© 2004 Sekolah Pasca Sarjana IPB Posted
7 March 2004
Makalah Kelompok 2, Sem. 2, t.a. 2003/4
Materi Diskusi Kelas
Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Program Pasca Sarjana - S3
Institut Pertanian Bogor
Maret 2004
Dosen:
Prof. Dr. Ir. Rudy C.
Tarumingkeng (penanggung jawab)
Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto
Dr Ir Hardjanto
REVITALISASI ‘POSYANDU’ DALAM PEMBANGUNAN GIZI DAN KESEHATAN MASYARAKAT
Oleh :
Kelompok 2:
DIFFAH HANIM difnim@yahoo.com |
A_561030081 |
(GMK) |
SRI PURWANINGSIH |
A_561030011 |
(GMK) |
UKE HANI RASALWATI |
A_561030021 |
(GMK) |
DWI PURWOKO |
P_061024021 |
PPN |
LA BACO S |
A_262030041 |
DAS |
EDDY WIDODO |
B_161030081 |
SVT |
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Layaknya sedang
belajar Falsafah Sain, maka dalam ilmu gizi selalu ada bahasan pembangunan gizi
dan kesehatan secara luas, sehingga ‘diwajibkan’ bagi mahasiswa pasacasarjana
yang mempelajari gizi masyarakat untuk berpikir mendalam, kritis dan jelas
kemudian disampaikan dalam bahasa yang teratur.
Adapun bahasan mengenai masalah gizi diantaranya adalah apa masalahnya,
berapa luas masalah
itu terdapat di masyarakat, apa konsekuensi atau dampak dari
masalah tersebut, apa penyebab timbulnya masalah dan bagaimana mengatasi
masalah. Dalam hal ini
masalah yang akan dibahas adalah ‘Revitalisasi Posyandu’ di Indonesia.
Sejak adanya krisis ekonomi, pada tahun 1999 telah
dilakukan evaluasi hasil pelaksanaan berbagai program di bidang Pangan, Gizi,
dan Kesehatan namun hasilnya menunjukkan masih adanya kejadian kurang energi
protein (KEP) mulai dari KEP ringan, sedang sampai KEP berat, baik pada
keluarga miskin (Gakin) maupun keluarga yang tidak termasuk Gakin. Berdasarkan
kejadian tersebut, maka diperlukan upaya lain yang lebih bersifat pendampingan
dari para ahli kepada petugas lapangan maupun kepada keluarga yang mempunyai
anak Balita, ibu hamil dan ibu menyusui.
Selain itu diperlukan ‘action program’ guna mengatasi masalah gizi
masyarakat.
POSYANDU mempunyai peran penting dalam meningkatkan
pemberian ASI eksklusif dan juga melanjutkan pemberian ASI sampai usia 24 bulan
diserta pemantauan pertumbuhan mulai bayi lahir sampai usia 60 bulan. Sampai saat ini Posyandu masih berperan aktif dalam
meningkatkan pemberian ASI. Semua
kegiatan Posyandu sangat tergantung pada Kader Posyandu. Dengan adanya masalah tingginya prevalensi gizi kurang pada anak balita yang berhubungan
dengan tingginya bayi lahir dengan berat badan rendah. Pevalensi BBLR ini masih
berkisar antara 2 sampai 17% pada periode 1990-2000. Akibat dari BBLR dan gizi
kurang pada balita berkelanjutan pada masalah pertumbuhan anak usia masuk
sekolah. Berdasarkan hasil pemantauan Tinggi badan anak baru masuk sekolah
(TBABS), diketahui bahwa prevalensi anak pendek tahun 1994 adalah 39,8%. Prevalensi
ini turun menjadi 36,1% pada tahun 1999.
Masalah gizi kurang pada anak berkelanjutan pada wanita usia subur, yang
akan melahirkan anak dengan risiko BBLR, disertai dengan masalah anemia dan
gizi mikro lainnya, seperti kurang yodium, selenium, kalsium, dan seng. Hal ini
menyebabkan kegiatan Posyandu bertambah lagi, yaitu yang semula hanya memantau
pertumbuhan (Growth
Monitoring and Promotion = GMP) bayi sejak lahir hingga
lima tahun, menjadi Pusat Pelayanan Terpadu Kesehatan Ibu dan Anak Balita.
Berdasarkan latar belakang
tersebut, maka revitalisasi Posyandu harus mendapat perhatian yang cukup dalam
pembangunan gizi dan kesehatan masyarakat.
Untuk menjawab pertanyaan umum tentang berapa persen masyarakat yang
ikut berpartisipasi aktif di Posyandu dan melakukan pemantauan pertumbuhan anak
balita dan pemberian ASI pada bayi diperlukan data dan pembahasan yang cukup
rumit dan tidak ringan. Oleh karena itu
pembangunan gizi dan kesehatan masyarakat tidak bisa mengabaikan pentingnya
revitalisasi Posyandu.
B. Rumusan Masalah
Selama ini kegiatan
Posyandu yang terjadi pada banyak lokasi di berbagai daerah masih menunjukkan
bahwa pemantauan pertumbuhan belum dilakukan, meskipun dapat dilakukan dari
laporan pada KMS. Masalah lain yang
ditemukan adalah baik petugas kesehatan, kader, dan masyarakat belum dapat
membedakan status gizi dan status pertumbuhan.
PMT hanya merupakan alat penarik agar ibu membawa anak ke Posyandu, dan
laporan yang ada tidak digunakan untuk analisis guna menentukan tindakan yang akan diambil, tapi sekedar laporan untuk atasan.
Upaya pemantauan status gizi keluarga
belum menyentuh rasa keberpihakan para pejabat di
Salah satu strategi
untuk menggalakkan pemantauan pertumbuhan anak dan status gizi (PSG) keluarga
di
Berdasarkan rumusan masalah tersebut dapat disusun
pertanyaan ilmiah bagaimana bentuk atau model ‘capacity building’ di bidang
gizi dan kesehatan yang paling sesuai untuk pembangunan gizi dan kesehatan di
Indonesia?.
Tujuan
umum penulisan untuk memikirkan bentuk ‘capacity building’ di bidang gizi dan
kesehatan melalui pemberdayaan keluarga miskin dan nyaris miskin dan
revitalisasi Posyandu. Tujuan akhir jangka panjang
adalah agar keluarga tersebut dapat memecahkan masalah keterbatasan penghasilan
dan selanjutnya mampu mencukupi kebutuhan pangan, gizi dan mampu memperoleh
pelayanan kesehatan yang bermutu bagi seluruh anggota keluarganya.
Selanjutnya
penulisan ini diharapkan dapat menghasilkan buah pikiran untuk menemukan model
pelaksanaan Revitalisasi Posyandu dalam pembangunan gizi dan kesehatan untuk
meningkatkan ‘growth monitoring and promotion’ (GMP) di Posyandu. Selain itu diharapkan penulisan ini dapat mengetahui hasil
pelatihan Kader untuk meningkatkan pelayanannya kepada keluarga miskin di desa,
sekaligus menganalisis kelemahan dan kelebihan pelaksanaan program revitalisasi
Posyandu.
