© 2003 Slamet Budi Yuwono
Posted:
Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Program Pascasarjana/S3
Institut Pertanian
November 2003
Dosen :
Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto
KARAKTERISTIK
BIOFISIK KAWASAN HUTAN REGISTER 19 GUNUNG BETUNG SEBAGAI SUMBER AIR
Oleh :
Slamet
Budi Yuwono
A262030031/DAS
E-mail: slametby@yahoo.com
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Air merupakan salah satu unsur yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia maupun mahkluk hidup lainnya yang ada di muka bumi. Sejalan dengan pertambahan dan perkembangan penduduk serta industri, maka kebutuhan terhadap air bersih semakin meningkat. Peningkatan kebutuhan akan air ini tidak diimbangi oleh jumlah air yang tersedia, karena sumberdaya air di dunia ini tidak akan pernah bertambah jumlahnya. Oleh karena itu, sudah selayaknya sumber-sumber air yang telah ada perlu dijaga dan dilestarikan. Apabila memungkinkan ditingkatkan ketersediaannya meskipun memerlukan jangka waktu yang panjang.
Pertumbuhan penduduk dan aktvitas pembangunan yang tinggi, serta adanya eksploitasi sumberdaya alam secara intensif dan berlebihan, memberikan peringatan kepada kita untuk menyusun suatu strategi yang lebih baik dalam mengelola sumberdaya alam air. Strategi ini harus diproyeksikan terhadap matra waktu berjangka pendek dan berjangka panjang. Peningkatan jumlah penduduk cenderung meningkatkan permintaan akan sumber daya air, dilain pihak yang terjadi justru sebaliknya, yakni air menjadi sumber daya yang keberadaannya semakin tak berketentuan.
Indonesia sebagai negara tropis sebagian besar wilayahnya mempunyai curah hujan yang cukup tinggi yaitu 4000 mm/tahun, namun pada beberapa daerah memilki curah hujan yang cukup rendah yaitu 800 mm/tahun. Meskipun potensi curah hujan cukup tingi, namun pada kenyataannya besarnya aliran mantap (base flow) yang terjadi secara kontinyu setiap tahun, hanya sekitar 25 – 30% dari aliran permukaan total.
Berdasarkan perhitungan curah hujan tersebut, ketersediaan air di Indonesia adalah 3.279 milyar m3 per tahun sedang jumlah jumlah kebutuhan air adalah 88,5 milyar m3 per tahun. Jika dinyatakan dalam nilai Indeks Ketersediaan Air (IKA) untuk jumlah penduduk sekitar 230 juta jiwa pada tahun 1999, maka IKA Indonesia adalah sebesar 14.000 m3/kapita/tahun. Dengan laju pertumbuhan penduduk yang demikian pesat (sekitar 2,5% per tahun), nilai IKA bisa turun secara drastis mencapai ambang toleransi sebesar 1000 m3/kapita/tahun.
Sementara itu, pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan akan memacu pertumbuhan sektor-sektor lainnya (termasuk sektor industri). Pertumbuhan tersebut memerlukan tersedianya air tawar dalam jumlah yang cukup besar, baik untuk irigasi, untuk mencukupi kebutuhan hidup, pembangkit listrik, kebutuhan industri, dan lain-lain, sedangkan ketersediaan sumberdaya air relatif tetap.
Pertumbuhan industri yang kurang terencana akan menghasilkan buangan air limbah ke sungai, sehingga dikhawatirkan tingkat pencemaran air terutama di sungai-sungai utama akan meningkat bila upaya pengendaliannya tidak memadai. Kerusakan hutan, alih fungsi lahan melalui perambahan kawasan hutan, perluasan kawasan budidaya, dan permukiman serta industri dapat merusak ekosistem dan kesetimbangan daur/siklus lingkungan, termasuk diantaranya siklus hidrologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengurangan luas hutan dari 36% menjadi 25%, 15% dan 0% akan menaikkan puncak banjir berturut-turut 12,7%, 58,7% dan 90,4%, dan meningkatkan laju erosi sebesar 10%, 60% dan 90%.
