© 2004 Sekolah Pasca Sarjana IPB Posted
24 March 2004
Makalah Kelompok 3, Sem. 2, t.a. 2003/4
Materi Diskusi Kelas
Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Program Pasca Sarjana - S3
Institut Pertanian Bogor
Maret
2004
Dosen:
Prof. Dr. Ir. Rudy C.
Tarumingkeng (penanggung jawab)
Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto
Dr Ir Hardjanto
Dampak Transformasi Struktur Ekonomi Terhadap
Kesempatan Kerja Dan Output
Oleh:
Kelompok 3:
Ken Martina K (PWD995118)
Reti Wafda (PWD995203)
Zefri (P15600003)
Hery Margono (P15600008) hery@pacific.net.id
Djafar E.D (P15600010)
BAB I
PENDAHULUAN
Pengalaman sejarah dari
negara-negara barat yang mengalami perubahan struktural ekonomi dari sektor
pertanian kepada sektor industri dan menghasilkan pertumbuhan perekonomian yang
meningkat tajam memberikan insprasi terjadinya perubahan-perubahan kebijakan
dan perubahan fokus pembangunan pemerintah Indonesia pada sektor ekonomi.
Pembangunan perekonomian semakin memfokuskan pada sektor industri modern yang
padat modal dan menjadikan sektor pertanian sebagai sektor pendukung dari
sektor industri modern dan terus berlangsung hingga saat ini. Hal ini
mengakibatkan terpuruknya sektor pertanian yang ada di Indonesia yang dapat
dilihat dari besarnya output yang dihasilkan. Pada dekade 80-an, Indonesia
mampu untuk memenuhi kebutuhan pangannya sendiri dengan program swasembada
pangan yang diterapkan pemerintah. Produk-produk utama pertanian seperti beras
yang dihasilkan dari dalam negeri dapat memenuhi permintaan domestik tanpa
harus melakukan impor. Saat ini, swasembada pangan tersebut tidak dapat
dipertahankan bahkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri kita mengimpor
beras, kedelai, gula maupun komoditi pertanian lainnya.
Perubahan struktural ekonomi yang
berlangsung di Indonesia (1986-1996) prosesnya terlalu dipercepat (accelerated) sehingga menciptakan
berbagai kondisi dan munculnya kebijakan-kebijakan yang merugikan sektor
pertanian. Kebijakan-kebijakan proteksi dan pemberian subsidi-subsidi bagi
industri modern mengakibatkan rendahnya pasokan sumber daya kepada sektor
pertanian. Kebijakan-kebijakan proteksi berupa peraturan-peraturan pemerintah
yang mengatur permasalahan perdagangan
luar negeri, berbagai skim insentif yang bersifat protektif, dan berbagai
kebijakan proteksi lain bertujuan untuk menumbuhkan industri modern
(industrialisasi) sebagai pengganti Impor (world bank 1981: 23) dan melindungi
output yang dihasilkan dari industri-industri modern dalam negeri dari
produk-produk luar. Kebijakan ini diambil tanpa melihat dampak-dampak yang akan
terjadi seperti beralihnya industri-sektor pertanian menjadi industri-industri
modern karena adanya kemudahan dalam pemasaran produk-produk dalam negeri
karena persaingan yang kurang kompetitif. Selain kebijakan proteksi, kebijakan
yang diterapkan oleh pemerintah yaitu pemberian subsidi atas industri yang
menyebabkan rendahnya biaya-biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh
industri. Subsidi-subsidi berupa tarif-tarif yang rendah untuk kebutuhan
industri mendukung proses industrialisasi yang direncanakan pemerintah.
Kebijakan proteksi dan
pemberian subsidi menyebabkan terjadinya distorsi harga maupun distorsi pasar
serta menimbulkan beralihannya pengusaha-pengusaha sektor pertanian yang rata-rata
berada di wilayah pedesaan kepada industri-industri modern yang berada di
perkotaan. Petani-petani yang pada awalnya bekerja menggarap lahan meninggalkan
profesi mereka untuk bekerja di industri-industri besar. Hal ini menyebabkan
sektor pertanian di pedesaan yang ditinggalkan dan para pemiliki lahan yang
tidak meneruskan usahanya. Tutupnya industri-sektor pertanian menciptakan
rendahnya lapangan kerja yang tersedia di pedesaan. Terjadi ketimpangan
pertumbuhan ekonomi antara perkotaan yang dipenuhi dengan industri-industri
besar dan modern dengan pedesaan yang banyak memiliki industri-sektor pertanian
terutama industri pertanian dengan skala kecil, sedangkan hampir separuh
penduduk di Indonesia tinggal di wilayah pedesaan. Kondisi ini mengakibatkan banyaknya
sumber daya produksi pedesaan yang dialihkan menuju perkotaan terutama tenaga
kerja.
Selain adanya
proteksi dan subsidi, pemusatan atas kegiatan pembangunan ekonomi terutama
perekonomian yang bertumpu pada industri modern berada di perkotaan sesuai
dengan strategi pembangunan Growth Pole.
Strategi pengembangan perkotaan turut serta mengembangkan daerah-daerah
penyangga perkotaan yang berada di sekitarnya. Pengembangan daerah-daerah
tersebut menyebabkan terjadinya aglomerasi daerah-daerah pusat pembangunan
seperti adanya Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tanggerang, Bekasi); Gerbang
Kartosusilo (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan);
Kedungsepur (Kendal, Ungaran, Semarang, Purwodadi); Membidang (Medan, Binjai,
Deliserdang) dan pusat-pusat pembangunan ekonomi lainnya. Terjadinya pergeseran
fokus pemerintah dalam pembangunan ekonomi dari sektor-sektor tradisional
pedesaan menuju industri-industri modern perkotaan didukung oleh
kebijakan-kebijakan yang dibuatnya.
