© 2004  Sekolah Pasca Sarjana IPB                                                                                       Posted   2 April  2004

Makalah Kelompok 5,  Sem. 2,  t.a. 2003/4

Materi Diskusi Kelas

Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana -  S3

Institut Pertanian Bogor

April  2004

 

 

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (penanggung jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

Dr Ir Hardjanto

 

 

UPAYA MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN

YANG TANGGUH

 

 

 

 

Oleh Kelompok V:

1.    Prihananto A561030091 

2.    Triadiati Antono G361030021  tria_24@hotmail.com  

3.    Dedi Nursyamsi A261024011

4.    Ansyori A261030031

5.    Muhamad Samsi B161030011

 

 

 

 

 


PENDAHULUAN

Terjadinya krisis ekonomi berkepanjangan yang  dimulai sejak tahun 1997, telah menurunkan kembali berbagai keberhasilan yang dicapai selama ini termasuk pembangunan di bidang pangan dan gizi. Indonesia pernah mencapai swasembada beras tahun 1984, tapi saat ini Indonesia telah menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia. Sebagai gambaran pada tahun ini Perum Bulog merencanakan akan mengimpor beras 200.000 ton dari Thailand. Menurut Perum Bulog rencana impor beras dilakukan karena  puncak panen raya terjadi sekitar Maret hingga Juni 2004, sementara impor direncanakan pada bulan Februari. Mears (1984) mengatakan bahwa  ketergantungan pada beras impor dianggap kurang bijaksana dan riskan secara ekonomi dan politik.  Ketergantungan tersebut akan menghamburkan uang devisa dan negara pengimpor dapat dieksploitasi secara politik oleh negara eksportir .

Apabila rencana tersebut direalisir dapat diprediksi bahwa harga dasar gabah petani tertekan pada saat panen raya tiba. Kebijakan tersebut berimplikasi pada keterpurukan petani, sebagai salah satu elemen penting yang mempunyai kedudukan strategi dalam ketahanan pangan. Dalam hal ini petani berperan sebagai produsen dan sekaligus konsumen terbesar yang membutuhkan daya beli yang cukup untuk dapat membeli pangan.

Kondisi tersebut di atas menyebabkan rendahnya kemampuan sebagian besar masyarakat untuk dapat mengakses  pangan  sesuai dengan kebutuhannya. Bilamana kebutuhan pangan dan gizi tidak dapat terpenuhi, maka akan berdampak pada penurunan kualitas sumberdaya manusia yang pada akhirnya akan menurunkan kreatifitas dan produktifitas kerja. Dampak serius jika pangan dan gizi tak terpenuhi diantaranya adalah  kekurangan energi dan protein yang disebabkan oleh kekurangan makanan bergizi serta infeksi akan menyebabkan  kehilangan 5-10 IQ point (UNICEFF, 1997 dalam  Atmojo, 1999)

Situasi sulit dan kurang menguntungkan seperti sekarang ini mengakibatkan ketahanan pangan secara nasional dan regional rapuh sehingga perlu penanganan secara menyeluruh sebagai suatu sistem pangan dan gizi.  Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan menyatakan bahwa pembangunan ketahanan pangan bertujuan untuk mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh rumah tangga, dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata, serta terjangkau oleh setiap individu.

Mengacu pada pebgertian tersebut, dapat dikatakan bahwa ketahanan pangan saat ini belum dapat dicapai, khususnya pada level rumah tangga.  Berdasarkan uraian tersebut di atas, timbul pertanyaan Bagaimana elemen-elemen ketahanan pangan dibangun untuk mewujudkan ketahanan pangan  yang tangguh dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan. Makalah ini membahas berbagai upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional yang tangguh.

 

PENDEKATAN KETAHANAN PANGAN

Sejalan dengan pemikiran Khomsan (2003), konsep ketahanan pangan bersifat multidimensi yang meliputi mata rantai sistem pangan dan gizi, mulai dari produksi, distribusi, konsumsi, dan status gizi. Secara ringkas system ketahanan pangan menyangkut tiga hal penting, yaitu : ketersediaan, akses, dan konsumsi pangan.

