© 2004 Sekolah Pasca Sarjana IPB Posted
14 April 2004
Makalah Kelompok 7, Sem. 2, t.a. 2003/4
Materi Diskusi Kelas
Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Program Pasca Sarjana - S3
Institut Pertanian Bogor
April 2004
Dosen:
Prof. Dr. Ir. Rudy C.
Tarumingkeng (penanggung jawab)
Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto
Dr Ir Hardjanto
DAMPAK DAN UPAYA ANTISIPASI PENYIMPANGAN
IKLIM
KHUSUSNYA SEKTOR PERTANIAN DAN KESEHATAN
oleh:
Kelompok
7
CHUDAHMAN
MANAN: B 161030071/SVT
HANEDI
DARMASETIAWAN: F 161030122/TEP
IRMANSYAH:
F 161030011 /TEP
SUTIKNO: G
261030021/AGK tikno@yahoo.com
1. Pendahuluan
Cuaca dan iklim merupakan faktor utama yang sangat
berpengaruh terhadap berbagai aktifitas kehidupan. Aktifitas manusia yang makin
meningkat menjadikan timbulnya perubahan pada komponen biofisik lingkungan,
seperti peningkatan konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfir, yang merupakan
penyumbang utama terjadinya pemanasan dan perubahan iklim. Akibat yang paling
penting dari proses perubahan iklim adalah timbulnya peristiwa ekstrim seperti
kemarau panjang, hujan badai, banjir, atau tanah longsor yang makin sering
terjadi dan bahkan semakin besar.
Pada umumnya timbulnya peristiwa ekstrim diasosiasikan
dengan terjadinya penyimpangan iklim yaitu suatu penyimpangan cuaca dan iklim
dari kondisi umum atau reratanya dalam selang waktu tertentu. Salah satu bentuk
penyimpangan cuaca dan iklim adalah terjadinya fenomena El-nino dan La-nina
yang akhir-akhir ini makin kerap terjadi. Kejadian El-Nino biasanya berhubungan dengan kejadian kemarau panjang
atau kekeringan, sedang La-Nina
berhubungan dengan kejadian banjir.
Kejadian kebanjiran dan tanah longsor lebih disebabkan karena ulah manusia
dan kemajuan teknologi, namun dampak yang ditimbulkan akan semakin besar saat
bersamaan dengan fenomena ENSO.
Penyimpangan iklim akibat terjadinya El-nino dan La-nina
telah menimbulkan dampak negatif yang luas pada kehidupan manusia. Kerugian
akibat El-nino telah menyebabkan meningkatnya lahan kekeringan sampai 8 – 9
kali lipat pada luasan pertanaman dibanding pada kondisi normal. Demikian juga
adanya La-nina menyebabkan meningkatnya luas pertanaman terkena banjir sampai 4
- 5 kali lipat dari normal. Selain itu akibat penyimpangan iklim telah
menyebabkan meledaknya populasi hama dan penyakit tertentu pada tanaman. Dampak
lain akibat penyimpangan iklim adalah mewabahnya berbagai penyakit terhadap
manusia, seperti terjangkitnya infeksi saluran pernafasan, diare, dan demam
berdarah.
Penanganan yang dilakukan untuk mengantisipasi penyimpangan
iklim seringkali terlambat karena pada umumnya proses penyimpangan iklim
berlangsung secara bertahap, tidak secara mendadak sehingga perhatian yang
serius baru diberikan pada saat bencana sudah terjadi. Perencanaan untuk
mengatasi penyimpangan iklim lebih bersifat reaktif daripada proaktif. Oleh
karena itu perencanaan yang disusun untuk mengantisipasi penyimpangan iklim
harus bersifat jangka panjang dan konprehensif dengan memanfaatkan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang relevan.
Di samping
itu, kondisi iklim dan alam yang beragam di wilayah Indonesia memberikan dampak
kerugian yang beragam pula terhadap penyimpangan iklim, sehingga upaya
antisipasinya membutuhkan strategi yang
spesifik di masing-masing wilayah (lokal) atau bersifat regional.
