© 2004 Sekolah Pasca Sarjana IPB Posted 2 April
2004
Makalah Kelompok 5, Sem. 2, t.a. 2003/4
Materi Diskusi Kelas
Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Program Pasca Sarjana - S3
Institut Pertanian Bogor
April 2004
Dosen:
Prof. Dr. Ir. Rudy C.
Tarumingkeng (penanggung jawab)
Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto
Dr Ir Hardjanto
UPAYA
MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN
YANG
TANGGUH
1.
Prihananto A561030091
2. Triadiati Antono G361030021 tria_24@hotmail.com
3.
Dedi Nursyamsi
A261024011
4.
Ansyori A261030031
5. Muhamad Samsi B161030011
PENDAHULUAN
Terjadinya krisis ekonomi
berkepanjangan yang
dimulai sejak tahun 1997, telah menurunkan kembali berbagai
keberhasilan yang dicapai selama ini termasuk pembangunan di bidang pangan dan
gizi.
Apabila rencana tersebut direalisir dapat diprediksi bahwa harga dasar
gabah petani tertekan pada saat panen raya tiba. Kebijakan
tersebut berimplikasi pada keterpurukan petani, sebagai salah satu elemen
penting yang mempunyai kedudukan strategi dalam ketahanan pangan. Dalam hal ini petani berperan sebagai produsen dan sekaligus
konsumen terbesar yang membutuhkan daya beli yang cukup untuk dapat membeli
pangan.
Kondisi tersebut
di atas menyebabkan rendahnya kemampuan sebagian besar masyarakat untuk dapat mengakses pangan sesuai dengan kebutuhannya. Bilamana
kebutuhan pangan dan gizi tidak dapat terpenuhi, maka akan
berdampak pada penurunan kualitas sumberdaya manusia yang pada akhirnya akan
menurunkan kreatifitas dan produktifitas kerja. Dampak serius jika pangan dan
gizi tak terpenuhi diantaranya adalah kekurangan energi dan protein yang
disebabkan oleh kekurangan makanan bergizi serta infeksi akan menyebabkan kehilangan 5-10 IQ point (UNICEFF, 1997 dalam Atmojo, 1999)
Situasi sulit dan kurang menguntungkan seperti sekarang ini mengakibatkan
ketahanan pangan secara nasional dan regional rapuh sehingga perlu penanganan
secara menyeluruh sebagai suatu sistem pangan dan gizi. Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan
menyatakan bahwa pembangunan ketahanan pangan bertujuan untuk mewujudkan
ketersediaan pangan bagi seluruh rumah tangga, dalam jumlah yang cukup, mutu
dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata, serta terjangkau oleh setiap
individu.
Mengacu pada
pebgertian tersebut, dapat dikatakan bahwa ketahanan pangan saat ini belum
dapat dicapai, khususnya pada level rumah tangga. Berdasarkan uraian tersebut di atas, timbul
pertanyaan Bagaimana elemen-elemen ketahanan pangan dibangun untuk
mewujudkan ketahanan pangan
yang tangguh dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan. Makalah ini membahas berbagai upaya untuk mewujudkan ketahanan
pangan nasional yang tangguh.
PENDEKATAN
KETAHANAN PANGAN
Sejalan dengan pemikiran Khomsan (2003), konsep ketahanan pangan bersifat
multidimensi yang meliputi mata rantai sistem pangan dan gizi, mulai dari produksi, distribusi, konsumsi,
dan status gizi. Secara ringkas system ketahanan pangan menyangkut tiga hal penting, yaitu : ketersediaan, akses, dan konsumsi pangan.
Pembangunan sub
sistem ketersediaan pangan diarahkan baik dari sisi jumlah maupun kualitas yang
banyak tergantung kepada produksi, impor dan ekspor pangan. Ketersediaan
pangan sangat menentukan konsumsi pangan rumah tangga atau individu di samping
pendapatan, kebiasaan makan dan pengetahuan gizi. Pembangunan sub sistem konsumsi bertujuan
untuk menjamin agar setiap warga konsumsi pangannya cukup, bergizi, aman dan
beragam. Selanjutnya konsumsi pangan akan menentukan status gizi masyarakat.