Perubahan
struktural ini berdampak pada perubahan struktur tenaga kerja dan perubahan
struktur produksi. Pada perubahan struktur tenaga kerja biasanya ditandai oleh
pergeseran penyerapan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non
pertanian, sedangkan pada perubahan struktur produksi ditandai dengan
menurunnya kontribusi sektor pertanian yang diikuti peningkatan kontribusi
sektor non pertanian (Pusat Penelitian Kependudukan UGM dan Bappenas).
Pertanian memiliki komposisi
terbesar dalam penyerapan tenaga kerja di pedesaan jika dibandingkan dengan
komposisi perkotaan, dan penyerapan tenaga kerja terbesar di perkotaan terjadi
pada sektor non pertanian. Sedangkan terjadi peningkatan penyerapan tenaga
kerja di Indonesia pada sektor non pertanian hingga mencapai 82,02% pada tahun
1994.
Perubahan dan
peralihan sektor utama perekonomian dari sektor pertanian menuju industri modern terkesan dipaksakan
sehingga terjadi transformasi yang tidak matang (immature transformation) karena pemerintah saat itu tidak
memperkirakan akibat-akibat yang mungkin terjadi. Kondisi bangsa Indonesia
belum memungkinkan untuk pelaksanaan perekonomian yang bertumpu pada industri
modern. Pembangunan perekonomian yang bertumpu pada industri modern harus
diimbangi dengan pembangunan sektor-sektor pendukungnya untuk menciptakan
keseimbangan pembangunan dan hanya dapat dilakukan secara bertahap.
Kondisi yang
terjadi di Indonesia adalah ketidak seimbangan dan ketidakmatangan perencanaan
pembangunan sektor industri modern. Pembangunan atas industri modern yang
dilakukan mengesampingkan sektor-sektor lain dan mengakibatkan terjadinya
ketidaksiapan perekonomian terutama ketika menghadapi krisis. Ketidaksiapan
transformasi ekonomi tersebut memiliki dampak nyata dan menjadi permasalahan
yang berlarut-larut hingga saat ini. Salah satu permasalahan yang timbul adalah
munculnya jurang perbedaan dalam penyerapan tenaga kerja antara desa dan kota.
Pertumbuhan industri-industri modern yang mendapatkan kemudahan dan fasilitas
dari pemerintah mengakibatkan terserapnya tenaga kerja baik yang berkualitas
tinggi maupun tenaga kerja dengan kualitas rendah. Adanya anggapan dan
ditanamkannya pandangan bahwa bekerja pada sektor industri modern memiliki
nilai yang lebih tinggi di mata masyarakat turut berperan dalam menimbulkan
peralihan penyerapan tenaga kerja dari sektor sektor pertanian menuju sektor
industri modern. Pandangan ini dapat disebabkan karena sebagian besar industri
modern yang ada di perkotaan menyerap banyak tenaga kerja dengan kualitas
tinggi dan mampu menghasilkan pendapatan yang lebih besar jika dibandingkan
dengan bekerja pada sektor tradisional. Pemusatan pembangunan di perkotaan
menyebabkan terjadinya migrasi besar-besaran penduduk pedesaan menuju wilayah
perkotaan. Di Indonesia, pertumbuhan penduduk wilayah perkotaan mencapai 4,7%
pada tahun 1980 dimana 49% pertumbuhan tersebut berasal dari migrasi penduduk
pedesaan (Michael P. Todaro).
I.2 Perumusan Masalah
Adanya
ketimpangan tenaga kerja antara sektor industri perkotaan dan pedesaan memiliki
beberapa dampak, diantaranya kurangnya
penyerapan tenaga kerja di pedesaan dikarenakan besarnya jumlah tenaga kerja
yang melakukan migrasi ke daerah perkotaan dengan membawa harapan untuk
meningkatkan kesejahteraan bagi kehidupan mereka. Perpindahan tenaga kerja dari
daerah pedesaan menuju perkotaan diikuti dengan besarnya jumlah perpindahan
penduduk desa menuju perkotaan. Bertumpuknya tenaga kerja yang tersedia untuk
industri modern di perkotaan mengakibatkan terjadinya persaingan yang ketat
dalam memperoleh pekerjaan. Migrasi penduduk yang berlebihan menciptakan
dampak-dampak sosial yang tidak baik bagi kehidupan perkotaan baik dari sektor
ekonomi maupun sektor sosial. Jumlah pengangguran meningkat pesat seiring
dengan pertumbuhan penduduk perkotaan baik yang berasal dari jumlah kelahiran
dan juga dari jumlah penduduk pendatang yang bertambah secara berkesinambungan.
Pertumbuhan penduduk yang tidak berimbang dengan fasilitas-fasilitas untuk
kesejahteraan masyarakat menciptakan kemiskinan dan masalah-masalah sosial
lain. Persaingan hidup yang sangat kompetitif di perkotaan mengakibatkan
banyaknya penduduk perkotaan yang menjadi beban tanggungan pemerintah kota
setempat.
Banyaknya
sektor industri yang jatuh di wilayah perkotaan terutama setelah krisis ekonomi
melanda mengakibatkan tingginya tingkat pengangguran di perkotaan dan munculnya
pemukiman-pemukiman kumuh dan penduduk miskin yang menimbulkan permasalahan
sosial dan ekonomi. Daya beli masyarakat yang melemah akan menurunkan tingkat
permintaan yang ada di wilayah perkotaan. Permasalahan ekonomi yang timbul dari
adanya penduduk miskin adalah tidak tercapainya “economic of scale” karena rendahnya permintaan pasar domestik
sehingga produksi yang dilakukan tidak efisien karena faktor-faktor produksi
tidak digunakan pada kapasitas penuh sedangkan biaya yang dikeluarkan oleh
industri tetap tinggi. Jika kondisi tersebut terjadi terus menerus, maka
industri akan merugi dan terjadi pengurangan modal industri yang karena
digunakan untuk menutup kerugian.