Pembangunan sub sistem ketersediaan pangan diarahkan baik dari sisi jumlah maupun kualitas yang banyak tergantung kepada produksi, impor dan ekspor pangan. Ketersediaan pangan sangat menentukan konsumsi pangan rumah tangga atau individu di samping pendapatan, kebiasaan makan dan pengetahuan gizi.  Pembangunan sub sistem konsumsi bertujuan untuk menjamin agar setiap warga konsumsi pangannya cukup, bergizi, aman dan beragam.  Selanjutnya konsumsi pangan akan menentukan status gizi masyarakat.

Atas dasar pendekatan tersebut maka upaya yang dapat dilakukan untuk membangun system ketahanan pangan  meliputi empat bidang, yaitu: bidang produksi, teknologi pangan, distribusi dan konsumsi pangan. Namun demikian kajian dalam tulisan ini menitikberatkan pada sisi penyediaan pangan, diversifikasi pangan dan konsumsi.

Produksi Pangan

            Secara garis besar sumber pangan dapat berasal dari tumbuh-tumbuhan (nabati) dan dari hewan (hewani). Pangan nabati dihasilkan dari tanaman pangan seperti: padi, jagung, kedelai, umbi-umbian, hortikultura, dan sayur-sayuran, sedangkan pangan hewani dihasilkan dari bidang peternakan dan perikanan. Makalah ini membahas produksi pangan dari sektor pertanian dan peternakan.

1.  Pertanian

Berdasarkan potensi lahan seperti yang tersaji pada Tabel 1  tampak bahwa terdapat peluang yang cukup besar untuk memenuhi ketersediaan pangan dari produksi dalam negeri. Peluang tersebut bisa dicapai jika mampu mengatasi berbagai kendala yang cukup besar dan beragam, baik fisik, biotik, sosial ekonomi, sarana dan prasarana serta kelembagaan. Disamping itu diperlukan pula pemilihan dan penerapan teknologi yang tepat dengan dukungan sarana dan prasarana yang memadai.

Tabel 1. Penyebaran tanah-tanah pertanian di Indonesia (x 1.000 ha)

 

Jenis Tanah

Sumatera

Jawa

Nusa Tenggara

Kaliman-tan

Sulawesi

Maluku

&Irja

Indonesia

Persen-tase

Histosol

6.591

-

-

4.448

128

2.037

13.203

7,0

Entisol

4.175

1.614

1.210

3.698

857

6.452

18.006

9,6

Inceptisol

17.651

5.210

3.276

14.903

9.186

30.393

70.520

37,5

Vertisol

-

1.445

364

-

307

2

2.119

1,1

Andisol

2.594

1.698

381

237

164

321

5.395

2,9

Alfisol

53

1.093

767

-

2.003

1.236

5.153

2,7

Mollisol

451

682

1.116

685

702

6.277

9.913

5,3

Ultisol

9.469

1.172

53

21.938

4.303

8.859

45.794

24,3

Oxisol

5.900

272

-

4.531

751

2.657

14.110

7,5

Spodosol

16

-

-

2.079

60

-

2.155

1,1

Grup

430

33

40

372

282

688

1.700

0,9

Jumlah

47.240

13.210

7.208

52.890

18.743

48.922

188.212

100

Sumber : Puslittanak (2000)

Beberapa teknologi yang dapat digunakan untuk memacu produksi pertanian, diantaranya adalah: (a) pengelolaan air, (b) konservasi tanah dan air, (c) pengelolaan bahan organik, (d) pengapuran, (e) pemupukan, (f) penggunaan varietas unggul, (g) pengendalian hama dan penyakit, (h) mekanisasi, dan (i) penerapan komponen ternak. Penerapan teknologi tersebut disesuaikan dengan kondisi fisik dan biotik lahan serta kondisi sosial dan ekonomi petani.

Teknologi pengelolaan air merupakan kunci keberhasilan usaha pertanian. Di lahan rawa, air berlimpah bahkan berlebih sehingga pengelolaan air lebih ditekankan kepada perbaikan sistem drainase. Sebaliknya di lahan darat, ketersediaan air terbatas sehingga pengelolaan air  ditujukan kepada perbaikan sistem irigasi dan pemanenan air hujan agar penggunaan air efisien.

