© Sekolah Pasca Sarjana IPB
Makalah Kelompok 4, Materi Diskusi Kelas Posted 21 April 2004
Pengantar Falsafah Sains (PPS 702)
Program Pasca Sarjana/S3
Kelas Baranangsiang
Institut Pertanian
April 2004
Dosen : Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng
DAMPAK PEMANASAN GLOBAL TERHADAP PERMUKIMAN
Oleh:
Kelompok 4/PSL
Nuraini Soleiman P062034014
Eko D. Heripoerwanto
P062034104
Rido Matari Ichwan
P062034114 ridoichwan2001@yahoo.com
Aim Abdurachim Idris P062034154
Togap M. Hutagalung P062034054
Putut Marhayudi P062034244
Abstrak
Pemanasan global merupakan
fenomena alam yang disebabkan oleh meningkatnya gas rumah kaca (GRK) dan
menipisnya lapisan ozon di atmosfir. Peristiwa meningkatnya suhu bumi ini
mengakibatkan terjadinya perubahan iklim dan kenaikan muka air laut. Dampak
kenaikan muka air pemanasan global mengakibatkan berkurangnya kawasan pesisir
Indonesia, terjadi pengikisan pantai (abrasi) dan sedimentasi. Tingginya
tingkat sedimentasi yang mengganggu kelancaran aliran muara sungai ditambah
dengan curah hujan yang tinggi
menyebabkan meningkatnya frekuensi banjir. Beberapa wilayah pantai di Indonesia
akan menderita akibat kejadian ini dan dampak yang lebih besar adalah pada
kehidupan masyarakat karena kegiatannya dibanyak kawasan permukiman di
wilayah/kota pantai tersebut yang terpengaruh secara langsung maupun tidak
langsung oleh fenomena alam ini. Gambaran Besaran dampak, upaya antisipasi, dan
bentuk adaptasi seperti apa yang akan meningkatkan daya dukung lingkungan permukiman wilayah dan
kota pantai tersebut agar terhindar dari kerugian yang besar merupakan lingkup
yang dibahas dalam makalah ini.
Kegiatan
pembangunan yang dilakukan oleh manusia pada hakekatnya bertujuan untuk
mensejahterakan kehidupan manusia. Namun, meningkatnya populasi manusia secara
tajam, menyebabkan peningkatan kebutuhan manusia untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya baik dari segi kuantitas maupun dari sisi kualitas, sehingga faktor
pertambahan penduduk ini mempengaruhi perubahan yang besar dalam lingkungan hidup (Soemarwoto, 2001).
Disamping
itu meningkatnya kegiatan perekonomian, dan pola konsumsi manusia yang
berlebihan terhadap penggunaan energi dan peningkatan pembangunan lainnya,
mengakibatkan penggunaan bahan bakar fosil seperti, minyak, batubara, dan gas,
sebagai sumber energi, meningkat dengan tajam. Peningkatan penggunaan bahan
bakar fosil ini mengakibatkan meningkatnya gas buangan seperti CO2,
CH4, H2S yang disebut gas-gas rumah kaca (GRK).
Keberadaan gas-gas tersebut telah mencapai kadar yang berlebihan, sehingga
menahan panas akibat radiasi balik dari bumi, yang disebut efek rumah kaca
(ERK). Meningkatnya ERK ini
mengakibatkan kenaikan dari suhu bumi.
Faktor
lain yang menyebabkan kenaikan suhu bumi adalah akibat menipisnya lapisan ozon
di atmosfer terutama di wilayah kutub (Bratasida, 2002). Lapisan ozon berfungsi
sebagai pelindung radiasi langsung dari sinar matahari ke bumi sehingga
kehidupan di bumi dapat berlangsung. Keberadaan bahan-bahan kimia khususnya
yang dibuat oleh manusia seperti Chloro Fluoro Carbon (CFC), Halon, dll
ternyata merupakan penyebab rusaknya lapisan ozon di atmosfer. Dengan
menipisnya lapisan ozon, maka radiasi gelombang pendek matahari akan lolos ke
lapisan atmosfir bumi, sehingga mengakibatkan meningkatnya suhu bumi.
Gejala meningkatnya suhu bumi akibat
peningkatan intensitas ERK dan menipisnya lapisan ozon di atmosfer, disebut
pemanasan global. Beberapa pengamatan yang dilakukan di beberapa belahan dunia,
menunjukkan bahwa indikasi terjadinya pemanasan global sudah semakin
signifikan, antara lain dengan menipisnya ketebalan es di kutub utara dan
selatan, naiknya permukaan air laut, dan meningkatnya suhu di kota-kota besar.
Iklim merupakan salah satu dari
komponen ekosistem, dengan variabel suhu, angin, dan curah hujan. Perubahan
iklim terjadi karena terjadinya perubahan pada variabel dari iklim tersebut
(Kwik Kian Gie, 2002). Sehingga meningkatnya suhu bumi atau terjadinya
pemanasan secara global akan mengakibatkan terjadinya perubahan iklim secara
global.
Perubahan
iklim akibat pemanasan global ini menyebabkan terjadinya perubahan curah hujan
atau perubahan distribusi curah hujan. Sehingga beberapa wilayah akan mengalami
kekurangan curah hujan dan di wilayah lain akan mengalami kelebihan curah hujan
atau banjir. Disamping itu dengan mencairnya es di kedua kutub dan pemuaian
massa air laut, berakibat kepada meningkatnya volume air laut. Kenaikan volume
air laut ini menyebabkan tergenangnya
daerah pantai yang rendah dan akan meningkatkan laju erosi pantai.
Perubahan
iklim dan bencana alam sangat berkaitan. Pemanasan global, yang diperkirakan
akan menaikkan muka air laut setinggi
0.8 m abad ini, sangat mengancam kota
pesisir- dimana sebagian besar kota berukuran mega di negara sedang berkembang
terletak pada tahun 2025 (WB, 2003).