Atas dasar
pendekatan tersebut maka upaya yang dapat dilakukan untuk membangun system
ketahanan pangan
meliputi empat bidang, yaitu: bidang produksi, teknologi pangan,
distribusi dan konsumsi pangan. Namun demikian kajian dalam
tulisan ini menitikberatkan pada sisi penyediaan pangan, diversifikasi pangan
dan konsumsi.
Produksi Pangan
Secara garis besar sumber pangan dapat
berasal dari tumbuh-tumbuhan (nabati) dan dari hewan (hewani). Pangan
nabati dihasilkan dari tanaman pangan seperti: padi, jagung, kedelai,
umbi-umbian, hortikultura, dan sayur-sayuran, sedangkan pangan hewani
dihasilkan dari bidang peternakan dan perikanan. Makalah ini
membahas produksi pangan dari sektor pertanian dan peternakan.
1. Pertanian
Berdasarkan
potensi lahan seperti yang tersaji pada Tabel 1 tampak bahwa terdapat peluang yang
cukup besar untuk memenuhi ketersediaan pangan dari produksi dalam negeri. Peluang tersebut bisa dicapai jika mampu mengatasi berbagai kendala
yang cukup besar dan beragam, baik
fisik, biotik, sosial ekonomi, sarana dan prasarana serta kelembagaan. Disamping itu diperlukan pula pemilihan dan penerapan teknologi
yang tepat dengan dukungan sarana dan prasarana yang memadai.
Tabel 1. Penyebaran tanah-tanah pertanian di
Jenis Tanah |
Sumatera |
Jawa |
Nusa Tenggara |
Kaliman-tan |
|
Maluku &Irja |
|
Persen-tase |
Histosol |
6.591 |
- |
- |
4.448 |
128 |
2.037 |
13.203 |
7,0 |
Entisol |
4.175 |
1.614 |
1.210 |
3.698 |
857 |
6.452 |
18.006 |
9,6 |
Inceptisol |
17.651 |
5.210 |
3.276 |
14.903 |
9.186 |
30.393 |
70.520 |
37,5 |
Vertisol |
- |
1.445 |
364 |
- |
307 |
2 |
2.119 |
1,1 |
Andisol |
2.594 |
1.698 |
381 |
237 |
164 |
321 |
5.395 |
2,9 |
Alfisol |
53 |
1.093 |
767 |
- |
2.003 |
1.236 |
5.153 |
2,7 |
Mollisol |
451 |
682 |
1.116 |
685 |
702 |
6.277 |
9.913 |
5,3 |
Ultisol |
9.469 |
1.172 |
53 |
21.938 |
4.303 |
8.859 |
45.794 |
24,3 |
Oxisol |
5.900 |
272 |
- |
4.531 |
751 |
2.657 |
14.110 |
7,5 |
Spodosol |
16 |
- |
- |
2.079 |
60 |
- |
2.155 |
1,1 |
Grup |
430 |
33 |
40 |
372 |
282 |
688 |
1.700 |
0,9 |
Jumlah |
47.240 |
13.210 |
7.208 |
52.890 |
18.743 |
48.922 |
188.212 |
100 |
Sumber : Puslittanak (2000)
Beberapa teknologi yang dapat digunakan untuk memacu produksi pertanian, diantaranya adalah: (a) pengelolaan air, (b) konservasi tanah dan air, (c) pengelolaan bahan organik, (d) pengapuran, (e) pemupukan, (f) penggunaan varietas unggul, (g) pengendalian hama dan penyakit, (h) mekanisasi, dan (i) penerapan komponen ternak. Penerapan teknologi tersebut disesuaikan dengan kondisi fisik dan biotik lahan serta kondisi sosial dan ekonomi petani.
