© 2004 Sekolah Pasca Sarjana IPB Posted 31 March 2004
Makalah Kelompok 2
Pengantar ke Falsafah Sains (PPS702)
Sekolah Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Maret 2004
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng
PENGELOLAAN SAMPAH DKI JAKARTA (DKIJ):
ANTARA PERENCANAAN DAN PELAKSANAAN
Oleh :
Kelompok 2/PSL
Alex
Abdi Chalik - Nrp
: P - 062034084
Djoko
Wijanto - Nrp :
P - 062034234
Kemas
Fachrudin - Nrp :
P - 062034254
Lina
Warlina - Nrp :
P - 062034034
Raymond Marpaung - Nrp : P - 062034064
Sri Listyarini - Nrp :
P – 062034024
listyarini@mail.ut.ac.id
Abstrak:
Sebagaimana kota metropolitan lainnya
DKI Jakarta mengalami berbagai masalah dalam pengelolaan sampah. Salah satu
permasalahan yang ditemukenali adalah adanya inkosistensi pemerintah DKIJ dalam
mengimplementasikan pelaksanaan dan kebijakan yang telah dirumuskan Makalah ini
mengevaluasi hal tersebut dari aspek
kebijakan dan peraturan perundangan, aspek institusional, aspek teknis dan
operasional, keuangan, dan partisipasi masyarakat.
Jakarta sebagai Kota Pusat Pemerintahan Negara Republik Indonesia merupakan kota dengan jumlah penduduk terbesar diantara kota-kota metropolitan di seluruh Indonesia. Pengaturan Kota Jakarta secara khusus diatur dalam UU NO. 34 / 1999 tentang Pemerintahan Propinsi Daerah khusus Ibukota Negara Republik Indonesia dimana berdasarkan UU tersebut DKIJ merupakan satu-satunya daerah otonomi tingkat Propinsi yang bagian-bagian wilayahnya tidak mempunyai otonomi di dalam mengurus wilayahnya kecuali hanya administrasi saja.
Sebagai Ibu Kota Negara dan dalam usaha menghadapi persaingan dengan kota-kota lain di dunia, pemerintah Daerah DKIJ menetapkan sebuah visi Pembangunan Kota Jakarta tahun 1998 – 2002 yaitu “ Terwujudnya Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia yang sejajar dengan kota-kota Negara maju, dihuni oleh masyarakat yang sejahtera dan berbudaya dalam lingkungan kehidupan yang berkelanjutan “ sedangkan misi yang diemban adalah : “ Membangun Jakarta yang berbasis pada masyarakat (Community Base Development : CBD), mengembangkan lingkungan kehidupan perkotaan yang berkelanjutan (Sustainable Development), mengembangkan Jakarta sebagai kota jasa (service city) skala nasional dan internasional.
Perkembangan kota Jakarta, yang dilandasi
dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang begitu pesat menimbulkan berbagai
persoalan seperti sosial, politik dan ekonomi serta lingkungan. Salah satu
faktor dominan di dalam persoalan-persoalan tersebut adalah pertumbuhan
penduduk DKIJ yang begitu pesat akibat urbanisasi yang berdasarkan data dari
Badan Pusat Statistik (2000) pertumbuhan rata-rata penduduk Jakarta sebesar
2,24% per tahun. Jika dalam tahun 1990 penduduk Jakarta baru mencapai 8.2 juta
jiwa maka pada tahun 1999 penduduknya telah berkembang menjadi 9,9 juta jiwa,
dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 200 orang / Ha. Jumlah penduduk dan
tingkat kepadatan yang begitu besar menimbulkan permasalahan-permasalahan di
dalam penanganan pemenuhan prasarana dan sarana dasar perkotaan, dimana
penyediaan prasarana dan sarana perkotaan yang saat ini disediakan (supply), masih jauh dari kebutuhan nyata
(demand) yang diperlukan masyarakat.