Tulisan
ini bertujuan mendeskripsikan dampak dan
upaya antisipasi penyimpangan iklim khususnya sektor pertanian dan kesehatan.
Dibagian awal disajikan keragaman iklim di Indonesia dan dibagian akhir
disajikan dampak dan upaya yang dapat dilakukan untuk mengantisipasinya.
2.
Keragaman hujan di Indonesia
Indonesia
merupakan negara yang dilewati oleh garis khatulistiwa dan masuk ke dalam
pengaruh kawasan laut pasifik. Posisi
ini menjadikan Indonesia sebagai daerah pertemuan sirkulasi meridional (Hadley)
dan sirkulasi zonal (Walker), dua sirkulasi yang sangat mempengaruhi keragaman
iklim Indonesia. Selain itu posisi
matahari berpindah dari 23.5 LS ke 23.5 LU sepanjang tahun, aktifitas moonson
juga ikut berperanan dalam mempengaruhi keragaman iklim. Indonesia merupakan negara kepulauan dengan
bentuk topografi yang sangat beragam maka sistem golakan lokal juga cukup
dominan dan pengaruhnya terhadap keragaman iklim di Indonesia tidak dapat
diabaikan. Faktor lain yang diperkirakan
ikut berpengaruh terhadap keragaman iklim Indonesia ialah gangguan siklon
tropis. Semua aktifitas dan sistem ini
berlangsung secara bersamaan sepanjang tahun.
Yang menjadi permasalahan sampai saat ini faktor mana yang paling
dominan mempengaruhi iklim di Indonesia
Berdasarkan
pola hujan, wilayah Indonesia dapat dibagi menjadi tiga, yaitu pola Monsoon,
pola ekuatorial dan pola lokal. Pola
Moonson dicirikan oleh bentuk pola hujan yang bersifat unimodal (satu puncak
musim hujan yaitu sekitar Desember).
Selama enam bulan curah hujan relatif tinggi (biasanya disebut musim
hujan) dan enam bulan berikutnya rendah (bisanya disebut musim kemarau). Secara umum musim kemarau berlangsung dari
April sampai September dan musim hujan dari Oktober sampai Maret. Pola equatorial dicirikan oleh pola hujan
dengan bentuk bimodal, yaitu dua puncak hujan yang biasanya terjadi sekitar
bulan Maret dan Oktober saat matahari berada dekat equator. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan
unimodal (satu puncak hujan) tapi bentuknya berlawanan dengan pola hujan pada
tipe moonson. Wilayah Indonesia disepanjang garis khatulistiwa sebagian besar
mempunyai pola hujan equatorial, sedangkan pola hujan moonson terdapat di pulau
Jawa, Bali, NTB, NTT, dan sebagian Sumatera. Sedangkan salah satu wilayah
mempunyai pola hujan lokal adalah Ambon (Maluku).
Sejak tahun 1844, Indonesia telah mengalami kejadian
kekeringan tidak kurang dari 43 kali.
Dari 43 kejadian tersebut, hanya 6 kali yang kejadiannya tidak bersamaan
kejadian fenomena ENSO (Boer dan Subbiah, 2003 dalam Boer, 2003). Hal ini menunjukkan, bahwa keragaman hujan
di Indonesia sangat dipengaruhi oleh fenomena ini. Pada saat fenomena ENSO berlangsung, hujan
pada sebagian besar wilayah Indonesia umumnya di bawah normal. Selama kurun
waktu 20 tahun terakhir, kejadian fenomena El-nino terkuat terjadi pada tahun
1982/1983, 1986/1987, 1991/1995, dan 1997/1998 (Koesmaryono, 2000).