Dampak lain
dari terjadinya ketidaksiapan dalam perubahan struktur ekonomi adalah
terjadinya ketergantungan industri pada pasokan modal dan teknologi dari luar
negeri. Industri modern adalah industri yang padat modal dan membutuhkan
teknologi dalam berproduksi. Dalam pengembangan industri modern, pemerintah
menerapkan strategi pembangunan ekonomi terbuka dimana adanya kemudahan keluar
masuknya modal luar negeri. Penanaman Modal Asing (PMA) pada industri-industri
modern bertujuan untuk menggiatkan kegiatan sektor produksi disamping sebagai
penambahan modal untuk pengembangan usaha. Ketidakmampuan dalam negeri dalam
menyediakan sumber daya produksi mengakibatkan sangat tergantungnya sektor
industri modern kepada pihak asing terutama untuk faktor-faktor produksi yang
berupa kapital dan teknologi. Rencana pemerintah untuk melakukan
industrialisasi yang setaraf dengan industri di negara-negara maju bertujuan
untuk meningkatkan PDB dan pertumbuhan ekonomi yang cepat.
Pada masa
orde baru hingga saat ini, pendekatan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
dilakukan dengan penambahan modal dan teknologi atas industri sehingga industri
mampu untuk berkembang dengan baik dan mempengaruhi kehidupan masyarakat secara
umum. Pendekatan ini menimbulkan kapasitas berlebih (over capacity) dari pinjaman-pinjaman dan bantuan luar negeri
sehingga mempengaruhi neraca pembayaran Indonesia menjadi rapuh dan mudah untuk
jatuh. Hal ini terbukti ketika terjadinya krisis moneter pada tahun 1997-1998
dimana jatuhnya nilai mata uang Rupiah terutama terhadap US Dollar.
Terdepresiasinya nilai tukar Rupiah mengakibatkan melonjaknya hutang luar
negeri Indonesia sehingga terjadi defisit anggaran negara karena besarnya
pengeluaran negara untuk pembayaran hutang luar negeri hingga pada tahun 2002,
nilai hutang luar negeri Indonesia mencapai 140% - 150% dari PDB (www. artawan.mutiaracyber.com).
Hal yang sama
menimpa industri-industri dalam negeri yang bergantung pada bantuan modal dan
teknologi dari luar negeri baik yang berbentuk pinjaman maupun investasi.
Tingginya pembayaran pokok pinjaman dan tingkat bunga pinjaman serta rendahnya
investasi dari luar negeri menyebabkan banyaknya industri domestik yang
berhenti melakukan kegiatan usahanya baik karena tingginya biaya produksi,
lesunya kondisi perekonomian makro dan kerugian yang diderita akibat krisis.
Keruntuhan dunia industri menciptakan ketidakefisienan dan berkurangnya pasokan
modal pada industri dimana kondisi tersebut merugikan bagi pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Ketidakefisienan dalam berproduksi dan berkurangnya pasokan modal
untuk industri akan mempengaruhi biaya yang dikeluarkan industri dalam
berproduksi. Peningkatan biaya tersebut akan mempengaruhi hasil produksi yang
akan menurun terus menerus seiring dengan kenaikan biaya. Besar output yang
dimiliki Indonesia menurun terutama semenjak berlangsungnya krisis moneter.
Runtuhnya sektor industri pada masa krisis menyebabkan output yang dihasilkan
dari dalam negeri menurun sehingga perlu untuk melakukan impor agar permintaan
dalam negeri dapat terpenuhi. Apalagi karena sektor industri sebagai tumpuan
utama perekonomian Indonesia yang menyebabkan sektor-sektor lain memiliki
proporsi rendah dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dengan runtuhnya sektor
industri, maka secara langsung dapat dikatakan bahwa perekonomian Indonesia
yang telah runtuh. Secara umum perumusan masalah akibat immature transformation bisa dilihat pada gambar 1.1.
Berdasarkan uraian di atas maka dirumuskan
beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana perkembangan angkatan kerja di Indonesia
?
2. Bagaimana kontribusi penyerapan tenaga kerja
sektor pertanian dan non pertanian ?
3. Bagaimana kontribusi PDB sektor pertanian dan
non pertanian ?
4. Bagaimana distribusi tengakerja di Indonesia ?
1.3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan paper ini untuk mengetahui :
1. Perkembangan angkatan kerja di Indonesia
2. Kontribusi penyerapan tenaga kerja sektor
pertanian dan non pertanian
3. Kontribusi PDB sektor pertanian dan non pertanian
4. Distribusi tengakerja di
Gambar 1.1. Immature Transformation
BAB II
LANDASAN TEORI
Pertumbuhan
ekonomi suatu negara diukur berdasarkan dari jumlah produksi barang dan jasa
(output) yang dihasilkan. Angka yang biasanya digunakan untuk mengukur jumlah output
yang dihasilkan adalah Produk Domestik Bruto (PDB) yang diukur dengan harga
konstan dimana pengaruh perubahan harga telah dihilangkan. Tujuan dari
perhitungan pertumbuhan ekonomi ini adalah untuk melihat kondisi perekonomian.