Teknik konservasi tanah yang bertujuan untuk mempertahankan produkstivitas tanah prinsipnya adalah berbagai manipulasi pengelolaan tanah yang ditujukan agar struktur tanah tidak rusak akibat pukulan air hujan dan mengendalikan aliran permukaan sehingga erosi dapat dikendalikan. Selain itu perbaikan kesuburan tanah juga diperlukan dalam meningkatkan produktivitas tanah. Bahan organik tanah merupakan faktor penting dalam meningkatkan dan mempertahankan kesuburan tanah. Tanah-tanah di Indonesia (kecuali tanah di lahan rawa) umumnya mempunyai kadar bahan organik rendah karena di daerah tropika tingkat pelapukan bahan organik tinggi.

Sebagian besar tanah-tanah di Indonesia bersifat masam sehingga pengapuran menjadi sangat penting. Pengapuran dutujukan untuk menetralisir sifat racun dari Al yang merupakan kendala utama di tanah masam (pH < 5,5). Kebutuhan kapur untuk menetralkan Al adalah jumlah kapur yang diperlukan agar kejenuhan Al tidak lebih dari batas kritis tanaman yang bersangkutan.  Selanjutnya pemupukan juga diperlukan untuk meningkatkan ketersediaan unsur hara, terutama hara makro. Efisiensi pemupukan umumnya masih rendah, terutama pada tanah-tanah masam di lahan kering. Oleh karena itu aspek efisiensi penggunaan pupuk merupakan aspek penting dalam  peningkatan produktivitas lahan.

Faktor penting lainnya dalam meningkatkan produktivitas lahan adalah Pengendalian hama dan penyakit tanaman. Kondisi lahan di daerah tropika basah adalah panas (t > 25 oC) dan lembab (RH > 60%). Keadaan tersebut cocok bagi pertumbuhan dan perkembangan hama dan penyakit. Pengendalian hama dan penyakit selain mempertimbangkan aspek tanaman juga harus memperhatikan aspek lingkungan.

Efektifitas penggunaan varietas unggul dalam meningkatkan produksi pangan tidak terlepas dengan ketersediaan air dan sarana produksi pertanian (saprotan) lainnya. Oleh karena itu pemerintah perlu membangun sistem irigasi yang cukup dan menyediakan saprotan tepat waktu dan jumlahnya.  Semua biaya untuk pembangunan irigasi dan operasional ditanggung oleh pemerintah, sehingga air  irigasi tersedia bagi petani secara gratis dan harga saprotan dapat terjangkau oleh petani.

Keberhasilan pemilihan dan penerapan teknologi di bidang pangan  ditentukan oleh kesiapan sumberdaya manusia dan juga daya dukung untuk teknologi yang dibutuhkan serta dukungan dari sektor lainnya. Hal ini karena sektor pertanian merupakan sektor yang tidak dapat berdiri sendiri sehingga memerlukan keterlibatan sektor lain seperti industri, konstruksi dan sektor jasa. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana menjalin koordinasi yang baik sampai pada tataran implementasi.

Pada level kegiatan usahatani, pemerintah harus memberikan rangsangan kegiatan organisasi petani seperti KUD dan kelompok tani. Selain itu kebijakan pemerintah harus berpihak kepada petani seperti menerapkan harga dasar gabah yang betul-betul dilaksanakan, bukan sebatas kebijakan yang dalam prakteknya sulit dilaksanakan. 

Menurut Hutagaol dan Ariwibowo (2002),  pembangunan pertanian Indonesia masih dilandaskan pada peningkatan produksi pangan dan bahan baku industri, sehingga terfokus pada pemberian subsidi, perlindungan harga, dan pengembangan teknologi produksi usahatani.  Kebijakan seperti ini ternyata tidak efektif dalam membebaskan petani dari belenggu kemiskinan serta cenderung memperburuk kondisi kesenjangan sosial ekonomi masyarakat pedesaan,  sedangkan kemiskinan cenderung kurang bersahabat dengan lingkungan. 

