunjuk cendawannya dan mikoriza untuk menjelaskan sifat-sifat dan pengaruhnya.

 

Asosiasi mikoriza memiliki beraneka struktur dan fungsi, namun salingtindak yang paling sering dijumpai, ditelaah, dan dimanfaatkan adalah mikoriza arbuskular (MA). Mikoriza arbuskular terbentuk antara sistem perakaran 80-90% nabatah (vegetation) darat dengan cendawan kelas Zygomisetes ordo Glomales. Nabatah yang terlibat mulai dari tanaman pertanian, hortikultura, sampai tanaman kehutanan dan pakan ternak (Smith and Read, 1997).  Sekalipun asosiasinya tidak bersifat spesifik untuk satu jenis atau beberapa jenis tanaman inang namun menariknya MA ditemui hampir pada semua ekosistem daratan  mulai dari dataran semi gurun, lahan terlantar, gumuk pasir (sand dune), padang rumput, semak-semak,  hutan, dan lahan  pertanian. Namun demikian MA jarang ditemui pada hutan yang dikuasai oleh pohon berdaun jarum (conifer).

 

MA membentuk struktur khusus yang disebut arbuskula dan  vesikula. Arbuskula merupakan hifa bercabang halus yang dibentuk dari percabangan dikotomi yang berulang-ulang sehingga menyerupai pohon di dalam sel inang. Vesikula merupakan struktur cendawan yang berasal dari pembengkakan hifa internal secara terminal dan interkalar, kebanyakan berbentuk bulat telur, berisi banyak senyawa lemak sehingga merupakan organ penyimpan cadangan makanan dan pada kondisi tertentu dapat berperan sebagai spora atau alat untuk mempertahankan kehidupan cendawan. Simbiosis MA dicirikan oleh lebih pendeknya umur arbuskula dibandingkan dengan vesikulanya, kolonisasi cepat pada akar-akar yang baru bertumbuh dan berkembang dan munculnya vesikula hanya pada unit-unit kolonisasi yang paling tua (Smith dan Read, 1997). Karena vesikula tidak selalu ditemukan sehingga asosiasi cendawan ditakrifkan hanya berdasarkan keberadaan arbuskulanya. Hifa cendawannya menyebar dalam akar tanaman dalam bentuk hifa linier ataupun gulungan hifa (Brundrett, 1996). 

 

Pembentukan dan perkembangan MA dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya suhu tanah dan intensitas cahaya (Smith et al., 1995; Nagahashi et al., 2000), kemasaman tanah (Habte, 1999), kadar hara tanah (Ahiabor and Hirata,1994), senyawa-senyawa kimia pertanian seperti pupuk (Onguene and Habte, 199) dan pestisida (Sukarno et al., 2000), jasad renik tanah dan hasil metabolisme tanaman inang (Varma, 1999).

 

Cendawan mikoriza arbuskular (CMA) adalah semua warga kelas Zygomisetes yang hanya memiliki satu ordo yaitu Glomales (Morton dan Benny, 1990). Ordo ini memiliki dua subordo yaitu Glominae dan Gigasporinae. Diagram klasifikasinya adalah sebagai berikut :

 

Ordo : Glomales Morton & Benny

            Sub ordo : Glominae Morton & Benny

Famili :  Glomaceae Pirozynski & Dalphe

Genus : Glomus Tulasne & Tulasne      

Genus : Sclerocystis (Berkeley & Broome) Almeida & Schenck

Famili :  Acaulosporaceae Morton & Benny

Genus : Acaulospora (Gerdeman & Trappe) Berch

Genus : Entrophosphora Ames & Schneider

Sub ordo : Gigasporinae Morton & Benny

Famili :  Gigasporaceae Morton & Benny

Genus : Gigaspora (Gerdemann & Trappe) Walker & Sanders

Genus : Scutellospora Walker & Sanders

 

Usia CMA sesungguhnya jauh lebih tua daripada peradaban manusia (Pirozynski dan Malloch, 1975; Pirozynski dan Dalpe, 1989). Hifa dan arbuskulanya telah dilaporkan ada pada fosil yang berasal dari awal jaman Devonian (Remy et al., 1994; Taylor et al., 1995). Analisis 18s rDNA menunjukkan cendawan anggota ordo Glomales tersebut berusia antara 350 sampai 450 juta tahun dan adanya simbiosis merupakan indikator keberhasilan tanaman mengkolonisasi lahan (Simon et al., 1993). 

 

Kolonisasi sistem perakaran oleh CMA menghasilkan manfaat langsung bagi tanaman inang yaitu meningkatkan serapan hara khususnya fosfat (Smith et al., 1995), meningkatkan ketahanan tanaman terhadap cekaman abiotik misalnya cekaman lengas (Stahl et al., 1998) dan cekaman logam berat  (Ricken dan Hofner, 1996), dan cekaman biotik misalnya serangan patogen akar (Newsham et al., 1995; Sylvia dan Chellemi, 2001). Selain itu, CMA dapat memperbaiki struktur tanah (Bearden dan Petersen, 2000) dan mampu menghasilkan zat pengatur tumbuh misalnya auksin, sitokinin, dan giberellin. Zat pengatur tumbuh ini sangat diperlukan untuk proses pembelahan sel, memacu pertumbuhan, serta mencegah atau memperlambat proses penuaan sehingga memperlama fungsi akar sebagai penyerap unsur hara dan air. Pengamatan adanya pengaruh kadar lengas terhadap perkecambahan spora menghasilkan kesimpulan bahwa kolonisasi CMA pada akar tanaman, yang berarti pula pengaruh menguntungkan CMA terhadap tanaman inang, dapat berubah sejalan dengan waktu (Auge, 2001).