Melihat berbagai persoalan di atas, maka pengelolaan, pelestarian dan
penanggulangan serta pengamanan sumber air
Dalam rangka mengantisipasi perkembangan di masa yang akan datang, dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap air yang bersih maka perlu dilakukan kajian karakteristik biofisik kawasan hutan register 19 Gunung Betung guna membuat rencana pengembangan daerah, pengelolaan dan upaya-upaya mempertahankan kelestarian sumberdaya air khususnya bagi Kota Bandar Lampung.
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan paper ini adalah untuk mengetahui
karakteristik biofisik kawasan hutan register 19 Gunung Betung, sehingga dapat memberikan
masukan bagi pihat terkait khususnya dalam penyusunan alternatif /arahan program
yang bertujuan untuk melestarikan sumberdaya air. Hal ini sangat penting karena kawasan hutan
register 19 Gunung Betung merupakan sumber air utama bagi
II.
KONDISI DAN POTENSI BIOFISIK
2.1 Iklim
Berdasarkan data iklim dari stasiun pengamat iklim terdekat terutama curah hujan dan hari hujan selama 10 tahun secara berturut-turut, menunjukkan bahwa bulan-bulan basah (curah hujan > 100 mm/bulan) hanya terjadi pada Desember sampai Maret, bulan-bulan lembab (curah hujan 60-100 mm/bulan) terjadi selama 5 bulan dan sisanya merupakan bulan kering (curah hujan < 60 mm/bulan) terjadi pada Mei-Juli. Berdasarkan klasifikasi iklim Koppen wilayah ini termasuk dalam tipe iklim Af, sedangkan berdasarkan klasifikasi iklim Scmidth-Ferguson wilayah ini termasuk dalam tipe iklim B. Sedangkan jumlah hari hujan berkisar antara 4,7 hari/bulan (September) sampai 17,8 hari/bulan (Januari).
Dari pengamatan data hujan seperti tersebut di atas
maka dapat disimpulkan bahwa hampir sepanjang tahun terjadi hujan walaupun
besarnya tidak merata sepanjang tahun, hal ini menggambarkan potensi kawasan
hutan register 19 Gunung Betung sebagai penghasil air bagi wilayah di bagian
bawahnya yang memanfaatkan air tersebut. Adanya curah
hujan yang demikian sangat menguntungkan bagi aspek silvikultur, hal ini karena
ketersediaan air bagi perbaikan kondisi hutan dalam bentuk persemaian atau
penanaman pohon hutan tidak terlalu menghadapi kendala kekurangan air. Sehingga dengan manajemen waktu (penyesuaian
antara kebutuhan air tanaman dengan curah hujan yang tersedia) yang baik
perbaikan kondisi hutan dapat dilaksanakan dan akan
berhasil dengan baik. Selain itu yang menjadi perhatian penting lainnya adalah
bahwa Sungai Kuripan yang merupakan muara dari anak-anak sungai yang mengalir dari kawasan
hutan register 19 Gunung Betung (Way Betung, Way Simpang Kiri, Way Simpang
Kanan, dll) merupakan sumber air
Dari aspek konservasi tanah dan air kondisi curah hujan yang demikian harus dicermati secara seksama, karena walaupun bulan-bulan basah hanya terjadi selama 4 bulan berturut-turut namun dapat menyebabkan erosi yang cukup besar. Hal ini disebabkan karena sebagian besar dari lahan yang ada mempunyai kemiringan lereng yang relatif curam, selain itu kegiatan pertanian yang ada umumnya belum menerapkan teknik konservasi tanah dan air di dalam proses budidaya tanaman hutan maupun tanaman selanya.
Untuk itu kegiatan pembangunan hutan yang mengandalkan kondisi alami
harus memperhatikan kondisi iklim serta kondisi tanah yang akan
dikembangkan, baik untuk tanaman hutan maupun untuk tanaman serba guna atau
MPTS (Multi Purpose Trees Species).