Di samping itu pertumbuhan dan
perkembangan wilayah Jakarta dengan segala aktifitas dan kegiatan
masyarakatnya, menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan. Salah satu
persolalan yang dihadapi oleh pemerintah DKIJ adalah masalah pengelolaan
sampah, disamping biaya operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana yang
begitu besar juga pada akhir-akhir ini pemerintah DKIJ menghadapi komplain dari
masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar wilayah Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
sampah Bantargebang yang menimbulkan
dampak pencemaran lingkungan.
Berdasarkan latar belakang yang telah
dikemukakan di atas, maka timbul pertanyaan sampai sejauh mana ketidaksesuaian
antara perencanaan terhadap pelaksanaan dan kebijakan pengelolaan sampah di
DKIJ. Ketidak konsistenan ini menimbulkan berbagai dampak negatif baik langsung
maupun tidak langsung.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk
memaparkan adanya ketidak konsistenan kebijakan maupun perencanaan pengelolaan
sampah DKIJ terhadap pelaksanaannya.
Dampak negatif akibat ketidak konsistenan kebijakan ini juga akan dibahas,
terakhir diberikan kesimpulan dan saran bagi pengelolaan sampah di DKIJ untuk
masa yang akan datang.
2.1. Sampah dan Dampak Pencemarannya
Sampah
adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang berwujud padat baik berupa zat
organik maupun anorganik yang bersifat dapat terurai maupun tidak terurai dan
dianggap sudah tidak berguna lagi sehingga dibuang ke lingkungan (Menteri
Negara lingkungan Hidup, 2003). Segala macam organisme yang ada di alam ini
selalu menghasilkan sampah atau bahan buangan. Sebagian besar sampah yang
dihasilkan oleh organisme yang ada di alam ini bersifat organik, kecuali sampah
yang berasal dari aktifitas manusia yang dapat bersifat organik maupun
anorganik. Contoh sampah organik adalah: sisa-sisa bahan makanan yang berasal
dari tumbuhan atau hewan, kertas, kayu, bambu, dan lain-lain. Sedangkan sampah anorganik misalnya plastik,
logam, gelas, dan karet.
Tidak ada organisme di alam ini yang
menghasilkan sampah sebanyak manusia. Ditinjau dari kepentingan kelestarian
lingkungan, sampah yang bersifat organik lebih menguntungkan karena dengan
mudah dapat didegradasi atau dipecah oleh mikroorganisme, menjadi bahan yang
mudah menyatu dengan alam tanpa menimbulkan pencemaran pada lingkungan.
Sebaliknya sampah anorganik relatif sukar didegradasi.
Pencemaran daratan umumnya berasal dari
limbah berbentuk padat yang dikumpulkan
pada suatu tempat penampungan yang disebut dengan Tempat Pembuangan
Akhir (TPA) atau Dump Station. Bahan
buangan padat ini terdiri dari berbagai macam komponen baik yang bersifat
organik ataupun anorganik. Bahan buangan padat kota besar berbeda dengan bahan
buangan kota kecil ataupun daerah industri. Sebaiknya pewadahan sampah
dilakukan pemilahan-pemilahan berdasarkan sifat dan jenisnya untuk macam
buangan organik dan anorganik. Ini dapat
bermanfaat untuk membantu proses daur ulang bahan buangan sehingga menjadi
bermanfaat.
Penempatan TPA harus menghindari timbulnya
dampak lingkungan. Oleh karena itu, agar dipertimbangkan pula kemungkinan
dampaknya. Namun dalam kenyataannya, sering terjadi TPA tersebut menimbulkan
permasalahan dengan masyarakat sekitarnya seperti kasus TPA Bantargebang
ataupun TPA di kota-kota metropolitan lainnya. Untuk itu perlu diketahui dampak
pencemaran sampah yang dapat dibagi dua yaitu dampak langsung dan tidak
langsung.