Kenaikan muka air laut dan perubahan
iklim global yang disebabkan oleh pemanasan global akan mempengaruhi kota-kota
di kawasan pantai. Dampak yang ditimbulkan secara umum pada permukiman secara
nasional serta kerugian yang terjadi dan daya adaptasi serta antisipasi yang
perlu dilakukan menjadi fokus bahasan
dalam tulisan ini.
II. GAMBARAN UMUM
DAMPAK PEMANASAN GLOBAL
2.1 Pengertian
Sebelum
membahas lebih jauh tentang dampak pemanasan global pada permukiman,
disampaikan terlebih dahulu pengertian beberapa istilah yang sering digunakan
dalam tulisan ini, sebagai berikut:
Rumah adalah
bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan
keluarga, sedangkan perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan
prasarana dan sarana lingkungan. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di
luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat
tinggal atau lingkungan hunian dan
tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan (UU No 4/1992
tentang Perumahan dan Permukiman). Dengan pengertian seperti ini, maka dampak
pemanasan global terhadap permukiman berarti pula dampak terhadap kota dan desa
secara umum termasuk lingkungan permukiman, prasarana dan sarana permukiman,
serta fasilitas umum yang melengkapinya.
Gas rumah kaca (GRK) adalah
adalah gas-gas yang dapat meneruskan radiasi gelombang pendek (ultraviolet)
yang tidak bersifat panas, tetapi menahan radiasi gelombang panjang
(inframerah) yang bersifat panas (Soedjito, 2002).
Lapisan ozon merupakan
kumpulan molekul O3 yang bersifat sangat labil karena bertangan ikatan bebas,
yang terdapat di lapisan stratosfir. Penipisan lapisan ozon terjadi
karena molekul ozon bertemu dengan molekul lain dari permukaan bumi seperti CO
dan CFCs yang kemudian akan bereaksi menghasilkan molekul yang stabil, seperti
CO2. Karena stabil, molekul CO2 akan turun ke lapisan troposfir sehingga molekul
ozon akan berkurang, mengakibatkan menipisnya lapisan ozon (Mustain, 2002).
Efek rumah kaca (ERK) adalah
fenomena alam yang terjadi dengan meningkatnya suhu bumi yang disebabkan oleh 2
hal (Bratasida, 2002), yaitu: i) Meningkatnya gas buangan (GRK) di lapisan
troposfir, sehingga radiasi gelombang inframerah dari bumi tertahan di lapisan
troposfir dan (ii) Meningkatnya gas buangan di lapisan stratosfir yang
mengakibatkan menipisnya lapisan ozon, sehingga meningkatkan intensitas
gelombang ultra-violet (UV) ke bumi.
Pemanasan global pada
hakekatnya adalah perubahan variabel iklim global, khususnya suhu dan curah
hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu antara 50-100
tahun (Soedjito, 2002).
2.2 Pro dan kontra Pemanasan
Global
Dampak
kenaikan permukaan air laut dan banjir sesungguhnya “masih menjadi debat
dalam dunia riset”, tiga skenario yang dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel on Climate change
(IPCC) pada tahun 1990 digunakan sebagai pijakan beberapa studi yang dilakukan di
Indonesia dengan menggunakan skenario moderat IPCC Skenario A yakni kenaikan
kira-kira sebesar 60 cm hingga akhir abad 21(Direktur Jenderal Penataan Ruang,
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002).
Pemanasan global
merupakan fenomena alam yang diakibatkan oleh meningkatnya ERK, “masih
merupakan perdebatan akhli-akhli”, menyatakan bahwa penyebab pemanasan
global tidak mudah untuk diketahui secara pasti, karena selain pengaruh GRK di
atmosfir juga dipengaruhi oleh faktor
geologi seperti meningkatnya intensitas radiasi, perubahan sumbu bumi dan
berkurangnya ketinggian daratan. Walaupun kaitan langsung antara ERK dengan
kenaikan muka air laut masih dalam perdebatan, tetapi pemanasan global
mempengaruhi kerusakan kawasan pantai telah menjadi isu dunia. Sehingga perlu
kerjasama seluruh dunia dengan peran yang seimbang supaya di masa depan manusia
dapat hidup dengan sehat dan aman. (Sampurno, 2001)
Selama
100 tahun terakhir telah diakui secara luas telah terjadi kenaikan temperatur
rata-rata global bumi pada 0,3-0,6 °C, juga adanya tercatat pengurangan salju
yang menutupi permukaan bumi, yang ditandai dengan kenaikan tinggi permukaan
air laut global sekitar 1-2mm pertahun.
Karena besarnya variasi perubahan temperatur yang pernah terjadi
sebelumnya (1550-1850) maka belum dapat diyakini apakah pemanasan global "terjadi
secara alamiah atau akibat ulah manusia" karena memang sebelum
revolusi Industri (1750) konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfir berada
dalam keadaan relatif konstan dan setelah periode tersebut konsentrasi gas CO2 bertambah hampir 26%, gas metana
menjadi 2 kali dan konsentrasi nitrogen
(N2O)
bertambah mendekati 8%. Perubahan konsentrasi tersebut disebabkan oleh
pembakaran bahan bakar fosil, seperti batubara, minyak, dan gas bumi; Penggundulan
hutan yang mengubah daya pantul dan mengurangi penyerapan; pengkonservasian CO2, penambahan
hasil pertanian, peningkatan peternakan, pembakaran biomasa, dan CFC (UNEP
1992)
Peningkatan
CO2 di atmosfir disebabkan oleh anthropogenetic yaitu: dari hasil pembakaran
bahan bakar fosil yang memperlihatkan keadaan komposisi kandungan karbon di
atmosfir terdapat sedikit konsentrasi 14
C dan banyaknya konsentrasi 13 C sesuai dengan karakteristik isotop C dari
hasil pembakaran bahan bakar fosil. Demikian pula, peningkatan CO2 dibelahan
bumi sebelah utara lebih cepat karena pembakaran bahan bakar fosil terjadi
paling tinggi. (Materi kuliah Tania June, 2004)
Presiden
Bush di AS memandang perubahan cuaca global akan berlangsung tanpa dapat
dielakkan dan mengedepankan strategi adaptasi sebagai langkah utama guna
menghadapinya. Dengan kata lain AS meragukan bahwa ketentuan Kyoto Protokol yang jika diberlakukanpun hanya akan
menimbulkan pengaruh positif yang tidak cukup berarti terhadap efek pemanasan
global (Rangkuman jurnal science dan infolainnya SI-IPTEKnet 27/06/02).
