© 2003 Rahmadi Tambaru                                                                    Posted : 12 Nopember 2003

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

10 Nopember 2003

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof. Dr.Ir. Zahrial Coto

 

 

 

 

 

SELANG WAKTU INKUBASI YANG TERBAIK DALAM PENGUKURAN

PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DI PERAIRAN LAUT

 

Oleh:

Rahmadi Tambaru

C161030031/AIR

E-mail: aditbr69@yahoo.com

 

PENDAHULUAN

Produktifitas primer fitoplankton merupakan suatu kondisi perairan di mana kandungan zat-zat organik yang dapat dihasilkan oleh fitoplankton dari zat-zat anorganik melalui proses fotosintesis (Parsons et al.,1984; Nybakken, 1992). Besarnya produktivitas primer fitoplankton merupakan ukuran kualitas suatu perairan. Semakin tinggi produktivitas primer fitoplankton suatu perairan semakin besar pula daya dukungnya bagi kehidupan komunitas penghuninya, sebaliknya produktivitas primer fitoplankton yang rendah menunjukkan daya dukung yang rendah pula.

Dalam pelaksanaan pengukuran produktivitas primer fitoplankton, selama ini dilakukan dengan memperhitungkan intensitas matahari saat penyinaran tertinggi. Dengan dasar itu dilakukan pengingkubasian untuk menghitung besarnya produktivitas primer fitoplankton dalam suatu perairan. Dalam pengingkubasian, penentuan selang waktu inkubasi masih berdasarkan keinginan setiap peneliti, sehingga hasil produktivitas primer fitoplankton dalam suatu perairan didapatkan berbeda antara satu peneliti dengan peneliti yang lain.

Adanya perbedaan hasil pengukuran produktifitas primer fitoplankton dalam suatu perairan disebabkan adanya perbedaan selang waktu inkubasi. Hal ini terjadi oleh karena belum ada penelitian tentang selang waktu yang terbaik dalam pengukuran produktivitas primer fitoplankton, sementara hal itu sangat penting diketahui. Ketepatan penentuan besarnya kandungan produktifitas primer fitoplankton dalam suatu perairan sangat berguna dalam menentukan tingkat kesuburan dan kelayakan suatu perairan mendukung kehidupan organisme di perairan itu sendiri. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang hal itu dengan berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan di perairan Pulau Barrang Kota Makassar.

Penelitian yang dilaksanakan di perairan pulau Barrang Lompo Kota Makassar telah mendapatkan suatu selang waktu inkubasi terbaik dalam pengukuran produktifitas primer fitoplankton. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Desember 2002 oleh penulis sendiri dengan hipotesis penelitian adalah perbedaan selang waktu inkubasi akan memberikan hasil produktivitas primer fitoplankton yang berbeda, sementara selang waktu inkubasi akan menentukan besarnya nilai produktivitas primer fitoplankton dalam perairan. Dalam penelitian, penetapan selang waktu inkubasi didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Tambaru (2000) yang mendapatkan waktu inkubasi terbaik jam 10:00-14:00. Untuk itu dalam penelitian dilakukan pada tiga selang waktu inkubasi yaitu Selang Waktu Inkubasi I (09:00-14:00), II (10:00-14:00), dan III (11:00-16:00) dengan memperbandingkan nilai kandungan produktifitas primer fitoplankton masing-masing. Pengulangan dilakukan 3 kali berdasarkan hari.

Pada pengukuran produktivitas primer fitoplankton dilakukan dengan cara mengukur kandungan oksigen dalam botol terang-gelap setelah diinkubasi. Pengambilan contoh air dilakukan pada tiap kedalaman, kemudian dimasukkan ke dalam botol-botol. Selanjutnya dilakukan pengukuran oksigen awal pada botol initial dari contoh air yang terambil, selanjutnya botol lainnya (2 botol terang dan 1 botol gelap) diinkubasi sesuai dengan selang waktu inkubasi pada tiap kedalaman. Dalam penghitungan produktivitas primer dilakukan berdasarkan metode yang dikemukakan oleh Umaly dan Cuvin (1988).