Dampak pencemaran sampah yang secara
langsung dirasakan oleh manusia adalah pembuangan limbah padat organik yang
berasal dari kegiatan rumah tangga dan juga kegiatan industri olahan bahan
makanan. Limbah padat organik yang didegradasi oleh mikroorganisme dalam
kondisi anaerobik akan menimbulkan bau yang tidak sedap (busuk) akibat
penguraian limbah menjadi bagian-bagian yang kecil disertai dengan pelepasan
gas. Limbah organik yang mengandung protein akan lebih banyak menghasilkan bau yang lebih tidak sedap lagi,
karena protein yang mengandung gugus amin akan terurai menjadi gas ammonia.
Dampak langsung lain adalah adanya timbunan limbah padat dalam jumlah besar
yang akan menimbulkan pemandangan yang tidak sedap, kotor dan kumuh. Kesan
kotor ini secara psikis akan mempengaruhi penduduk di sekitar TPA tersebut.
Untuk
mengatasi bau busuk dan timbunan sampah ini, Jepang telah memanfaatkan
teknologi baru dalam pengolahan sampah yaitu dengan memanfaatkan natural zeolite. Teknologi ini dapat
menghilangkan bau dan menyusutkan volume sampai dengan 70% (Media Indonesia,
2002).
Dampak tak langsung akibat pencemaran sampah
adalah dampak yang dirasakan oleh manusia melalui media lain yang ditimbulkan
akibat pencemaran tersebut. Jadi media lain inilah yang merupakan dampak
langsung pencemaran yang selanjutnya memberikan dampaknya pada manusia. Sebagai
contoh dampak tak langsung dari tempat pembuangan sampah, baik tempat
penimbunan sementara maupun tempat pembuangan akhir, akan menjadi pusat
berkembang biaknya tikus dan serangga yang merugikan manusia, seperti lalat dan
nyamuk. Tempat pembuangan sampah merupakan tempat yang kumuh namun menyediakan
makanan yang cukup bagi perkembangan tikus, yang berupa limbah organik terutama
sisa-sisa makanan yang dibuang ke tempat itu. Ruang yang ada dicelah-celah
sampah dapat berupa ban, kaleng bekas, kardus, dan lain-lain merupakan tempat
yang ideal bagi persembunyian dan perkembangbiakan tikus (Wardhana, 1995).
Akibat banyaknya tikus di areal TPA akan menyebabkan timbulnya penykit pes.
Lalat pada umumnya berkembangbiak pada
sampah organik, terutama pada sampah yang banyak mengandung protein, seperti
sisa makanan. Proses degradasi sampah organik menimbulkan panas yang dapat
dipakai untuk menetaskan telur-telur lalat (Wardhana, 1995). Banyaknya lalat di
TPA akan menyebarkan penyakit desentri
dan kaki gajah.
2.2. Pengelolaan Sampah
Ada
tiga kemungkinan pengelolaan sampah, yaitu dikubur, dibakar, dan sanitary landfill. Sistem dikubur yaitu
dengan membuat galian pada kedalaman tertentu lalu diberi penadah plastik dan
diisi tanah setinggi 0,5 (setengah) meter. Resiko dari sistem ini adalah hancurnya
plastik oleh pelarut kimia (Noriko, 2003).
Sistem pembakaran dengan incenerator pada suhu 1100 oC.
Lama pembakaran, suhu dan pencampuran oksigen yang tepat dapat menghancurkan
99% sampah. Asap yang terbentuk diolah lebih dahulu sebelum dibuang ke udara.
Resiko sistem pembakaran yang tidak mencapai tingkat suhu tersebut adalah
timbulnya dioksin yang sangat beracun dan menimbulkan berbagai jenis kanker.