I. TINJAUAN PUSTAKA
Konsep gizi yang menyatakan bahwa manusia
memerlukan zat-zat tertentu dari makanan dalam jumlah tertentu pula, pada
dasarnya adalah konsep abad modern. Oleh karena itu gizi baru diakui sebagai ilmu
pengetahuan (sain) pada awal abad ke-20 setelah penemuan bidang ilmu lain
khususnya di bidang ilmu kimia, fisiologi (faal), dan penemuan vitamin,
protein, dan zat gizi lain yang menjadi dasar ilmu gizi.
Perkembangan ilmu gizi dan teknologi
pangan mengikuti perkembangan masalah
yang dihadapi manusia. Dari waktu
ke waktu ilmu gizi menghadapi tantangan untuk dapat menentukan jenis dan
kecukupan gizi yang optimal untuk mendukung kelangsungan hidup manusia yang
aktif, cerdas dan produktif. Dengan
tantangan tersebut dan adanya krisis ekonomi yang sampai saat ini masih banyak
dirasakan oleh penduduk miskin, maka perlu revitalisasi Posyandu sebagai salah
satu alternatif untuk pemanatauan pertumbuhan anak Balita.
Adanya tantangan perkembangan ilmu dan
tuntutan masyarakat akan pemenuhan zat gizi, maka ilmu gizi semakin bersifat
‘interdisiplin’ sebagai sain dan aplikasinya dalam pembangunan manusia secara
utuh. Dengan demikian untuk memecahkan
masalah gizi dan kemiskinan diperlukan ilmu pertanian, teknologi pangan,
biokimia, biomolekuler, genetika, fisiologi, toksikologi, epidemiologi serta
ilmu sosial dan perilaku (Soekirman, 2000).
A. Pembangunan Gizi dan Kesehatan
1.
Masalah
Gizi di Indonesia
Atas dasar pemahaman ilmu gizi yang mendalam, kritis dan
jelas serta disampaikan dalam bahasa yang teratur, maka WHO (1948) menyatakan
bahwa ‘setiap orang memiliki hak untuk menikmati hidup dengan kesehatan yang
cukup baik untuk diri dan keluarganya, termasuk cukup makanan yang bergizi dan
aman’. Berdasarkan deklarasi tersebut, maka sejak
tahun 1950 di Indonesia telah didirikan Lembaga Makanan Rakyat (LMR), dengan
slogan yang sangat dikenal yaitu ‘empat sehat lima sempurna’. Namun dengan perkembangan ilmu gizi yang
sangat pesat dan adanya pengalaman dan hasil penelitian di banyak daerah di
Indonesia yang menunjukkan pembangunan gizi masih sangat jauh tertinggal dengan
pembangunan ekonomi bidang fisik, maka pedoman gizi Indonesia ditinjau kembali
dan berganti menjadi Pedoman Umum Gizi seimbang yang lebih ilmiah dan dapat
dipertanggung jawabkan secara individu maupun masyarakat.
Program gizi, meliputi kegiatan pelayanan dan penyuluhan
gizi-kesehatan, yang berjalan selama ini lebih bersifat ‘top down’ dan
sentralis, dengan peranan pemerintah yang cukup dominan. Pesan-pesan
gizi yang merupakan materi penyuluhan bersifat seragam, berlaku untuk semua
daerah. Padahal Indonesia terdiri dari
berbagai suku dan budaya yang berbeda pola makannya dan berbeda masalah yang
dihadapinya. Beberapa pesan menjadi
sulit untuk dapat diterima karena tidak sesuai dengan aspek sosio budaya dan
keadaan setempat (Husaini, 2001).
Ada empat masalah gizi utama di Indonesia, yaitu anemia
gizi besi (AGB), Kurang Vitamin A (KVA), Kurang Energi Protein (KEP) dan
Gangguan akibat kurang Iodium (GAKI). Semua masalah gizi
tersebut penanganannya terpadu dilakukan di Posyandu.
2.
Gizi
dan Pembangunan
Laporan Bank Dunia tahun 1992 menyebutkan bahwa gizi yang
baik dapat merubah kehidupan anak, meningkatkan pertumbuhan fisik dan mental
serta menjamin status kesehatan anak sehingga anak dapat tumbuh
sehat-cerdas-aktif dan produktif. Kebijakan baru Bank Dunia
sejak itu (1992) pada hakekatnya memperkuat hasil penelitian gizi dan kesehatan
mengenai adanya hubungan antara gizi-kesehatan-pembangunan ekonomi secara
makro.
Salah satu akibat dari krisis ekonomi adalah penurunan daya
beli masyarakat termasuk kebutuhan pangan, yang berakibat pada penurunan
kecukupan gizi, selanjutnya menurunkan gizi dan status kesehatan masyarakat. Hal ini
diantisipasi dengan upaya interversi gizi melalui Pemberian Makanan Tambahan
(PMT) pada keluarga miskin dan yang rawan gizi. Pelayanan perbaikan gizi
dilakukan oleh Puskesmas, Pustu, sedangkan PMT dilaksanakan oleh Posyandu atau
ibu asuh. Pelaksana teknis dilapang
adalah tenaga pelaksana gizi Puskesmas dan bidan desa (Depkes, 1999).
Akhir-akhir ini partisipasi masyarakat dirasakan menjadi
sangat penting karena disadari terdapat keterbatasan kemampuan pemerintah
sehingga hasilhasil program gizi lebih sulit dirasakan msyarakat luas. Oleh sebab itu Departemen Kesehatan sendiri
perlu merinci cara yang efektif untuk merangsang, mendorong dan meningkatkan
partisipasi tersebut. Padahal telah
disadari bahwa keberhasilan program terutama terletak pada peran serta seluruh
masyarakat, sehingga potensi-potensi yang ada, baik yang kelihatan maupun yang
laten dapat digali agar dicapai hasil yang optimal (Trihono, 1999).
Untuk meningkatkan efektivitas kegiatan program, pada
saat sekarang perlu disiapkan rencana kegiatan program penyuluhan
gizi-kesehatan dengan memperhatikan kebutuhan informasi yang dirasakan
masyarakat. Proses dapat dimulai dengan
mengenali kebutuhan masyarakat di bidang gizi (topik-topik yang diinginkan
untuk disuluhkan), menggali kekuatan yang ada dan mengidentifikasi
kelemahan-kelemahan. Hal ini berbeda
dengan kebijakan pemerintah yang pada umumnya menggunakan pola berdasarkan
kebutuhan sasaran (objective needs), yaitu kegiatan yang direncanakan
dibuat berdasarkan ide si pembuat kebijaksanaan.
Dengan demikian pembangunan gizi harus mengupayakan
program perbaikan gizi langsung kepada kelompok sasaran yaitu penduduk miskin. Upaya tersebut menurut Soekirman (2000) berupa
pelayanan dasar gizi, kesehatan dan pendidikan.