Berkaitan dengan hal tersebut peningkatan produksi pangan pada tingkat petani, paradigmanya perlu diubah dari upaya penyediaan pangan semata menjadi upaya ke arah peningkatan kesejahteraan. Oleh karena itu stimulan dan rangsangan dari pemerintah sangat diperlukan sehingga dalam diri petani muncul jiwa bisnis, dan kemandirian  yang pada akhirnya petani sebagai elemen dari ketahanan pangan akan memperkokoh dalam membangun ketahanan pangan.

2.  Peternakan

            Permasalahan yang  dihadapi subsektor peternakan adalah pertumbuhan ternak negatif. Sebelum krisis moneter (1988) produksi daging sapi dan kerbau mencapai 389 ribu ton, atau sebesar 31,7% dari total produksi daging sebesar 1,2 juta ton.  Konsumsi daging sapi dan kerbau pada tahun yang sama adalah 419 ribu ton, sehingga terdapat kekurangan 30 ribu ton. Padahal pada tahun 1970 an Indonesia mampu mengekspor sapi terutama ke Hongkong dan Singapura (Djojohadikusumo, 2004).

            Produk peternakan terdiri dari daging termasuk daging  unggas, telur dan susu yang berperan sebagai sumber energi dan memiliki proporsi gizi 1/6  dan 1/3 pada protein pada kapasitas suplai pangan perorang, yang harus dilengkapi dengan bahan pangan asal tumbuhan. Konsumsi produk peternakan per kapita mengalami ketimpangan, yaitu negara maju mengkonsumsi empat sampai lima kali lebih tinggi daripada negara-negara berkembang (Sarma dan Yeung, 1985).

Tabel 2.  Konsumsi telur, daging dan susu per kapita/tahun dalam kg di beberapa negara

 

No.

 

Negara

Konsumsi

Daging

Telor

Susu

1.

Indonesia

7,10

3,48

 6,50

2.

Banglades

3,08

0,65

31,65

3.

China

39,00

10,10

2,96

4.

Japan

25,97

20,54

10,72

5.

Malaysia

46,87

17,62

3,62

6.

Philipina

24,96

4,51

0,25

7.

Tahiland

25,00

9,15

2,04

Sumber : Djojohadikusumo, 2004

Semua langkah yang memungkinkan perlu diambil guna membangun kemandirian di bidang pangan melalui kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi. Kemajuan teknologi berupa rekayasa genetika juga perlu diterapkan dalam proses pertanian (Yudohusodo, 2003). Ternak perlu ditingkatkan mutu genetiknya karena rendahnya produktifitas ternak lokal.  Selain itu diperlukan pula peningkatan sumberdaya manusia melalui pendidikan dan pelatihan disamping perbaikan regulasi impor yang jelas dan transparan. Produktifitas ternak juga ditingkatkan dengan cara perbaikan kesehatan ternak yang akan berpengaruh terhadap mutu dan jumlah produk ternak yang dihasilkan. Perlu penanganan pascapanen hasil ternak yang aman dan sehat bagi konsumen sehingga mampu bersaing dengan bahan pangan asal impor.    

Diversifikasi Pangan

Diversifikasi pangan adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menghargai keragaman budaya pangan, termasuk pola pangan, dan penghargaan atas keragaman sumber daya pangan. Dengan demikian diversifikasi tidak hanya sekedar mengubah pola pangan dan meningkatkan kualitas konsumsi pangan, tetapi juga mencakup aspek-aspek penghargaan terhadap keragaman budaya nusantara. Diversifikasi diselenggarakan untuk memaksimalkan pemanfaatan keragaman sumber daya pangan, kelembagaan dan budaya lokal serta untuk meningkatkan kualitas konsumsi masyarakat (Tjuk 2003).  Salah satu upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan adalah melalui diversifikasi pangan, yaitu proses pengembangan produk pangan yang tidak bergantung pada satu jenis bahan saja, tetapi memanfaatkan macam-macam bahan pangan.