Ukuran baik buruknya dapat dilihat dari struktur produksi (sektoral) atau
daerah asal produksi (regional). Pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan terhadap
peningkatan kesejahteraan masyarakat dimana diukur dengan PDB per kapita,
kesempatan kerja yang tersedia dimana semakin besar jumlah output yang
dihasilkan maka akan memperluas kesempatan kerja yang ada, perbaikan distribusi
pendapatan dimana pertumbuhan ekonomi akan memperluas kesempatan kerja dan
meningkatkan produktivitas, dan pertumbuhan ekonomi sebagai pijakan untuk tahap
kemajuan ekonomi selanjutnya.
Faktor-faktor
penentu pertumbuhan ekonomi menurut aliran klasik dapat dibuat persamaan
sebagai berikut:
Q = f (K, L, T, U, M, W, I) (2.1-1)
Dimana:
W = Kewirausahaan (Entrepreneurship)
I =
Informasi
¶Q / ¶K; ¶Q / ¶L; ¶Q / ¶T; ¶Q / ¶U; ¶Q / ¶M; ¶Q / ¶W; ¶Q / ¶I ³ 0
salah satu faktor penentu pertumbuhan ekonomi yang disebutkan adalah faktor
tenaga kerja. Sampai saat ini, terutama di negara-negara berkembang, tenaga
kerja masih merupakan faktor produksi yang sangat dominan. Peningkatan jumlah
tenaga kerja umumnya sangat berpengaruh terhadap peningkatan output. Hal ini sangat bergantung pada seberapa cepat terjadinya The Law of Deminishing
Return (TLDR). Sedangkan
cepat atau lambatnya proses TLDR tersebut dipengaruhi oleh kualitas tenaga
kerja dan keterkaitannya dengan teknologi produksi. Sayangnya, jumlah tenaga
kerja yang dilibatkan dalam proses produksi akan semakin berkurang seiring
dengan kemajuan teknologi produksi. Sehingga akan muncul trade-off antara
efisiensi-produktivitas dan kesempatan kerja. Harga dari efisiensi dan
produktivitas dengan menggunakan teknologi padat modal ialah semakin sempitnya
kesempatan kerja yang tersedia. (Rahardja
dan Manurung, 2001).
2.2. Teori Schumpeter
Schumpeter
berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan oleh jiwa kewirausahaan
karena kewirausahaan pada pengusaha akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang
disebabkan pengusaha sebagai kemampuan dan keberanian mengaplikasikan
penemuan-penemuan baru atau inovator. (Rahardja
dan Manurung, 2001). Dalam hal ini, peranana inovator bukan kepada
kapitalis melainkan pengusaha yang tidak sekedar memiliki kemampuan manajerial
biasa melainkan dapat mmperkenalkan sesuatu yang benar-benar baru (Jhingan,
1990). Sekalipun demikian banyak kritik yang dilontarkan kepada Schumpeter
karena anilisisnya yang berbau provokatif mengenai peralihan dari kapitalisme
ke sosialis. Di samping itu ada kritik yang juga gencar dilontarkan kepadanya,
bahwa dalam memulai proses pembangunan
dan mampu untuk berdiri sendiri, yang diperlukan bukan hanya inovasi saja
tetapi kombinasi dari beberapa faktor seperti struktur organisasi, praktek
bisnis, tenaga yang terampil dan nilai-nilai serta sikap yang tepat. Dalam
prakteknya di negara-negara berkembang, menurut Wallich (dalam Jhingan, 1990)
tidak pada inovasi, tetapi asimilisasi atas inovasi yang ada. Karena pengusaha
di negara yang belum berkembang tidak berada pada posisi berinovasi, malahan
mereka mengambil inovasi yang terjadi di negara-negara maju.
2.3. Teori Pembangunan Lewis
Salah satu model teoritis yang
memusatkan pada transformasi struktural pada ekonomi subsiten adalah yang
dikembangkan oleh W. Arthur Lewis, yang dikenal dengan nama model dua sektor Lewis (Lewis two-sector
model) yang saat ini telah diakui menjadi teori
umum yang baku. Model ini
terdiri dari dua sektor, yakni: (1) sektor tradisional, yaitu sektor pedesaan
subsisten yang kelebihan penduduk dan ditandai dengan produktivitas marjinal
tenaga kerja sama dengan nol yang memungkinkan Lewis untuk mendefinisikan
surplus tenaga kerja sebagai sebuah fakta yang ditarik dari sektor pertanian
tanpa mengurangi output yang dihasilkan sedikit pun. (2) sektor industri
perkotaan modern yang tingkat produktivitasnya tinggi dan menjadi tempat
penampungan tenaga kerja yang ditransfer sedikit demi sedikit dari sektor
subsisten. Perhatian utama dari model ini diarahkan pada terjadinya proses
pengalihan tenaga kerja, serta pertumbuhan output dan peningkatan penyerapan
tenaga kerja di sektor modern.