Secara rinci kondisi curah hujan dan iklim rata-rata
selama 10 tahun berturut-turut disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Curah hujan (mm)
bulanan selama 10 tahun
Tahun |
Bulan |
Jml |
|||||||||||
|
Jan |
Feb |
Mar |
Apr |
Mei |
Jun |
Jul |
Agu |
Sep |
Okt |
Nov |
Des |
|
1982 |
208 |
148 |
85 |
129 |
25 |
68 |
47 |
3 |
342 |
13 |
71 |
217 |
1356 |
1983 |
281 |
106 |
27 |
118 |
86 |
52 |
101 |
9 |
7 |
42 |
88 |
126 |
993 |
1984 |
134 |
186 |
156 |
73 |
87 |
47 |
84 |
38 |
54 |
60 |
88 |
161 |
1168 |
1985 |
205 |
155 |
125 |
69 |
21 |
58 |
69 |
72 |
67 |
68 |
54 |
102 |
1065 |
1986 |
182 |
123 |
136 |
108 |
46 |
32 |
20 |
55 |
84 |
174 |
122 |
68 |
1150 |
1987 |
314 |
218 |
97 |
71 |
59 |
102 |
46 |
12 |
16 |
49 |
29 |
129 |
1150 |
1988 |
187 |
176 |
218 |
106 |
37 |
49 |
15 |
62 |
28 |
121 |
18 |
117 |
1034 |
1989 |
182 |
191 |
96 |
88 |
129 |
33 |
45 |
43 |
20 |
23 |
105 |
175 |
1080 |
1990 |
149 |
197 |
118 |
32 |
51 |
11 |
54 |
69 |
71 |
54 |
41 |
127 |
964 |
1991 |
198 |
123 |
107 |
76 |
108 |
9 |
22 |
0 |
0 |
1 |
91 |
462 |
1297 |
Jml |
2040 |
1623 |
1165 |
870 |
649 |
461 |
503 |
363 |
689 |
605 |
707 |
1684 |
11357 |
Rerata |
204 |
162.3 |
116.5 |
87.0 |
64.9 |
46.1 |
50.3 |
36.3 |
68.9 |
60.5 |
70.7 |
168.4 |
|
Sumber : Stasiun Klimatologi Natar
Tabel 2. Kondisi iklim rata-rata selama 10 tahun
Tahun |
RH (%) |
Suhu (oc) |
Evaporasi
(mm) |
Kec.Angin (Km/hari) |
Radiasi (cal/cm2/hr) |
Sinar
Ma-tahari (%) |
1982 |
81.2 |
26.1 |
3.9 |
59.1 |
435.0 |
24.9 |
1983 |
81.8 |
28.6 |
5.2 |
66.3 |
435.9 |
22.6 |
1984 |
85.3 |
27.5 |
3.2 |
48.3 |
413.4 |
40.7 |
1985 |
84.4 |
27.0 |
3.6 |
28.3 |
426.7 |
46.8 |
1986 |
84.2 |
27.3 |
3.5 |
29.4 |
462.7 |
45.1 |
1987 |
83.4 |
27.5 |
3.9 |
20.7 |
410.2 |
41.1 |
1988 |
85.9 |
27.2 |
3.4 |
12.8 |
327.6 |
27.4 |
1989 |
86.3 |
29.1 |
3.9 |
18.2 |
354.2 |
24.2 |
1990 |
74.7 |
28.0 |
3.6 |
12.7 |
324.6 |
23.9 |
1991 |
83.6 |
28.4 |
3.9 |
32.2 |
401.1 |
34.0 |
Jml |
830.8 |
276.7 |
38.1 |
328.0 |
3991.4 |
330.7 |
Rerata |
83.1 |
27.7 |
3.8 |
32.8 |
399.1 |
33.1 |
Sumber : Stasiun Klimatologi Natar
Pada
saat ini sebagian kawasan hutan register 19 Gunung Betung yang merupakan
kawasan hutan lindung lahannya dikelola oleh masyarakat dengan pola Hutan
Kemasyarakatan (HKm). Dimana, sebagain
besar masyarakat peserta program HKm memanfatkan lahan kawasan hutan untuk menanam
berbagai jenis tanaman Multi Purpose Trees Spesies (MPTS) yang diselingi dengan
tanaman pangan. Untuk
itu, kegiatan budidaya di kawasan tersebut harus memperhatikan tindakan
konservasi tanah dan air, sehingga diharapkan kelestarian sumberdaya air dapat
terjaga. Hal ini mengingat
kondisi curah hujan yang cukup tinggi dan bulan basah yang relative panjang,
sehingga dengan tindakan konservasi tanah dan air akan
mengurangi erosi yang menyebabkan degradasi tanah di masa yang akan
datang. Selain itu, budidaya tanaman
MPTS dengan type perakaranyang kuat diharapkan akan
melindungi tanah dari bahaya longsor serta mampu meningkatkan laju infiltrasi,
terutama pada lahan yang memiliki topografi cukup curam.