Berdasarkan
kajian menunjukkan bahwa besarnya dampak yang ditimbulkan oleh kejadian El-Nino
terhadap keragaman hujan di Indonesia beragam antar wilayah. Menurut Tjasyono (1997) pengaruh El-nino kuat
pada daerah yang dipengaruhi oleh sistim moonson, lemah pada daerah dengan
sistem equatorial dan tidak jelas pada daerah dengan sistim lokal. Selain itu, pengaruh El-Nino lebih kuat terhadap
hujan pada musim kemarau daripada hujan pada musim hujan (Gambar 2). Berbeda dengan tahun El Nino, tahun La-Nina
seringkali dicirikan oleh meningkatnya curah hujan di Indonesia. Pengaruhnya juga lebih kuat pada hujan musim
kemarau dari pada musim hujan.
Pengaruhnya pada peningkatan curah hujan pada musim hujan tidak begitu
jelas. Secara rata-rata penurunan hujan
dari normal akibat terjadinya El-Nino dapat mencapai 80 mm per bulan sedangkan
peningkatan hujan dari normal akibat terjadinya La-Nina tidak lebih dari 40
mm.
Gambar 2. Rata-rata curah hujan di
beberapa stasiun di Jawa dan Bali pada tahun normal, El-Nino dan La-Nina
untuk musim hujan (Nov-Feb), musim kering I (Mar-Jun) dan musim kering II
(Jul-Okt).
Sumber: (Las et al., 1999 dalam Boer 2003)
3. Dampak dan upaya antisipasi
Untuk
menekan dampak yang negatif akibat kejadian ekstrim atau penyimpangan iklim,
maka peningkatan kemampuan antisipasi sangat diperlukan. Menurut Boer (2003)
pengamatan terhadap data anomali produksi padi nasional dari tahun 1979-1997
menunjukkan bahwa penurunan produksi akibat iklim ekstrim (penyimpangan iklim)
cendrung meningkat (Gambar 3). Hal ini
ditunjukkan oleh semakin melebarnya perbedaan antara anomali produksi
tahun-tahun ekstrim dengan tahun-tahun normal.
Gambar 3. Anomali
produksi padi nasional pada tahun normal dan tahun ekstrim
(tahun ENSO dan
non ENSO). Sumber: Boer (2003).
Di bidang kesehatan, dampak yang disebabkan karena penyimpangan iklim yaitu semakin meningkatnya peluang mewabahnya penyakit demam berdarah, infeksi saluran pernapasan (ISPA), dan diare. Penyakit demam berdarah setiap tahun selalu dijumpai terutama terjadi dalam fase pergantian musim. Pergantian musim yang ekstrim akan berakibat prevalensi penyakit ini meningkat secara tajam. Saat pergantian musim penghujan ke musim kemarau ,serta kondisi suhu udara sebagian besar kota-kota di Jawa Timur (Jatim) 23-31 derajat Celsius, merupakan saat yang tepat munculnya nyamuk Aedes aegipty, penyebab penyakit demam berdarah (DB). Nyamuk ini berkembang biak pada suhu 24-28 derajat Celcius. Wajar, bila saat ini angka kejadian penyakit DB meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan laporan RSUD dr Soetomo, bulan April 2002 jumlah penderita DB mencapai lima sampai enam orang per hari. Angka ini lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah penderita pada bulan-bulan sebelumnya. Pada bulan Januari penderitanya nol sampai satu orang, bulan Februari hingga Maret dua sampai tiga orang. Jumlah penderita diperkirakan akan meningkat terus hingga bulan Agusutus 2002. Bila kondisi ini tidak dikendalikan, maka yang dikhawatirkan adalah munculnya wabah penyakit DB. Begitu pula pada periode 2003-2004 terdapat kejadian luar biasa (KLB) dari wabah demam berdarah yang meliputi 12 propinsi di Indonesia.
Dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk mengantisipasi penyimpangan iklim, langkah-langkah umum yang dapat dilakukan diantaranya: (1) melakukan pemetaan daerah-daerah yang sensitif terhadap penyimpangan iklim terutama akibat fenomena ENSO, (2) meningkatkan kemampuan peramalan sehingga langkah-langkah antisipasi dapat dilakukan lebih awal, khususnya pada daerah-daerah yang rawan, dan (3) menerapkan teknologi budidaya (dalam bidang pertanian) yang dapat menekan risiko terkena dampak kejadian puso.