Sistem sanitary
landfill adalah metode pembuangan akhir sampah dengan metode tertentu
sehingga tidak menimbulkan pencemaran dan membahayaakan kesehatan. Sistem ini
membuang dan menumpuk sampah pada suatu lokasi yang cekung, memadatkan sampah
tersebut kemudian menutupnya dengan tanah. Metode ini dapat menghilangkan
polusi udara, sedangkan polusi di tanah dan air dapat diminimalisir dengan
meletakan lapisan geotextile untuk
menjegah meresapnya air lindi ke air tanah. Gambar di bawah ini memperlihatkan
proses sanitary landfill yang
terletak di atas air tanah dan
menimbulkan kontaminasi air tanah.
Gambar 1. Proses sanitary landfill yang terletak di atas air tanah
Sumber: Kompas, 10 Januari 2004
3.1. Kebijakan Pengelolaan Sampah di DKIJ
Dalam usaha melakukan penglolaan sampah yang memperhatikan aspek lingkungan pemerintah daerah DKIJ menetapkan kebijakan penglolaan sampah yang dituangkan dalam Peraturan Daerah DKIJ Nomor 6 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2010 yang mengemukakan pokok-pokok pengelolaan persampahan DKIJ sebagai berikut :
a.
Pengembangan
prasarana persampahan diarahkan untuk meminimalkan volume sampah dan
pengembangan prasarana pengolahan sampah dengan teknologi yang berwawasan
lingkungan hidup.
b.
Pengembangan
prasarana persampahan ditujukan untuk mencapai tingkat penanganan 90% dari
total sampah, yang dilakukan baik pada sumbernya, proses pengangkutannya maupun
pengolahannya di TPA.
c.
Pengelolaan
prasarana sampah dilakukan dengan teknologi tepat guna untuk meningkatkan
efisiensi dan mengoptimalkan pemanfaatan prasarana sampah.
d.
Pengembangan
prasarana sampah bahan berbahaya dan beracun (B3) serta pengelolaannya
dilakukan dengan teknologi yang tepat.
Dalam pasal 71 mengenai pengembangan prasarana dan
sarana persampahan di masing-masing kotamadya secara keseluruhan ditetapkan
sebagai berikut :
a.
Pengembangan
penggunaan teknologi pengelolaan sampah, diantaranya penggunaan incinerator
yang ditempatkan pada kawasan permukiman padat di sisi bantaran sungai yang
belum sepenuhnya terlayani.
b. Pengadaan lokasi penampungan sementara pada setiap kelurahan.
c.
Peningkatan
peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah dengan penerapan konsep 3
R (Reduce,
Reused dan Recycling).
d.
Peningkatan
kapasitas transfer station di Sunter
dan pembangunan transfer station di
Pluit, Sunter Utara dan Cilincing.
e.
Penampungan
sampah /limbah di perairan laut.
f.
Pembangunan
transfer station di bagian selatan
jalan lingkar luar.
g.
Peningakatn
kapasitas transfer station di Cakung
dan pembangunan transfer station di
bagian selatan lingkar luar.
Sebelum ditetapkannya Perda No. 6 / 97
ini, pada tahun 1986 Pemerintah DKIJ
telah menyusun suatu Rencana Induk pengelolaan Sampah DKI dengan maksud :
Di dalam kajian ini ditetapkan kebijakan untuk membangun 2 (dua) lokasi sanitary landfill yang terletak di luar
wilayah DKIJ yaitu: TPA Bantargebang di Kotamadya Bekasi yang dibangun pada
tahun 1990 dan TPA Ciangir di Kabupaten Tangerang yang direncanakan dibangun
pada tahun 1993, dimana Bantargebang akan melayani buangan sampah dari wilayah
Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, dan Kota Bekasi. Sedangkan TPA
Ciangir akan melayani buangan sampah dari wilayah Jakarta Selatan, Jakarta
Barat, dan Kota Tangerang.
