© 2003  Razali Mahyiddin                                                                                          Posted 29 October, 2003

Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pascasarjana/S3

Institut Pertanian Bogor

Oktober 2003

 

Dosen :

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

 

 

 

 

TINJAUAN FILOSOFIS RUMAH PEMOTONGAN HEWAN DI INDONESIA

SEBAGAI SALAH SATU SARANA PELAYANAN MASYARAKAT

 

 

Oleh:

 

 

Razali Mahyiddin

 

E-mail: razali_mahyiddin@yahoo.com

 

Pendahuluan

Dengan telah ditandatanganinya kesepakatan umum internasional tentang tarif dan perdagangan/ general agreement on tariff and Trade/GATT dan diberlakukannya kawasan perdagangan bebas ASEAN serta terbentuknya Kerjasama Ekonomi Negara-negara Asia Pasifik, maka semakin menggugah kita betapa keterkaitan globalisasi dengan regionalisasi yang yang harus diperhatikan lebih seksama. Perhatian yang lebih baik harus dilakukan dalam rangka melindungi lingkungan budidaya dan yang lebih penting kesehatan masyarakat yaitu Sanitary and Phytosanitary (SPS) Measures (Sutirto, 1999).

Sebagimana diketahui proyeksi permintaan produk-produk peternakan khususnya daging terus meningkat oleh karena cepatnya laju pertumbuhan penduduk, kenaikan perkapita serta kecenderungan perubahan pola makan yang ditandai dengan bertambahnya kesadaran masyarakat akan arti pentingnya daging sebagai salah satu bahan makanan yang bergizi tinggi. Arus permintaan diatas tidak dapat dilepaskan dari salah satu komponen agribisnis peternakan di sektor hilir yaitu Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang fungsinya sebagai tempat terjadinya proses perubahan dari ternak/ hewan menjadi karkas/ daging (Soehadji, 1999).

Makna yang sebenarnya dari RPH adalah kompleks bangunan dengan disain tertentu yang dipergunakan sebagai tempat memotong hewan secara benar bagi konsumsi masyarakat luas serta harus memenuhi persyaratan-persyaratan teknis tertentu. Dengan demikian diharapkan bahwa daging yang diperoleh dapat memenuhi kriteria aman (safe), sehat (sound), utuh (wholesomeness), halal dan berdaya saing tinggi (Anonymous, 1996).

Kehadiran manusia di dunia adalah untuk mencari pengetahuan dan kebenaran yang pada akhirnya dapat merubah pola hidup menjadi lebih baik. Pada awalnya pengetahuan manusia tentang pemotongan hewan sangat minim dan dapat dikatakan tidak memiliki teknologi dan etika. Mendapatkan protein hewani dari ternak dengan cara-cara yang paling sederhana, setelah melalui perburuan dan mematikan hewan.

Keberhasilan dalam mendapakan teknologi dan sejalan dengan peradaban yang makin manusiawi dan berpegang pada ajaran agama, maka manusia telah menerapkan suatu metode pemotongan yang baik. Itulah sebabnya manusia terus mengkaji dan mengevaluasi efektifitas rumah pemotongan sebagai tempat penyedia pangan hewani yang memenuhi kriteria kesehatan dan kemashlahatan bagi ummat manusia.

Peningkatan jumlah permintaan daging dan kewajiban dalam penyediaan daging yang ASUH merupakan salah satu tantangan yang dihadapi dalam pengembangan teknologi pemotongan. Dalam kaitan dengan filsafat ilmu, maka dalam tulisan ini dicoba untuk dikaji melalui tiga pendekatan yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi (Nasoetion, 1999). Ontologi akan membahas arti, definisi rumah pemotongan hewan sebagai salah satu unit pelayanan masyarakat dalam hal penyedia daging, Epistemologi akan menelaah tentang keberadaan rumah pemotongan hewan di tengah-tengah masyarakat dan aksiologi melihat manfaat dan kegunaan rumah pemotongan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat.

 

Penutup

Penanganan Rumah Pemotongan Hewan menuntut tanggung jawab yang besar dari pemerintah dalam usaha meningkatkan kesehatan masyarakat melalui produk ternak yang dihasikan yaitu daging/karkas. Sebagai tempat pemotongan, maka kehadiran RPH mampu mewujudkan suatu sistem pemotongan yang memiliki etika-etika dan norma-norma kemanusiaan.