 

Meningkatnya serapan hara akibat kolonisasi CMA disebabkan sedikitnya oleh tiga hal, yaitu i) CMA mampu mengurangi jarak yang harus ditempuh unsur hara untuk mencapai permukaan akar tanaman ii) meningkatnya rerata serapan unsur hara dan konsentrasi pada permukaan penyerapan dan iii) mengubah secara kimia sifat-sifat unsur hara kimia sehingga memudahkan penyerapan unsur hara tersebut ke dalam akar tanaman (Sylvia, 1999; Suhardi dan Sumardi, 1999). Akar tanaman yang bermikoriza akan terlindung dari serangan patogen akar karena karena secara fisik dilindungi oleh hifa dan secara kimiawi akar tanaman yang bermikoriza menghasilkan senyawa yang bersifat anti patogen dan dapat memproduksi hormon dan zat pengatur tumbuh bagi tanaman (Nylund and Wallander, 1992; Hahn et al., 1999). Pada galibnya dapat disimpulkan bahwa kolonisasi akar tanaman oleh CMA akan meningkatkan kebugaran tanaman sebagaimana telah ditakrifkan tadi.

 

III. Strategi Pembuatan Inokulum Bebas Patogen

 

Permasalahan besar yang dihadapi umat manusia untuk memanfaatkan CMA, yang keunggulannya telah disebutkan tadi, adalah sifat CMA yang obligat.  Sebagai jasad obligat, CMA  hanya mampu melengkapi daur hidupnya jika mampu mengkolonisasi sistem perakaran tanaman inang. Rerata hidup CMA dalam kultur hanya 25 – 30 hari dengan tanpa jaringan tanaman inang. Tahana (state) obligat demikian telah menyulitkan produksi massal inokulumnya namun sekaligus membangkitkan minat penelitian yang tiada henti. Yang dimaksud dengan inokulum CMA adalah i) seluruh bagian tubuh mikoriza termasuk spora, tandan spora, dan hifa, ii) akar tanaman inang yang terinfeksi CMA, dan iii) media tumbuh yang digunakan dalam memproduksi inokulum. Satu masalah yang dihadapi dalam pembuatan inokulum CMA adalah kemungkinan tertularnya inokulum dengan patogen, apalagi CMA sulit diproduksi secara aksenik. Aksenik bermakna tidak ada “pendatang haram”, sering juga disebut dengan aseptis atau steril (Williams, 1992), dengan kata lain bebas patogen. Jadi, kultur cendawan mikoriza aksenik adalah kultur CMA bebas patogen yang ditumbuhkan secara simbiotis pada akar tanaman inang dalam medium tumbuh tertentu.

 

Patogen akan ditemui pada inokulum CMA jika ada sumber inokulum patogen, sistem simbiosis tersebut tidak sehat atau tidak bugar, dan tidak ada mekanisme yang mampu menolak atau mengobati akibat serangan patogen. Ada dua sumber pathogen yang berkemungkinan menulari atau mengkontaminasi inokulum mikoriza ketika diproduksi, yaitu i) bahan dan peralatan yang digunakan dan ii) lingkungan produksi. Bahan yang dimaksud disini diantaranya adalah i) media perbanyakan dan media tanaman inang misalnya tanah, gambut, bahan mineral misalnya zeolit, dan sebagainya, ii) air,  iii) bahan-bahan kimia yang diperlukan untuk keperluan lain sehubungan dengan produksi inokulum, iv) tanaman inang dan v) spora mikoriza itu sendiri. Sistem simbiosis tidak bugar manakala kekurangan nutrisi dan faktor tumbuh lainnya. Mekanisme yang mampu menolak patogen akan terbentuk manakala mikoriza mampu memproduksi zat-zat anti patogen atau mampu berkolaborasi dengan komunitas jasad renik lain yang bersifat anti patogen.

 

Hasil pelacakan ultrastruktural menunjukkan permukaan spora CMA dihuni oleh jasad serupa bakteri (Bianciotto et al., 1996). Berdasarkan analisis sidik DNA, bakteri tersebut dapat digolongkan sebagah pseudomad group II atau genus Burkholderia. Fungsi dan peran bakteri tersebut belum diketahui, namun demikian ada hal lain yang dapat disimpulkan yaitu asosiasi mikoriza sesungguhnya melibatkan tiga unsur penting yaitu tanaman, cendawan, dan bakteri; jadi bukan semata-mata antara tanaman dengan cendawan saja (Bianciotto et al., 1996, 2000).

 

Ada tiga strategi yang dapat digunakan untuk mengatasi kemungkinan merebaknya patogen dalam sistem produksi inokulum mikoriza yaitu penghindaran, penyehatan, dan  penolakan. Strategi penghindaran merupakan upaya yang dilakukan sedini mungkin untuk menghindarkan sistem produksi inokulum dari kontaminasi patogen. Strategi penyehatan dapat dilakukan dengan penyediaan faktor tumbuh yang cukup, baik untuk cendawan mikoriza maupun tanaman inang. Strategi penolakan dapat dilakukan dengan melibatkan jasad-jasad renik non-patogen yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menekan berkembangnya patogen yang ada dalam substrat. Secara ringkas ketiga strategi tersebut disajikan pada Gambar 1.

 

 

 

 

Gambar 1. Model strategi produksi inokulum cendawan mikoriza bebas patogen

 

 

 

3.1 Strategi penghindaran

 

Kata kunci dari strategi penghindaran adalah bekerja sesteril mungkin yang dapat dicapai melalui sterilisasi bahan dan alat, penempatan sistem produksi inokulum, penggunaan kultur aeroponik, dan penggunaan bibit tanaman inang yang bebas patogen.

 

Seluruh komponen sistem produksi inokulum harus disterilisasi sebelum produksi inokulum dimulai. Tujuan sterilisasi adalah untuk menghilangkan semua propagul mikoriza yang tidak dikehendaki, jasad patogen yang ada pada media atau pada spora mikoriza baik yang di dalam maupun yang ada di permukaannya, dan biji-biji gulma, namun masih mempertahankan komunitas jasad renik non-patogen. Sterilisasi dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya dengan menggunakan bahan kimia, padat ataupun cair, yang komposisi dan waktu sterilisasinya dapat diatur, sterilisasi ultrasonik, maupun radiasi sinar ultraviolet.