Sedangkan upaya tidak
langsung berupa :
·
Jaminan
ketahanan pangan sehingga setiap keluarga dan penduduk miskin dapat memperoleh
makanan yang cukup bergizi
·
Memperluas kesempatan kerja untuk meningkatkan daya beli
·
Membangun dan mengembangkan industri kecil dan menengah
untuk penduduk miskin.
Disamping itu masih perlu upaya lain yang bersifat
pemantauan pertumbuhan anak Balita dan status kesehatan ibu dan anak (KIA) di
Posyandu. Untuk program revitalisasi
Posyandu sangat penting sehingga perlu mendapat dukungan semua pihak.
1.
Kebijakan Pangan, Gizi dan Kesehatan
Dibidang konsumsi pangan dan
gizi strategi untuk mencapai konsumsi pangan penduduk yang beraneka ragam dapat
ditempuh melalui pembinaan konsumsi pangan menuju ke pangan seimbang mengacu
pada PPH. Seimbang
disini artinya seimbang antara zat gizi yang dikonsumsi dengan yang dibutuhkan,
seimbang dalam komposisi dan proporsi antar beragam jenis pangan, dan seimbang
dalam hal apresiasi nilai sosial budaya terhadap pangan. Penerapan strategi ini dapat ditempuh melalui :
·
Penyediaan
pangan beragam yang memenuhi kebutuhan penduduk, mencakup jumlah dan mutunya
(termasuk keamanannya)
· Peningkatan
pendapatan rumah tangga dengan cara mengembangkan ketrampilan kerja, lapangan
kerja, dan kesempatan berusaha
· Peningkatan
kesadaran pangan dan gizi melalui kegiatan KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi)
pangan dan gizi
· Pembinaan
kebiasaaan makan makanan seimbang melalui jalur formal dan informal secara
dini.
Paradigma
sehat menuju Indonesia sehat 2010 menuntut pembangunan gizi dan kesehatan juga
memiliki visi dan misi untuk mencegah terjadinya gizi buruk dan menangani serta
menyembuhkan penderita gizi buruk dan kurang gizi untuk segera sehat. Oleh karena itu diperlukan pedoman gizi
seimbang yang lengkap dengan komponen pendidikan gizi di masyarakat. Pada Repelita VI Bab 11 Bidang Pangan dan Perbaikan Gizi
telah disebutkan bahwa ‘Kebijakan untuk meningkatkan diversifikasi konsumsi
pangan adalah meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pola pangan
yang beraneka ragam untuk meningkatkan mutu gizinya. Pola konsumsi pangan didorong untuk sesuai
dengan pedoman umum gizi seimbang (PUGS)’.
B.
Krisis Ekonomi dan Keadaan Gizi penduduk
1.
Kemiskinan
dan Gizi Buruk
Pendapatan
sebagian besar keluarga di
Menurut Mubyarto
(2000), bahwa apabila pertumbuhan ekonomi
2.
Upaya Penanganan Gizi Buruk dan Generasi yang’Hilang’
Anak balita yang memiliki status gizi buruk berisiko
tinggi kehilangan sebagian potensinya untuk menjadi pekerja yang profesional
karena rendahnya kemampuan intelektual anak.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan mengakibatkan banyaknya buruh
dan karyawan yang kehilangan pekerjaannya, menyebabkan turunnya daya beli
pangan dan kesehatan keluarga. Akibatnya jutaan anak Indonesia kekurangan gizi
dan tumbuh dengan kemampuan intelektual yang rendah. Akibat selanjutnya mereka tidak mampu
bersaing untuk mendapatkan pekerjaan hal ini sering disebut dengan generasi
yang hilang yaitu generasi dengan daya intelektual yang rendah (Tandyo, 1999).
Sesuai dengan hukum Bennet, bahwa penurunan kualitas
konsumsi pangan rumah tangga yang ditandai dengan keterbatasan membeli sumber
makan protein hewani dan buah dapat berdampak buruk pada status gizi anak
Balita dan wanita. Oleh karena itu
menurut Soekirman (2000) jaring pengaman sosial bidang kesehatan (JPS-BK) yang
memberikan subsidi kepada keluarga miskin dengan bantuan pengobatan di
Puskesmas, bantuan makanan pendamping ASI (MP-ASI) bagi balita dan bantuan uang
untuk makanan tambahan (PMT) bagi ibu hamil serta menggiatkan kembali
fugsi (revitalisasi) Posyandu. Di bidang pendidikan diberikan bantuan bea
siswa untuk anak sekolah keluarga miskin dan PMT anak sekolah (PMT-AS) yang
telah dimulai sejak tahun 1996 dilanjutkan sebagai bagian dari JPS.
C. Revitalisasi Posyandu
1.
Tujuan dan Sinerginya Dalam Pembangunan Gizi
Dalam
pemantauan pertumbuhan anak berbasis klinik, ada beberapa masalah penting yang
dapat merupakan faktor penentu gagalnya program PSG. Adapun faktor-faktor tersebut adalah : (1)
Frekuensi kehadiran menunjukkan masih adanya ibu yang menimbangkan anaknya
tidak secara rutin. Disamping itu ibu tidak mau menimbangkan anaknya karena
takut ketularan penyakit dari kantong yang digunakan untuk penimbangan anak. (2)
Timbangan yang digunakan tidak pernah diperiksa ketepatannya. (3) Pada waktu
penimbangan tidak dilakukan perintah agar anak mengenakan pakaian seminim
mungkin. Hal ini dilakukan agar anak tidak menangis. (4) Penimbangan tidak
dibaca pada 100 gram terdekat.(5) Pada pencatatan berat badan (BB) kadang-kadang
diisi tidak sesuai dengan umur. Demikian juga titik-titik BB tidak
dihubungkan.(6) Tidak dilakukan konsultasi tentang BB maupun kurva pertumbuhan
anak kepada ibu.
Sementara pada beberapa Posyandu di perdesaan masih
banyak kejadian seperti : (1) KMS ditinggal di Posyandu atas permintaan ibu-ibu
karena takut hilang.(2) Tidak ada tindak lanjut bila ada pertumbuhan terhambat
kecuali pada anak dengan status BGM. (3) Sistem rujukan maupun PMT hanya untuk
BGM dengan kelainan atau komplikasi.(4) Beberapa Posyandu pengobatan maupun
imunisasi dilakukan di tempat bidan desa.(5) Penggunaan sistem informasi hanya
merupakan sekedar laporan tidak digunakan ditempat.
Sampai saat ini pelaksanaan pemantauan
status gizi dan kesehatan anak masih terfokus pada Posyandu. Namun belakangan ini kepopuleran Posyandu
mulai menurun seiring dengan kesibukan dan keterbatasan waktu para
kadernya. Akibatnya kegiatan Posyandu
yang semula terdiri dari lima meja menjadi seadanya meja di tempat Posyandu
dilaksanakan.