Teknologi pengelolaan air
merupakan kunci keberhasilan usaha pertanian. Di
lahan rawa, air berlimpah bahkan berlebih sehingga pengelolaan air lebih
ditekankan kepada perbaikan sistem drainase. Sebaliknya di lahan darat,
ketersediaan air terbatas sehingga pengelolaan air ditujukan kepada perbaikan sistem irigasi
dan pemanenan air hujan agar penggunaan air efisien.
Teknik konservasi tanah yang bertujuan untuk
mempertahankan produkstivitas tanah prinsipnya adalah berbagai manipulasi
pengelolaan tanah yang ditujukan agar struktur tanah tidak rusak akibat pukulan
air hujan dan mengendalikan aliran permukaan sehingga erosi dapat dikendalikan. Selain itu perbaikan kesuburan tanah juga
diperlukan dalam meningkatkan produktivitas tanah. Bahan organik tanah
merupakan faktor penting dalam meningkatkan dan mempertahankan kesuburan tanah.
Tanah-tanah di
Sebagian besar tanah-tanah
di Indonesia bersifat masam sehingga pengapuran menjadi sangat penting. Pengapuran
dutujukan untuk menetralisir sifat racun dari Al yang merupakan kendala utama di
tanah masam (pH < 5,5). Kebutuhan
kapur untuk menetralkan Al adalah jumlah kapur yang diperlukan agar kejenuhan
Al tidak lebih dari batas kritis tanaman yang bersangkutan. Selanjutnya pemupukan juga diperlukan untuk meningkatkan
ketersediaan unsur hara, terutama hara makro. Efisiensi
pemupukan umumnya masih rendah, terutama pada tanah-tanah masam di lahan
kering. Oleh karena itu aspek efisiensi penggunaan pupuk merupakan aspek
penting dalam peningkatan
produktivitas lahan.
Faktor penting lainnya dalam meningkatkan
produktivitas lahan adalah Pengendalian
Efektifitas penggunaan varietas unggul dalam
meningkatkan produksi pangan tidak terlepas dengan ketersediaan air dan sarana
produksi pertanian (saprotan) lainnya. Oleh karena itu pemerintah perlu
membangun sistem irigasi yang cukup dan menyediakan saprotan tepat waktu dan
jumlahnya. Semua biaya untuk pembangunan
irigasi dan operasional ditanggung oleh pemerintah, sehingga air irigasi tersedia bagi petani secara gratis
dan harga saprotan dapat terjangkau oleh petani.
Keberhasilan pemilihan dan penerapan teknologi di
bidang pangan ditentukan oleh kesiapan
sumberdaya manusia dan juga daya dukung untuk teknologi yang dibutuhkan serta
dukungan dari sektor lainnya. Hal ini karena sektor pertanian merupakan sektor
yang tidak dapat berdiri sendiri sehingga memerlukan keterlibatan sektor lain
seperti industri, konstruksi dan sektor jasa. Permasalahan yang muncul adalah
bagaimana menjalin koordinasi yang baik sampai pada tataran implementasi.
Pada level kegiatan usahatani, pemerintah harus
memberikan rangsangan kegiatan organisasi petani seperti KUD dan kelompok tani.
Selain itu kebijakan pemerintah harus berpihak kepada petani seperti menerapkan
harga dasar gabah yang betul-betul dilaksanakan, bukan sebatas kebijakan yang
dalam prakteknya sulit dilaksanakan.
Menurut Hutagaol dan Ariwibowo (2002), pembangunan pertanian Indonesia masih
dilandaskan pada peningkatan produksi pangan dan bahan baku industri, sehingga
terfokus pada pemberian subsidi, perlindungan harga, dan pengembangan teknologi
produksi usahatani. Kebijakan seperti
ini ternyata tidak efektif dalam membebaskan petani dari belenggu kemiskinan
serta cenderung memperburuk kondisi kesenjangan sosial ekonomi masyarakat
pedesaan, sedangkan kemiskinan cenderung
kurang bersahabat dengan lingkungan.