Rencana jumlah sampah dan tempat
pembuangan sampai dengan tahun 2005 adalah sebagaimana tabel 1 berikut :
Tabel
1. Rencana jumlah sampah dan Tempat Pembuangan Akhir
Tahun |
TPA Bantargebang |
TPA Ciangir |
Dibuang di dalam Kota |
Total (ton / hari) |
1988 1990 1995 2000 2005 |
- 3.430 4.165 4.960 6.050 |
- - 3.525 4.320 5.380 |
5700 2730 - - - |
5700 6160 7.690 9.250 11.430 |
Sumber : JICA, 1987
Sedangkan proyeksi timbulan Sampah DKIJ
sebagaimana ditunjukkan pada tabel 2 berikut :
Tabel 2. Proyeksi timbulan Sampah DKIJ
Wilayah |
Timbulan Sampah (ton / hari) |
||
1985 |
1995 |
2005 |
|
Jakarta
Pusat Jakarta
Utara Jakarta
Barat Jakarta Selatan |
1.050 770 930 1.110 |
1.360 1.120 1.420 1.770 |
1.830 1.530 2.070 2.410 |
Jumlah DKIJ |
4.930 |
7.360 |
10.120 |
Sumber : JICA, 1987
3.2. Kondisi Saat ini dan Permasalahannya
3.2.1.
Penanganan Sampah DKIJ
Secara garis besar alur penanganan sampah di DKIJ sejak dari sumber sampah sampai ke TPA dapat dilihat pada bagan berikut :
Gambar 2. Alur penanganan sampah DKI
Jakarta
Sumber sampah:
B - 3
Sedangkan penanggung jawab dari jenis sampah dapat
dilihat pada tabel berikut :
Tabel 3. Institusi Penanggung Jawab Sesuai
dengan Sumber Sampah
SUMBER SAMPAH |
Pengumpulan Awal |
Transportasi |
Pengolahan dan Pembuangan |
Instansi yang memutuskan (bertanggung jawab) |
Sampah Domestik (R. Tangga) |
RT / RW RT / RW |
Dinas K Dinas K RW |
Dinas K Dinas K Tempat Pemb. Sendiri |
Dinas K |
Sampah Pasar |
Dinas K PD. Pasar |
Dinas K PD. Pasar |
Dinas K Dinas K |
Dinas K P.D. Pasar |
Sampah Komersial |
Dinas K Pengumpulan Sendiri Persh Swasta |
Dinas K Diangkut Sendiri Persh Swasta |
Dinas K Dinas K Dinas K |
Dinas K |
Sampah Industri |
Dinas K Pengumpulan sendiri |
Dinas K Diangkat Sendiri |
Dinas
K Dinas
K Pembuangan
sendiri Pembuangan sendiri di tempat |
Dinas K Masing-masing
pabrik |
Sampah Saluran/Sungai |
DPU |
DPU |
Dinas K |
DPU |
Sampah Taman Kota |
Dinas Pertamanan |
Dinas Pertamanan |
Dinas K |
Dinas Pertamanan |
sumber : JICA, 1987
Komposisi sampah yang dibuang ke TPA Bantargebang berdasarkan data dari Dinas Kebersihan DKI (1999) terdiri dari sampah Organik 65,05% dan Sampah Non Organik 34,95%.
3.2.2. Permasalahan
Dalam Pengelolaan Sampah DKIJ
Pengelolaan sampah di DKIJ saat ini menghadapi berbagai persoalan, mulai dari aspek teknis, operasional, institusi, keuangan, peraturan perundangan serta partisipasi masyarakat, secara ringkas masalah indikasi dan penyebabnya dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Persoalan Pengelolaan Sampah di
DKIJ
ASPEK |
PERMASALAHAN |
PENYEBAB |
UMUM |
1. Masih timbulnya pengotoran lingkunagn dan masalah estetika. 2.
Masih
ada sampah yang belum tertampung di beberapa tempat. |
1.
Tidak memadainya pengumpulan dan
pelayanan pembangunan sampah. 2.