‘Tempat’ (=Puskesmas, Polindes, dan Posyandu)
adalah jalur yang digunakan untuk menyalurkan produk (dalam hal ini Growth
Monitoring and Promotion = GMP) kepada masyarakat dan tempat dimana ‘GMP’
dilaksanakan. Penyediaan dan pelaksanaan
‘GMP’ tidak hanya melibatkan sistem pengadaan peraturan dan kebijakan, tapi
juga membutuhkan upaya tenaga kesehatan (Nakes) dan Kader; kerabat / keluarga
dan tetangga pengguna produk ‘GMP’. Selain
‘Tempat’ yang berupa Puskesmas, Polindes, dan Posyandu, jalur yang digunakan
untuk menyalurkan produk (GMP) kepada masyarakat ini dapat berupa ‘Orang’
seperti dukun bayi yang membagikan oralit; atau Guru SD yang memberikan
imunisasi (USAID, 1990).
Dengan adanya krisis ekonomi maka
perlu pemulihan fungsi utama Posyandu, yaitu kegiatan memonitor pertumbuhan
anak Balita melalui pemantauan peningkatan berat badan anak. Jadi bukan untuk pelayanan kesehatan ibu dan
anak (KIA) yang banyak ragam atau jenis pelayanan yang semuanya akan membuat
kejenuhan dan kerepotan para kader Posyandu.
Sebaliknya para kader Posyandu dituntut untuk mampu menangani masalah
kesakitan ‘akut’ pada anak Balita sehingga mereka harus mengetahui bagaimana
managemen anak balita yang sakit secara terpadu di Posyandu dan Polindes tempat
Bidan Desa melaksanakan tugas pelayanannya.
2.
Berbagai Pengalaman Pelaksanaan dan Investasi Gizi
Awal Sehat Untuk
Hidup Sehat, disingkat ASUH adalah suatu pendekatan yang dirancang untuk
meningkatkan kesehatan ibu, bayi dan balita. ASUH dilaksanakan di propinsi Jawa
Timur (Blitar, Kediri, Pasuruan dan Mojokerto) dan Jawa Barat (Cianjur,
Cirebon, Karawang dan Ciamis). Pengalaman yang didapat dari pelaksanaan ASUH
kedua propinsi tersebut akan dipakai sebagai acuan dalam menggulirkan
(replikasi) ASUH ke propinsi dan kabupaten/kota lain. Tujuan umum program ini adalah meningkatkan
status kesehatan dan gizi ibu, bayi, dan balita melalui pemberdayaan keluarga
dan masyarakat. Secara khusus berupaya untuk :
a. Meningkatkan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin,
ibu nifas dan bayi baru lahir
b. Meningkatkan kesehatan bayi dan anak balita
(1-59 bulan)
c. Meningkatkan kemampuan Bidan di Desa dalam
berkomunikasi dan melaksanakan pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA) yang
bermutu di masyarakat
d. Meningkatkan kemandirian serta daya dukung
keluarga dan masyarakat dalam persiapan persalinan dan perawatan kesehatan ibu
nifas, bayi baru lahir, dan anak balita.
Penelitian
yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan,
Depkes RI bekerjasama dengan University of Manitoba Canada, dengan dukungan
para ahli penyuluhan, komunikasi, dan antropologi dari FISIP-UI, dan Sekolah
Pasca Sarjana IPB, selama 5 tahun (tahun 1993 sampai 1998) di Kabupaten Bogor,
Sukabumi, Wonosobo dan Temanggung telah mendapatkan pengalaman nyata melalui
penyuluhan gizi-kesehatan yang menuju perubahan perilaku sehat sebagai bagian
dari upaya memecahkan masalah gizi-kesehatan, dan sebagai complement dari
pelayanan medis yang sekarang sedang giat dilaksanakan (Husaini, 2001).
Fokus yang diteliti adalah mengenai perilaku sehat selama
hamil, persiapan dalam menghadapi persalinan dan perilaku memberi makan bayi
yang relevan dengan keadaan sekarang dan dengan upaya menurunkan AKI, AKB,
BBLR, dan menaikkan status gizi masyarakat. Pada penelitian ini telah
dikembangkan sistim pelayanan informasi dari bawah ke atas, berdasarkan
kebutuhan konkret yang dirasakan masyarakat dengan teknik yang komunikatif,
mudah dipahami dan dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari.
Materi penyuluhan harus bervariasi dan dapat menjawab masalah
yang dihadapi khalayak sasaran, serta masyarakat mampu menerapkan informasi
yang diterima.
Hal ini ada kaitannya dengan yang
diungkapkan oleh Burger tentang mitos pemusatan. Mitos pemusatan ini cenderung untuk
merencanakan segala sesuatu dari atas karena menganggap orang atas adalah orang
terdidik, dan karena pendidikannya dapat lebih tepat menilai kebutuhan
masyarakat yang harus dipenuhi. Akibatnya
paket penyuluhan menjadi sesuatu yang asing bagi masyarakat. Masyarakat lalu enggan menerapkan
inovasi-inovasi penyuluhan karena tidak sesuai dengan kebutuhan.
C. Aspek Kelembagaan Program KIA
1. Pondok Bersalin Desa (Polindes)
Pondok Bersalin Desa (Polindes) secara kelembagaan
memiliki peran yang penting dalam meningkatkan status gizi dan kesehatan ibu
dan anak serta keluarga pada umumnya.
Kebijakan untuk membuat Polindes di setiap desa sebenarnya harus
didukung oleh semua pihak, terutama dari Pemerintah Pusat dalam hal ini
Departemen Kesehatan, Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dalam hal ini Dinas
Kesehatan dan Pemerintahan lokal desa dan kecamatan setempat.
Dalam perbaikan gizi dan kesehatan sudah ada penghargaan,
terlebih bila ketua PKK dalam hal ini Ibu Lurah atau Ibu Kepala Desa turut
terlibat dalam kegiatan program KIA dan gizi setiap bulan. Umumnya keterlibatan PKK dengan memberikan
seragam bagi Bidan Desa dan para kader akan memberikan motivasi kepada mereka
untuk mengembangkan program KIA dan gizi dengan lebih baik.
Polindes dalam pelaksanaan pelayanannya sangat tergantung
pada keberadaan bidan. Hal ini karena
pelayanan di Polindes merupakan pelayanan profesi kebidanan. Kader masyarakat yang paling terkait dengan
pelayanan di Polindes adalah dukun bayi (Paraji). Karena itu, Polindes dimanfaatkan pula
sebagai sarana untuk meningkatkan kemitraan bidan dan dukun bayi dalam
pertolongan persalinan. Kader Posyandu
dapat pula berperan di Polindes seperti perannya dalam melaksanakan kegiatan
Posyandu, yaitu dalam penggerakkan sasaran dan penyuluhan. Selain itu bila memungkinkan, kegiatan
Posyandu dapat dilaksanakan pada tempat yang sama dengan Polindes (Depkes,
2000).
Pengertian tersebut dapat dikaji beberapa makna Polindes
adalah :
a.
Polindes merupakan bentuk peranserta masyarakat di bidang
kesehatan ibu dan anak (KIA), termasuk KB.
b.
Polindes dapat dirintis di desa yang telah mempunyai
bidan yang tinggal di desa tersebut.