2.2
Geologi dan
Fisiografi
Kondisi geologi wilayah ini tersusun atas jaluran-jaluran (outliers) Pegunungan Barisan yang sebagian besar tersusun oleh bahan volkan muda. Secara umum wilayah ini tersusun oleh batuan pre-tersier dan andesit tua. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya batu jenis andesit yang berserakan di sungai-sungai yang berada di wilayah ini. Formasi andesit tua terdiri dari lava, andesit, breksi dan tufa sebagian kecil batuan bersusunan basal dan liparit. Terdapat rekahan-rekahan dan sesar-sesar pada batuan andesit, hal ini menunjukkan bahwa batuan telah mengalami gerakan tektonik. Endapan kuarter berupa tuf Lampung menutupi bagian terluas, dan merupakan endapan ignimbrit yang diendapkan pada lingkungan marin. Tuf mempunyai komposisi dasatik sampai liparitik dengan kadar tinggi.
Fisiografi wilayah ini secara umum termasuk dalam grup vulkan (Volcanic Group), secara umum bentang alam diwilayah ini terdiri dari pegunungan, perbukitan dan dataran. Di wilayah pegunungan terdiri dari pegunungan berlereng curam sampai sangat curam dan pegunungan berlereng sangat curam sekali. Wilayah pegunungan ini tersusun dari batuan volkan tua (basal, andesit dan dasit). Pada wilayah perbukitan bahan penyusun batuannya hampir sama dengan pegunungan, namun pada beberapa wilayah perbukitan terdapat batuan intrusif (granit) dan batuan metamorfik (skis, gneis). Pada formasi dataran tersusun oleh batuan granit dan skis.
Kondisi geologi dan fisiografi yang demikian hendaknya mendapat perhatian yang seksama, hal ini disebabkan pada satu sisi adanya bahan penyusun berupa batuan volkan akan meningkatkan kesuburan mineral tanah secara alami, namun di lain pihak kondisi fisiografinya yang relatif curam sangat berpotensi untuk menimbulkan potensi erosi. Untuk itu, dalam pelaksanaan pembangunan hutan maupun kegiatan pertanian harus memperhatikan aspek konservasi tanah dan air serta pemilihan tegakan yang mampu mengambil hara dari kedalaman tanah yang cukup baik.
Seperti pada uraian di atas, maka penanaman tanaman MPTS merupakan salah satu alternatif pemanfaatan lahan dengan pertimbangan aspek konservasi dan kelestarian hasil. Penutupan lahan yang relative curam dengan tanaman MPTS berbasis kayu selain bermanfaat secara konservasi dan hidrologi, juga mampu memberikan hasil bagi peserta HKm yang ada di wilayah tersebut. Sehingga diharapkan kegiatan HKm dapat digunakan sebagai salah satu alternatif program perlindungan kawasan hutan dengan melibatkan masyarakat (Community base development).
2.3
Hidrologi
Kawasan hutan register 19 Gunung Betung merupakan salah satu sumber
kebutuhan air bagi Kota Bandar Lampung.