3.1 Sektor pertanian
Berbagai upaya untuk mengantisipasi dampak penyimpangan
iklim terhadap bencana banjir dan kekeringan pada sektor pertanian telah
dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat. Secara umum upaya antisipasi
dikelompokkan menjadi antisipasi secara teknis dan antisipasi
sosial-kelembagaan. Antisipasi secara teknis antara lain:
1.
Pembuatan waduk untuk menampung air hujan,
sehingga tidak terjadi banjir dan memanfaatkannya untuk irigasi atau lainnya
pada saat kekurangan air (kekeringan).
2.
Pembuatan embung mulai dari hulu hingga
hilir. Embung ini dapat dimanfaatkan untuk :
§
mengurangi dan atau meniadakan aliran
permukaan (run off)
§
meningkatkan infiltrasi air ke dalam
tanah, sehingga meningkatkan cadangan air tanah, kandungan air tanah disekitar
embung tetap tinggi dan untuk daerah dekat pantai dapat digunakan untuk menekan
intrusi air laut.
§
mencegah erosi
§
menampung sedimen dan sedimen tersebut
mudah diangkut karena ukuran embung yang relatif kecil.
§
sebagian air embung dapat digunakan
sebagai cadangan pada musim kemarau.
3.
Memanfaatkan informasi dan prakiraan iklim
untuk memberikan peringatan dini dan rekomendasi pada masyarakat.
4.
Mempelajari sifat-sifat iklim dan
memanfaatkan hasilnya untuk menyesuaikan pola tanam agar terhindar dari puso.
5.
Meningkatkan sistem pengamatan cuaca
sehingga antisipasi penyimpangan iklim dapat diketahui lebih awal.
6.
Memetakan daerah rawan bencana alam banjir
dan kekeringan untuk penyusunan pola tanam dan memilih jenis tanaman yang
sesuai.
7.
Memilih tanaman yang sesuai dengan pola
hujan, misal: menggunakan tanaman atau varietas yang tahan genangan, tahan
kering, umur pendek dan persemaian kering; kombinasi tanaman, sehingga kalau
sebagian tanaman mengalami puso, yang lainnya tetap bertahan dan memberikan hasil.
8.
Melakukan sistem pertanian konservasi seperti
terasering, menanam tanaman penutup tanah, melakukan pergiliran tanaman dan
penghijauan DAS (Daerah Aliran Sungai).
9.
Pompanisasi dengan memanfaatkan air tanah,
air permukaan, air bendungan atau
checkdam, dan air daur ulang dari saluran pembuangan.
10. Efisiensi
penggunaan air seperti gilir iring dan irigasi hemat air.
§
Perbaikan dan pemeliharaan jaringan pengairan di
tingkat usaha tani.
§
Memberi bantuan penanggulangan seperti : benih,
pompa air, arakton.
§
Upaya-upaya khusus lain seperti gerakan percepatan
tanam dan pengolahan tanah.
Upaya-upaya
antisipasi sosial - kelembagaan meliputi:
3.2 Bidang Kesehatan
Di bidang kesehatan upaya antisipasi penyimpangan iklim lebih sering
bersifat kuratif. Seperti bencana kebanjiran (wabah diare), yaitu memberikan informasi kemungkinan akan terjadinya
kondisi luar biasa (KLB) / wabah adalah dengan melaksanakan Sistem Kewaspadaan Dini secara cermat,
yaitu meningkatkan kewaspadaan dini di
puskesmas baik SKD, tenaga dan logistik, membentuk dan melatih TIM Gerak Cepat
puskesmas. Selain itu mengintensifkan
penyuluhan kesehatan pada
masyarakat, memperbaiki kerja laboratorium, dan
meningkatkan kerjasama dengan instansi lain.