 

I. Kajian Ontologi Rumah Pemotongan Hewan

a. Arti, Definisi Rumah Pemotongan Hewan

 

Rumah Pemotongan Hewan adalah kompleks bangunan dengan disain tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan secara benar bagi konsumsi masyarakat serta harus memenuhi persyaratan-persyaratan teknis tertentu. Dengan demikian diharapakan bahwa daging yang diperoleh dapat memenuhi kualitas yang diinginkan. Secara harfiah daging yang diinginkan adalah yang sehat, aman dan layak dikonsumsi. Tidak mendatangkan kemudaratan bagi tubuh dan lingkungan (Anonymous, 1996).

Peranan ekonomis RPH bagi masyarakat dan pemerintah :

1). Penciptaan lapangan kerja.

Peranan  yang segera harus terwujud atas keberadaan RPH adalah dalam hal penciptaan lapangan kerja. Dari seluruh mata rantai kegiatan RPH dapat diciptakan lapangan kerja baik di sektor formal maupun nonformal yang praindustrial (melibatkan tukang potong, pedagang daging dan jeroan dan hasil ternak lainnya) maupun sebagai lapangan kerja bagi masyarakat seperti industri pengalengan atau pengolahan daging.

 

2). Pengembangan Industri Hasil Ternak

Dengan  berdirinya RPH maka dapat mendorong munculnya berbagai industri pengguna bahan baku hasil ternak misalnya industri bakso, abon, dendeng, pakan ternak, kulit olahan, kerupuk kulit dll) baik yang berskala kecil ataupun yang besar.

 

Fungsi RPH Bagi Kesehatan Masyarakat

Untuk mendukung peningkatan permintaan akan daging dan hasil olahannya serta tetap menjamin kesehatan masyarakat dari produk ternak maka RPH memegang peranan penting sebagai sarana atau piranti yang diperlukan untuk meningkatkan pelayanan masyarakat dalam usaha penyediaan daging yang aman (safe), sehat (sound), utuh (wholesomeness), halal (Girindra, 2001) dan berdaya saing tinggi (Grossklaus, 1993). Untuk menghasilkan daging yang memenuhi persayaratan teknis aman, sehat, utuh, halal dan berdaya saing tinggi, maka diperlukan pula fasilitas-fasilitas lain seperti pasar hewan, tempat penampungan hewan (hoding ground), kendaraan angkutan yang memadai dan tempat penjualan daging yang memenuhi persyaratan serta adanya manajemen keterpaduan pembangunan fasilitas dimaksusd secara terintegrasi dengan kebijakan pengembangan pembangunan nasional dan pembangunan daerah.

 

Makna Rumah Pemotongan Hewan sebagai pelayan masyarakat.

Pada hakekatnya RPH memiliki fungsi sebagai pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang meliputi aspek teknis dan aspek sosial seperti:

1. Aspek teknis

·        Sebagai tempat dilaksanakannya pemotongan hewan secara benar sesuai dengan standar teknis yang berlaku.

·        Sebagai tempat dilaksanakan pemeriksaan hewan sebelum dipotong (ante mortem) dan pemeriksaan dagingnya (post mortem) untuk mencegah penularan penyakit hewan ke manusia atau sebaliknya yang dikenal sebagai zoonosis.

·        Sebagai tempat untuk mendeteksi atau memonitor penyakit hewan dengan melakukan penelusuran balik asal dari hewan potong tersebut sehingga dapat dilakukan penyidikan yang lebih rinci di daerah asal.

·        Sebagai tempat untuk melaksanakan seleksi dan pengendalian pemotongan hewan besar betina bertanduk yang masih produktif, serta untuk menekan pengurangan populasi akibat pemotongan hewan besar betina bertanduk yang tidak terkendali

 

2. Aspek Sosial

Memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan menyediakan daging yang aman, sehat, utuh dan halal bagi masyarakat konsumen. Hal tersebut penting dalam memberikan ketentraman bathin masyarakat konsumen atas jaminan kualitas produk yang dikonsumsi.