Sikap
dan pernyataan Presiden Bush di AS sangat tidak menguntungkan bagi usaha
mengurangi green houses gasses (gas rumah kaca), secara
ilmiah pernyataan tersebut berarti kurang respect terhadap hasil dunia
scientifik, yang jelas menyatakan dan membuktikan bahwa green house gases
menjadi penyebab utama pemanasan global, sikap seperti ini yang berarti kurang
profesional (Mahmud Mustain)
Apabila
seluruh emisi CO2 akibat ulah manusia berhenti pada tahun 1990 maka setengah beban
CO2
atmosfir yang dihasilkan oleh kegiatan manusia akan tetap ada hingga tahun
2100.
Pengetahuan
tentang bagaimana daratan, lautan, dan atmosfir berinteraksi merespon
peningkatan konsentrasi gas rumah kaca tidaklah lengkap, akan tetapi
Model-model komputer dapat menstimulasikan hubungan kompleks ini pada tahapan
tertentu dan pengaruhnya terhadap iklim
Sekalipun
penyebab pemanasan global belum diketahui dengan pasti namun kecenderungan
naiknya muka air laut telah terjadi di beberapa kawasan pantai Indonesia. Hasil
pengamatan beberapa peneliti pada tahun 1990 dan 1991 di beberapa wilayah
menunjukkan adanya variasi kenaikan muka air laut di Belawan setinggi 7,38 mm,
Jakarta 4,38 mm, Semarang 9,27 mm, Surabaya 5,47 mm, di Panjang Lampung 4,15 mm
(Siti Zubaidah Kurdi, 2002).
2.3 Dampak
terhadap Wilayah/Kota Pantai
Sebagaimana
disampaikan sebelumnya bahwa pemanasan global adalah fenomena alam yang terjadi
akibat perubahan variabel iklim secara global dan iklim mikro, terutama
peningkatan suhu dan perubahan pola distribusi hujan. Akibat dari perubahan
iklim ini adalah:
(1)
Mencairnya es di kutub utara dan selatan serta memuainya massa
air laut, yang mengakibatkan kenaikan
muka air laut.
(2)
Perubahan siklus dan besaran curah hujan di seluruh permukaan
bumi, sehingga mengakibatan terjadinya banjir dan kekeringan.
Skenario
kenaikan muka air laut yang dikeluarkan oleh IPCC tahun 1990 yang menyebutkan
adanya 3 skenario kenaikan muka air laut (sea level rise). Adapun
skenario tersebut selengkapnya pada tabel 1 berikut:
Tabel 1: Perkiraan Kenaikan
Permukaan Air Laut (dalam cm)
Skenario Kenaikan Muka Air Laut |
1990 |
2030 |
2070 |
2100 |
Rendah (low) |
0 |
8 |
21 |
31 |
Rata-Rata
(averange) |
0 |
18 |
44 |
66 |
Tinggi (high) |
0 |
29 |
71 |
110 |
Sumber :
IPCC Skenario-A (1990)
2.4 Dampak
terhadap Permukiman
Hampir
sebagian besar kota besar di Indonesia berada di wilayah pesisir, yang berfungsi
menjadi lokasi permukiman, perdagangan, perhubungan, pengembangan industri dan
berbagai sektor lainnya. Sehingga terganggunya kota-kota pantai akan berdampak
serius terhadap perekonomian Indonesia, diluar dari kerugian sosial-ekonomi
yang dihadapi oleh penduduk kawasan tersebut.
Pemanasan
global mengakibatkan kenaikan tinggi muka air laut sebagai konsekuensi
mencairnya es di kutub utara dan selatan serta pemuaian muka air laut. Beberapa
studi yang telah dilakukan oleh IPCC (Internatinal Panel on Climate Change)
memperlihatkan bahwa telah terjadi kenaikan muka air laut sebesar 1-2 meter
dalam 100 tahun terakhir. Dengan asumsi bahwa manusia tetap melakukan aktivitas
tanpa memikirkan daya dukung lingkungan, maka IPCC memperkirakan bahwa pada
tahun 2030 permukaan air laut akan bertambah 8-29 cm dari permukaan air laut
saat ini (Tabel 1).
Kenaikan muka air laut dan banjir
mengakibatkan terjadinya genangan di kota-kota pantai. Hal ini dirasakan oleh
penduduk yang bermukim di kawasan pantai Kecamatan Semarang Utara, yang dari
tahun ke tahun tinggi genangan semakin bertambah, terjadinya genangan semakin
sering, dan waktu genangan semakin lama (Suhaeni, 2002). Sarana sanitasi dan
air bersih terganggu, sehingga kegiatan dalam rumah tangga terhenti dengan
sendirinya.