Dalam menganalisis penentuan selang waktu inkubasi yang terbaik dalam pengukuran produktivitas primer fitoplankton dilakukan dengan menggunakan RAK (rancangan acak kelompok). Dari analisis sisik ragam akan diketahui ada atau tidaknya pengaruh selang waktu inkubasi terhadap kandungan produktifitas primer fitoplankton, dan bila itu ada selanjutnya dilakukan uji beda nyata terkecil (BNT) untuk menentukan selang waktu inkubasi yang paling berpengaruh. Analisis ini dioleh dengan bantuan perangkat lunak SPSS Release 10.0.5.

           

KUALITAS PERAIRAN PULAU BARRANG LOMPO

Unsur Hara

Pada pengamatan hari pertama ditemukan unsur hara dalam hal ini nitrat dan ortofosfat serta silikat berturut-turut berada pada kisaran 0.729-1.991 mg/l; 0.902-1.005 mg/l; 0.032-0.039 mg/l, pengamatan hari kedua adalah 0.871-0.989 mg/l; 0.788-0.878 mg/l; 0.039-0.041 mg/l, pengamatan hari ketiga adalah 0.812-0.898 mg/l; 0.765-0.897 mg/l; 0.038-0.041 mg/l (Tabel 1).

Pada Tabel 1 terlihat bahwa kandungan nitrat dan fosfat masih dalam kisaran yang sesuai dengan pertumbuhan fitoplankton. Hal ini sesuai dengan yang dikemukan oleh Mackenthum (1969) bahwa untuk pertumbuhan optimal fitoplankton memerlukan kandungan nitrat dan ortofosfat berturut-turut pada kisaran 0.9-3.5 mg/l dan 0.09-1.80 mg/l. Untuk kandungan silikat, terlihat kurang memenuhi pertumbuhan fitoplankton. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Turner (1980 dalam Widjaja, dkk., 1994) bahwa bila kandungan silikat lebih kecil dari 0.5 mg/l, maka fitoplankton khususnya diatom tidak dapat berkembang dengan baik, namun masih dapat digunakan dalam perkembangannya.

Tabel 1. Hasil pengukuran parameter kualitas air di perairan Pulau Barrang Lompo

Pengamatan

(Hari)

Kdlm

(m)

Parameter Kualitas Air

Nitrat

(mg/l)

Orto-P

(mg/l)

Silikat

(mg/l)

Suhu

(oC)

PH

Salinitas

(‰)

I

0

5

10

15

1.730

0.729

1.991

1,009

0.915

1.005

0.986

0.902

0.032

0.034

0.038

0.039

29

29

29

29

8.0

8.0

8.0

7.9

35

35

34

33.5

Kisaran

0.729-1.991

0.902-1.005

0.032-0.039

29

7.9-8.0

33.5-35

II

0

5

10

15

0,989

0,966

0,887

0,871

0.878

0.866

0.788

0.801

0.040

0.041

0.040

0.039

30

30

30

30

8.0

7.9

8.0

8.0

33.5

33.5

33

33

Kisaran

0.871-0.989

0.788-0.878

0.039-0.041

30

7.9-8.0

33-33.5

III

0

5

10

15

0,898

0,887

0,834

0,812

0.897

0.899

0.865

0.765

0.041

0.039

0.040

0.038

30

30

30

30

8.0

8.0

8.0

8.0

35

35

34

34

Kisaran

0.812-0.898

0.765-0.897

0.038-0.041

30

8.0

34-35

Suhu (oC)

Suhu berpengaruh langsung terhadap tumbuhan dan hewan, yakni pada laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologi hewan, khususnya derajat metabolisme dan siklus reproduksinya. Selain itu suhu juga berpengaruh tidak langsung terhadap kelarutan CO2 yang digunakan untuk fotosintesis dan kelarutan O2 yang digunakan untuk respirasi hewan-hewan laut. Daya larut O2 akan berkurang dengan meningkatnya suhu perairan (Ruyitno, 1980). Pengamatan hari pertama, kedua, dan ketiga didapatkan berturut-turut adalah 29 oC; 30 oC; dan 30 oC (Tabel 1). Suhu yang sesuai untuk kehidupan fitoplankton berkisar 20-30oC, sedangkan suhu yang baik untuk menumbuhkan plankton adalah 25-30oC . Pengamatan tentang suhu secara umum hampir merata di seluruh kolom air. Hal ini dapat dimengerti oleh karena daerah penelitian masih dikategorikan perairan pantai dan dangkal.

Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu parameter yang dapat menentukan produktivitas suatu perairan. Setiap organisme membutuhkan derajat keasaman (pH) yang optimum bagi kehidupannya. Pescod (1973) mengatakan bahwa batas toleransi organisme terhadap pH bervariasi bergantung pada faktor fisika, kimia dan biologi. pH yang ideal untuk kehidupan fitoplankton berkisar antara 6.5-8.0. Kisaran pH selama penelitian masih dalam kisaran tersebut (Tabel 1). Pengamatan hari pertama, kedua dan ketiga kisaran berturut-turut adalah 7.9-8.0; 7.9-8.0; 8.0.

Salinitas (‰)

Salinitas berperanan penting dalam kehidupan organisme, misalnya distribusi biota akuatik. Pengamatan salinitas hari pertama, kedua dan ketiga berturut-turut adalah 33.5-35 ‰; 33-33.5 ‰; 34-35 ‰ (Tabel 1). Kisaran tersebut selama penelitian masih sesuai dengan pertumbuhan fitoplankton. Nybakken (1992) menyatakan bahwa pada daerah pesisir pantai merupakan perairan dinamis, yang menyebabkan variasi salinitas tidak begitu besar. Organisme yang hidup cenderung mempunyai toleransi terhadap perubahan salinitas sampai dengan 15 ‰.

 

Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton

Fitoplankton yang ditemukan selama penelitian terdiri dari Kelas Bacillariophyceae dan Kelas Dinophyceae (Tabel 2). Kedua kelas fitoplankton yang ditemukan merupakan kelas-kelas utama dan sering ditemukan pada perairan laut. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Nybakken (1992) bahwa diatom (Bacillariophyceae) dan dinoflagellata (Dinophyceae) merupakan jenis fitoplankton yang umum terdapat di laut, berukuran besar serta biasa tertangkap oleh jaring plankton.

Kelas Bacillariophyceae merupakan kelas yang mendominasi seluruh waktu dan kedalaman inkubasi, baik dari kelimpahan jenis maupun persentase keberadaannya (Tabel 2). Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Raymont (1963) dan Arinardi, dkk., (1994) bahwa kelas fitoplankton yang sering dijumpai di laut dalam jumlah yang besar adalah Kelas Bacillariophyceae. Jenis fitoplankton ini merupakan produsen yang dominan pada tingkat trofik diwilayah beting manapun (Odum, 1998).

Tabel 2. Jumlah dan prosentase jenis fitoplankton pada setiap selang waktu inkubasi di berbagai kedalaman

Selang Wkt Inkubasi

Kdlm

Bacillariophyceae

Dinophyceae

Jml

%

 

(m)

Jml

%

Jml

%

 

 

I

0

106

100

-

0

106

100

 

5

149

99.3

1

0.7

150

100

 

10

73

96.1

3

3.9

76

100

 

15

142

100

-

0

142

100

II

0

218

99.5

1

0.5

219

100

 

5

90

96.8

3

3.2

93

100

 

10

96

100

-

0

96

100

 

15

100

100

-

0

100

100

III

0

111

99.1

1

0.9

112

100

 

5

89

100

-

0

69

100

 

10

142

99.3

1

0.7

143

100

 

15

118

100

-

0

118

100

               

Tabel 3 memperlihatkan bahwa kelimpahan rata-rata tertinggi fitoplankton pada kedalaman inkubasi ditemukan berbeda pada tiap selang waktu inkubasi. Pada selang waktu inkubasi I kelimpahan rata-rata tertinggi ditemukan pada kedalaman 15 m, hal ini diduga sebelum pengamatan pertama dilakukan (sampel diambil pada jam 09:00) fitoplankton masih terkonsentrasi di dekat dasar perairan akibat tidak adanya intensitas cahaya (malam hari). Seperti diketahui bahwa setelah intensitas cahaya semakin melemah bahkan hilang sama sekali (kondisi malam hari), kebanyakan fitoplankton tenggelam ke dekat dasar perairan. Oleh sebab itu pada selang waktu inkubasi I kelimpahan tertinggi justru ditemukan pada kolom air dekat dasar perairan.