 

Bahan kimia yang sering digunakan diantaranya adalah campuran metil bromida dan kloropikrin (Sylvia, 1994), tetrahydro-3,5,-dimethyl-2H-1,3,5-thiadiazine-2-thione atau Basamid (BASF Corporation, 1998) atau biosida tanah lainnya. Kedua bahan kimia tersebut diberikan melalui fumigasi media tumbuh. Setelah media diperlakukan dengan biosida, kemudian dibiarkan selama beberapa hari untuk memberikan kesempatan bahan kimia berdifusi ke seluruh volume media. Kelemahan sterilisasi media dengan metil bromida ataupun khloropikrin adalah tidak mampu memberantas cendawan Fusarium dan Phytophthora, selain itu media yang difumigasi seringkali dikolonisasi kembali oleh berbagai jenis cendawan tergantung kepada faktor-faktor edafik dan lingkungannya (Sylvia dan Chellemi, 2001).

 

Fungisida memang dapat digunakan untuk memberantas propagul cendawan yang ada dalam tanah. Namun demikian, pengaruhnya terhadap tanaman inang dan cendawan mikoriza seringkali tidak menentu tergantung kepada jenis fungisida, komposisi kimia, takaran yang digunakan, dan jenis tanaman inangnya (von Alten et al., 1993). Aliette (fosetyl-Al) berpengaruh negatif terhadap tanaman bawang merah akan tetapi tidak berpengaruh terhadap cendawan mikoriza, sebaliknya Benlate dan Ridomil berpengaruh negatif terhadap tanaman inang dan cendawan mikorizanya (Sukarno et al., 2000). Fungisida yang ampuh membasmi patogen bukanlah segala-galanya, diperlukan  kehati-hatian jika menggunakan fungisida dalam sistem produksi inokulum mikoriza.

 

Sterilisasi alat dapat dilakukan dengan membasuh peralatan dengan alkohol atau dengan autoklaf. Namun demikian, tidak dianjurkan melakukan sterilisasi media dengan autoklaf karena dapat mendorong pembentukan toksin, senyawa-senyawa organik, dan meningkatkan kelarutan unsur mikro yang tidak menguntungkan mikoriza (Wolf et al., 1989).

 

Spora cendawan mikoriza dilaporkan berasosiasi dengan berbagai jenis bakteri dan  aktinomisetes (Secilia dan Bagyaraj, 1987; Ames et al., 1989) serta cendawan (Sylvia dan Schenck, 1983) baik di dalam ataupun di permukaan sporanya. Jasad-jasad renik tersebut pada umumnya merupakan jasad penghuni rizosfir dan dengan demikian berkemungkinan merupakan jasad yang bersifat patogen. Jasad-jasad yang patogen perlu dinonaktifkan sebelum spora mikoriza diperbanyak dalam kultur. Sterilisasi spora cendawan mikoriza dapat dilakukan dengan deterjen cair misalnya Tween 20 dan Na-hipoklorite 0,02% yang biasa digunakan untuk mencuci pakaian, atau zat antibiotika misalnya Khloramin T 2% dan Streptomisin sulfat 0,02% (Jartsfer dan Sylvia, 1995). Spora yang akan disterilkan ditaruh di permukaan kertas saring yang terletak pada corong gelas.  Larutan pendisinfeksi dialirkan melalui spora dan biarkan selama 15 menit untuk memberikan kesempatan spora bereaksi dengan larutan tersebut. Larutan disinfektan kemudian dicuci dengan air steril sebanyak lima kali.

 

Yang perlu diperhatikan dalam mensterilkan spora cendawan mikoriza adalah kombinasi antara bahan kimia dan lama inkubasinya. Perendaman spora cendawan mikoriza selama 120 menit dalam larutan kloramin-T sudah mampu menekan kontaminasi sampai ≤ 10% (Walley dan Germida, 1996). Waktu perendaman dapat lebih singkat jika menggunakan campuran berbagai jenis bahan kimia. Budi et al (1999) melaporkan inkubasi selama 10 detik dalam etanol 96%, diikuti 10 menit dalam larutan campuran kloramin T 2% + streptomisin 0,02% + gentamisin 0,01% + Tween 20, dan kemudian 6 menit dalam kalsium hipoklorit 6% dapat menekan secara drastis kontaminasi bakteri dan cendawan dari sporokarpa Glomus mosseae dengan tanpa mengubah laju perkecambahan sporanya. 

 

Metoda sterilisasi spora cendawan memiliki beberapa kelemahan diantaranya adalah harus ada kesetimbangan antara konsentrasi bahan dan lama sterilisasi. Bahan yang terlalu tinggi konsentrasinya akan membunuh patogen sekaligus cendawan mikorizanya (Budi et al., 1999), sterilisasi yang singkat mungkin tidak akan berhasil meniadakan bakteri yang bermukim jauh di dalam dinding spora ataupun dinding hifa (Walley dan Germida, 1996).  Jika demikian halnya maka keberhasilan sterilisasi permukaan spora masih perlu dipertanyakan dan hasilnya harus diuji kembali dengan media yang sesuai. Kekeliruan memilih media uji akan menyebabkan kekeliruan dalam pengambilan kesimpulan keberhasilan sterilisasi permukaan spora CMA. Untuk Glomus mosseae, Budi et al. (1999) menemukan media ekstrak malt sesuai untuk pengujian pasca sterilisasi permukaan, dengan media ini tandan spora CMA yang terinfeksi patogen akan dengan mudah dihilangkan. Persoalannya adalah media tersebut boleh jadi tidak sesuai jika digunakan untuk spora CMA yang lain. Sterilisasi permukaan spora CMA untuk menumpas bakteri patogen dengan demikian akan menjadi tidak ekonomis lagi jika digunakan secara rutin. Para peneliti masih harus bekerja lebih keras lagi untuk mendapatkan metoda dekontaminasi yang murah namun efektif hasilnya.