2.4. Model pertumbuhan ekonomi
dan kesempatan kerja
Manusia
sebagai salah satu faktor terpenting dalam proses produksi, maka dapat
dikatakan kesempatan kerja akan meningkat jika output meningkat. Hubungan
antara kesempatan kerja dan output dapat dilihat berdasrkan rasio kesempatan
kerja - output dan angka elastisitas kesempatan kerja. Model-model pertumbuhan
output dan kesempatan kerja terbagi dua yaitu pertumbuhan output dengan
kesempatan kerja yang bertentangan, dan yang saling mendukung. Model yang saling bertentangan disebabkan
oleh karena output maksimum tercipta oleh adanya industri yang padat modal,
sedangkan untuk yang saling mendukung dapat diilustrasikan dalam skema berikut:
Alasan kesempatan kerja ® pendapatan ® permintaan barang konsumsi ®
memerlukan industri yang padat karya sehingga kesempatan kerja
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Perkembangan Angkatan Kerja
Jumlah
penduduk yang besar merupakan keunggulan bagi Indonesia dalam hal penyediaan
tenaga kerja. Pertumbuhan penduduk yang cepat karena adanya tingkat kelahiran
yang besar di Indonesia yaitu sebesar 25 per 1000 penduduk (Population
Reference Bureau: 1997). Selain tingkat kelahiran yang tinggi, pertumbuhan
penduduk yang cepat juga disebabkan oleh tingkat kematian yang rendah. Adanya
tingkat kematian yang rendah disebabkan oleh adanya kemajuan-kemajuan dibidang
kesehatan dan pemberantasan penyakit-penyakit menular. Indonesia sebagai salah
satu negara berkembang dengan jumlah populasi yang tinggi memiliki angka
ketergantungan yang tinggi pula. Dampak dari tingginya tingkat kelahiran
menyebabkan banyaknya jumlah anak-anak yang belum memasuki usia produktif dan
menjadi tanggungan penduduk usia produktif (yang berkisar antara 15 tahun
hingga 64 tahun). Pertumbuhan penduduk yang besar juga memberikan dampak berupa
tersedianya angkatan kerja yang besar. Besarnya angkatan kerja harus diimbangi
dengan peningkatan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). TPAK Indonesia
meningkat dari tahun 1985 sebesar 53,02 menjadi 54,73 pada tahun 1990 dan 56,62
pada tahun 1995 (sumber: Sensus Penduduk 1990 dan SUPAS 1985, 1995).
Pada mulanya BPS (Badan Pusat Statistik) mendefinisikan angkatan kerja sebagai
penduduk berusia 10 tahun keatas yang bekerja ataupun mencari pekerjaan.
Angkatan kerja tidak termasuk penduduk berumur 10 tahun keatas yang masih
bersekolah, mengurus rumahtangga, atau lainnya. Namun sejak tahun 1998
ketentuan usia 10 tahun tersebut dirubah menjadi 15 tahun sesuai dengan
ketentuan International Lobor
Organitation (ILO). Menurut BPS,
pengangguran dapat dibagi menjadi pengangguran terbuka dan setengah
pengangguran. Pengangguran terbuka adalah mereka yang sama sekali tidak bekerja
atau yang bekerja kurang dari 1 jam selama seminggu, sedangkan setengah
pengangguran adalah orang yang bekerja kurang dari 35 jam setiap minggunya dan
masih mencari pekerjaan.
Perkembangan angkatan kerja di Indonesia
meningkat dengan pesat. Pada tahun 1996, jumlah angkatan kerja mencapai
90.109.582 orang, dengan komposisi penduduk bekerja sebesar 85.701.813 dan
pengangguran terbuka sebesar 4.407.769 orang. Pada tahun 2002, jumlah angkatan
kerja mencapai 100.799.270 orang dengan komposisi angkatan kerja yang bekerja sebesar
91.647.166 orang dan jumlah pengangguran terbuka mencapai 9.132.104 orang.
Perkembangan angkatan kerja tersebut dapat dilihat pada tabel 3.1:
Tahun |
Bekerja |
Pengangguran Terbuka |
Jumlah Angkatan Kerja |
1996 |
85.701.813 |
4.407.769 |
90.109.582 |
1997 |
87.049.756 |
4.275.155 |
91.324.911 |
1998 |
87.672.449 |
5.062.483 |
92.734.932 |
2000 |
89.837.730 |
5.813.231 |
95.650.961 |
2001 |
90.807.417 |
8.005.031 |
98.812.448 |
2002 |
91.647.166 |
9.312.104 |
100.779.270 |
Dari tabel
3.1 dapat kita lihat bahwa terjadi
peningkatan jumlah angkatan kerja yang cukup besar dari
tahun ke tahun. Peningkatan angkatan kerja dari tahun 1996
ke tahun 1997 dan tahun 1997 ke 1998 lebih dari 1 juta orang. Pada tahun 2000
hingga 2002, peningkatan atas angkatan kerja mencapai lebih dari dua hingga
tiga juta orang. Peningkatan angkatan kerja tersut tidak diimbangi dengan
peningkatan kesempatan kerja sehingga menyebabkan peningkatan tingkat
pengangguran.
Tingkat
pengangguran di Indonesia terutama pasca krisis ekonomi meningkat tajam karena
banyak terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja para karyawan atau buruh
perusahaan-perusahaan maupun pabrik karena melonjaknya biaya-biaya produksi akibat
inflasi yang sangat tinggi. Peningkatan jumlah pengangguran dan kemiskinan
menciptakan permasalahan baru bagi bangsa Indonesia. Masalah-masalah sosial
yang meningkat jumlahnya, stabilitas keamanan dan ketertiban yang mulai
tergoncang dan semakin terpuruknya perekonomian karena penurunan investasi luar
negeri karena besarnya resiko untuk berinvestasi di Indonesia menciptakan
kondisi yang menghasilkan krisis yang tidak berkepanjangan. Tenaga kerja yang
menganggur (Unemployment) setelah
tahun 1997 meningkat secara drastis. Tingkat pengangguran sebelum krisis hanya
berkisar sekitar 4,7%, dan pada tahun 2000 mencapai 6,1%, kemudian meningkat
lagi yaitu pada tahun 2001 mencapai 8,1% dan tahun 2002 sudah mencapai 9,06 %,
dimana merupakan tingkat pengangguran paling tinggi selama Indonesia merdeka.