Jalan
lingkungan yang memberi akses penduduk untuk melaksanakan aktivitas di kawasan
tersebut pun terganggu dan terhenti dengan sendirinya. Kerugian sosial yang
terjadi tidak hanya dialami oleh penduduk, tetapi juga oleh pengelola kota.
Biaya pengelolaan kota akan bertambah sejalan dengan bertambahnya kenaikan muka
air laut.
Gangguan atau kerugian yang terjadi
tergantung kepada tinggi, lama, dan frekuensi terjadinya genangan. Sebagai
gambaran ketika Jakarta mengalami genangan banjir yang cukup signifikan, pada
titik-titik tertentu lampu dimatikan, komunikasi dan transportasi terputus,
sehingga kegiatan distribusi barang dan jasa terhenti, dan pendudukpun tidak
dapat menjalankan aktifitasnya.
Untuk
kota Semarang, kenaikan muka air laut sampai 50 cm, listrik untuk penduduk
pemukiman Tambak Lorok misalnya, dimatikan demi keamanan. Dengan tidak tersedianya sarana dan prasarana yang
menunjang aktifitas penduduk akan mengakibatkan terhentinya semua kegiatan
sehari-hari dalam rumah tangga, seperti kegiatan rumah tangga yang meliputi
memasak, mencuci, makan, dan minum; kegiatan produktif seperti berangkat ke
tempa kerja atau tempat usaha dan ke sekolah; dan kegiatan rekreatif, seperti
bermain anak, tidur, dan bahkan kegiatan ibadah, dll.
Lebih
jauh lagi, hasil pengamatan beberapa peneliti pada tahun 1990 dan 1991 di
beberapa wilayah menunjukkan adanya variasi kenaikan muka air laut sebagai
berikut: Belawan (setinggi 7,38 mm), Jakarta (4,38 mm), Semarang (9,27 mm),
Surabaya (5,47 mm), di Panjang Lampung (4,15 mm) (Kurdi, 2002).
Pengamatan
pada tahun 2001 di kawasan pantai Bali menunjukkan bahwa 20% dari 430 km
panjang pantai di Bali mengalami kerusakan. Di kawasan Pontianak, Bengkayang
dan Sambas kerusakan pantai mencapai 14 km sementara perbaikan yang baru
dilakukan sepanjang 5,1 km. Kerusakan di beberapa kawasan pantai Jawa antara
lain di Teluk Jakarta, pantai Eretan, pantai Mauk dan beberapa kawasan di
Sumatera dan Sulawesi. Selain itu, masyarakat nelayan yang bertempat tinggal di
sepanjang pantai akan terdesak, bahkan akan kehilangan tempat tinggal serta
infrastruktur pendukungnya yang telah terbangun.
Indonesia
merupakan negara kepulauan, dimana lebih dari separuhnya merupakan pantai
landai. Tidak kurang dari 100 juta jiwa atau 60% penduduk Indonesia yang
bertempat tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai.
Apabila
skenario yang diberikan oleh IPCC benar, maka Indonesia akan kehilangan sekitar
4.000 pulau (Kompas, Senin, 05 Agustus, 2002). Sementara itu jika ditarik garis
batas 2 mil laut, maka luas wilayah Indonesia akan berkurang karena menyusutnya
panjang pantai di seluruh Indonesia.
Adapun Kota-kota yang
diperkirakan terkena dampak Kenaikan Muka Air Laut dapat dilihat pada tabel
berikut 2. Dilihat dari segi
pengembangan ekonomi ancaman terendamnya sebagian dari dataran rendah
akibat Meningkatnya permukaan air laut
mengakibatkan mundurnya garis pantai (Pratiko, 2002). Apabila ditinjau panjang
garis pantai total yang dimiliki Indonesia adalah 81.000 km dan dengan
mengasumsikan bahwa genangan pantai rerata adalah satu meter, maka berarti
lahan pesisir termasuk pulau-pulau kecil yang hilang dalam 100 tahun mendatang
mencapai 405.000 Ha atau 4.050 Ha per tahun.
Tabel 2: Kota-Kota
Yang Diperkirakan Terkena Dampak Kenaikan Muka Air Laut Dan Banjir
NO |
PROPINSI
|
KOTA |
|||
PKN |
PKW |
PKL |
KOTA
PANTAI |
||
1 |
Naggroe Aceh |
|
Lhokseumawe |
|
|
2 |
Sumatra Utara |
|
|
Tebing Tinggi Lubuk Pakam |
Belawan |
3 |
Riau |
Batam |
|
Dumai |
Bagan Siapiapi Batam Tanjung Pinang |
4 |
DKI Jakarta |
Jakarta |
|
|
Jakarta |
5 |
Jawa Barat |
|
Bekasi Cirebon |
Tangerang |
Indramayu |
6 |
Jawa Tengah |
Semarang |
|
|
|
7 |
Jawa Timur |
Surabaya |
Bangkalan |
Lamongan Gresik Sidoarjo |
Surabaya |
8 |
Kal. Barat |
Pontianak |
|
|
Singkawang |
9 |
Kal. Tengah |
|
|
Sampit |
|
10 |
Sul.Selatan |
Makassar |
Pare-pare |
Sungguminasa Takalar Maros |
Parepare Sinjai |
Sumber:Review
RTRWN, Dep Kimpraswil 2002
Dilihat
dari segi perekonomian, ancaman ini akan berakibat sangat serius mengingat
sebagian besar kota besar di Indonesia berada di wilayah pesisir, yang
berfungsi menjadi lokasi permukiman, perdagangan, perhubungan, pengembangan
industri dan berbagai sektor lainnya. Diperkirakan 60% dari populasi penduduk
Indonesia, dan 80% dari lokasi industri berada di wilayah pesisir (Pratiko,
2002).