 

Udara pada ruangan produksi inokulum mikoriza harus bebas dari spora atau bagian-bagian lain dari mahluk hidup atau benda yang berkemungkinan mencemari inokulum mikoriza. Untuk itu akan sangat baik jika produksi inokulum di lakukan dalam ruangan yang sudah disterilisasi terlebih dulu, namun demikian aliran udara dan pencahayaan harus tetap dalam keadaan optimal. Ruangan harus diupayakan tidak berdekatan dengan sumber patogen, misal bersebelahan dengan ruang yang digunakan untuk meneliti jasad renik (cendawan, bakteri, aktinomisetes ataupun virus), atau gudang penyimpanan bahan tanaman atau makanan. Jika tidak tersedia ruangan berupa kamar, produksi inokulum dapat dilakukan di luar gedung, namun harus menggunakan tempat yang beratap dan berdinding (tidak harus tembok). Namun tempat demikian harus dijauhkan juga dari sumber-sumber pencemar. Jika menggunakan media pot sebaiknya pot ditaruh pada ketinggian tertentu dari lantai, ini dilakukan untuk menjaga agar tidak terkontaminasi patogen yang terbawa oleh percikan air yang jatuh bebas ke permukaan lantai.

 

Mengingat media tanah, gambut, dan yang lainnya kerap dituding sebagai penyebab hadirnya patogen maka penggunaan kultur cawan petri atau kultur tabung reaksi menggunakan bahan non-tanah (misalnya zeolit) dan kultur aeroponik dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif.  Kultur tabung reaksi dilaporkan mampu menghasilkan hifa lebih banyak dibandingkan dengan kultur cawan petri (Tabel 1).

 

Tabel 1. Pembentukan hifa CMA pada minggu ke 4 sampai 20 setelah peng-kulturan (Bertham, 2003)

 

CMA

Kultur cawan petri

Kultur tabung reaksi

Minggu ke

  4

8

12

16

20

  4

  8

12

16

20

Glomus manihotis

  5

7

10

  7

  7

  0

  7

18

12

12

Glomus etunicatum

  2

9

  7

  6

  7

  0

  5

  9

12

17

Glomus aggregatum

  0

0

  5

11

15

  0

  2

11

16

19

Gigaspora margarita

29

7

  6

  0

  0

25

19

  0

  0

  0

Acaulospora tuberculata

  4

8

  4

  8

  8

  3

  7

13

  6

  7

 

Bahan non-tanah yang dapat digunakan dalam kultur CMA diantaranya adalah zeolit, inolite, pasir, pecahan batu dan lain sebagainya. Kesemuanya, sudah barang tentu, tidak terhindar dari keharusan sterilisasi untuk menjamin agar tidak terkontaminasi dengan patogen.  Kombinasi antara bahan, spesies CMA, dan tanaman inang akan menentukan keberhasil pembuatan inokulum yang banyak dengan harga murah (Tabel 2).

 

Tabel 2. Pengaruh substrat dan tanaman inang terhadap sporulasi empat spesies indigenous Indonesia (Setiadi, 2002)

 

Spesies CMA

Substrat

Σ spora per gram inokulum

Pueraria javanica

Sorghum bicolor

Paspalum notatum

A. delicata

Inolit

216

a

70

def

166

b

 

Zeolit

107

c

100

cd

105

c

 

Pasir

61

ef

91

cde

55

f

G. manihotis

Inolit

42

b

35

b

38

b

 

Zeolit

18

b

41

b

22

b

 

Pasir

33

b

81

a

24

c

A. tuberculata

Inolit

49

bc

33

cd

25

cd

 

Zeolit

61

ab

41

bc

45

bc

 

Pasir

83

a

32

cd

12

d

G. mosseae

Inolit

62

a

18

b

18

b

 

Zeolit

4

b

10

b

4

b

 

Pasir

21

b

30

b

15

b

Keterangan : Rerata diikuti huruf sama pada kolom dan baris yang sama berbeda tidak nyata pada    p < 0,05

 

Ditinjau dari aspek teknologinya, kultur aeroponik dilaksanakan dengan pengkabutan larutan hara pada sistem perakaran inang terinfeksi mikoriza pada sebuah ruang tertutup. Tanaman inangnya digantungkan di udara dengan tanpa menggunakan substrat atau media tumbuh apapun. Kultur aeronoponik pada awalnya digunakan untuk mengaji salingtindak legume-rhizobia oleh Zobel et al. (1976) dan kemudian pada cendawan mikoriza arbuskula oleh Sylvia dan Hubbell (1986). Kultur aeroponik telah terbukti sebagai satu sistem yang efisien untuk menumbuhkan inokulum CMA dengan tanpa adanya media. Kelebihan kultur aeroponik diantaranya adalah i) terbebas dari media yang berkemungkinan membawa patogen, ii) kondisinya lebih oksidatif dibandingkan dengan metoda hidroponik, iii) pengontrolan kondisi lingkungan dan pengelolaan inokulumnya lebih mudah, iv) terbebas dari kewajiban melakukan sterilisasi substrat, v) memungkinkan kajian salingtindak hara dan salingtindak antar jasad renik yang lebih kompleks, dan vi) sanitasi lebih terjaga sehingga terbebas dari jasad renik patogen.

 

Bahan tanaman juga berpotensi sebagai pembawa patogen. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan disinfeksi benih, menggunakan bibit tanaman asal perbanyakan kultur jaringan ataupun menggunakan kultur organ akar. Disinfeksi benih merupakan cara yang paling murah meriah dan mudah pelaksanaannya. Perbanyakan bibit tanaman dengan kultur jaringan memang dapat menghasilkan bibit tanaman yang bebas patogen. Namun demikian dewasa ini masih dipandang sebagai metoda yang prosedurnya cukup rumit dan memerlukan bahan-bahan yang tidak murah serta memerlukan ketrampilan khusus. Dengan kultur organ akar memang akan didapatkan inokulum mikoriza yang bebas patogen (Tiwari dan Adholeya, 2002) namun metoda ini juga dirasakan tidak ekonomis mengingat keharusannya menggunakan teknologi aras tinggi dan tenaga kerja yang sangat terlatih, serta tidak dapat digunakan untuk mengaji sporulasi cendawan sebagaimana halnya pada metoda pot tradisional (Wood, 1991; Chabot  et al. 1992, Sylvia dan Jarstfer, 1994).