Manfaat diversifikasi pangan dari aspek penyediaan adalah semakin beragamnya alternatif jenis pangan yang dapat ditawarkan, tidak terfokus pada pangan tertentu saja. Hal ini mengingat bahwa pola produksi sebagian besar komoditas pangan mengikuti siklus musim. Pada saat musim panen pasokannya melimpah dan harganya menurun, sebaliknya di luar musim pasokannya menipis dan harganya cenderung meningkat. Apabila pasokan suatu jenis pangan menipis, kemudian dapat disubstitusi dengan jenis pangan lain, maka kelangkaan tersebut tidak segera memicu kenaikan harga. Bagi pemerintah yang bertanggung jawab pada penyediaan pangan pokok bagi masyarakat, semakin tinggi diversifikasi permintaan pangan, semakin ringan pengelolaan penyediaannya. Dengan semakin banyaknya bahan pangan yang dapat saling mengisi, kelangkaan suatu pangan pokok seperti beras dapat diisi oleh padi-padian lain atau umbi-umbian, sehingga tidak mudah terjadi keresahan sosial. (Ning 2003).

Saat ini beras masih merupakan pangan pokok strategis, baik secara ekonomi, sosial maupun politis, sehingga memperlakukan beras sejajar dengan komoditas pangan yang lain tidak tepat. Resiko atau dampak sosial, ekonomi dan politisnya masih cukup besar, apalagi dalam fase krisis multidimensi seperti saat ini. Pengertian ketahanan pangan yang sesungguhnya bukan hanya beras tetapi ketersediaan beras memang sangat sulit dihilangkan sebagai akibat perjalanan sejarah yang panjang.

Pendekatan yang perlu dilakukan dalam memperkokoh ketahanan pangan adalah tetap mendorong peningkatan produksi beras domestik, seiring dengan upaya pengembangan pangan sumber karbohidrat nonberas dan sumber-sumber protein dan zat gizi mikro alternatif. Oleh karena itu, dimasa depan kita perlu meningkatkan upaya pengembangan pangan alternatif yang berbasis umbi-umbian (ubi, ketela, garut dan lain-lain), tanaman pohon (sukun dan sagu) serta bahan pangan berbasis biji-bijian (beras, jagung, sorgum, dan lain-lain) yang dapat juga diproses menjadi tepung yang dapat tahan lebih lama dan dapat diperkaya dengan mineral dan vitamin (Suryana,  2003).

Dalam rangka memenuhi komitmen ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumberdaya pangan, kelembagaan pangan dan budaya lokal, pemerintah melalui UU No. 25/2000 tentang Propenas tahun 2000-2004 telah menetapkan program peningkatan ketahanan pangan. Program ini bertujuan: (a) meningkatkan diversifikasi produksi, ketersediaan dan konsumsi pangan bersumber pangan ternak, ikan, tanaman pangan, hortikultura, perkebungan, beserta produk-produk olahannya; (b) mengembangkan kelembagaan pangan yang menjamin peningkatan produksi serta konsumsi yang lebih beragam; (c) mengembangkan usaha bisnis pangan dan; (d) menjamin ketersediaan gizi dan pangan bagi masyarakat (Suryana 2003).

Menurut Suryana (2003), salah satu persoalan pokok yang dihadapi dalam upaya diversifikasi pangan adalah telah tertanamnya citra bahwa pangan lokal sumber karbohidrat seperti singkong, jagung dan sagu nilainya lebih rendah atau inferior terhadap beras. Penduduk yang jatuh miskin dan yang rawan pangan merupakan konsumen utama pangan lokal nonberas tersebut. Keadaan ini tidak terlepas dari pendekatan yang dilakukan selama ini dalam pembangunan pangan yang memusatkan pada beras. Menyikapi kondisi masyarakat seperti itu, pendekatan pengembangan diversifikasi pangan harus didekati dengan:

a.       Program diversifikasi pangan jangan dikaitkan langsung dengan upaya mengentaskan kemiskinan atau menangani kerawanan pangan, agar citra pangan karbohidrat nonberas yang melekat selama ini sebagai pangan inferior dapat secara perlahan dihapus.

b.      Program diversifikasi pangan sebaiknya digambarkan sebagai upaya peningkatan kualitas SDM melalui perbaikan pola konsumsi yang lebih beragam, bergizi dan berimbang. Dengan demikian aspek kesehatan dan perbaikan gizi lebih ditonjolkan dibandingkan aspek lainnya.

c.       Mengingat beras masih dominan sebagai bahan pangan pokok, upaya diversifikasi pangan perlu dikaitkan dengan sasaran penurunan konsumsi beras/kapita yang saat ini masih sangat tinggi. Untuk itu, pangan sumber karbohidrat lain yang dikembangkan harus kompetitif dalam hal citarasa, citra dan harga terhadap pangan dari beras. Sehubungan dengan itu peran industri pengolahan pangan dalam pengembangan produk menjadi salah satu faktor keberhasilan.

d.      Karena pendekatan pada keseimbangan konsumsi gizi, maka perhatian yang cukup perlu diberikan pada pengembangan pangan sumber-sumber protein dan sumber-sumber zat gizi mikro.