Berkaitan dengan hal tersebut peningkatan produksi
pangan pada tingkat petani, paradigmanya perlu diubah dari upaya penyediaan
pangan semata menjadi upaya ke arah peningkatan kesejahteraan. Oleh karena itu
stimulan dan rangsangan dari pemerintah sangat diperlukan sehingga dalam diri
petani muncul jiwa bisnis, dan kemandirian
yang pada akhirnya petani sebagai elemen dari ketahanan pangan akan
memperkokoh dalam membangun ketahanan pangan.
2. Peternakan
Permasalahan yang dihadapi subsektor peternakan adalah
pertumbuhan ternak negatif. Sebelum krisis moneter (1988) produksi daging sapi
dan kerbau mencapai 389 ribu ton, atau sebesar 31,7%
dari total produksi daging sebesar 1,2 juta ton. Konsumsi daging sapi dan kerbau pada tahun
yang sama adalah 419 ribu ton, sehingga terdapat
kekurangan 30 ribu ton. Padahal pada tahun 1970 an
Produk peternakan terdiri dari daging termasuk daging unggas, telur dan susu yang berperan
sebagai sumber energi dan memiliki proporsi gizi 1/6 dan 1/3 pada protein pada kapasitas suplai
pangan perorang, yang harus dilengkapi dengan bahan pangan asal tumbuhan.
Konsumsi produk peternakan per kapita mengalami ketimpangan, yaitu negara maju
mengkonsumsi empat sampai
Tabel 2. Konsumsi telur, daging dan susu per kapita/tahun dalam kg di beberapa negara
No. |
Negara |
Konsumsi |
||
Daging |
Telor |
Susu |
||
1. |
|
7,10 |
3,48 |
6,50 |
2. |
Banglades |
3,08 |
0,65 |
31,65 |
3. |
|
39,00 |
10,10 |
2,96 |
4. |
|
25,97 |
20,54 |
10,72 |
5. |
|
46,87 |
17,62 |
3,62 |
6. |
Philipina |
24,96 |
4,51 |
0,25 |
7. |
Tahiland |
25,00 |
9,15 |
2,04 |
Sumber : Djojohadikusumo, 2004
Semua langkah yang memungkinkan perlu diambil guna
membangun kemandirian di bidang pangan melalui kegiatan intensifikasi dan
ekstensifikasi. Kemajuan teknologi berupa rekayasa genetika juga perlu
diterapkan dalam proses pertanian (Yudohusodo, 2003). Ternak perlu ditingkatkan
mutu genetiknya karena rendahnya produktifitas ternak lokal. Selain itu diperlukan pula peningkatan
sumberdaya manusia melalui pendidikan dan pelatihan disamping perbaikan
regulasi impor yang jelas dan transparan. Produktifitas ternak juga
ditingkatkan dengan cara perbaikan kesehatan ternak yang akan berpengaruh
terhadap mutu dan jumlah produk ternak yang dihasilkan. Perlu penanganan
pascapanen hasil ternak yang aman dan sehat bagi konsumen sehingga mampu
bersaing dengan bahan pangan asal impor.
Diversifikasi Pangan
Diversifikasi pangan adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk menghargai keragaman budaya pangan, termasuk pola pangan, dan
penghargaan atas keragaman sumber daya pangan. Dengan
demikian diversifikasi tidak hanya sekedar mengubah pola pangan dan
meningkatkan kualitas konsumsi pangan, tetapi juga mencakup aspek-aspek
penghargaan terhadap keragaman budaya nusantara. Diversifikasi
diselenggarakan untuk memaksimalkan pemanfaatan keragaman sumber daya pangan,
kelembagaan dan budaya lokal serta untuk meningkatkan kualitas konsumsi
masyarakat (Tjuk 2003). Salah satu upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan
adalah melalui diversifikasi pangan, yaitu proses pengembangan produk pangan
yang tidak bergantung pada satu jenis bahan saja, tetapi memanfaatkan
macam-macam bahan pangan.