Banyaknya tenaga kerja yang menganggur
menghasilkan kerugian bagi negara karena negara bertanggung jawab atas
kehidupan mereka dan menjadi beban bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Berbagai program pemerintah telah dilaksanakan untuk mengatasi masalah
pengangguran ini dengan meningkatkan pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke
negara-negara tetangga dan sahabat, adanya program Jaring Pengaman Sosial (JPS)
di setiap-setiap kelurahan, pelatihan-pelatihan kewirausahaan, Program
Pelatihan Keliling, Proyek Penanggulangan Dampak Kekeringan dan Masalah
Ketenagakerjaan, Proyek Penanggulangan Pengangguran Pekerja Terampil (P3T),
INPRES Desa Tertinggal, Program Perbaikan Kampung untuk Masyarakat Urban,
Proyek Padat Karya Gaya Baru dan lainnya.
Pemerintah
diharapkan dapat mengatasi masalah pengangguran ini dengan memusatkan
perhatiannya pada penggerakan sektor-sektor yang padat karya dan menyerap
banyak tenaga kerja. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam mendorong badan-badan
usaha sangat penting untuk dilakukan mengingat bahwa tersedianya lapangan kerja
harus diawali dengan memberikan kemudahan-kemudahan bagi badan usaha dalam
melakukan produksi. Berbagai kebijakan untuk memulihkan perekonomian harus
segera dilaksanakan agar tercipta kondisi yang mendukung bagi badan-badan usaha
untuk berproduksi.
3.2. Perubahan Struktur Tenaga Kerja
Secara keseluruhan struktur kesempatan
kerja di Indonesia terdiri dari berbagai
sektor kegiatan ekonomi. Alokasi terbesar dalam penyerapan tenaga kerja
di Indonesia berasal dari sektor pertanian, yang diikuti dengan sektor
perdagangan dan jasa. Angkatan kerja yang bekerja menurut sektor industri dapat
dilihat pada tabel 3.2 berikut:
Tabel 3.2 Penduduk Berumur 15 tahun ke Atas yang Bekerja Menurut lapangan
usaha utama 1996-2002
Lapangan Pekerjaan |
1996 |
1997 |
1998 |
2000 |
2001 |
2002 |
Utama |
|
|
|
|
|
|
1 |
37.720.251 |
35.848.631 |
39.414.765 |
40.676.713 |
39.743.908 |
40.633.271 |
2 |
10.773.038 |
11.214.822 |
9.933.622 |
11.641.757 |
12.086.122 |
12.109.997 |
3 |
3.796.228 |
4.200.200 |
3.521.682 |
3.497.232 |
3.837.554 |
4.273.914 |
4 |
16.102.552 |
17.221.184 |
16.814.233 |
18.489.005 |
17.469.129 |
17.795.386 |
5 |
3.941.799 |
4.137.653 |
4.153.707 |
4.553.855 |
4.448.279 |
4.672.584 |
6 |
689.733 |
656.724 |
617.722 |
882.600 |
1.127.823 |
991.745 |
7 |
11.738.859 |
12.640.694 |
12.394.272 |
9.574.009 |
11.003.482 |
10.360.188 |
0 |
939.353 |
1.129.848 |
822.446 |
522.560 |
1.091.120 |
810.081 |
Jumlah |
85.701.813 |
87.049.756 |
87.672.449 |
89.837.731 |
90.807.417 |
91.647.166 |
Sumber:
BPS
2 = Industri
pengolahan
3 = Bangunan
4 = Perdagangan besar,
eceran, rumah makan, dan hotel
5 = Angkutan,
pergudangan, komunikasi
6 = Keuangan,
asuransi, jasa perusahaan, sewa bangunan dan tanah
7 = Jasa
kemasyarakatan
0
= lainnya (pertambangan, listrik, gas, dan air)
Tabel 3.2 menunjukkan bahwa penyerapan tenaga
kerja sektor pertanian dari tahun ke tahun masih memberikan kontribusi paling
tinggi yaitu pada tahun 1997 mencapai 41,1 persen dari total tenaga kerja di
Indonesia. Akibat krisis ekonomi penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian
meningkat menjadi 44,98% pada tahun 1998 dan
44,27 % pada tahun 2002. Selama periode 1997-2002 penyerapan tenaga
kerja sektor pertanian meningkat menjadi
3,17%. Olehkarena sektor
pertanian banyak berada di pedesaan maka diduga terjadi pergerakan atau
mobilitas tenga kerja dari kota ke pedesaan.
Tabel 3.2 menunjukkan bahwa sektor pertanian tetap menjadi katup utama
penyerap tenaga kerja. Setidaknya 2,38 juta orang yang menganggur akibat pemutusan
hubungan kerja dari sektor lain (terutama sektor industri) mengalir masuk ke
sektor pertanian. (Laporan PATANAS, 2002).