 

Upaya lain yang dapat ditempuh adalah dengan memilih spesies-spesies tanaman inang yang secara alami mampu mengembangkan mekanisme pertahanan diri terhadap patogen. Mekanisme  yang dikembangkan tanaman diantaranya adalah i) meningkatkan kadar lignin atau suberin dinding sel-selnya, ii) pelepasan metabolit-metabolit sekunder anti patogen seperti asam hidroksamat siklis dan saponin,  atau iii) pelepasan metabolit-metabolit yang disukai jasad renik anti patogen yang hidup di rizosfir (Osbourn, 2001). Permasalahan yang dihadapi adalah masih terbatasnya pengetahuan tentang pengaruh metabolit demikian terhadap CMA. Selain itu tanaman yang mampu membentuk metabolit demikian belum tentu merupakan tanaman inang yang sesuai untuk produksi massal inokulum CMA.

 

3.2 Strategi penyehatan

 

Kata kunci dari strategi ini adalah kebugaran tubuh mahluk hidup berkorelasi dengan serangan patogen. Tubuh yang bugar akan lebih tahan terhadap serangan patogen daripada yang tidak. Kebugaran dapat dicapai jika mahluk hidup memperoleh nutrisi, baik dalam bentuk organik maupun anorganik, yang cukup namun tidak berlebihan.

 

Dalam pustaka telah disebutkan adanya keterkaitan antara kelebihan dan kekahatan hara dengan merebaknya patogen pada rizosfir dan terserangnya tanaman inang. Sebagai contoh unsur nitrogen dalam jumlah berlebih akan mendorong berkembangnya Fusarium sebaliknya kekahatan fosfor akan menyebabkan berkembangnya Phytium (Bruehl, 1987). Akan tetapi kadar fosfor yang semakin meningkat dilaporkan dapat menekan pembentukan dan perkembangan cendawan mikoriza. Meningkatnya kadar fosfor, baik sebagai akibat penambahan hara maupun karena aktivitas mikoriza juga dilaporkan tidak selalu berkorelasi dengan berkurangnya gejala serangan patogen pada berbagai sistem tanaman-patogen (Newsham et al., 1995). Jawaban dari permasalahan demikian adalah diperlukan kehati-hatian dalam menyusun komposisi hara yang diperlukan dalam produksi inokulum mikoriza. Kekeliruan penetapan jenis dan konsentrasi hara media akan berakibat pemborosan belaka jika ternyata tidak berhasil menyehatkan tanaman dan inokulum mikorizanya.

 

Bahan organik, baik yang alami (Henis, 1986) maupun polimer-polimernya (Hadar, 1986), dapat menekan perkembangan patogen-patogen tanah seperti Fusarium, Phytium, Rhizoctonia dan sebagainya. Tanah yang berkadar bahan organik tinggi pada umumnya juga lebih supressive terhadap patogen (Hadar, 1986). Penggunaan kompos dilaporkan juga dapat menekan perkembangan patogen (Hoitink dan Kuter, 1986). Komponen utama bahan organik adalah asam humat dan asam fulvat. Potensi asam humat untuk perbaikan sifat-sifat tanah dan peningkatan produktivitas tanaman telah diulas oleh Goenadi (1999). Asam fulvat memang pernah dilaporkan mampu meningkatkan pertumbuhan vegetatif cendawan ektomikoriza Pisolithus tinctorius (Tan dan Napanornbodi, 1979). Sayang sekali peran asam humat dan asam fulvat dalam produksi inokulum mikoriza bebas patogen belum diteliti.  Namun demikian, mengingat adanya peran bahan organik dalam menekan perkembangan patogen maka bukan tidak mungkin asam humat dan asam fulvat juga berpengaruh negatif terhadap patogen tertentu. Jika hal tersebut dapat dicapai berarti diperoleh suatu keuntungan berupa hilangnya kewajiban mensterilkan media.

 

Kelemahan strategi ini adalah tidak menentunya sifat dan pengaruh bahan organik terhadap media, tanaman, dan cendawan mikoriza. Bahan organik yang sama akan menghasilkan pengaruh yang berbeda jika cendawan tanaman inang, cendawan mikoriza dan patogennya berbeda. Bahan organik yang sama yang diberikan kepada tanaman yang sama dapat bereaksi berbeda jika diberikan pada medium yang sifatnya berbeda. Pengaruh bahan organik ditentukan oleh takaran, cara pemberian dan saat pemberiannya. Pengabaian terhadap hal tersebut  akan menyebabkan munculnya pengaruh yang tidak diduga.

 

3.3 Strategi penolakan

 

Kata kunci dari strategi penolakan adalah adanya sistem dakhil (internal) asosiasi mikoriza yang dapat secara langsung ataupun tidak langsung menekan berkembangnya patogen yang ada dalam substrat.

 

Para peneliti telah menemukan bahwa cendawan mikoriza dapat berasosiasi dengan berbagai jenis jasad renik pada permukaan dan di dalam sporanya serta jasad renik di rizosfir inang. Bakteri yang umum ditemukan berasosiasi dengan cendawan mikoriza adalah Bacillus, Enterbobacter, Flavobacterium, Micrococcus, Pseudomonas, Streptomyces (Varese et al., 1996), dan rhizobia (Bianciotto et al., 1996). Bakteri-bakteri demikian mampu membantu cendawan mikoriza melawan patogen melalui berbagai mekanisme. Bakteri gram positif umumnya tidak mempengaruhi pertumbuhan mikoriza, sebaliknya dengan bakteri gram negatif. Mekanisme penekanan patogen yang umum terjadi adalah melalui i) pembentukan metabolit anti patogen, misalnya 2,4-diasetilflorogusinol (DAPG) (Barea et al., 1998), pioluteorin, pirolinitrin, dan fenazine (Paulitz and Linderman, 1989), ii) pembentukan siderofor yaitu senyawa yang mampu mengkhelasi ion Fe2+ dari medium sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh jasad patogen (Carson et al., 1992), iii) pembugaran inang dan cendawan mikoriza melalui penyediaan hara nitrogen bakteri penyemat nitrogen asosiatif (Secilia dan Bagyaraj, 1987) dan pelarutan fosfor oleh bakteri-bakteri tertentu (Chabot et al., 1996), iv) pembentukan senyawa-senyawa organik yang bersifat asam atau antibiosis (Schelkle dan Peterson, 1996), dan v) pembentukan fitohormon (Williams dan Signer, 1990).