Beberapa sungai yang hulunya berada di kawasan hutan register 19 Gunung
Betung, airnya mengalir ke Kota Bandar Lampung. Air sungai tersebut dimanfaatkan menjadi sumber
air (air
Tabel 3. Karakteristik Sub-DAS wilayah Gunung Betung
No |
Parameter
Fisik |
Sub-Das Way
Sp.Kiri |
Sub-Das Way
Sp.Kanan |
Sub-Das Way Betung |
1. |
Luas
(km2) |
14.38 |
16.58 |
16.34 |
2. |
Panjang
sungai utama (km) |
35.95 |
36.75 |
40.25 |
3. |
Kerapatan
drainase |
2.54 |
2.35 |
2.62 |
4. |
Bentuk
DAS |
Bulu burung |
Bulu burung |
Bulu burung |
(Sumber: Manik, dkk; 1996)
Dari karakteristik Sub-DAS yang ada, terutama kerapatan drainase dan bentuk DAS, maka dapat digambarkan karakteristik hidrologi dari masing-masing sungai tersebut. Sebagai gambaran kondisi hidrologi Way Betung masih lebih baik apabila dibandingkan dengan kedua Sub-Das lainnya, hal ini disebabkan karena memiliki kerapatan drainase yang lebih tinggi. Apabila suatu Sub-DAS memiliki kerapatan drainase yang tinggi maka air hujan yang jatuh di atas Sub-DAS tersebut akan tersebar merata ke dalam anak-anak sungainya, sehingga sebelum memasuki sungai utama akan memiliki waktu tunggu (time lag) yang lebih lama dan akan meresap ke dalam tanah dalam jumlah yang lebih banyak. Sehingga pada umumnya sungai yang memiliki kerapatan drainase tinggi akan mampu meningkatkan ketersediaan air bawah tanah. Berambahnya pasokan air bawah atanah akan menajmin tersedianya air pada musim kemarau. Hal ini dengan asumsi kondisi penutupan lahan untuk Sub-DAS tersebut relatif sama.
Selain itu bentuk Sub-DAS Way Betung yang menyerupai bulu burung mempunyai kemampuan yang cukup baik dalam menyimpan air hujan yang jatuh sebagai masukan utama Sub-DAS tersebut apabila dibandingkan dengan bentuk radial. Hal ini disebabkan karena bentuk Sub-DAS bulu burung mempunyai waktu puncak (time consentration) yang lebih panjang daripada bentuk Sub-DAS yang radial, sehingga secara tidak langsung akan meningkatkan jumlah air yang diresapkan ke dalam tanah pada Sub-DAS tersebut.
Hasil pengamatan pada beberapa sungai yang bermuara di teluk Lampung, ternyata hanya Way Betung dan Way Simpang Kiri yang tetap mengalir walaupun pada musim kemarau. Sungai-sungai disekitarnya tidak berair (mengalir), dan tampaknya hanya mengalir apabila musim hujan serta pada musim kemarau kering. Sungai yang demikian termasuk dalam tipe intermitten rivers , yaitu hanya mengalir pada musim hujan dan tidak mengalir (kering) di musim kemarau kecuali bila ada hujan. Hal ini disebabkan karena pada musim kemarau permukaan air bawah tanah (water table) lebih rendah dari dasar sungai. Sungai-sungai yang bertipe intermitten ini sebagian besar berada pada Sub-Das Simpang Kanan.
Hasil pengukuran debit gabungan antara Way Betung dan Way Simpang Kiri pada musim kemarau yaitu sebesar 1 m3/det. Pada saat ini PDAM Way Rilau baru memanfaatkan untuk air baku sebanyak 350 l/det. Hal ini menunjukkan bahwa debit yang terukur merupakan aliran dasar (base flow) dari Way Betung. Secara tidak langsung hal ini menggambarkan bahwa kondisi hidrologi Sub-DAS Way Betung dan Sub-DAS Simpang Kiri relatif masih cukup baik. Kondisi hidrologi yang demikian merupakan potensi yang baik dan harus dipertahankan.
2.4
Tanah
Topografi
Berdasarkan pada peta topografi 1:100.000 pada umumnya kawasan hutan Register 19 Gunung Betung memiliki topografi bergelombang ringan sampai berat dan sangat berat, serta sebagian kecil datar.