3.3. Kontribusi PDB Masing-masing Sektor
Walaupun sektor pertanian menjadi sektor yang
mampu menyerap tenaga kerja paling banyak namun demikian Produk Domestik Bruto
(PDB) tidak mampu memberikan kontribusi yang banyak terhadap PDB nasional,
bahkan perannya cenderung menurun pada tahun 1980 memberikan kontribusi sebesar
24,02 %, pada tahun 1997 hanya 14,88 %. Sejak krisis angka tersebut meningkat menjadi
16,9 % pada tahun 1998 tetapi kemudian menurun lagi menjadi 17,13 % pada tahun
1999. PDB paling banyak sejak tahun 1985 justru disumbangkan dari sektor
industri, namun demikian sejak adanya krisis pada tahun 1998 PDB tertinggi
disumbangkan dari sektor industri dan jasa masing-masing sebesar 42,75 % dan 40,35 % dan terus meningkat hingga 43,64
% dan 40,43 % pada tahun 2000. Secara detail kontribusi PDB masing masing
sektor bisa diihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3.3. Kontribusi PDB masing-masing sektor tahun
1996 sampai 2002 (miliar rupiah)
Sektor usaha |
1990 |
1996 |
1997 |
1998 |
1999 |
2000 |
2001 |
2002 |
Pertanian |
53.056,1 |
63.885,2 |
64.468,0 |
63.609,5 |
64985,3 |
66.208,9 |
66.856,2 |
68.018,2 |
% |
20,15 |
15.,42 |
14,88 |
16,90 |
17,13 |
16,63 |
16,24 |
15,94 |
Industri |
98.571,6 |
177.799,6 |
186.994,2 |
160.905,9 |
164.072,7 |
173.736,8 |
179.522,2 |
186.209,7 |
% |
37,44 |
42,97 |
43,16 |
42,75 |
43,25 |
43,65 |
43,61 |
43,64 |
Jasa |
111.634,2 |
172.170,5 |
181.783,7 |
151.859,5 |
150.294,4 |
158.071,2 |
165.310,6 |
172.512,5 |
% |
42,40 |
41,61 |
41,96 |
40,35 |
39,62 |
39,71 |
40,15 |
40,43 |
Jumlah |
263.261,9 |
413.797,9 |
433.245,9 |
376.374,9 |
379.352,5 |
398.016,9 |
411.691,0 |
426.740,5 |
% |
100 |
100 |
100 |
100 |
100 |
100 |
100 |
100 |
Sumber: BPS Atas
Dasar Harga Konstan 1993
Pada masa sebelum krisis, konsentrasi tenaga kerja di
indonesia berada di pulau Jawa, baik Jawa Barat (17,66%), Jawa Tengah (17,09%)
dan Jawa Timur (20,00%) Propinsi lain relatif sangat kecil dibanding ketiga
propinsi tersebut. Konsentrasi tenaga kerja ini dapat terjadi sebagai akibat
tersedianya lapangan kerja yang lebih besar di wilayah tersebut. Dan mengingat
sebagian besar tenaga kerja tersebut bekerja di sektor industri, maka dapat
diduga kegiatan industri juga terkonsentrasi di ketiga propinsi tersebut. Hal
ini sesuai yang dinyatakan oleh Garcia-Garcia (2000), yang menunjukkan
kegiatan sektor industri terkonsentrasi di pulau Jawa dengan membuktikan hampir
60% sektor industri pada PDB Indonesia berasal dari di Jawa Barat, Jawa Timur dan Jakarta.
Adanya otonomi daerah, yang
salah satu harapannya adalah mengurangi sentralisasi hampir di semua sektor,
ternyata belum terbukti efektif sesuai
yang diharapkan, utamanya sektor ternaga kerja yang kemudian akan berpengaruh
terhadap distribusi PDRB dan kesejahteraan masyarakat. Konsentrasi tenaga kerja
tetap berada di pulau Jawa, meskipun terjadi sedikit penurunan. Jawa Barat
menjadi 15,97% karena wilayah ini telah dipecah menjadi dua propinsi, Jawa
Tengah menjadi 16,41% dan Jawa Timur menjadi 18,73%. Sangat menarik terjadi di propinsi DKI
Jakarta, Riau, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan
dan Papua setelah masa krisis 1998, ternyata persentase tenaga kerja terhadap
seluruh tenaga kerja di Indonesia mengalami kenaikan.
Persentase jumlah pekerja per propinsi sebelum dan
sesudah krisis di beberapa propinsi mengalami penurunan. Penurunan terbesar
terjadi di propinsi Riau (-0,58%) dan
Papua (-0,38%). Dari data
terlihat persentase jumlah pekerja per propinsi di pulau Jawa masih terus
meningkat, terutama di Jawa Barat (1,69%)
dan Jawa Timur (1,27%), kecuali DKI Jakarta menurun sebesar –0,15%. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel 3.4
Tabel 3.4 Pengurangan
Persentase Jumlah Bekerja terhadap Angkatan Kerja di Indonesia 1996 - 2003 |
||||
|
|
|
|
|
Propinsi |
% tase jumlah |
Propinsi |
% tase jumlah |
Pengurangan |
|
pekerja per propinsi |
|
pekerja per propinsi |
|
D.I. Aceh |
1,82 |
Nanggro Aceh
Darussalam |
1,78 |
0,04 |
Sumatera Utara |
5,59 |
Sumatera Utara |
5,31 |
0,28 |
Sumatera Barat |
2,05 |
Sumatera Barat |
1,86 |
0,19 |
R i a u |
1,67 |
Riau |
2,25 |
-0,58 |
J a m b I |
1,05 |
Jambi |
1,15 |
-0,10 |
Sumatera Selatan |
3,66 |
Sumatera Selatan |
3,10 |
0,56 |
Bengkulu |
0,74 |
Bengkulu |
0,75 |
-0,01 |
Lampung |
3,57 |
Lampung |
3,33 |
0,24 |
|
|
Kep Bangka |
0,46 |
-0,46 |
DKI |
3,56 |
D.K.I. Jakarta |
3,71 |
-0,15 |
Jawa Barat |
17,66 |
Jawa Barat |
15,97 |
1,69 |
Jawa Tegah |
17,09 |
Jawa Tengah |
16,41 |
0,69 |
D.I. |
1,95 |
Dista Yogyakarta |
1,75 |
0,20 |
Jawa Timur |
20,00 |
Jawa Timur |
18,73 |
1,27 |
|
|
Banten |
3,44 |
-3,44 |
B a l I |
2,03 |
|
1,91 |
0,13 |
Nusa Tenggara Barat |
1,92 |
Nusa Tenggara
Barat |
2,06 |
-0,13 |
Nusa Tengggara Timur |
1,98 |
Nusa Tenggara
Timur |
2,07 |
-0,08 |
|
0,42 |
|
|
0,42 |
|
1,97 |
|
1,86 |
0,11 |
|
0,81 |
|
0,87 |
-0,06 |
|
1,55 |
|
1,61 |
-0,06 |
|
1,01 |
|
1,17 |
-0,16 |
|
1,29 |
|
0,93 |
0,36 |
|
0,96 |
|
0,99 |
-0,03 |
|
3,20 |
|
3,31 |
-0,11 |
|
0,71 |
|
0,84 |
-0,13 |
|
|
Gorontalo |
0,35 |
-0,35 |
Maluku |
0,90 |
Maluku |
0,46 |
0,44 |
|
|
Maluku Utara |
0,35 |
-0,35 |
Irian Jaya |
0,84 |
papua |
1,23 |
-0,38 |
|
100,00 |
|
100,00 |
0,00 |
Sumber : Hasil
Perhitungan
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
1.