Manfaat diversifikasi pangan dari aspek penyediaan adalah semakin beragamnya alternatif jenis pangan yang dapat ditawarkan, tidak terfokus pada pangan tertentu saja. Hal ini mengingat bahwa pola produksi sebagian besar komoditas pangan mengikuti siklus musim. Pada saat musim panen pasokannya melimpah dan harganya menurun, sebaliknya di luar musim pasokannya menipis dan harganya cenderung meningkat. Apabila pasokan suatu jenis pangan menipis, kemudian dapat disubstitusi dengan jenis pangan lain, maka kelangkaan tersebut tidak segera memicu kenaikan harga. Bagi pemerintah yang bertanggung jawab pada penyediaan pangan pokok bagi masyarakat, semakin tinggi diversifikasi permintaan pangan, semakin ringan pengelolaan penyediaannya. Dengan semakin banyaknya bahan pangan yang dapat saling mengisi, kelangkaan suatu pangan pokok seperti beras dapat diisi oleh padi-padian lain atau umbi-umbian, sehingga tidak mudah terjadi keresahan sosial. (Ning 2003).
Saat ini beras
masih merupakan pangan pokok strategis, baik secara ekonomi, sosial maupun
politis, sehingga memperlakukan beras sejajar dengan komoditas pangan yang lain
tidak tepat. Resiko atau dampak sosial, ekonomi dan
politisnya masih cukup besar, apalagi dalam fase krisis multidimensi seperti
saat ini. Pengertian ketahanan pangan yang
sesungguhnya bukan hanya beras tetapi ketersediaan beras memang sangat sulit
dihilangkan sebagai akibat perjalanan sejarah yang panjang.
Pendekatan yang perlu dilakukan dalam memperkokoh ketahanan pangan adalah tetap mendorong peningkatan produksi beras domestik, seiring dengan upaya pengembangan pangan sumber karbohidrat nonberas dan sumber-sumber protein dan zat gizi mikro alternatif. Oleh karena itu, dimasa depan kita perlu meningkatkan upaya pengembangan pangan alternatif yang berbasis umbi-umbian (ubi, ketela, garut dan lain-lain), tanaman pohon (sukun dan sagu) serta bahan pangan berbasis biji-bijian (beras, jagung, sorgum, dan lain-lain) yang dapat juga diproses menjadi tepung yang dapat tahan lebih lama dan dapat diperkaya dengan mineral dan vitamin (Suryana, 2003).
Dalam rangka memenuhi komitmen ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumberdaya pangan, kelembagaan pangan dan budaya lokal, pemerintah melalui UU No. 25/2000 tentang Propenas tahun 2000-2004 telah menetapkan program peningkatan ketahanan pangan. Program ini bertujuan: (a) meningkatkan diversifikasi produksi, ketersediaan dan konsumsi pangan bersumber pangan ternak, ikan, tanaman pangan, hortikultura, perkebungan, beserta produk-produk olahannya; (b) mengembangkan kelembagaan pangan yang menjamin peningkatan produksi serta konsumsi yang lebih beragam; (c) mengembangkan usaha bisnis pangan dan; (d) menjamin ketersediaan gizi dan pangan bagi masyarakat (Suryana 2003).