            Apabila dinilai menurut Standar Pola Pangan Harapan (PPH) dengan nilai ideal 100, keragaman penyediaan pangan nasional tahun 2001 mencapai nilai sekitar 73, sedangkan dalam hal konsumsi (berdasarkan Susenas 1999) baru sekitar 63. Pola konsumsi pangan kita sekitar 40 % diwarnai oleh padi-padian yang yang sebagian besar beras; 26 % sayur dan buah; 13 % pangan hewani terutama ikan, daging unggas dan telur; 8 % kacang-kacangan seperti kedelai, kacang hijau dan kacang tanah; dan 6 % minyak dan lemak terutama bahan nabati. Dengan proporsi ideal padi-padian dan pangan hewani sebesar 25 dan 24 %, pola konsumsi kita masih terlalu tinggi pada padi-padian dan terlalu rendah pada pangan hewani. Pola demikian, tidak mengherankan apabila pasokan beras tidak mencukupi, atau harga beras meningkat relatif tinggi.

Saat ini gandum melalui mi instan dan roti-rotian telah berhasil menjadi sumber karbohidrat penting setelah beras dan jagung. Pada tingkat tertentu gandum telah membantu mengurangi tekanan terhadap beras. Sebagai konsekuensinya impor gandum selama 3 tahun terakhir telah mencapai 3 juta ton/tahun. Hal inilah yang dikhawatirkan sebagian masyarakat yang tidak menghendaki ketergantungan pangan pada pihak asing, mengingat gandum belum bisa diproduksi di Indonesia. Pertanyaannya adalah, mengapa berbagai pangan lain dari negeri sendiri seperti sagu, jagung, ubi, kentang, serta padi-padian dan umbi-umbian lainnya tidak berkembang menjadi pangan sumber kerbohidrat yang setara dengan beras seperti halnya gandum ? (Ning, 2003).

Beberapa alternatif diversifikasi pangan sudah mulai dikembangkan dan sudah mendapat sambutan yang positif dari berbagai kalangan. Adanya kerjasama antara Pemda Istimewa Yogyakarta dengan PT Bogasari dan petani dalam pengembangan pangan khas daerah berupa tiwul instan. Tiwul yang saat ini dianggap kelas rendahan ditingkatkan martabatnya dengan nilai gizi dan penyajian yang lebih baik serta lebih praktis. Inisiatif lain juga telah dirintis antara Pemda Kab. Kebumen, Universitas Gadjah Mada serta pengusaha dalam pengembangan tepung jagung. Tepung ini diyakini sebagai pintu masuk untuk mengembangkan produk jagung menjadi berbagai olahan yang berdaya saing tinggi. Kerja sama antara dunia usaha, perguruan tinggi dan pemerintah tersebut, walaupun masih dalam taraf embrio atau pilot proyek, adalah langkah maju. Dengan mengambil manfaat positif, kita berharap segera lahir inisiati-inisiatif kerja sama serupa yang lebih banyak lagi menggarap bahan-bahan pangan khas daerah (Ning, 2003).

Umbi Cilembu merupakan salah satu alternatif bahan pangan pengganti beras yang patut dicermati dan dikembangkan. Umbi ini berasal dari sebuah desa kecil di jajaran kaki G. Geulis, Kec. Tanjungsari, Kab. Sumedang, Jabar. Departemen Pertanian menilai umbi Cilembu merupakan salah satu jenis umbi yang terbaik di Indonesia. Sumber protein dapat berasal dari hewani dan nabati. Tetapi saat ini ada alternatif pangan sumber protein yang berasal dari mikroorganisme (bakteri, alga, ragi/yeast) yang sering disebut protein sel tunggal/single cell protein. Produk yang dihasilkan antara lain susu dan mentega hasil fermentasi oleh mikroorganisme, yoghurt. Selain sumber protein, bahan pangan sumber serat selain berasal dari buah dan sayur dapat juga berasal dari protein sel tunggal. Produk yang dihasilkan adalah nata (berasal dari bakteri), sedangkan yang berasal dari alga dapat berupa agar-agar dan jelly. (Pelczar et al. 1986). 