Peranserta masyarakat dalam pengembangan Polindes berupa penyediaan
tempat untuk pelayanan KIA (khususnya pertolongan persalinan), pengelolaan
Polindes, penggerakan sasaran dan dukungan terhadap pelaksanaan tugas bidan di
desa. Peran bidan di desa, yang sudah
diperlengkapi oleh pemerintah dengan alat-alat yang diperlukan, adalah
memberikan pelayanan kebidanan kepada masyarakat di desa tersebut.
c.
Polindes sebagai bentuk peranserta masyarakat, secara organisatoris
berada di bawah seksi 7 LKMD, namun secara teknis berada di bawah pembinaan dan
pengawasan Puskesmas, karena bidan dalam menjalankan tugasnya di desa merupakan
bagian dari perpanjangan tangan Puskesmas.
d.
Dengan adanya Polindes, tidak berarti bahwa Bidan di Desa
hanya memberikan pelayanan di Polindes saja.
Bidan masih tetap berkewajiban untuk mengunjungi dukun yang merawat ibu
hamil / bayi berisiko yang tidak melakukan pemeriksaan ulang, sasaran yang belum
memeriksakan diri, mendatangi dukun bayi yang tidak pernah datang ke Polindes,
dan tugas lainnya yang berhubungan dengan pendidikan dan pelayanan
kebidanan.
2. Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)
Posyandu merupakan jenis Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat
(UKBM) yang pernah paling memasyarakat di
Tabel 5. Peran Posyandu Dalam Cakupan Program
Jenis Pelayanan |
Cakupan (%) Nasional |
Balita |
74 |
Imunisasi
DPT |
161.9 |
Imunisasi
Polio |
60.9 |
Imunisasi
TT2 ibu hamil |
22.4 |
KB (pil) |
32.4 |
Pemeriksaan
ibu hamil |
11.2 |
Sumber : Modifikasi
Depkes (1999b)
Dari Tabel 5 tampak bahwa kontribusi Posyandu dalam meningkatkan
kesehatan bayi dan anak balita sangat besar.
Namun sampai saat ini masih perlu meningkatkan kualitas pelayanan
Posyandu. Seperti halnya dengan
Polindes, maka Posyandu memiliki tingkat kemandirian dengan jumlah dan jenis
indikator yang berbeda tiap stratanya. Tingkat
kemandirian Posyandu dapat dilihat pada Tabel
6.
Tabel 6. Tingkat Kemandirian Posyandu
No. |
Indikator |
Pratama |
Madya |
Purnama |
Mandiri |
1. |
Frek. Penimbangan |
< 8 |
³ 8 |
||
2. |
Rerata kader tugas |
< 5 |
³ 5 |
||
3. |
Rerata cakupan D/S |
< 50% |
³ 50% |
||
4. |
Cakupan Kum. KB |
< 50% |
³ 50% |
||
5. |
Cakupan Kum. KIA |
< 50% |
³ 50% |
||
6. |
Cakupan Kum. Imun. |
< 50% |
³ 50% |
||
7. |
Program tambahan |
( - ) |
( + ) |
||
8. |
Cakupan dana sehat |
< 50% |
³ 50% |
Sumber : Depkes (1999b)
Untuk meningkatkan kualitas dan kemadirian Posyandu
diperlukan intervensi. Adapun Intervensinya adalah sebagai berikut :
·
Posyandu
pratama (warna merah)
Posyandu
tingkat pratama adalah Posyandu yang masih belum mantap, kegiatannya belum bisa
rutin tiap bulan dan kader aktifnya terbatas.
keadaan ini dinilai ‘gawat’, sehingga intervensinya adalah pelatihan
kader ulang. Artinya kader yang ada
perlu ditambah dan dilakukan pelatihan dasar lagi.
·
Posyandu
madya (warna kuning)
Posyandu
pada tingkat madya sudah dapat melaksanakan kegiatan lebih dari 8 kali per
tahun, dengan rata-rata jumlah kader tugas 5 orang atau lebih. Akan tetapi cakupan utamanya (KB, KIA, Gizi
dan Imunisasi) masih rendah, yaitu kurang dari 50%. Ini berarti, kelestarian kegiatan Posyandu
sudah baik tetapi masih rendah cakupannya.
Untuk ini perlu dilakukan penggerakkan masyarakat secara intensif, serta
penambahan program yang sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Intervensi
untuk Posyandu madya ada 2 yaitu :
a.
Pelatihan Toma dengan modul eskalasi Posyandu yang
sekarang sudah dilengkapi dengan metoda stimulasi.
b. Penggarapan
dengan pendekatan PKMD (SMD dan MMD) untuk menentukan masalah dan mencari
penyelesaiannya, termasuk menentukan program tambahan yang sesuai dengan
situasi dan kondisi setempat. Untuk
melaksanakan hal ini dengan baik, dapat digunakan acuan bulu pedoman
‘Pendekatan Kemasyarakatan’ yang diterbitkan oleh Dit Bina Peran serta
Masyarakat Depkes.
·
Posyandu
Purnama (warna hijau)
Posyandu pada tingkat purnama adalah
Posyandu yang frekuensinya lebih dari 8 kali per tahun, rata-rata jumlah kader
tugas 5 orang atau lebih, can cakupan 5 program utamanya (KB, KIA, Gizi dan
Imunisasi) lebih dari 50%. Sudah ada
program tambahan, bahkan mungkin sudah ada Dana Sehat yang masih
sederhana. Intervensi pada Posyandu di tingkat ini adalah :
a.
Penggarapan dengan pendekatan PKMD, untuk mengarahkan
masyarakat menentukan sendiri pengembangan program di Posyandu
b. Pelatihan
Dana Sehat, agar di desa tersebut dapat tumbuh Dana Sehat yang kuat, dengan
cakupan anggota minimal 50% KK atau lebih.
Untuk kegiatan ini dapat mengacu pada buku ‘Pedoman Penyelenggaraan Dana
Sehat’ dan ‘Pedoman Pembinaan Dana Sehat’ yang diterbitkan oleh Dit Bina Peran
Serta Masyarakat Depkes.
·
Posyandu
Mandiri (warna biru)
Posyandu uni berarti sudah dapat
melakukan kegiatan secara teratur, cakupan 5 program utama sudah bagus, ada
program tambahan dan Dana Sehat telah menjangkau lebih dari 50% KK. Untuk Posyandu tingkat ini,
intervensinya adalah pembinaan Dana Sehat, yaitu diarahkan agar Dana Sehat
tersebut menggunakan prinsip JPKM.
II. PEMBAHASAN
Faktor penyebab langsung dari masalah gizi kurang berkaitan dengan
konsumsi gizi. Pada periode 1995-2000, masih dijumpai hampir 50% rumah tangga
mengkonsumsi makanan kurang dari 70% terhadap angka kecukupan gizi yang
dianjurkan (2200 Kkal/kapita/hari; 48 gram protein/kapita/hari). Akar
permasalahan adalah kemiskinan dan situasi sosial politik yang tidak menentu. Tahun
1999, kajian Susenas memperkirakan 47,9 juta penduduk hidup dibawah garis
kemiskinan. Analisis situasi yang terus
menerus, baik dalam bentuk besarnya masalah maupun faktor-faktor yang berkaitan
dengan masalah tersebut, perlu dilakukan mulai dari tingkat administrasi
terendah di tingkat desa sampai dengan tingkat nasional.