Menurut Suryana (2003), salah satu persoalan pokok yang dihadapi dalam upaya diversifikasi pangan adalah telah tertanamnya citra bahwa pangan lokal sumber karbohidrat seperti singkong, jagung dan sagu nilainya lebih rendah atau inferior terhadap beras. Penduduk yang jatuh miskin dan yang rawan pangan merupakan konsumen utama pangan lokal nonberas tersebut. Keadaan ini tidak terlepas dari pendekatan yang dilakukan selama ini dalam pembangunan pangan yang memusatkan pada beras. Menyikapi kondisi masyarakat seperti itu, pendekatan pengembangan diversifikasi pangan harus didekati dengan:
a. Program diversifikasi pangan
jangan dikaitkan langsung dengan upaya mengentaskan kemiskinan atau menangani
kerawanan pangan, agar citra pangan karbohidrat nonberas yang melekat selama
ini sebagai pangan inferior dapat secara perlahan dihapus.
b. Program diversifikasi pangan
sebaiknya digambarkan sebagai upaya peningkatan kualitas SDM melalui perbaikan
pola konsumsi yang lebih beragam, bergizi dan berimbang. Dengan demikian aspek
kesehatan dan perbaikan gizi lebih ditonjolkan dibandingkan aspek lainnya.
c. Mengingat beras masih
dominan sebagai bahan pangan pokok, upaya diversifikasi pangan perlu dikaitkan
dengan sasaran penurunan konsumsi beras/kapita yang saat ini masih sangat
tinggi. Untuk itu, pangan sumber karbohidrat lain yang dikembangkan harus
kompetitif dalam hal citarasa, citra dan harga terhadap pangan dari beras.
Sehubungan dengan itu peran industri pengolahan pangan dalam pengembangan
produk menjadi salah satu faktor keberhasilan.
d. Karena pendekatan pada keseimbangan konsumsi gizi, maka perhatian yang cukup perlu diberikan pada pengembangan pangan sumber-sumber protein dan sumber-sumber zat gizi mikro.
Apabila dinilai menurut Standar Pola Pangan Harapan (PPH) dengan nilai ideal 100, keragaman penyediaan pangan nasional tahun 2001 mencapai nilai sekitar 73, sedangkan dalam hal konsumsi (berdasarkan Susenas 1999) baru sekitar 63. Pola konsumsi pangan kita sekitar 40 % diwarnai oleh padi-padian yang yang sebagian besar beras; 26 % sayur dan buah; 13 % pangan hewani terutama ikan, daging unggas dan telur; 8 % kacang-kacangan seperti kedelai, kacang hijau dan kacang tanah; dan 6 % minyak dan lemak terutama bahan nabati. Dengan proporsi ideal padi-padian dan pangan hewani sebesar 25 dan 24 %, pola konsumsi kita masih terlalu tinggi pada padi-padian dan terlalu rendah pada pangan hewani. Pola demikian, tidak mengherankan apabila pasokan beras tidak mencukupi, atau harga beras meningkat relatif tinggi.
Saat ini gandum
melalui mi instan dan roti-rotian telah berhasil menjadi sumber karbohidrat
penting setelah beras dan jagung. Pada tingkat
tertentu gandum telah membantu mengurangi tekanan terhadap beras. Sebagai konsekuensinya impor gandum selama 3 tahun terakhir telah
mencapai 3 juta ton/tahun. Hal inilah yang
dikhawatirkan sebagian masyarakat yang tidak menghendaki ketergantungan pangan
pada pihak asing, mengingat gandum belum bisa diproduksi di
Beberapa alternatif diversifikasi pangan sudah mulai dikembangkan dan sudah mendapat sambutan yang positif dari berbagai kalangan. Adanya kerjasama antara Pemda Istimewa Yogyakarta dengan PT Bogasari dan petani dalam pengembangan pangan khas daerah berupa tiwul instan. Tiwul yang saat ini dianggap kelas rendahan ditingkatkan martabatnya dengan nilai gizi dan penyajian yang lebih baik serta lebih praktis. Inisiatif lain juga telah dirintis antara Pemda Kab. Kebumen, Universitas Gadjah Mada serta pengusaha dalam pengembangan tepung jagung. Tepung ini diyakini sebagai pintu masuk untuk mengembangkan produk jagung menjadi berbagai olahan yang berdaya saing tinggi. Kerja sama antara dunia usaha, perguruan tinggi dan pemerintah tersebut, walaupun masih dalam taraf embrio atau pilot proyek, adalah langkah maju. Dengan mengambil manfaat positif, kita berharap segera lahir inisiati-inisiatif kerja sama serupa yang lebih banyak lagi menggarap bahan-bahan pangan khas daerah (Ning, 2003).