Di
Indonesia, Kenaikan muka air laut secara umum berdampak pada (BKTRN, 2002):
(1)
Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, yang disebabkan oleh
terjadinya pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah
hujan sangat tinggi. Kemungkinan lain adalah terjadinya backwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas
banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang dimana
80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk
Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi. Peningkatan
volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif apabila
kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi
pada kurun waktu yang bersamaan.
(2)
Perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove. Rusaknya
ekosistem mangrove, luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan
dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun hingga
2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993) telah terjadi
penurunan hutan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi maka : abrasi pantai
akan kerap terjadi tidak adanya penahan gelombang, pencemaran dari sungai ke
laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan dan zona budidaya aquaculture akan terancam dengan
sendirinya.
(3)
Meluasnya intrusi air laut, oleh diakibatkan terjadinya kenaikan
muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land
subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Contoh :
diperkirakan pada periode antar 2050 hingga 2070, intrusi air laut akan
mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta Utara.
(4)
Gangguan kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, diantaranya
adalah: (a) gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura
Jawa dan Timur-Selatan Sumatera; (b) genangan terhadap permukiman penduduk pada
kota-kota pesisir yang berada di wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur,
Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa kawasan
pesisir di Papua; (c) hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau,
kolam ikan, dan mangrove; (d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra
pangan, seperti DAS Citarum, Brantas, dan Saddang.
(5)
Berkurangnya luas daratan dan hilangnya pulau-pulau kecil,
tergantung dari tingginya kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi
kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad 21 lahan pesisir yang
hilang akan mencapai 202.500 ha (Diposaptono, S. 2002)
Sebagian
besar kota-kota penting Indonesia terletak di kawasan pantai, dengan
karakteristik laju pertumbuhan yang tinggi. Pertumbuhan kota-kota pantai di
akhir abad 20 yang cenderung mengabaikan daya dukung lingkungan di
sekelilingnya serta ancaman bencana yang berpotensi merusak. Meningkatnya
jumlah penduduk dan keterbatasan ruang yang layak dikembangkan menyebabkan
perluasan merambah lingkungan yang seharusnya dipertahankan sebagai penyangga,
antara lain yang berada di hulu, hilir, pantai dan perairan dengan pulau-pulau
didepannya (Hantoro, 2002).
Pembangunan
kota yang dilakukan pada kawasan pantai seperti yang diberikan di atas
mengakibatkan terjadinya banjir pada kawasan tersebut. Frekuensi tejadinya banjir,
serta tinggi dan lamanya genangan air di kota-kota tersebut sangat mempengaruhi
kerusakan fisik dan menimbulkan gangguan sosial bagi masyarakat kawasan
tersebut.
Perhatian
yang lebih besar perlu diberikan untuk kota-kota pantai yang memiliki peran
strategis bagi kawasan pesisir, yakni sebagai pusat pertumbuhan kawasan yang
memberikan pelayanan ekonomi, sosial, dan pemerintahan bagi kawasan tersebut.
Kota-kota pantai yang diperkirakan mengalami ancaman dari kenaikan muka air
laut dan banjir telah diberikan pada Tabel 2 di depan.
Dari data tersebut dapat
dilihat bahwa setidaknya akan ada 14 propinsi di Indonesia yang memiliki
kawasan dan kota yang akan terpengaruh langsung oleh dampak pemanas global.
Kawasan/kota tersebut sangat strategis dipandang dari kacamata nasional, karena memainkan
peranan penting bagi pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya. Kawasan/kota
tersebut juga merupakan domisili para nelayan tradisional yang dalam struktur
masyarakat Indonesia sangat rentan terhadap issue kemiskinan. Oleh karena itu,
perhatian terhadap pencegahan dampak/penyelamatan yang perlu diprioritaskan adalah kepada
kawasan/kota di 14 propinsi tersebut di atas, khususnya lagi yang memang
memainkan peranan strategis dalam perekonomian Indonesia dan lebih khusus lagi
kawasan permukiman nelayan (yang sering digambarkan secara umum: kumuh, becek,
dan tidak sehat). Dengan demikian perencanaan permukiman nelayan dan kota-kota
pantai harus sejak dini menghindari wilayah pengaruh dampak pemanasan global.
3.2 Besaran Gangguan Dampak Kenaikan Muka Air
Laut Pada Kegiatan Masyarakat
Hasil penelitian yang
pernah dilakukan terhadap beberapa kota pantai disajikan dalam bentuk matrik
pada Tabel 3 berikut:
|
Frekuensi, lama dan tinggi
Genangan
|
||||
Banjarmasin |
Jakarta |
Makassar |
Semarang |
Surabaya |
|
Frek.Genangan (kali/thn) |
7-12 |
3 |
6 |
80 |
7-12 |
Lama Genangan |
1–12 jam |
1–3 hari |
1–2 jam |
1 hari |
s/d 3 hari |
Tinggi Genangan (cm) |
50 |
100 |
50 |
50 |
70 |
Sumber: Kurdi, 2002
Dari
data yang ditunjukkan pada Tabel 3 ini dapat disimpulkan bahwa Semarang memiliki
frekuensi genangan tertinggi diantara kota-kota lainnya. Dengan lama genangan 1
hari maka Semarang mengalami genangan 80
hari dari 365 hari dalam 1 tahunnya. Berikutnya Surabaya dengan
frekuensi dan waktu genangan seperti yang ditunjukkan pada tabel di atas, maka dalam 1 tahun
Surabaya akan tergenang antara 21 hari sampai 36 hari.
Jakarta
akan tergenang antara 3 sampai 9 hari dalam 1 tahun. Banjarmasin akan tergenang
minimum 7 jam dan maksimum 124 jam, sedangkan Makassar akan tergenang antara 6
jam sampai 12 jam dalam satu tahun.