Kerjasama / peran Swasta masyarakat
masih rendah. |
ASPEK TEKNIS |
Pengumpulan di
pengumpulan sampah belum memadai Penyapuan jalan
Masih terlihat
kurang memuaskannya penyapuan jalan Tempat Pembuangan Akhir
Cara pembuangan dan pegolahan
sampah tidak sesuai dengan kaidah Sanitary Landfill |
1.
Kurang efisien dalam pengumpulan,
masih terlihat gerobak dan TPS-TPS kosong. 2.
Kurangnya
peralatan pengumpul. 3.
System Pengumpulan yang dilakukan oleh
berbagai pihak cenderung tidak effisien 1.
Kurangnya
petugas. 2.
Tidak effisiennya cara penyapuan
jalan. 1.
Kurangnya pemahaman petugas dalam
melakukan pengelohan secara Sanitary Landfill. 2.
Kurangnya
biaya operasional 3.
Kurangnya
tenaga teknis. 4.
Kurangnya
alat berat |
ASPEK OPERASIONAL INSTITUSI KEUANGAN PERATURAN PERUNDANGAN PARTISIPASI MASYARAKAT |
Pengumpulan
1.
Jumlah pengumpulan sampah yang dilakukan
oleh truk pengangkut rendah. 2. Rendahnya frekuensi pengangkutan Penyapuan Jalan
Waktu yang
pendek dan produksifitasnya rendah Tempat Pembuangan Akhir
1.
Tidak adanya kontrol terhadap jumlah
sampah di TPA. 2.
Pembongkaran sampah di TPA memakan
waktu yang lama. Organisasi
1.
Suku Dinas tidak mampu mengatasi
persoalan sampah di wilayahnya (5 suku Dinas). 2.
Struktur Suku Dinas yang kurang
memadai. Personil
1. Kurangnya pekerja. 2. Kapasitas pekerja yang rendah 3. Kekurangan tenaga teknis Sumber 1.
Biaya Investasi yang kurang memadai
untuk peralatan dan fasilitas. 2. Retribusi Rendahnya pengumpulan retribusi. Peraturan Tidak memadainya peraturan
perundangan mengenai aktivitas sektor swasta dan pembuangan sampah. Kurangnya partisipasi
masyarakat dalam pembuangan dan penyapuan sampah. |
1.
Waktu tempuh yang panjang yang
diakibatkan jarak yang jauh serta kemacetan. 2.
Kurang memadainya kontrol jam kerja. 3.
Kurangnya kontrol penimbangan sampah
yang dikumpulkan. 4.
Kurangnya
pemeliharaan kendaraan. 5.
Jangaka
waktu pemeliharaan kendaraan yang telah lama. 1.
Kurangnya
kontrol jam kerja. 2.
Kurangnya kendaraan pengangkut untuk effisiensi penyapuan
jalan. 1.
Kurang memadainya kontrol terhadap
kendaraan yang datang di TPA. 2.
Kurangnya
perlengkapan yang diperlukan. 1.
Bagian Suku Dinas lemah, diakibatkan
oleh terkonsentrasinya personil yang memiliki kemampuan di Dinas. 2.
Kurangnya pendelegasian tugas dan
wewenang pada Suku Dinas Kebersihan. 3.
Masih adanya tugas yang tumpang tindih
antar seksi di dalam Struktur Dinas Kebersihan. 1. Kesenjangan tenaga kerja. 2.
Kesulitan mendapatkan tenaga yang
mumpuni akibat tidak adanya kewenganan untuk pengadaan karyawan. 1.
Pemerintah kota tidak mempunyai
kapasitas keuangan yang cukup. 2.
Partisipasi
masyarakat yang rendah. 3.
Rendahnya
motivasi pengumpulan retribusi. 1.
Tidak jelasnya tanggungjawab yang
berkaitan dengan pembuangan sampah. 2.
Tidak adanya Standard atau pengaturan
mengenai TPA milik Swasta. 1.
Rendahnya tingkat pemahaman masyarakat
tentang permasalahan pembuangan sampah. 2.