Revitalisasi Posyandu yang sampai saat ini masih
diupayakan dengan berbagai model pemberdayaan, perlu didukung bareng dengan
program upaya perbaikan gizi keluarga (UPGK), komunikasi informasi edukasi
(KIE), dan managemen terpadu balita sakit (MTBS), serta pelatihan Kader
Posyandu. Berdasarkan hal tersebut, ‘action program’ Revitalisasi Posyandu
dalam pelaksanaannya perlu menutamakan ‘ibu’ sebagai ‘entri point’ intervensi
yang dilakukan. Pendidikan MTBS melalui
pelatihan atau kursus singkat kepada para kader gizi dan kesehatan diperlukan
untuk sekaligus pengembangan tingkat kemampuan Posyandu di setiap desa dalam
wilayah kerja Puskesmas di Kecamatan.
A.
Pemberdayaan
Keluarga di Bidang Gizi dan Kesehatan
Secara ekonomis, membiarkan
anggota keluarga atau masyarakat mempunyai masalah gizi berarti membiarkan
potensi keluarga atau masyarakat bahkan bangsa itu ‘hilang’ begitu saja. Potensi itu dapat berupa pendapatan keluarga
yang tidak dapat diwujudkan karena anggota keluarga yang produktivitasnya
rendah akibat kurang gizi waktu umur balita.
Oleh karena itu penting untuk pemberdayaan keluarga di bidang gizi dan
kesehatan. Pemberdayaan tersebut
bertujuan untuk memperoleh kelayakan minimal standar hidup, kemampuan bersaing
sehingga produktifitas dan efisiensi meningkat, dan akhirnya mutu hidup suatu
keluarga atau masyarakat dapat tercapai.
Tingkatan kesejahteraan/
kesehatan (dari suatu individu, kelompok atau populasi suatu negeri) ketika
diukur dengan tingkatan pendapatan (sebagai contoh, GNP per kapita) atau oleh
kwantitas berbagai jasa dan barang-barang yang dikonsumsi (
sebagai contoh, banyaknya kereta; mobil tiap 1,000 orang atau banyaknya pesawat televisi
per kapita.
Produktivitas ekonomi, efisiensi dari
Produktivitas suatu negara dengan potensi
yang hilang itu dapat berupa pendapatan nasional atau Pendapatan Domestik Bruto
(PDB). Menurut ADB Nutrition and
Developmen (2001) PDB yang hilang akibat kurang energi protein (KEP), anemia
gizi besi (AGB) dan gangguan akibat kurang Iodium (GAKI) pada anak dan orang
dewasa di Banglades berkisar antara 2 % - 5 % dari PDB.
B.
Upaya
Pembangunan Bidang Gizi dan Kesehatan
Merupakan aib bangsa Indonesia karena banyaknya bayi,
anak balita dan ibu melahirkan yang meninggal karena gizi buruk yang seharusnya
dapat dicegah apabila Posyandu-Polindes-Puskesmas dapat berfungsi optimal
dengan pelayanan kesehatan dasar yang bermutu.
Empat masalah gizi utama di Indonesia sebenarnya dapat ditangani dengan
baik bila Puskesmas sebagai pusat pelayanan gizi dan kesehatan masyarakat dapat
berjalan optimal dan didukung potensi sumberdaya masyarakat.
Hasil analisis hubungan antara kemajuan pembangunan
ekonomi dan status gizi anak balita selama 20 tahun terakhir ini menunjukkan
bahwa walaupun pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup tinggi (5-7 %). Produksi pangannya cukup memadai bahkan mampu
berswasembada. Tetapi anehnya prevalensi
gizi kurang – gizi buruk masih tetap tinggi sekitar 30 % bahkan untuk anemia
gizi besi pada ibu hamil masih diatas 50 % dengan hasil bayi yang dilahirkan
BBLR mencapai 2 % sampai 17 % (Depkes, 2003).
Oleh karena itu distribusi pil besi dan penyuluhan manfaat pil besi
untuk ibu hamil terus ditingkatkan.
Pemberian tablet besi pada ibu hamil dapat dibedakan menjadi
Fe1 yaitu yang mendapat 30 tablet atau 1 bungkus dan Fe3 yaitu yang mendapat 90
tablet atau 3 bungkus selama masa kehamilan. Cakupan Fe1 pada tahun 1998 secara
nasional adalah 75,49% sedangkan cakupan Fe3 nasional adalah 64,85%. Bila
dilihat dari tahun 1995 sampai dengan tahun 1998 terlihat adanya kenaikan
cakupan baik untuk Fe1 maupun Fe3. Namun
belum diketahui secara nasional bagaimana angka kepatuhan terhadap pil besi
bagi ibu hamil.
C. Pemberdayaan
Kader Posyandu Melalui Revitalisasi Posyandu
Revitalisasi Posyandu adalah upaya
pemberdayaan Posyandu untuk mengurangi dampak dari krisis ekonomi terhadap
penurunan status gizi dan kesehatan ibu dan anak. Revitalisasi Posyandu tertuang dalam surat edaran
Mendagri Nomor: 411.3/536/SJ tanggal 3 Maret 1999. Kegiatan ini juga bertujuan
untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam menunjang upaya mempertahankan
dan meningkatkan status gizi serta kesehatan ibu dan anak, melalui peningkatan
kemampuan kader, managemen dan fungsi Posyandu.
Tujuan pemberdayaan kader Posyandu adalah meningkatkan
kemampuan dan kinerja kader Posyandu sehingga mampu memepertahankan dan
meningkatkan status gizi serta kesehatan ibu dan anak. Sedangkan tujuan khususnya adalah:
* Tercapainya pemberdayaan tokoh masyarakat dan kader
melalui advokasi, orientasi, pelatihan atau penyegaran.
* Tercapainya pemantapan kelembagaan dengan terpenuhinya
perlengkapan Posyandu.
*
Terselenggaranya kegiatan Posyandu secara rutin dan berkesinambungan
Revitalisasi Posyandu diutamakan pada Posyandu yang sudah
tidak aktif / rendah stratanya (pratama dan madya), dan Posyandu yang berada di
daerah yang sebagian besar penduduknya tergolong miskin. Adanya dukungan materi dan non materi dari
tokoh masyarakat setempat (baik pimpinan
formal maupun informal) dalam menunjang pelaksanaan kegiatan Posyandu. Dukungan tokoh masyarakat dipandang amat
penting, karena komitmen dan dukungan mereka sangat menentukan keberhasilan dan
kesinambungan kegiatan Posyandu. Sebaiknya
revitalisasi Posyandu dilakukan setelah tokoh masyarakat menyampaikan komitmen.