Umbi Cilembu merupakan salah satu alternatif bahan
pangan pengganti beras yang patut dicermati dan dikembangkan. Umbi ini berasal dari sebuah desa kecil di jajaran kaki G. Geulis,
Kec. Tanjungsari, Kab. Sumedang, Jabar. Departemen
Pertanian menilai umbi Cilembu merupakan salah satu jenis umbi yang terbaik di
Konsumsi Pangan.
Konsumsi pangan dan gizi
sangat penting dalam mewujudkan ketahanan pangan sampai pada tingkat rumah
tangga. Tidak ada artinya persediaan pangan yang cukup bila
tidak dikonsumsi oleh penduduk. Tingkat dan konsumsi pangan penduduk
berkaitan erat dengan tingkat daya beli, ketersediaan pangan dan perilaku
konsumsi masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut masalah yang dihadapi adalah :
a. Jumlah pangan akan selalu bertambah seiring perkembangan jumlah penduduk
yang selalu meningkat. Pangan yang dibutuhkan untuk jumlah penduduk 205 juta
sekitar 28 juta ton beras/tahun.
b. Diversifikasi
konsumsi pangan yang selalu didengung-dengunkan pemerintah sampai saat ini
kurang berhasil. Hal ini terbukti bahwa hampir semua orang, pangan pokoknya
masih bertumpu pada beras.
c. Penerapan
teknologi produksi dan teknologi pengolahan pangan lokal di masyarakat tidak
mampu mengimbangi pangan olahan asal impor yang membanjiri pasar.
d. Pada tahun 1995
sebagian penduduk mengalami defisit energi (< 70 % AKG) sekitar 51.65 % dan
sekitar 2,94 juta menderita gizi buruk, serta 4.31 juta menderita gizi kurang
(Depkes 2003)
e. Berdasarkan
aspek keamanan pangan (food safety), banyak kasus pangan terkena cemaran
biologi, kimia dan benda lain yang mengganggu, dan membahayakan kesehatan
manusia.
Mengacu permasalahan di atas, beberapa upaya yang dapat dilakukan,
antara lain adalah :
a. Meningkatkan
ketersediaan pangan yang beragam, baik jumlah maupun mutu serta aman untuk
dikonsumsi. Upaya ini dilakukan secara
sinergi antara kegiatan penyediaan saat produksi maupun aspek pengolahan dan
distribusinya.
b. Mempromosikan
diversifikasi konsumsi pangan. Konsumsi pangan yang beragam harus dipromosikan
sebagai prasarat hidup sehat. Promosi di arahkan kepada penyadaran masyarakat
agar konsumsi beragam makanan menjadi suatu kebiasaan. Keanekaragaman konsumsi
harus didasarkan pada potensi pangan lokal. Oleh karena itu perlu mendorong
pengembangan teknologi pengolahan pangan lokal dan juga industri pangan yang
berbasis pangan lokal. Pengembangan
diarahkan pada upaya peningkatan nilai tambah, diantaranya
melalui pengembangan berbagai produk olahan sehingga memenuhi persyaratan
produk pangan yang mencakup keragaman, mutu, gizi, keamanan dan kepraktisan
baik dalam pembuatan maupun penyajian dan penyimpanan. Yang tidak kalah penting adalah pengembangan
berbagai produk olahan hendaknya tidak saja ditujukan pada masyarakat menengah
kebawah melainkan lebih ditujukan pada masyarakat menengah keatas, karena kelas
masyarakat inilah yang mempunyai daya beli cukup tinggi sehingga dalam skala
nasional dapat mengurangi kebutuhan akan beras sebagai satu-satunya sumber
karbohidrat utama.