Konsumsi Pangan.

Konsumsi pangan dan gizi sangat penting dalam mewujudkan ketahanan pangan sampai pada tingkat rumah tangga. Tidak ada artinya persediaan pangan yang cukup bila tidak dikonsumsi oleh penduduk. Tingkat dan konsumsi pangan penduduk berkaitan erat dengan tingkat daya beli,  ketersediaan pangan dan perilaku konsumsi masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut masalah yang dihadapi adalah :

a.       Jumlah pangan akan selalu bertambah seiring perkembangan jumlah penduduk yang selalu meningkat. Pangan yang dibutuhkan untuk jumlah penduduk 205 juta sekitar 28 juta ton beras/tahun.

b.      Diversifikasi konsumsi pangan yang selalu didengung-dengunkan pemerintah sampai saat ini kurang berhasil. Hal ini terbukti bahwa hampir semua orang, pangan pokoknya masih bertumpu pada  beras.

c.       Penerapan teknologi produksi dan teknologi pengolahan pangan lokal di masyarakat tidak mampu mengimbangi pangan olahan asal impor yang membanjiri pasar.

d.      Pada tahun 1995 sebagian penduduk mengalami defisit energi (< 70 % AKG) sekitar 51.65 % dan sekitar 2,94 juta menderita gizi buruk, serta 4.31 juta menderita gizi kurang (Depkes 2003)

e.       Berdasarkan aspek keamanan pangan (food safety), banyak kasus pangan terkena cemaran biologi, kimia dan benda lain yang mengganggu, dan membahayakan kesehatan manusia.

Mengacu permasalahan di atas,  beberapa upaya yang dapat dilakukan, antara lain adalah :

a.       Meningkatkan ketersediaan pangan yang beragam, baik jumlah maupun mutu serta aman untuk dikonsumsi.  Upaya ini dilakukan secara sinergi antara kegiatan penyediaan saat produksi  maupun aspek pengolahan dan distribusinya.

b.      Mempromosikan diversifikasi konsumsi pangan. Konsumsi pangan yang beragam harus dipromosikan sebagai prasarat hidup sehat. Promosi di arahkan kepada penyadaran masyarakat agar konsumsi beragam makanan menjadi suatu kebiasaan. Keanekaragaman konsumsi harus didasarkan pada potensi pangan lokal. Oleh karena itu perlu mendorong pengembangan teknologi pengolahan pangan lokal dan juga industri pangan yang berbasis pangan lokal.  Pengembangan diarahkan pada upaya peningkatan nilai tambah, diantaranya melalui pengembangan berbagai produk olahan sehingga memenuhi persyaratan produk pangan yang mencakup keragaman, mutu, gizi, keamanan dan kepraktisan baik dalam pembuatan maupun penyajian dan penyimpanan.  Yang tidak kalah penting adalah pengembangan berbagai produk olahan hendaknya tidak saja ditujukan pada masyarakat menengah kebawah melainkan lebih ditujukan pada masyarakat menengah keatas, karena kelas masyarakat inilah yang mempunyai daya beli cukup tinggi sehingga dalam skala nasional dapat mengurangi kebutuhan akan beras sebagai satu-satunya sumber karbohidrat utama.

c.       Meningkatkan pendapatan  rumah tangga yang dapat dilakukan dengan penambahan ketrampilan kerja. Upaya ini diharapkan akan meningkatkan daya beli pangan pada masyarakat.

d.      Mengurangi ketergantungan terhadap beras dan pangan impor melalui peningkatan konsumsi pangan baik nabati maupun hewani dengan peningkatan produksi pangan lokal dan produk olahannya.