Revitalisasi posyandu terdiri dari paket minimal dan
paket pilihan. Sampai saat ini masih ada
paket minimal yang berupa perbaikan gizi
(misalnya pemantauan status gizi; PMT
pemulihan untuk gizi buruk; MP-ASI dan penyuluhan gizi). paket minimal ini juga melayani Kesehatan Ibu
dan Anak (KIA); Keluarga Berencana (KB); Imunisasi anak Balita maupun ibu
hamil; Penanggulangan penyakit diare (oralit).
Sedangkan paket pilihan berupa kegiatan pengembangan
Posyandu, meliputi berbagai program antara lain :
·
Perkembangan anak yang dipadukan dengan Bina Keluarga
Balita (BKB)
·
Penemuan dini penderita lumpuh layu dan infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA)
·
Penanggulangan penyakit endemis setempat seperti malaria,
demam berdarah dengue (DBD) dan gondok endemik.
·
Penyediaan air bersih dan penyehatan lingkungan pemukiman
(PAB-PLP)
·
Usaha Kesehatan Gigi Masyarakat Desa (UKGMD).
Persiapan
revitalisasi Posyandu umumnya dimulai dengan :
a). Advokasi ke Camat dan petugas lintas sektoral, Pokjanal
Posyandu, Tim Penggerak PKK, LSM dan tokoh masyarakat setempat. Kegiatan ini bergabung dengan advokasi
kegiatan JPS-BK lainnya.
b). Sosialisasi
revitalisasi Posyandu ke petugas dan masyarakat untuk kesatuan pemahaman dan
tindakan.
c). Pertemuan
dengan pokjanal Posyandu, Tim Penggerak PKK. LSM setempat, Petugas Puskesmas termasuk
Bidan di Desa, untuk bersama-sama menyusun rencana kegiatan revitalisasi
Posyandu di seluruh wilayah kecamatan.
Selanjutnya
pelaksanaan revitalisasi Posyandu berupa :
a). Pemberdayaan tokoh masyarakat dalam bentuk
advokasi/orientasi kepada para tokoh masyarakat (baik formal maupun informal),
karena mereka memegang peranan penting dalam menentukan sukses tidaknya
kegiatan Posyandu.
b). Pemberdayaan
kader oleh petugas Puskesmas dan lintas sektor terkait dalam bentuk antara lain : pelatihan/penyegaran/jambore/lomba cerdas cermat. Sebagai penghargaan atas jasanya kader dan keluarganya diberikan
pelayanan kesehatan dasar secara bebas biaya di Puskesmas setempat.
c). Pengadaan
perlengkapan (alat masak) dan kebutuhan operasional Posyandu lainnya.
d). Pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan
kegiatan Posyandu. Salah satu peran penting Posyandu adalah menjangkau sasaran
yang tidak datang. Khususnya keluarga miskin yang rawan gizi/kesehatan. Sasaran
inilah yang sangat memerlukan bantuan. Dalam kunjungan ke keluarga sasaran
ditekankan perlunya sasaran mengunjungi Posyandu terdekat sesuai dengan jadwal
buka Posyandu.
e). Kader diharapkan segera meminta petugas
memberikan layanan kesehatan yang sesuai, bila pada keluarga yang dikunjungi
ditemukan:
·
Anggota
keluarga yang sakit
·
Anggota
keluarga yangmenderita kekurangan gizi
·
Anggota keluarga yang ingin menjadi akseptor KB
·
Ibu hamil, ibu melahirkan dan ibu nifas
Mengingat beragamnya wajah Posyandu di tanah air, maka
Puskesmas, Pokjanal Posyandu, Tim Penggerak
PKK, Tokoh Masyarakat, Lembaga Masyarakat dan LSM serta pengelola Posyandu setempat dapat melakukan modifikasi
kegiatan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Dalam kaitan ini, hal terpenting adalah
tercapainya tujuan untuk menjangkau seluruh keluarga rawan gizi dan kesehatan. Paket
bantuan biaya revitalisasi Posyandu dapat digunakan untuk :
1). Pemberdayaan
tokoh masyarakat melalui advokasi dan orientasi masyarakat
2). Pemberdayaan
kader melalui pelatihan dan penyegaran kader Posyandu.
3). Pengadaan
perlengkapan alat masak, operasional Posyandu lainnya seperti ATK dan barang
habis pakai, pakaian seragam kader dan lain-lain
4). Pengganti
transport kader apabila kader melakukan kunjungan ke keluarga sasaran atau
Posyandu.
Bantuan paket revitalisasi Posyandu tentu saja tidak
mungkin mencukupi. Oleh karena kegiatan ini penggalian dana swadaya masyarakat
dengan dukungan tokoh masyarakat setempat harus
terus digalakan. Semangat gotong royong harus terus ditumbuhkan,
sehingga yang kaya wajib menjadi donatur, yang pintar memberi ilmu, yang kuat
memberi tenaga dan sebagainya.
D.
Model
Pembangunan – Gizi dan Kesehatan Untuk Menunjang Revitalisasi Posyandu
Sebagai dampak dari Surat Edaran Menteri Dalam Negeri
tentang Revitalisasi Posyandu Nomor : 411.3/536/SJ tertanggal 3 Maret 1999, ada
beberapa Pemerintah Daerah, Lembaga Donor dan LSM menyediakan anggaran guna
mendukung Revitalisasi Posyandu penggunaannya dikoordinasikan.
Bidan desa melakukan pendataan sasaran dengan mengisi
formulir daftar keluarga miskin, kemudian membuat rencana pelaksanaan kegiatan
PMT tingkat desa berdasarkan jumlah sasaran.
Puskesmas melakukan pengecekan data sasaran PMT yang dilaporkan oleh
bidan desa, kemudian membuat rencana pelaksanaan kegiatan tingkat kecamatan
dengan unit kos Rp1000 / hari untuk anak dan Rp1250 / hari untuk ibu.
Dalam kehidupan manusia modern saat ini, kedudukan dan
peranan perencanaan sedemikian pentingnya, sehingga perlu berbagai aturan. Luasnya pengertian gizi dan kesehatan dalam
pembangunan menuntut semua lapisan
masyarakat untuk aktif memikirkan bagaimana revitalisasi Posyandu agar dapat
berjalan sesuai dengan fungsi pokok Posyandu sebagai pemantau pertumbuhan anak
Balita. Pembangunan gizi dan kesehatan
berazaskan moralitas dan peri kemanusiaan maka tidak sepantasnya program
revitalisasi menjadi ‘proyek’ yang diperebutkan. Oleh karena itu perlu rumusan bentuk model
revitalisasi Posyandu yang berazaskan kemanusiaan. ADB
Nutrition and development Series No.3 (2001) telah memberikan arah sebagai berikut :
Marilah
revitalisasi Posyandu dimulai dengan niat suci, dan dikerjakan dengan
benar. Keluarga miskin sebagai kelompok
sasaran program sudah saatnya dijadikan sebagai ‘subyek pembangunan’ gizi dan
kesehatan, bukan lagi sebagai ‘obyek dari program’ ataupun proyek.