c. Meningkatkan pendapatan rumah
tangga yang dapat dilakukan dengan penambahan ketrampilan kerja. Upaya ini
diharapkan akan meningkatkan daya beli pangan pada
masyarakat.
d. Mengurangi
ketergantungan terhadap beras dan pangan impor melalui peningkatan konsumsi
pangan baik nabati maupun hewani dengan peningkatan produksi pangan lokal dan
produk olahannya.
PENUTUP
Ketahanan
pangan yang telah dicanangkan oleh pemerintah
Diversifikasi pangan hendaknya dititik beratkan pada pengembangan
potensi pangan lokal untuk mengimbangi konsumsi beras yang cenderung meningkat.
Bilamana diversifikasi pangan dapat berkembang dengan baik, maka kebutuhan
beras untuk skala nasional dapat berkurang dan masyarakat miskin dapat memenuhi
kebutuhan pangannya yang
berkualitas. Semua ini merupakan tantangan untuk kita semua,
karena ketahanan pangan yang tangguh akan menghasilkan
sumberdaya manusia yang tangguh pula.
Atmojo, S.M.
1999. Kerjasama Kemitraan Perguruan Tinggi dan
Pemerintah Daerah dalam Program Gizi dengan Pendekatan Spisifik Lokal. Hal
111-128: Thaha, R., Hardinsyah dan A. Ala (Eds), Pembangunan Gizi dan Pangan
dari Perpesktif Kemandirian Lokal.
Depkes, 2003. Gizi dalam Angka.
Djojohadikusumo, P.S., 2004. Pembengunan Ekonomi Nasional Berbasis Asrobisnis untuk
Kesejahteraan Rakyat. Seminar Arah Pembangunan
Pertanian dan Prospek Perbaikan Ekonomi
Dedi, R. 2002. Umbi Cilembu, alternatif diversifikasi pangan. Pikiran Rakyat Cyber Media.
Khomsan, A. 2003. Impor Beras, Ketahanan
Pangan, dan Kemiskinan Petani. Kamis,
18 Desember 2003
Hutagaol, Parulian dan Adiwibowo, Soeryo. 2002.
Degradasi Lingkungan Dan Ketahanan Pangan: Investigasi Singkat Mengenai Peranan
Kebijakan Pembangunan Nasional. Preseding Seminar Tekanan Penduduk, Degradasi
Lingkungan dan Ketahanan Pagan. Pusat Studi Pembangunan IPB
dan Departemen Pertanian. Hal 106 106-136
Mears, 1984. Rice and Self Sufficiency in Indonesia. Bulletin of Indonesia
Economic Studies. Vol.20.Hal :122-138
Ning, P. 2003. Diversifikasi pangan, perjalanan yang
tersendat. Suara Pembaharuan daily. 1 Maret 2003.
Pelczar M,. J, E. C. S Chan, N. R Krieg. 1986. Microbiology. Mc Graw Hill Co.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 2000. Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia, skala 1 : 1.000.000. Puslittanak, Badan Litbang Pertanian.
Suryana A. 2003. Kapita selekta: Evolusi pemikiran kebijakan ketahanan pangan. BPFE UGM.
Sarma, J.S., dan P. Yeung, (1985) Livestogk Products in The Rhird Word: Past Trend and Projection to 1990 and 2000. Research Report 49. International Food Policy Institute
Tjuk, E. H. B. 2003. Riskan, Ketahanan pangan hanya andalkan beras. Suara Pembaharuan daily. 17 Oktober 2003.
Yudoyono, S. 2003.
Pembangunan
.