PENUTUP

            Ketahanan pangan yang telah dicanangkan oleh pemerintah Indonesia sampai saat ini belum dapat terwujud sepenuhnya. Hingga saat ini pemerintah masih terus berupaya untuk mewujudkannya, apalagi saat ini angka kemiskinan cukup tinggi dan daya beli masyarakat sangat rendah.

            Ada beberapa upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan yang tangguh, diantaranya adalah : di bidang produksi yang diawali dengan perbaikan produktivitas tanah yang pada akhirnya akan menunjang peningkatan produksi pertanian. Di bidang peternakan perlu adanya peningkatan produktifitas baik melalui perbaikan teknologi produksi (rekayasa genetik) maupun perbaikan menejerial produksi sehingga didapat produk yang berkualitas namun harganya terjangkau dan mampu bersaing dengan produk impor.

            Diversifikasi pangan hendaknya dititik beratkan pada pengembangan potensi pangan lokal untuk mengimbangi konsumsi beras yang cenderung meningkat. Bilamana diversifikasi pangan dapat berkembang dengan baik, maka kebutuhan beras untuk skala nasional dapat berkurang dan masyarakat miskin dapat memenuhi kebutuhan pangannya yang  berkualitas. Semua ini merupakan tantangan untuk kita semua, karena ketahanan pangan yang tangguh akan menghasilkan sumberdaya manusia yang tangguh pula.

DAFTAR PUSTAKA

Atmojo, S.M.  1999.  Kerjasama  Kemitraan Perguruan Tinggi dan Pemerintah Daerah dalam Program Gizi dengan Pendekatan Spisifik Lokal. Hal 111-128: Thaha, R., Hardinsyah dan A. Ala (Eds), Pembangunan Gizi dan Pangan dari Perpesktif Kemandirian Lokal. PERGIZI PANGAN Indonesia dan Center for Regional Resource Development & Community Empowerment. 

Depkes, 2003. Gizi dalam Angka. Jakarta.

Djojohadikusumo, P.S., 2004. Pembengunan Ekonomi Nasional Berbasis Asrobisnis untuk Kesejahteraan Rakyat. Seminar Arah Pembangunan Pertanian dan Prospek Perbaikan Ekonomi Indonesia. LKM Katalis Bogor tanggal 28 Januari 2004. 

Dedi, R. 2002. Umbi Cilembu, alternatif diversifikasi pangan. Pikiran Rakyat Cyber Media.

Khomsan, A.  2003. Impor Beras, Ketahanan Pangan, dan Kemiskinan Petani.    Kamis, 18 Desember 2003

Hutagaol, Parulian dan Adiwibowo, Soeryo.  2002. Degradasi Lingkungan Dan Ketahanan Pangan: Investigasi Singkat Mengenai Peranan Kebijakan Pembangunan Nasional. Preseding Seminar Tekanan Penduduk, Degradasi Lingkungan dan Ketahanan Pagan. Pusat Studi Pembangunan IPB dan Departemen Pertanian. Hal 106 106-136

Mears, 1984. Rice and Self Sufficiency in Indonesia. Bulletin of Indonesia Economic Studies. Vol.20.Hal :122-138

Ning, P. 2003. Diversifikasi pangan, perjalanan yang tersendat. Suara Pembaharuan daily. 1 Maret 2003.

Pelczar M,. J,   E. C. S Chan, N. R Krieg. 1986. Microbiology. Mc Graw Hill Co. New York

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 2000. Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia, skala 1 : 1.000.000. Puslittanak, Badan Litbang Pertanian.

Suryana A. 2003. Kapita selekta: Evolusi pemikiran kebijakan ketahanan pangan. BPFE UGM.

Sarma, J.S., dan P. Yeung, (1985) Livestogk Products in The Rhird Word: Past Trend and Projection to 1990 and 2000. Research Report 49. International Food Policy Institute

Tjuk, E. H. B. 2003. Riskan, Ketahanan pangan hanya andalkan beras. Suara Pembaharuan daily. 17 Oktober 2003.

Yudoyono, S. 2003. Pembangunan Indonesia  Berbasis Pertanian. Butir-butir Pemikiran, disampaiakan pada Forum Mahasiswa Pasca Sarjana IPB; 4 September 2003.

.