 

Kelemahan strategi ini adalah belum semua bakteri yang hidup pada permukaan spora mikoriza berhasil dikulturkan, perilaku dan sifat asosiasinya seringkali tidak menentu dan ditentukan oleh banyak faktor yang tidak jarang saling meniadakan satu dengan lainnya, tanggap inang dan cendawan mikoriza terhadap jasad renik lain juga berbeda-beda, dan penelitian mengenai penggunaan bakteri-bakteri demikian pada umumnya masih pada tingkat laboratorium. CMA yang tergolong pengkolonisasi cepat, misalnya Glomus intraradices,  dilaporkan dapat menekan populasi bakteri rizosfir sedangkan hal sebaliknya terjadi pada CMA yang tergolong pengkolonisasi lambat, misalnya G. etunicatum (pengkolonisasi lambat). Informasi lain menyebutkan beberapa strain bakteri dapat menghambat perkecambahan G.  etunicatum sekalipun pengaruh itu akan hilang setelah tujuh hari (Paulitz dan Linderman, 1989). Sebaliknya, Pseudomonas F113 dilaporkan tidak menimbulkan pengaruh apapun terhadap laju perkecambahan G. mosseae bahkan dapat merangsang perkembangan hifanya (Vidal et al., 1996).

 

Laporan-laporan ada dan tidak adanya pengaruh bakteri terhadap kehidupan patogen dan CMA  tersebut di atas hendaknya dicermati dengan hati-hati.  Keberhasilan atau kegagalan pada kondisi aksenik berskala laboratorium belum tentu dicapai pada skala lapangan yang memiliki kondisi jauh lebih rumit. Yang tidak kalah peliknya adalah menentukan siapa yang menjadi “aktor utama” dan siapa pula yang menjadi “aktor pendukung”. Benarkah bakteri membantu CMA atau justru sebaliknya CMA yang membantu bakteri ?. Jika bakteri yang membantu CMA, bakteri yang manakah yang membantu – yang ada di permukaan akar atau yang dekat-dekat dengan permukaan akar atau yang menempel di permukaan hifa dan spora CMA ?. Masalah lain yang dihadapi adalah seringkali bakteri rizosfir sulit dicampur dengan CMA dalam satu kultur karena bakteri menghendaki media yang berbeda. Masih ada segudang pertanyaan lain yang harus dijawab sehubungan dengan itu.

 

Apapun pertanyaannya, hendaknya umat manusia tidak surut minatnya dalam mengembangkan strategi-strategi produksi inokulum CMA bebas patogen. Kesulitan-kesulitan demikian hendaknya dijadikan sebagai tantangan yang dihadapi dan harus segera dicarikan jawabannya.

 

IV. Kesimpulan

 

Dari uraian di atas ada beberapa hal yang dapat disimpulkan, yaitu :

 

*         Mikoriza merupakan asosiasi yang bersifat simbiotik, netral, ataupun antagonis antara tanaman, cendawan dan bakteri.

 

*         Belum ada strategi produksi inokulum bebas patogen yang benar-benar memuaskan, setiap strategi mempunyai kelebihan dan kelemahannya masing-masing serta memiliki resiko tersendiri juga. Untuk menjamin diperolehnya inokulum cendawan mikoriza yang bebas patogen maka keseluruhan strategi harus dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh. Tidak ada strategi yang dapat berdiri sendiri tanpa dilengkapi dengan strategi yang lain.

 

*         Para peneliti masih harus bekerja keras lagi untuk memperoleh metoda produksi inokulum yang benar-benar dijamin bebas patogen yang biayanya murah.

 

Daftar Pustaka

 

Ahiabor, B.D. and H. Hirata. 1994. Characteristic responses of three tropical legumes to the inoculation of two species VAM in Andosol soils with different fertilities. Mycorrhiza 5: 63-70.

Ames, R.N., K.L. Mihara, and H.G. Baynes. 1989. Chitin-decomposing actinomycetes associated with a vesicular-arbuscular mycorrhizal fungus from a calcareous soil. New Phytol. 111 : 67-71

Augé, R.M. 2001. Water relations, drought and vesicular-arbuscular mycorrhizal symbiosis. Mycorrhiza  11: 3–42

Barea, J.M., G. Andrade, V. Bianciotto, D. Dowling, S. Lohrke, P. Bonfante, F. O’Gara, and C. Azcon-Aguilar. 1998. Impact on arbuscular mycorrhiza formation of Psedomonas strains used as inoculants for biocontrol of soil-borne fungal plant pathogens. Appl. Environ. Microbiol. 64(6): 2304-2307

BASF Corporation, 1998. Basamid – Granular Soil Fumigant. Research Triangle Park, North Carolina.

Bearden, B.N. and L. Petersen. 2000. Influence of arbuscular mycorrhizal fungi on soil structure agregate stability of a Vertisol. Plant and Soil 218: 173-183.

Bertham, Y. 2003. Tehnik pemurnian biakan monoxenic CMA dengan metode cawan petri dan tabung reaksi. Laporan Penelitian Mandiri, Sekolah Pasca Sarjana, IPB. 

Bianciotto V., C. Bandi, D. Minerdi, M. Sironi, H. Volker-Tichy, and P. Bonfante. 1996. An obligately endosymbiotic mycorrhizal fungus itself harbours obligately intracellular bacteria. Applied and Environmental Microbiology 62: 3005-3010.

Bianciotto V., E. Lumini, L. Lanfranco, O. Minerdi, P. Bonfante P, and S. Perotto. 2000. Detection and identification of bacterial endosymbionts in arbusculas mycorrhizal fungi belonging to the family Gigasporaceae. Applied and Environmental Microbiology 46: 4503-4509.

Bianciotto, V., D. Minerdi, S. Perotto, and P. Bonfante. 1996. Cellular interactions between arbuscular mycorrhizal fungi and rhizosphere bacteria. Protoplasma 193: 123-131

Brundrett, M., N. Bougher, B. Dell, T. Grove, and N. Malajczuk. 1996. Working with Mycorrhizas in Foretsry and Agriculture. ACIAR.