Dengan
tingginya frekuensi dan lamanya genangan yang terjadi di kawasan tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa Semarang memiliki resiko tertinggi atau memiliki dampak
terbesar akibat kenaikan muka air laut. Kemudian diikuti oleh Surabaya,
Jakarta, Banjarmasin, dan Makassar, secara berurutan.
Tabel
3 juga memberikan informasi bahwa tingginya genangan air di Jakarta dan
Surabaya, cukup merisaukan. Tingginya genangan yang terjadi akibat kenaikan
muka air laut dan banjir yang dialami oleh kedua kota ini menyatakan bahwa,
muara sungai di Jakarta dan Surabaya mempunyai tingkat sedimentasi yang tinggi,
sehingga pada saat kenaikan muka air laut dan hujan daya tampung sungai
terlampaui oleh besarnya debit air.
Dengan
tingginya frekuensi dan waktu genangan seperti yang diberikan oleh tabel
diatas, maka genangan yang terjadi akan mempengaruhi kegiatan masyarakat.
Kegiatan rutin masyarakat seperti pekerjaan rutin di rumah, kegiatan produksi,
serta kegiatan lain akan terganggu akibat genangan tersebut (lihat Tabel 4).
Tingginya
frekuensi terjadinya genangan menyebabkan terhentinya kegiatan rumah tangga di
kota Semarang, sedangkan Makassar
kegiatan rumah tangga masih dapat berjalan namun tingkat gangguan genangan
sudah sangat besar. Di kota-kota lain kegiatan tersebut masih dapat berjalan.
Pada
kegiatan produksi, Jakarta merupakan kota yang sangat terpukul akibat tingginya
frekuensi terjadinya genangan, yang diikuti oleh Semarang, dan Makassar.
Sekalipun Surabaya memiliki frekuensi terjadinya genangan cukup tinggi, namun
kegiatan produksi tidak mengalami gangguan yang berarti. Hal ini mungkin
disebabkan oleh daya adaptasi masyarakat Surabaya terhadap kejadian genangan
ini cukup baik.
Kecuali
Jakarta dan Makassar, semua masyarakat pada kota-kota yang diamati terganggu
kegiatan tidurnya. Hal ini mungkin terjadi karena masyarakat Jakarta dan
Makassar sudah terlebih dahulu mengantisipasi akan terjadinya banjir,
dibandingkan kota lainnya. Atau dapat pula terjadi, bahwa terjadinya kenaikan
muka air laut dan banjir bersamaan waktunya, dengan tingkat curah hujan yang
tinggi, sehingga masyarakat kota Semarang, Surabaya, dan Banjarmasin tidak
dapat melakukan kegiatan preventif.
Interaksi
sosial di Semarang tidak dapat terlaksana sama sekali, sedangkan di Banjarmasin
akibat genangan ini sangat mengganggu. Untuk kota-kota lainnya kegiatan
interaksi sosial masih dapat berjalan, sekalipun tidak dapat terlaksana secara
keseluruhan.
Kecuali
Surabaya, kegiatan ibadah pada kota-kota tersebut sangat terganggu, malah di
Jakarta kegiatan ini sama sekali tidak dapat dilaksanakan. Sedangkan kegiatan
bermain di Jakarta dan Banjarmasin mengalami gangguan yang paling akibat
tergenangnya wilayah permukiman tersebut. Semarang, Surabaya, dan Makassar merupakan
kota-kota yang sangat terganggu kegiatan bermainnya akibat terjadinya genangan.
Tabel 4: Hubungan
Antara Frekuensi Genangan Dengan Kegiatan Sosial Masyarakat
Jenis Kegiatan
|
Frekuensi Genangan per tahun
|
||||
Banjarmasin |
Jakarta |
Makassar |
Semarang |
Surabaya |
|
f =
7-12 |
f = 3 |
f = 6 |
f = 80 |
f =
7-12 |
|
Pekerjaan rumah |
|
|
|
|
|
Masak |
8,4 |
22,2 |
80 |
100 |
24,4 |
Makan |
20,4 |
26,7 |
52 |
100 |
24,4 |
Minum |
3,6 |
24,4 |
52 |
100 |
15,6 |
Mencuci |
20,4 |
24,4 |
56 |
100 |
24,4 |
Kegiatan produksi |
|
||||
Bekerja |
23 |
100 |
65 |
77,1 |
15,6 |
Belajar |
0 |
91,1 |
70 |
80 |
11,1 |
Kegiatan Non Kurikuler |
|
||||
Tidur |
100 |
24,4 |
43 |
100 |
100 |
Interaksi sosial |
77,8 |
22,2 |
22,2 |
100 |
22,2 |
Beribadah |
86,7 |
100 |
52 |
85,1 |
13,3 |
Bermain |
22,2 |
15,6 |
47 |
97,3 |
95,7 |
Sumber: Kurdi, 2002
3.3 Adaptasi Terhadap Dampak Pemanasan Global
Secara
umum beberapa kerugian kawasan pantai akibat kenaikan muka air laut telah diidentifikasi
di bagian sebelumnya. Di sini akan ditambahkan kerugian bangunan rumah di
pantai akibat kenaikan muka air laut (Wuryani, 2002). Kerugian bangunan rumah
akibat kenaikan muka air laut dapat ditinjau berdasarkan fungsi fisik bangunan
rumah dan kerugian akibat hilangnya biaya investasi rumah, kedua jenis kerugian
ini selanjutnya dapat diakumulasikan terhadap kerugian total yang terjadi pada
suatu kawasan tertentu. Dalam perhitungan kerugian akibat kenaikan muka air
laut, walaupun fenomenanya tidak sama seperti kerugian yang diakibatkan oleh
banjir, tetapi jenis-jenis kerusakan maupun kerugian yang ditimbulkannya adalah
sama.