Tidak adanya usaha baik dalam
pendidikan maupun pemberian informasi mengenai sampah pada masyarakat. |
Penyusunan kebijakan dalam pengelolaan sampah di DKIJ nampaknya kurang selaras dengan Master Plan Pengelolaan Sampah yang telah dibuat sebelumnya yaitu pada tahun 1987, hal ini nampak dengan tidak adanya sinkronisasi antara skenario yang ada di dalam kebijakan pembangunan perkotaan yang tertuang dalam Peraturan Daerah No.6/1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKIJ-2010 dengan Master Plan Pengelolaan Sampah DKIJ. Sebagai contoh di dalam Master Plan Pengelolaan Sampah dijelaskan bahwa sistem pengolahan sampah dilakukan secara sanitary landfill yang biayanya jauh lebih murah dari incenerator, namun di dalam kebijakan RTRW dijelaskan adanya upaya untuk menyelenggarakan pengolahan sampah yang ditempatkan di kawasan padat dengan menggunakan incenerator.
Dari sisi perubahan lingkungan strategis penyusunan RTRW tidak memperhatikan munculnya Undang-Undang No 22/1999 mengenai Pemerintahan Daerah, serta kurang memperhatikan aspirasi masyarakat setempat yang menolak dioperasikannya TPA Bantargebang. Hal ini nampak dalam penentuan TPA Sampah Pemerintah Daerah DKIJ yang menganggap lokasi TPA Bantargebang dan Ciangir masih memungkinkan untuk dijadikan TPA Sampah DKIJ.
Beberapa
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
DKIJ telah dirumuskan dengan baik
artinya telah memperhatikan prinsip-prinsip dalam pengelolaan sampah,
seperti misalnya melakukan 3R (Reduce,
Reuse dan Recycling) pada sumbernya. Namun implementasi kebijakan tersebut
yang tidak dilaksanakan. Hal ini nampak pada sistem penempatan sampah yang
dilakukan oleh seluruh masyarakat masih belum memperhatikan prinsip 3R
tersebut. Untuk melaksanakan proses
3R masyarakat melakukan pemilahan sampah pada sumbernya yang harus didukung
dengan peraturan perundangan.
Peraturan perundangan yang ada pada saat
ini masih belum memadai untuk melakukan pengelolaan sampah secara terintegrasi
(Integrated Solid Waste Management)
yang melibatkan seluruh pemegang kepentingan (stakeholders). Kondisi ini mengakibatkan tidak jelasnya hak dan
kewajiban para pihak yang terkait dengan persampahan.
4.2.
Aspek Institusional
Salah satu persoalan di dalam pengelolaan persampahan adalah terjadinya penanganan sampah yang dilakukan oleh beberapa institusi, Dinas Kebersihan, PD Pasar, Dinas Taman dan Dinas pekerjaan Umum (lihat tabel 3), hal ini menimbulkan “Moral Hazard” di dalam penanganan sampah, yaitu terjadinya saling lempar tanggung jawab ketika terjadi persoalan atau komplain dari masyarakat mengenai adanya sampah yang mengganggu lingkungan permukiman.
4.3 Aspek Teknis dan Operasional
Dari tabel 4 dapat diketahui bahwa pengelolaan sampah yang dilakukan belum ditunjang dengan peralatan, petugas dan dana operasi yang memadai disamping kurang efisiennya penanganan sampah oleh berbagai pihak sebagaimana terlihat pada tabel 3, terdapat beberapa instansi yang menanagani persampahan yang bergantung pada jenis dan asal sampah.
Dalam aspek operasional pengelolaan sampah DKIJ masih belum memadai dalam melakukan kontrol terhadap beberapa kegiatan seperti penghitungan volume sampah yang masuk ke TPA Bantargebang, kurangnya pemeliharaan peralatan-peralatan yang digunakan terutama alat-alat berat yang rusak dan tidak dapat dipergunakan sebelum masa ekonomis peralatan tersebut berakhir, yang pada gilirannya pengoperasian pengaangkutan dan pengolahan sampah kurang effektif dilakukan.