Kondisi topografi yang demikian memerlukan penanganan khusus dalam pelaksanaan pembangunan hutan, terutama dengan pola HKm (Hutan kemasyarakatan) dimana masyarakat mendapat kesempatan seluas-luasnya dalam memilih jenis dan cara penanamannya. Untuk itu diperlukan suatu kearifan agar masyarakat peserta HKm sadar akan ancaman erosi apabila tidak menerapkan teknik konservasi tanah pada lahan-lahan yang relatif curam. Hal ini tidak hanya berdampak pada kemunduran kualitas lahan mereka (in situ) juga akan berdampak lebih berat lagi pada masyarakat di daerah hilir (ex situ). Untuk itu, diperlukan suatu kemampuan untuk menggugah hati masyarakat di bagian hulu, bahwa apapun yang mereka lakukan (proses pembangunan hutan dengan pola HKm) sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat lainnnya di daerah hilir.
Jenis Tanah
Jenis tanah di wilayah ini berasal dari bahan induk batuan vulkan muda dan terbentuk dengan fisiografi pegunungan serta beriklim basah. Sedangkan vegetasi yang mempengaruhi pembentukan tanah adalah hutan, walaupun pada saat ini kondisi penutupan hutan tidak sepenuhnya bagus, bahkan pada beberapa wilayah telah berubah fungsinya. Secara umum jenis tanah terdiri dari latosol coklat dan andosol coklat, atau Typic Dystropepts. Tanah ini termasuk jenis Inceptisols (tanah yang baru berkembang), dengan kondisi umum sebagai berikut: kedalam tanah cukup dalam, tekstur liat sampai liat berlempung, struktur kubus membulat (angular blocky), reaksi tanah masam, serta drainase baik.
Sifat
Kimia Tanah
Reaksi tanah (kemasaman) berkisar antara masam sampai agak masam, dengan kisaran kemasaman tanah (pH ) 4.78--6.02. Sedangkan Al-dd (Alluminium dapat dipertukarkan) berpotensi masam tergolong sangat rendah.
Sedangkan kandungan unsur hara utama seperti N, P, K dan KTK Tanah adalah sebagai berikut: Kandungan Nitrogen tanah tergolong sangat rendah (0.08%--0.16%), kandungan Phospor tanah tergolong rendah sampai sangat rendah berkisar antara 2.06 ppm P--7.29 ppm P, kandungan Kalium tanah berkisar antara 0.03--0.91 me/100g. Sedangkan KTK (Kapasitas Tukar Kation) tanah tergolong rendah (9.7--18.50 me/100g).
Karakteristik sifat kimia tanah yang demikian secara umum dapat dikategorikan tingkat kesuburan tanah tergolong rendah. Sehingga hal ini perlu mendapat perhatian apabila ingin mengembangkan tanaman hutan, dan menjadi salah satu pertimbangan dalam pemilihan jenis. Hal ini juga perlu diungkapkan kepada masyarakat agar mereka mengetahui potensi kesuburan tanah di lahan mereka secara umum, sehingga pemilihan jenis tanaman lebih diarahkan pada jenis tanaman yang bersifat permaculture (dapat berkembang sendiri) serta tidak memerlukan tanah yang subur. Atau dengan kata lain menggunakan input seminimal mungkin untuk mendapatkan hasil yang optimal melalui pemilihan jenis yang tepat dengan mempertimbangkan potensi kesuburan tanah.
Sifat
Fisika Tanah
Hasil analisis sifat fisika tanah di wilayah ini digambarkan dari
parameter-parameter yang diukur yaitu, berat jenis (bulk density), ruang
Berat jenis tanah tergolong sedang yang berkisar antara 1,11 -- 1,36 g/cc, hal ini menunjukkan bahwa kondisi
kepadatan tanah relatif padat. Ruang
Kondisi yang demikian menggambarkan kemampuan tanah untuk meresapkan air ke lapisan yang lebih dalam yang berasal dari proses infltrasi, sehingga jumlah air yang dapat diresapkan oleh tanah tersebut tergantung dari besarnya nilai permeabilitas. Semakin cepat laju permeabilitas maka akan semakin cepat air yang diresapkan oleh tanah kepada lapisan yang lebih dalam, hal ini akan sangat mempengaruhi ketersediaan air tanah (ground water) yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat baik di hulu maupun di hilir.