Penyerapan
tenaga kerja dari tahun ke tahun meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah
angkatan kerja. Karena jumlah angkatan kerja yang meningkat setiap tahun lebih besar
dari jumlah penyerapannya mengakibatkan terjadinya tingkat pengangguran. Trend
pengangguran dari tahun 1996 –2000 tidak terlalu tajam, namun pada tahun
2001-2003 meningkat cukup tajam sekitar 37%. Hal ini menunjukkan bahwa sejak
krisis hingga 2002, belum ada tanda-tanda pemulihan ekonomi, khususnya pada
sektor ketenagakerjaan.
2.
Jika
penyerapan tenaga kerja di lihat dari berbagai sektor, menunjukkan sector
pertanian masih berada pada urutan tertinggi, diikuti oleh sector perdagangan,
industri dan jasa kemasyarakatan. Sedangkan sector-sektor lainnya relatif
kecil
3.
Kontribusi
PDB berdasarkan sektor, menempati urutan tertinggi adalah sector industri, disusul sector
perdagangan, sector pertanian dan sector jasa.
4.
Distribusi
tenaga kerja sebelum krisis didominasi oleh tiga provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah sebanyak
54,75%, sedangkan selebihnya berada pada Provinsi lainnya. Setelah krisis,
distribusi tenaga kerja masih tetap didominasi oleh tiga provinsi tersebut di
atas, hanya persentase distibusinya sebesar 51.11%. Berkurangnya distribusi
tersebut disebabkan karena Banten telah memisahkan diri dari Jawa Barat.
4.2.
Saran
1. Bedasarkan temuan dalam studi ini bahwa penyerapan tenaga kerja masih didominasi oleh sector pertanian, tetapi kontribusi dalam PDB relatif rendah jika dibandingkan dengan sector-sektor lainnya, seperti industri dan jasa.. Untuk itu diperlukan adanya kebijakan dari pemerintah guna mendukung sector pertanian, antara lain perlunya dukungan teknologi pertanian yang sesuai dengan kebutuhan dan seiring dengan kebijakan tersebut, sumberdaya manusia yang ada pada sector ini juga perlu ditingkatkan kualitasnya. Melalui kebijakan itu, diharapkan PDB di sector pertanian akan meningkat dan selanjutnya akan memberi kontribusi yang berarti bagi peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat yang bergerak dalam sector pertanian.
2. Distribusi tenaga kerja yang terkonsentrasi hanya pada sebagian kecil Provinsi (sebanyak tiga Provinsi) dan ketiganya berlokasi di pulau Jawa menunjukkan ketimpangan yang sangat tajam. Dapat dimaklumi, bahwa ketiga provinsi ini (Jabar, Jateng dan Jatim) memiliki banyak industri sehingga memungkinkan terserapnya cukup banyak tenaga kerja. Untuk mengurangi kesenjangan ini, maka selakyaknya pemerintah melakukan peninjauan ulang terhadap kebijakan pembangunan yang selama ini dilaksanakan, cenderung berat sebelah. Melalui Otoda diharapkan setiap wilayah dan daerah mampu mengembangkan dirinya dengan menggali seluruh potensi yang ada, sehingga pembangunan yang dilaksanakan, akan memberi nilai tambah bagi daerah yang bersangkutan. Nilai tambah yang dimaksud akan bermakna pada meningkatnya PDRB, dan daya saing wilayah/daerah dan seterusnya akan membuka peluang kesempatan kerja bagi masyarakat setempat.
Daftar Pustaka
Garcia Garcia,
Jorge 2000.
Pro
Urban.
JakartaRahardja, Prathama dan Manurung, Mandala.
2001. Teori Ekonomi Makro
Suatu Pengantar. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Jhingan, M.L. 1990. Ekonomi
Pembangunan dan Perencanaan. Rajawali Pers, Jakarta.
Lembaga Penelitian BPS dan Bappenas. 1997. Penelitian Analisis dan Penyusunan DataBase
Bidang Ekonomi. Buku I-VIII, BPS dan Bappenas, Jakarta
Mankiw, N. Gregory. 1999. Teori Makro Ekonomi. Edisi Keempat. Penerbit
Erlangga,
Nanga, Muana. 2001. Makroekonomi Teori, Masalah dan Kebijakan.
Edisi Perdana, Rajawali Pers, Jakarta.
Romer, David.1996. Advanced Macroeconomics.
The McGraw-Hill,
Todaro, Michael P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Penerbit Erlangga, Ciracas,
Winoto, Joyo. et al. 1997a. Studi Strategi Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Dalam
Rangka Meningkatkan Produktovitas Masyarakat. Lembaga Penelitian Institut
Pertanian Bogor dan Biro Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja
BAPPENAS.
Winoto, Joyo. et al. 1997b. Kajian Peningkatan
Produktivitas Masyarakat Dalam Mewujudkan
Ekonomi Rakyat : Pendekatan Nasional dan Regional. Institut Pertanian
Bogor dan BAPPENAS.