Dari
penelitian yang telah dilakukan oleh Wuryani tersebut dapat dikemukakan bahwa kerugian
fisik maupun kerugian biaya yang ditimbulkan akibat genangan air dapat
diminimumkan bila masyarakat dapat menyesuaikan diri dengan perubahan alam yang
terjadi, seperti pembuatan tanggul pada pintu masuk maupun meninggik1an lantai
dapat mengurangi tingkat kerugian yang ditimbulkan.
Selanjutnya,
kerugian biaya investasi yang terjadi dari hasil survey di Surabaya adalah
berkisar dari 2,3% sampai 38% dari total nilai bangunan standar. Sementara
kerugian fungsi fisik bangunan adalah 8,87% sampai 21,44% dari fungsi fisik
bangunan secara utuh. Besarnya prosentasi ini sangat tergantung pada adaptasi
yang dilakukan oleh masing-masing penghuni. Kerugian yang terjadi di kota Semarang jauh melebihi
kerugian yang terjadi di Surabaya. Hal ini karena terjadi rob di Semarang
semakin menambah parah kerusakan fisik bangunan akibat terjadinya settlement
yang berlebihan pada pondasi dan lantai.
Sekalipun
kerugian yang dialami oleh masyarakat setempat, tidak semua penduduk
berkeinginan untuk pindah ke tempat baru. Untuk itu dibutuhkan adaptasi yang
dilakukan oleh penduduk yang memutuskan untuk menetap di kawasan tempat mereka
tinggal walaupun terganggu banjir. Adaptasi ini dilakukan dengan 2 cara, yaitu
dengan merubah lingkungannya atau merubah dirinya untuk beradaptasi dengan
lingkungannya. Hal ini dilakukan dengan perlakuan fisik yang dilakukan oleh
pemilik bangunan dan perlakuan kawasan yang dilakukan oleh pemerintah setempat.
Kemampuan
lingkungan kota pantai dalam mendukung kehidupan penduduknya akan terpengaruh
apabila sebagian wilayahnya tergenang. Hal tersebut dikarenakan perumahan dan
prasarana dan sarana fasilitas perekonomian kota lainnya tidak dapat berfungsi
sebagaimana yang direncanakan (Pamekas, 2002).
Hasil
penelitian terhadap daya dukung pasca kenaikan muka air, terhadap upaya
adaptasi yang dilakukan dapat dikemukan beberapa hal berikut:
1.
Daya dukung di semua kota studi menurun akibat genangan pasang
naik yang disertai hujan dalam kota. Daya dukung lingkungan semakin menurun
apabila terjadi kenaikan muka air yang bersamaan waktunya dengan hujan dalam
kota dan pasang naik. Pengaruh upaya adaptasi terhadap perubahan fisik tidak
sama dari kota ke kota, sehingga kondisi adaptasi optimum tidak selalu identik
dengan besarnya upaya adaptasi.
2.
Adaptasi yang telah dilakukan masyarakat dan pemerintah
berpengaruh terhadap peningkatan daya dukung lingkungan di semua kota studi.
3.
Apabila ditingkatkan adaptasi masyarakat terhadap kemungkinan
naiknya muka air laut dinilai melalui bantuan pemerintah seperti membangun
sistem drainase ataupun pemecah gelombang, ternyata nilai daya dukung kota
Banjarmasin dan kota Semarang tidak mengalami peningkatan, bahkan cenderung
menurun. Hal ini berarti bahwa kondisi daya dukung yang optimum untuk kedua
kota tersebut telah tercapai pada upaya adaptasi tingkat sebelumnya. Namun daya
dukung kota Makassar mengalami peningkatan yang lebih tinggi dari pada
sebelumnya.
4.
Apabila upaya adaptasi ditingkatkan lagi dengan melibatkan swasta
dan stakeholder dengan memasukkan kegiatan penataan kembali kawasan
pantai, ternyata daya dukung yang diperoleh tercapai apabila ada upaya yang
lebih komprehensif dan dan disertai dukungan teknologi yang memadai.
Yang
menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah upaya adaptasi yang selama ini
dilakukan masyarakat ini merupakan upaya yang memadai untuk menghadapi dampak
pemanasan global seabad mendatang. Berdasarkan gambaran dampak yang telah
disajikan di depan dan juga keadaan sebagian besar kawasan pesisir yang
berpotensi menerima dampak besar, tampaknya adaptasi konvensional yang
dilakukan oleh masyarakat tidak akan memadai untuk menghindari diri dari
kenaikan muka air. Alasan mengapa
demikian adalah sebagian besar daya dukung kota sudah melewati titik optimumnya untuk dapat menyelamatkan
masyarakat dan lingkungannya dari pengaruh kenaikan muka air laut. Ini dapat
ditunjukkan dengan telah banyaknya konflik di kawasan pesisir sebagai cermin
dari kompetisi penggunaan tanah yang berakibat kepada marginalisasi penghuni
pantai lama oleh berbagai kegiatan ekonomi baru, kejadian banjir yang semakin lama semakin
meluas, sering, dan memakan waktu semakin lama.
Dengan
demikian antisipasi yang diperlukan untuk menghadapi dampak pemanasan global
ini adalah sesuatu yang bersifat
komprehensif-sistemik, semisal melakukan perencanaan pengelolaan lingkungan
kawasan pantai secara komprehensif.
IV. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pemanasan
global merupakan fenomena alam yang disebabkan oleh meningkatnya gas rumah kaca
(GRK) dan menipisnya lapisan ozon di atmosfir. Dari pembahasan yang telah dilakukan sebelumnya terlihat bahwa pemanasan global ini diperkirakan akan
berdampak kepada hampir semua aspek kehidupan manusia di Indonesia, yaitu
terutama: hilangnya 2.000-4.000 pulau, berkurangnya garis pantai, berkurangnya
daya dukung kota/wilayah di 14 propinsi, meningkatnya kejadian dan lamanya
banjir, berkurangnya lahan untuk kegiatan ekonomi-sosial (termasuk permukiman,
pelabuhan), dan berkurangnya fungsi perlindungan pantai (hutan bakau, bangunan
penahan gelombang).