III.
ARAHAN PENGELOLAAN
Berdasarkan karakteristik kawasan hutan register 19 Gunung Betung seperti diuraikan di atas, maka untuk mempertahankan kondisi yang masih relatif baik serta menjaga kelestarian sumberdaya air perlu dilakukan berbagai arahan pengelolaan. Secara rinci arahan pengelolaan kawasan hutan register 19 Gunung Betung disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Arahan pengelolaan kawasan hutan register 19 Gunung Betung
No |
Masalah |
Arahan
Pengelolaan |
1 |
Kebutuhan
penyediaan air |
·
Minimasi sedimen yang masuk ke perairan |
|
|
·
Pengembangan
daerah tampungan air |
|
|
·
Penanaman
tanaman MPTS yang berakar dalam |
|
|
·
Pengelolaan
peningkatan laju infiltrasi dan pengisian air tanah |
2 |
Bahaya
banjir |
·
Minimasi
sedimen yang masuk ke waduk |
|
|
·
Mengurangi
sedimen di saluran |
|
|
·
Zoning
pemanfaatan lahan banjir |
|
|
·
Penghutanan
kembali |
3 |
Erosi dan sedimentasi |
·
Pemeliharaan bangunan pengendali erosi |
|
|
·
Penanaman
tanaman penguat teras, dan kelembagaan |
|
|
·
Penghutanan
kembali |
4 |
Pencemaran
air sungai |
·
Pengembangan
tanaman sepanjang sepadan sungai |
|
|
·
Penggunaan cara
alami dalam perlakuan air buangan |
|
|
·
Optimalisasi
proses pengolahan air buangan secara terpadu ·
Minimalisasi
penggunaan sumberdaya |
|
|
·
Penanaman
rumput-rumputan penguat tebing |
|
|
·
Agroforestry
yang mengurangi erosi dan sumber kayu bakar. |
|
|
·
Pengendalian
sedimentasi |
5 |
Keterbatasan
pengetahuan masyarakat |
·
Penyuluhan
pentingnya tindakan konservasi tanah dan air di kawasan yang rawan erosi
(lereng curam) |
|
|
·
Peningkatan
kemampuan dalammbentuk pelatihan |
|
|
·
Penguatan
kelembagan masyarakat untuk menjalin kerjasama dengan pihak lain |
Sumber : Sim (1990)
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press.
Handoko. 1993. Klimatologi Dasar. “Landasan
Pemahaman Fisika Atmosfer dan Unsur-unsur Iklim”. Jurusan Geofisika dan
Meteorologi, FMIPA-IPB.
Kanwil Dephut. 1988. Rencana Pembangunan dan Pengembangan Taman Hutan Raya Gunung Betung Lampung (Buku I Rencana Pengembangan). Kanwil Dephut Propinsi Lampung. Bandar Lampung. 161 hal.
K.E.S. Manik, Afandi, Slamet BY, dan Susanto K.S. 1996. Karakteristik Beberapa Sub DAS Kuripan Kotamadya Bandar Lampung. Jurnal Tanah Tropika. Tahun II No.2. Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Lampung
Lembaga Penelitian Unila. 1996. Penulisan dan Penyusunan Hasil Penelitian dan Pembuatan Peta Taman Hutan Raya Wan Abdulrachman Gunung Betung. LP Unila Bekerja sama dengan Bappeda Tk. I Lampung. Bandar Lampung. 61 hal.
Pusat
Penelitian Tanah. 1989. Buku Keterangan Peta Satuan Lahan dan Tanah
Lembar Tanjung Karang, Sumatera. PPT Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Sim, Low Kwai. 1990.
Manual on Watershed Research. Asean-US Watershed Project. College,
Laguna Philipines.
Susanto K.S.
1992.