Budi, S.W., Blal, B., and S. Gianinazzi. 1999. Surface-sterilization of Glomus mosseae sporocarps for studying endomycorrhization in vitro. Mycorrhiza 9: 65-68

Carson, K.C., S. Holliday, A.R. Glenn, and M.J. Dilworth. 1992. Siderophore and organic acid production in root nodule bacteria. Arch. Microbiol. 157: 264-271

Chabot, R., H. Antoun, and M.P. Cescas. 1996. Growth promotion of maize and lettuce by phosphate-solubilizing Rhizobium leguminosarum biovar. phaseoli. Plant Soil 184: 311-321

Chabot, S., G. Becard, and Y. Piche. 1992. Life cycle of Glomus intraradix in root organ culture. Mycologia 84: 315-321

Goenadi, D.H. 1999. The potential use of humic acids. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 2(2): 23-31

Habte, M. 1999. Soil acidity as a constraint to the aplication of arbuscular mycorrhizal technology. Pp. 557-614 in A. Varma and B. Hock. Mycorrhiza: Structure Function, Molecular Biology and Biotechnology. 1st ed.Springer-Verlag, Berlin.

Hadar, Y. 1986. The role of organic matter in the introduction of biofertilizers and biocontrol agents to soils. Pages 169-179 in Y. Chen and Y. Avnimelech (eds). The Role of Organic Matter in Modern Agriculture. Martinus Nijhoff Publ., Dordrecht.

Hahn, A., C. Gobel and B. Hock. 1999. Immunochemical properties of mycorrhizas. Pp.: 177-201 in A.Varma and B. Hock (eds). Mycorrhiza: Structure Function, Molecular Biology and Biotechnology. 1st ed. Springer-Verlag, Berlin.

Henis, Y. 1986. Soil microorganisms, soil organic matter, and soil fertility. Pages 159-168 in Y. Chen and Y. Avnimelech (eds). The Role of Organic Matter in Modern Agriculture. Martinus Nijhoff Publ., Dordrecht.

Hepper, C.M. 1984. Isolation and culture of VA mycorrhiza (VAM) fungi. Pages 95-112 in C.L. Powell and D.J. Bagyaraj (eds) V.A. Mycorrhiza. CRC Press, Boca Ratoon, Florida.

Hoitink, H.A.J. and G.A. Kuter. 1986. Effects of composts in growth media on soil borne pathogens. Pages 289-306 in Y. Chen and Y. Avnimelech (eds). The Role of Organic Matter in Modern Agriculture. Martinus Nijhoff Publ., Dordrecht.

Jarstfer, A.G and D.M. Sylvia, 1995. Aeroponic culture of VAM fungi. Pages 427-441 in A. Varma and B. Hock, eds. Mycorrhiza. : Structure Function, Molecular Biology and Biotechnology. 1st ed. Springer-Verlag, Berlin.

Jartsfer, A.G. and D.M. Sylvia. 1995. Inoculum production and inoculation strategies for vesicular-arbuscular mycorrhizal fungi. Pages 349-377 in Metting, B. ed. Soil Microbial Ecology : Applications in Agriculture and Environmental Management. Marcel Dekker, New York.

Morton J.B. and G.L. Benny. 1990. Revised classification of arbuscu­lar mycorrhizal fungi (Zygomycetes): a new order, Glomales, 2 new suborders, Glomineae and Gigasporineae, and 2 new families, Acaulosporaceae and Gigasporaceae with an recommendation of Glomaceae. Mycotaxon 37: 471-491.

Nagahashi, G., D. Douds, Jr. and M. Buee. 2000. Light-induced hyphal branching of germinated AM fungal spores. Plant and Soil 219: 71-79.

Newsham, K.K., A.H. Fitter, and A.R. Watterson. 1995. Arbuscular mycorrhiza protect an annual grass from root pathogenic fungi in the field. Journal of Ecology 83: 991-1000.

Nylund, J.E. and H. Wallander. 1992. Auxin production mycorrhizal virulence. Pp. 394-395. in D.J. Read, D.H. Lewis, A.H. Fitter, and I.J. Alexander (eds)  Mycorrhizas in Ecosystems.  CAB International, Cambridge.

Onguene, N.A. and M. Habte. 1995. Nitrogen and phosphorus requirements for raising mycorrhizal seedlings of Leucaena leucocephala in containers. Mycorrhizae 5: 347-356.

Osbourn, A.E. 2001. Plant mechanisms that give defence against soilborne diseases. Australasian Plant Pathology. 30: 99-102

Paulitz, T.C. and R.G. Linderman. 1989. Interactions between fluorescent pseudomonads and VA mycorrhizal fungi.New Phytol. 113: 37-45

Pirozynski KA, Dalpe Y. 1989. Geological history of the Glomaceae with particular reference to mycorrhizal sym­biosis. Symbiosis 7: 1-36.

Pirozynski KA, Malloch DW. 1975. The origin of land plants: a matter of mycotrophism. Biosystems 6: 153-164.

Read, D.J. 1999. Mycorrhiza-the state of the art. p. 43-49 in  A. Varma and B. Hock (eds) Mycorrhiza: Structure Function, Molecular Biology and Biotechnology. 1st ed. Springer-Verlag, Berlin.

Remy W, T.N., Taylor, H. Hass, H. Kerp. 1994. Four hundred million year old vesicular arbuscular mycorrhizae. Proceed­ings of the National Academy of Sciences, USA 91: 11841-11843.

Ricken, B. and W. Hofner. 1996. Effect of arbuscular mycorrhizal fungi (AMF) on heavy-metal tolerance of alfafa Medicago sativa L. and oat Avena sativa L. on a sewage sludge treated soil. Zeitschrift fuer Planzenernahrung und Bokenkunde 159: 189-194.

Schelkle, M. and R.L. Peterson. 1996. Suppression of common rot pathogens by helper bacteria and ectomycorrhizal fungi in vitro. Mycorrhiza 6: 483-485

Secilia, J. and D.J. Bagyaraj. 1987. Bacteria and actinomycetes associated with pot culture of vesicular-arbuscular mycorrhizae. Can. J. Microbiol. 33: 1069-1073

Setiadi, Y. 2002. Mycorrhizal inoculum production technique for land rehabilitation. Trop. For. Manage. J. VIII(1) : 51-64

Simon, L., J. Bousquet, R.C. Levesque, M. Lalonde. 1993. Origin and diversification of endomycorrhizal fungi and coincidence with vascular plants. Nature 363: 67-69.