 

Tabel 3. Kelimpahan (x 102 ind/l) dan persentase kelimpahan fitoplankton setiap selang waktu inkubasi

di berbagai kedalaman perairan Pulau Barrang Lompo

 

 

Selang Waktu Inkubasi

Kedalaman

(m)

Kisaran

Rata-rata

%

I

0

1.86-15 4.22

32.83

20.9

 

5

1.86-170.95

34.84

22.2

 

10

1.86-65.03

23.54

15.0

 

15

7.43-204.39

65.96

41.9

 

Jumlah

 

157.17

100.0

II

0

1.86-366.05

67.82

47.2

 

5

3.72-120.78

24.67

17.2

 

10

1.86-133.78

29.74

20.7

 

15

1.86-133.78

21.51

14.9

 

Jumlah

 

143.74

100.0

III

0

1.86-137.50

29.46

19.7

 

5

3.72-100.34

23.63

15.8

 

10

1.86-169.09

52.77

35.2

 

15

1.86-141.22

43.85

29.3

 

Jumlah

 

149.71

100.0

 

Selanjutnya, seiring dengan semakin besarnya sudut datang matahari, secara berkelanjutan intensitas cahaya semakin kuat masuk ke kolom perairan. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap aktivitas fitoplankton untuk membelah/memperbanyak diri, sehingga pada kolom air yang mendapat penyinaran yang lebih besar akan mempunyai jumlah fitoplabkton lebih banyak. Oleh karena kedalaman dekat permukaan mendapatkan penyinaran yang lebih banyak tentunya akan semakin banyak ditemukan kelimpahan fitoplankton lebih tinggi dari pada kedalam yang lebih dalam. Hal ini terlihat pada selang waku inkubasi kedua dan ketiga yang mendapatkan kelimpahan tertinggi pada kedalaman 0 m. Di samping itu pada kedalaman 0 m intensitas cahaya yang masuk ke perairan sangat cocok untuk perkembangan fitoplankton dan bukan merupakan faktor penghambat, sehingga dengan kondisi seperti itu fitoplankton cenderung semakin aktif berkembang biak dan bertahan pada kedalaman 0 m (adanya kesesuaian intensitas cahaya).

 

SELANG WAKTU INKUBASI TERBAIK DALAM PENGUKURAN

PRODUKTIFITAS PRIMER FITOPLANKTON

Pengukuran kandungan produktivitas primer pada selang waktu inkubasi I didapatkan kisaran 15.63-28.98 mg C/m3/jam, selang waktu inkubasi II dengan kisaran 24.14-48.91 mg C/m3/jam, dan selang waktu inkubasi III dengan kisaran 21.53-46.30 mg C/m3/jam (Tabel 4). Dari hasil tersebut terlihat bahwa kandungan produktivitas primer tertinggi didapatkan pada selang waktu inkubasi II pada setiap kedalaman diikuti selang waktu inkubasi III, selanjutnya selang waktu inkubasi I.