4.4. Aspek Keuangan
Pemerintah
DKIJ menghadapi permasalahan dalam menyediakan dana operasi dan pemeliharaan
prasarana persampahan. Dalam tahun
Anggaran 96/97 Dinas Kebersihan mengalami defisit biaya operasional sebesar
Rp.27,2 milyar. Hal ini diakibatkan kurangnya efisiensi pengumpulan biaya
retribusi sampah.
4.5. Aspek Partisipasi Masyarakat
Masyarakat DKIJ umumnya tidak atau kurang
memahami permasalahan yang sesungguhnya terjadi dalam pengelolaan sampah mulai
dari pengumpulan penempatan, pemindahan, pengangkutan dan pengolahan sampah di
TPA. Kurangnya pengertian masyarakat mengenai pengelolaan sampah ini
mengakibatkan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan sampah. Dalam
aspek penempatan dan pengumpulan sampah
timbul suatu sindrome yang disebut dengan NIMBY ( not in my back yard) sindrome, yaitu suatu penyakit masyarakat yang
tidak perduli terhadap sampah, yang mempunyai pandanagan bahwa: ”yang penting
asal sampah tidak berada di halaman rumahnya persoalan sampah dipandang telah selesai”.
5.1. Kesimpulan
Dari permasalahan dan persoalan yang timbul dalam pengelolaan sampah baik aspek kebijakan, aspek teknis, keuangan, peraturan perundangan, serta peranserta masyarakat dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
5.2. Saran
Dari kesimpulan yang ada, disarankan
kepada Pemerintah Daerah DKIJ untuk melakukan langkah-langkah yang diperlukan
dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan kinerja pengelolaan persampahan DKIJ
sebagai berikut:
1.
Melakukan
peninjauan ulang terhadap kebijakan pengelolaan persampahan sebagaimana yang
tertuang dalam RTRW tahun 1999 khususnya mengenai penggunaan incenerator yang akan ditempatkan di wilayah-wilayah padat di tepi
bantaran sungai dengan melakukan tinjauan kembali apa yang telah dirumuskan di
dalam Master Plan Persampahan DKIJ oleh JICA pada tahun 1987.
2.
Melakukan
sosialisasi mengenai pengelolaan persampahan kepada seluruh stakeholders, khususnya masyarakat,
secara kontinyu. Hal ini penting untuk mendorong masyarakat sebagai elemen
terbesar di dalam sistem persampahan agar melakukan prinsip-prinsip 3R yang
proses awalnya adalah pemilahan sampah
dalam penempatan sampah. Masyarakat perlu diberdayakan agar memiliki komitmen
di dalam mengelola sampah, misalnya community
organizer (CO) pada tingkat RW. Sampah-sampah yang masuk ke TPA sebaiknya
sudah dipisahkan menjadi sampah organik dan anorganik.
3.
Konsisten
terhadap hasil kajian yang telah dilakukan untuk menghindari timbulnya
keputusan-keputusan sesaat yang tidak berdasarkan kepada kajian secara ilmiah.
4.
Memberlakukan
UU 22/99 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga Pemerintah DKI harus melakukan
pendekatan dan kerjasama yang baik dengan pemerintah daerah di sekitarnya
(Tangerang, Bogor, Depok dan Bekasi) untuk melakukan pembangunan TPA bersama
yang dapat diterima masyarakat.
5.
Mengubah
paradigma TPA sebagai suatu pekerjaan sosial menjadi suatu industri pengelolaan
sampah yang berbasis manajemen industri secara profesional.
6.
Melaksanakan
sinergi antar instansi yang terkait dalam mengambil keputusan sehingga tidak
terjadi tumpang tindih kebijakan yang pada akhirnya akan merugikan semua stakeholders.