Untuk wabah demam berdarah upaya preventif
jangka panjang yaitu melakukan penghijauan kota sebagai fungsi ekologis, yaitu
menyerap gas-gas rumah kaca sehingga dapat mengendalikan suhu udara. Sedangkan
upaya jangka pendek yaitu memberantas
larva nyamuk pra dewasa dan dewasa.
Upaya antisipasi secara sosial - kelembagaan diantaranya (1) penyuluhan
kesehatan terhadap masyarakat melalui instansi terkait seperti PKK, Camat,
Lurah, dan LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) dapat melakukan pembinaan
kepada warga di setiap desa, (2)
memberikan pelayanan pengobatan kepada masyarakat yang dilakukan di Puskesmas ataupun
di pos-pos tertentu, tergantung kondisi yang ada, (3) mengoptimalkan hubungan
lintas sektoral, dan (4) memberikan rujukan dan laporan terutama untuk kasus
penyakit yang tidak dapat ditanggulangi di puskesmas.
4. Penutup
Iklim sangat
berperan dalam aktifitas kehidupan manusia termasuk pembangunan pertanian dan
kesehatan, namun sampai saat ini manusia relatif belum mampu
mengendalikan penyimpangan iklim
termasuk yang disebabkan oleh EL-NINO dan LA-NINA. Indonesia tidak bisa menghindar adanya
penyimpangan iklim yang berdampak baik yang menguntungkan maupun yang
merugikan.
Untuk
menghindari kerugian yang cukup besar upaya antisipasi penyimpangan iklim yang
lebih bersifat preventif lebih ditingkatkan, demikian juga upaya penanganan
dampak (kuratif) yang sudah dilakukan oleh pemerintah.
Upaya itu antara lain pembangunan infrastruktur untuk memodifikasi iklim
secara mikro, penyediaan teknologi, penyediaan informasi, pemberdayaan
masyarakat, serta bantuan sarana produksi, alat mesin pertanian serta sarana
lainnya. Upaya pemerintah akan sia-sia
jika tidak disertai dengan peran serta masyarakat dalam kegiatan
antisipasi dan penanggulangan bencana
alam tersebut.
Boer,
R.2003.Penyimpangan iklim di Indonesia. Makalah Disajikan dalam Seminar
Nasional Ilmu Tanah dengan tema " Menggagas Strategi Alternatif dalam
Menyiasati Penyimpangan Iklim serta Implikasinya pada Tataguna Lahan dan
Ketahanan Pangan Nasional", Gedung University Center Universitas Gajah
Mada, 24 Mei 2003
Koesmaryono.
Y. Yusmin, dan Suharsono. H. 2000. Pengaruh El-Nino di Kawasan Indonesia Timur.
Khusus di Gugus Nusa Tenggara. Makalah disampaikan pada forum semiloka ke-3
”Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Menuju Pemulihan Ekonomi Gugus Nusa Tenggara”
Wisma Werda Pura, Sanur Bali 15-17 Pebruari 2000.
Tjasyono,
B. 1997.
Mekanisme fisis para, selama, dan pasca El-Nino. Paper disajikan pada Workshop Kelompok
Peneliti Dinamika Atmosfer, 13-14 Maret 1997.
Glantz, M
1998 Current of Change: El-Nino impacts on Elimate and Society. Cambridge Univ.
Press.
Jepma, CT and
Munasinghe M, 1998. Climate Change Policy: Facts, Issues and Analysis.
Cambridge Univ Press.
Pawitan, H
1998. Antisipasi bencana banjir dan kekeringan serta upaya penanggulangan
makalah dalam diskusi panel PERAGI, Jakarta.
Aron JL, Patz JA. Ecosystem
Change and Public Health; A Global Perspective. Johns Hopkins University Press,
2001:526
Tualeka AR.
Waspadai wabah Penyakit Demam Berdarah. Pengamat dan praktisi lingkungan, dosen Fakultas Kesehatan
Masyarakat Unair
Nadesul H. Penyakit dimusim
kemarau. Rubrik Kesehatan. 2001.