Smith, S. E, J.B. Baon, and A.M. Alston. 1995. P efficiency of barley infected by Glomus intradices: Influences of soil temperature and light intensity. Biotrop Special Publication No.56. SEAMEO BIOTROP, Bogor,. Indonesia.

Smith, S.E. and D.J. Read. 1997. Mycorrhizal Symbiosis. New York: Academic Press.

Stahl, P.D., G.E. Schuman, S.M. Frost, and S.E. Williams. 1998. Arbuscular mycorrhizae and water stress tolerance of Wyoming Big Sagebrush seedlings. Soil Sci. Soc. Am. J. 62: 1309-1313.

Suhardi dan Sumardi. 1999. Peranan mikoriza dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Makalah pada Simposium dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitologi Indonesia, Purwokerto. 16-18 September 1999.

Sukarno, N., S.E. Smith, and E.S. Scott. 2000. The effect of fungicides on vesicular-arbuskular mycorrhizal symbiosis. Pages 68-83 in Supriyanto, ed. Report on Training Course on Biotechnology of Mycorrhizae. SEAMEO-BIOTROP, Bogor.

Sylvia, D.M. 1994. Vesicular-arbuscular mycorrhizal fungi. Pages 351-378 in Methods of Soil Analysis, Part 2. Microbiological and Biochemical Properties. SSSA Book Series No. 5. SSSA Inc., Madiosn, Wisconsin.

Sylvia, D.M. 1999. Fundamentals and aplications of arbuscular mycorrhizae: A “biofertilizer” perpective in J.Q. Siqueira, F.M.S. Moreira, A.S. Lopez, L.R.G. Guilherme, F. Faquin, A.E.F. Neto, and  J.G. Carvalho (eds) Soil fertility, Soil Biology and Plant Nutrition Interrelationships. Sociedade Brasiliera de Ciencia do Solo.Universidade Federal de Lavras. Departemento de Ciencia do Solo, Brasil.

Sylvia, D.M. and A.G. Jarstfer. 1994. Production of inoculum and inoculation with arbuscular mycorrhizal fungi. Pages 231-238 in A.D. Robson, L.K. Abbot, and N. Malajczuk (eds). Management of Mycorrhizas in Agriculture, Horticulture and Forestry. Kluwer Academic Publisher, Dordrecht, The Netherlands.

Sylvia, D.M. and D.H. Hubbell. 1986. Growth and sporulation of vesicular-arbuscular mycorrhizal fungi in aeroponic and membrane systems. Symbiosis 1: 259-267

Sylvia, D.M. and D.O. Chellemi. 2001. Interactions among root-inhabiting fungi and their implications for biological control of root pathogens. Adv. Agron 73: 1-33.

Sylvia, D.M. and N.C. Schenck. 1983. Germination of clamydospores of three Glomus species as affected by soil matric potential and fungal contamination. Mycologia 75: 30-35

Tan, K.H. and V. Nopanornbodi. 1979. Fulvic acid and the growth of the ectomycorrhiza fungus Pisolithus tinctorius. Soil Biol. Biochem. 11: 651-653

Taylor, T.N., W. Remy W, H. Hass, and H. Kerp. 1995. Fossil arbus­cular mycorrhizae from the early Devonian. Mycologia 87: 560-573.

Tiwari, P. and A. Adholeya. 2002. In vitro co-culture of two AMF isolates Gigaspora margarita and Glomus intraradices on Ri T-DNA transformed roots. FEMS Microbiology Letters 206 : 39-43

Varese, G.C., S. Portinaro, A. Triotta, S. Scannerini, A.M. Luppi-Mosca, and M.G. Martinotti. 1996. Bacteria associated with Suillus grevillei sporocarps and ectomycorrhizae and their effects on in vitro growth of mycobiont. Symbiosis 21: 129-147

Varma, A. 1999. Fuction and application of AMF in arid and semi-arid soils. Pp. 521-556. In A. Varma and B. Hock (eds) Mycorrhiza: Structure Fuction, Molecular Biology and Biotechnology. 1st ed. Springer-Verlag, Berlin.

Vidal, M.T., G. Andrade, C. Azcón-Aguilar and J.M. Barea. 1996. Comparative effect of Pseduomonas, strain F113 [biocontrol agent (antifungal)] and its isogenic mutant, strain F113G22 (impaired biocontrol ability) on spore germination and mycelial growth of Glomus mosseae under monoxenic conditions. Pages 673-676 in  C. Azcón-Aguilar and J.M. Barea (eds). Mycorrhizas in Integrated Systems From Genes to Plant Development. EC-DG XII Science, Research and Development, Brussels, Luxembourg.

Von Alten, H., A. Lindemann, and F. Schönbeck. 1993. Stimulation of vesicular-arbuscular mycorrhiza by fungicides or rhizosphere bacteri. Mycorrhiza 2: 167-173

Walley, F.L. and J.L. Germida. 1996. Failure to decontaminate Glomus clarum NT4 spores is due to spore wall-associated bacteria. Mycorrhiza 6: 43-49

Williams, M.N.V. and E.R. Singer. 1990. Metabolism of typtophan and tryptophan analogs by Rhizobium meliloti. Plant Physiol. 92: 1009-1013

Williams, P.G. 1992. Axenic culture of arbuscular mycorrhizal fungi. Methods in Microbiol. 24: 203-220.

Wolf, D.C., T.H. Dao, H.D. Scott, and T.L. Lavy. 1989. Influence of sterilization methods on selected soil microbiological, physical, and chemical properties. J. Environ. Qual. 18: 39-44

Wood, T. 1991. VA mycorrhizal fungi: challenges for commercialization. Pp. 823-847 in D.K. Arora, R.P. Elander, and K.G. Mukerji (eds). Handbook of Applied Ecology, Fungal and Biotechnology. Vol 4. Marcel Dekker, New York.

Zobel, R.W., P. del Tredici, and J.G. Torrey. 1976. Methods for growing plants aeroponically. Plant Physiol. 57: 344-346

 

 

 

 

 


 

 

Links Mikoriza