Yang tidak kurang pentingnya juga adalah dari segi kesejahteraan hewan. Ternak di bawa ke RPH adalah bukan untuk disakiti atau disiksa sebelum berubah menjadi produk daging. Menurut Farm Animal Welfare Council (FAWC), setiap pemotongan ternak musti memenuhi 5 kriteria yaitu (i) penanganan sebelum pemotongan harus dapat mengurangi stress, (ii) personel yang terlatih dalam menangani pemotongan, (iii) memiliki peralatan yang memadai, (iv) pemotongan dilakukan tanpa menyebabkan sakit yang luar biasa dan stress bagi ternak dan (v) dapat diterima oleh aspek sosial masyarakat dimana produk tersebut dipasarkan.

Kriteria tersebut diatas sangat terkait dengan system pemotongan yang terjadi di negara kita, dimana ternak dipotong kadangkala menyebabkan kesengsaraan yang tidak terkira. Sebagai contoh bahwa syarat pemotongan di Indonesia adalah pemotongan ternak musti halal. Oleh karena itu pengertian halal tidak cukup tanpa disertai dengan Thaiyyiban, yaitu memperlakukan ternak sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan rasa sakit yang sangat luar biasa. Pemakaian pisau yang sangat tajam seperti pada petunjuk dapat mempercepat proses kematian tanpa merasakan nyeri yang luar biasa. Tidak memperlakukan ternak secara kasar seperti membanting, dan tidakan-tindakan lain yang menyakiti ternak secara fisik adalah salah satu jalan terbaik dalam usaha memotong yang manusiawi (Anonimous, 2003).

 

II. Kajian Epistemologi

Melihat sejarah berdirinya RPH, maka sebagian besar bangunan tersebut merupakan hasil peninggalan masa pemerintahan Hindia Belanda yang notabene sudah berumur tua sehingga kondisi fisiknya tidak memenuhi persyaratan hygiene dan sanitasi. Rumah Pemotongan Hewan tersebut pada umumnya tidak memiliki unit penanganan limbah dan jikapun ada masih sangat sederhana sehingga belum mampu menetralisir bahan buangan secara keseluruhan. Kondisi seperti ini mencerminkan bahwa RPH di Indonesia belum berfungsi sebagai pendukung dan sarana pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang sehat. Daya dukung sebagai unit pelayanan kesehatan produk daging yang pada akhirnya menghasilkan kesehatan manusia belum dapat terlaksana.

 

III. Kajian Aksiologi

Jadi jelaslah bahwa kehadiran RPH sebagai unit pemotongan hewan harus memiliki arti yang besar sebagai pelindung bagi masyarakat dari terjaminnya kesehatan pada daging. Disamping itu sebagai penjaga kondisi lingkungan dari pemotongan liar yang dapat mempengaruhi kesehatan dan ketentraman masyarakat. Yang paling penting lagi adalah berfungsinya RPH harus mampu berfungsi sebagai penyedia lapangan kerja dalam upaya menurunkan tingkat pengangguran yang sudah mencapai taraf yang sangat mengkhawatirkan. Untuk memujudkan criteria diatas maka pemerintah sebagai Competent Authority dituntut mampu berbuat dan memberikan suatu kebijaksanaan yang dapat dirasakan sampai ke lapisan bawah

 

Daftar Pustaka

Anonimous, 2003. Welfare at Slaughter. Report on the Welfare of Farmed Animals at Slaughter or Killing. J. Brit. Vet. Assc.152(24)724-725.

 

Anonymous, 1996. Kumpulan Peraturan Perundangan Di Bidang kesehatan Masyarakat Veteriner. Departemen Pertanian.

 

Apriyatono, A. 2003. Alternatife Pengembangan Sistem Sertifikasi Halal. Indo Halal.com. 19 Februari 2003.

 

Girindra, A. 2001. Halal Food Conference, IFANCA’s third conference in Europe.

 

Grossklaus, D. 1993. Food Hygiene and Consumer Protection. A Word Wide Future Chalenge. The 11th International Symposium of The Word Association of Veterinary Hygienist, Bangkok, Thailand.

 

Nasoetion, A.H.1999. Pengantar ke Filsafat Sains. Litera Antar Nusa.