Dari hasil penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia, terbukti bahwa hampir semua kota pesisir yang diteliti terkena dampak kenaikan muka air laut, yaitu misalnya: Jakarta (utamanya akibat meningkatnya sedimentasi dan intrusi air laut serta menurunnya kualitas air), Semarang (dampak pasang surut, abrasi, akresi, dan erosi), Surabaya, dan Banjarmasin.
Kerugian yang diderita oleh bangunan rumah pantai akibat kenaikan muka air laut dapat berupa hilangnya fungsi fisik dan investasi rumah. Bila dampak kenaikan muka air kecil, maka kerugian dapat dicegah dengan melakukan adaptasi terhadap perubahan alam yang berlangsung lambat tersebut dengan cara, misalnya, pembuatan tanggul dan peninggian lantai dasar bangunan
Adaptasi terhadap perubahan iklim bisa menjadi lebih sulit, karena terjadinya resiko berlangsung secara pelan-pelan dan kurang kasat mata. Kota-kota pantai dan pusat konsentrasi penduduk tampaknya perlu melakukan investasi pada bangunan pelindung dan melakukan relokasi hunian dan fasilitas publik penting secara terencana. Prioritas adaptasi harus diberikan kepada area terbangun dan prasarana yang memerlukan perhatian, semisal permukiman informal yang rentan dan sistem saluran drainase dan sanitasi.
4.2 Rekomendasi
Menyadari bahwa penyebab pemanasan global harus
dicegah secara bersama-sama oleh seluruh negara dan warga dunia dan Indonesia
sendiri memiliki kewajiban terhadap perlindungan masyarakat, maka
direkomendasikan hal-hal berikut:
Penanganan
skala makro-global
Mendorong Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi kesepakatan-kesepakatan internasional seperti
Kyoto Protokol serta melaksanakan CDM (makro-global). Dengan meratifikasi
Protokol Kyoto, selain Indonesia mempunyai kewajiban untuk mencegah
bertambahnya pemanasan global, Indonesia
juga dapat memanfaatkan bantuan internasional yang dapat dimanfaatkan bagi
perbaikan lahan di hulu sehingga mengurangi terjadinya erosi.
Penanganan
skala mikro-lokal
·
Melakukan penanganan khusus, dalam bentuk
penyelamatan kepada kawasan/kota di 14 propinsi dengan misalnya menerapkan
garis pantai aman bencana global tahun 2100, dengan sedini mungkin melakukan
penataan terhadap permukiman pantai,
khususnya nelayan dan warga miskin.
·
Melakukan perencanaan pengelolaan lingkungan
regional yang komprehensif yang diikuti oleh law enforcement,
DAFTAR PUSTAKA
Akil, S, Antisipasi Dampak Pemanasan Global dari
Aspek Teknis Penataan Ruang, 12-13 Maret 2002, Bandung.
Badan
Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN), Pengaruh
Global Warming Terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau kecil: Ditinjau Dari Kenaikan
Permukaan Air laut dan Banjir, Proceeding Seminar Nasional, Jakarta, 30-31
oktober 2002
Catatan
Kuliah Perubahan Lingkungan Global, 2004
Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah, Rencana
Induk Penanganan Masalah Banjir DKI Jakarta dan Sekitarnya, Ringkasan, Juli
2002
Hantoro,
W.S., Pengaruh Karakteristik Laut dan
Pantai terhadap Perkembangan Kawasan Kota Pantai, 12-13 Maret 2002,
Bandung.
Irianto,
Gatot, PhD, Banjir dan Kekeringan:
Penyebab, Antisipasi dan Solusinya, Oktober 2003, Bogor, CV. Universal
Pustaka Media.
Kurdi,
S.T, Dampak Kenaikan Muka Air Laut
Terhadap Kawasan Permukiman, Seminar Nasional Pengaruh Global Warming
terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau kecil ditinjau dari kenaikan Permukaan Air Laut
dan Banjir, 30-31 Oktober 2002, Jakarta.
________,
Identifikasi Kerugian Kawasan Pantai
Akibat Kenaikan Muka Air Laut, 12-13 Maret 2002, Bandung.
Kwik Kian
Gie, Pengaruh Pemanasan Global terhadap
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Seminar Nasional Pengaruh Global Warming
terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau kecil ditinjau dari kenaikan Permukaan Air
Laut dan Banjir, 30-31 Oktober 2002, Jakarta.
Pamekas,
R, Dampak Perubahan Fisik Kawasan
Terhadap Daya Dukung Lingkungan Permukiman Kota Pantai, 12-13 Maret 2002, Bandung.
Pratikto,W.A,Tinjauan Dampak Global Warming Terhadap
Lingkungan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia, 12-13 Maret 2002,
Bandung.
Soehoed
A.R., Banjir Ibukota: Tinjauan Historis
& Pandangan Kedepan, 2002, Penerbit Djambatan, Jakarta
Soemarwoto,
O, Ekologi, Lingkungan Hidup dan
Pembangunan, Djambatan, 2001, Jakarta.
Wuryani,
W., Identifikasi Kerugian Bangunan Rumah
di Pantai Akibat Kenaikan Muka Air Laut, 12-13 Maret 2002, Bandung.
World
Bank. World Development Report: Sustainable Development in a Dynamic World: Transforming Institution,
Growth, and Quality of Life. Washington, D.C: Oxford Univesity Press, 2003