Masih ada 100 juta
rakyat
Dalam melaksanakan
advokasi dan sosialisasi tentang Revitalisasi Posyandu jangan sampai terjadi
‘salah menjelaskan’ kepada penentu kebijakan. Dalam tahap ini perlu dihilangkan kebiasaan menggunakan slogan
kosong, sehingga data kegiatan Posyandu yang paling efisien dan efektif perlu
ditunjukkan sebagai bukti nyata pentingnya kegiatan revitalisasi Posyandu. Selain itu dalam membangun
gizi mau tidak mau harus ada orang / kelompok orang se-profesi (profesional)
yang bekerja keras untuk mengenalkan pentingnya program gizi dan kesehatan. Untuk itu diperlukan kerjasama dengan instansi riset dan
teknologi, universitas, dan badan badan dunia yang menangani masalah
pembangunan gizi dan kesehatan.
Dimulai
dengan mencari teman atau mitra untuk melakukan revitalisasi Posyandu. Pada umumnya para pejabat di daerah
di Indonesia belum paham betul tentang pentingnya ‘revitalisasi Posyandu’. Banyak cara untuk mengenalkan pentingnya
‘revitalisasi Posyandu’ kepada para penentu kebijakan sehingga kegiatan ini
mendapat perhatian dan dukungan dana yang memadai. Salah satu cara ‘ampuh’ untuk membuat orang
lain tahu tentang pembangunan gizi dan kesehatan khususnya revitalisasi
Posyandu adalah dengan membuat buku atau menulis di koran, atau mass media
lain.
Tahap terakhir dari
upaya pelaksanaan pembangunan gizi dan kesehatan khususnya revitalisasi
Posyandu ini memerlukan renungan berbagai pihak yang terlibat program secara
langsung. Renungan ini berupaya untuk
menemukan bentuk paling ideal sesuai dengan kondisi lokal, sehingga
revitalisasi posyandu berjalan dengan efektif dan efisien.
Posyandu
merupakan upaya untuk mengatasi kesenjangan-kesenjangan yang umumnya terjadi di
perdesaan, misalnya (a) Kesenjangan geografis dalam memperoleh pelayanan KIA;
(b) Kesenjangan informasi mengenai kesehatan ibu dan anak serta perilaku hidup
bersih dan sehat ; (c) Kesenjangan sosiobudaya antara petugas kesehatan dan
masyarakat yang dilayaninya ; (d) Kesenjangan ekonomi dalam mendapatkan
pelayanan kesehatan dasar dengan tarif yang murah dan bahkan gratis yang semuanya
untuk menunjang kelangsungan hidup anak.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Paradigma pembangunan gizi dan kesehatan menuju
Revitalisasi Posyandu sebagai tombak perjuangan
upaya penyelamatan anak kurang gizi dan sebagai pilar utama kegiatan pemantauan
pertumbuhan anak Balita khususnya di lingkungan penduduk miskin. Pencegahan terjadinya
penyakit yang disebabkan karena kurang gizi dapat dilakukan secara
berkesinambungan bila Posyandu berjalan sesuai fungsi utamanya, yaitu sebagai
pilar pemantau pertumbuhan anak balita dimanapun berada. Hal ini dapat berjalan
lancar bila semua pihak ikut merasa butuh dengan kegiatan Posyandu, dan
melaksanakan kegiatan Posyandu dengan niat suci serta moral dan etika yang
tinggi.
Revitalisasi Posyandu
hendaknya memiliki dana segar sebagai bentuk
kemandirian masyarakat desa untuk melaksanakan kegiatan Posyandu agar anak
Balita tumbuh dan berkembang sehat, dan memiliki jaminan pemeliharaan kesehatan
dari keluarganya. Posyandu yang baik
bila telah mampu mengelola dana secara mandiri dan menjalankan Managemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS).
B.
Saran
Perubahan kebijakan oleh pejabat negara yang baru
memang tidak sepenuhnya dapat merubah aktivitas dan bentuk pelayanan Posyandu. Namun demikian dukungan para
pejabat baik yang di pusat pemerintahan maupun pejabat desa sangat menentukan
warna pengembangan Posyandu sebagai pilar utama pemantau pertumbuhan anak
Balita. Untuk
itu diperlukan komitmen seluruh lapisan masyarakat
Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Prof.
Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng, MS dan Dr. Ir. Hardjanto, MS atas perkenannya
menyetujui usulan paper / makalah kelompok ini.
Tak lupa juga kami sampaikan terimakasih kepada
seluruh teman sejawat di kelas PPS-702 Darmaga, IPB atas perhatian dan
kerjasamanya yang baik selama ini.
ADB Nutrition & Development. 2001. What Works? A Review of the Efficacy and
Effectiveness of nutrition Interventions
(ACC/SCN Nutrition Policy Paper No. 19 September 2001.
Apriadji, WH.
1986. Gizi
Keluarga . Penebar Swadaya.
Jakarta.
Depkes, RI. 1993. Pedoman Pemantauan Kesehatan Ibu dan Anak.
Direktorat Bina Kesehatan
Keluarga, Jakarta.
_________.
1999. Pedoman Pelaksanaan Program
Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK). Jakarta.
_________. 1999a. Pedoman
Managemen Peranserta Masyarakat Cetakan ke-5. Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat,
Depkes, Jakarta.
_________. 1999b.
Pedoman Teknis Pelayanan Kesehatan Dasar: Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial. Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat,
Direktoran Bina Kesehatan Keluarga. Depkes, Jakarta.
_________. 2000.
Tatalaksana Penanggulangan Gizi Buruk. Departemen Kesehatan dan
Kesejahteraan Sosial RI. Ditjen Kesehatan Masyarakat. Direktorat Gizi
Masyarakat, Jakarta.
_________. 2000a.
Pedoman Pemberdayaan Pondok Bersalin Desa. Departemen Kesehatan
dan Kesejahteraan Sosial RI. Ditjen Kesehatan Masyarakat. Direktorat Gizi
Masyarakat, Jakarta.
Soekirman,
2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk
Keluarga dan Masyarakat. Ditjen DIKTI, Depdiknas. Jakarta.
Suhardjo. 1989. Sosio
Budaya Gizi. Depdikbud.
Dikti. Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi. IPB. Bogor.
Tandyo, D.
1999. Masalah Gizi dan Pencegahan
Generasi yang Hilang. Pidato Pengukuhan
Guru Besar pada Fakultas Kedokteran – Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Trihono. 1999. Kesehatan Keluarga
dan Gizi. Laporan Kegiatan Proyek
KKG, Departemen Kesehatan RI, Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat Jakarta.
UNICEF. 2003. Jaringan Perlindungan dan Hak Anak
di Kota Surakarta. Lokakarya Daerah
Pembentukan Jaringan Komunikasi Peduli Anak.
Surakarta, Juli 2003.
USAID. 1990. Communication for Child Survival
(Terjemahan). Healthcom. ISBN
0-89492-065-0. Bureau
for Science and Technology Development.