Tabel 4. Produktivitas primer pada masing-masing selang waktu dan kedalaman inkubasi Di perairan Pulau Barrang Lompo

Selang Waktu

Inkubasi

Kedalaman

(m)

Produktivitas Primer (mg C/m3/jam)

I

0

5

10

15

28.98

20.84

15.63

15.63

II

0

5

10

15

47.61

48.91

37.15

24.14

III

0

5

10

15

40.36

46.30

33.95

21.53

           

Penentuan selang waktu inkubasi yang terbaik dalam pengukuran produktivitas primer dapat dilihat pada analisa sidik ragam Lampiran 1. Hasil analisa tersebut memperlihatkan bahwa selang waktu inkubasi sangat mempengaruhi kandungan produktivitas primer di perairan Pulau Barrang Lompo. Selanjutnya untuk melihat selang waktu inkubasi yang terbaik dilakukan uji Beda Nyata terkecil (BNT) (Lampiran 2). Hasil pengujian tersebut memperlihatkan bahwa selang waktu inkubasi yang terbaik didapatkan pada selang waktu inkubasi II dan III, selanjutnya selang waktu inkubasi I.

Tingginya kandungan produktivitas primer pada selang waktu inkubasi II disebabkan karena pemanfaatan cahaya yang lebih baik. Intensitas cahaya pada selang waktu inkubasi tersebut oleh fitoplankton secara optimal digunakan dalam proses fotosintesis. Di samping itu, pada selang waktu inkubasi tersebut sudut datang cahaya semakin besar dan dalam selang tersebut mencapai puncak penyinaran dengan sudut datang maksimum antara jam 12:00 sampai 13:00 (Tambaru, 2000). Seiring dengan semakin besarnya sudut datang cahaya matahari, menyebabkan cahaya matahari semakin kuat dan besar masuk kedalam perairan. Intensitas cahaya yang sampai kepermukaan berpenetrasi kuat sampai kedalam kolom air oleh karena sudut datangnya yang lebih besar, menyebabkan intensitas lebih banyak masuk kedalam perairan, dan sebaliknya (Parsons et al., 1984; Sumich, 1992). Hal ini tentunya berpengaruh terhadap pemanfaatan cahaya yang semakin besar oleh fitoplankton dalam melakukan proses fotosintesis. Selanjutnya, dalam hal penyesuaian cahaya dalam melakukan aktifitas oleh fitoplankton pada selang waktu inkubasi II telah tercapai, hal ini disebabkan karena penyesuaian tersebut telah berlangsung pada saat matahari mulai ada sejak jam 06.00 pagi. Dengan demikian intensitas cahaya yang ada secara keseluruhan dimanfaatkan untuk proses fotosintesis. Kondisi ini terjadi pula pada selang waktu inkubasi III.

Pada selang waktu inkubasi III, penyesuaian akan intensitas cahaya juga telah tercapai. Dengan demikian keseluruhan cahaya yang ada semuanya digunakan dalam proses fotosintesis. Di samping itu, pada selang waktu inkubasi tersebut juga mendapatkan penyinaran maksimum seperti pada selang waktu inkubasi II dalam artian intensitas cahaya yang ada mencapai puncak penyinaran (12:00-13:00). Hal ini berati bahwa intensitas cahaya yang masuk ke perairan sangat besar, dan tentunya sangat berpengaruh terhadap aktifitas fitoplankton dalam melakukan proses fotosintesis. Selanjutnya, pada Tabel 4 memperlihatkan adanya penurunan kandungan produktivitas primer bila dibandingkan dengan selang inkubasi kedua. Hal ini dapat dimengerti oleh karena dalam selang waktu tersebut terjadi penyinaran yang semakin berkurang setelah mencapai puncak sekitar jam 12.00-13.00. Penurunan intensitas cahaya ini tentunya berpengaruh terhadap aktifitas fitoplankton, dan secara langsung berpengaruh terhadap besarnya nilai produktivitas primer. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Nybakken (1992) bahwa laju produksi primer akan menurun bila intensitas cahaya juga menurun. Namun, penurunan kandungan produktivitas primer ini belum memberikan pengaruh yang menyolok, dalam artian bahwa perbedaan kandungan yang diperoleh pada selang waktu inkubasi II setelah dilakukan pengujian ternyata tidak berbeda nyata (Lampiran 2). Selanjutnya, bila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh pada selang waktu inkubasi I, hasil yang diperoleh masih lebih baik baik.

Selang waktu inkubasi I merupakan selang waktu inkubasi yang memberikan hasil lebih rendah dari waktu inkubasi yang lain. Hal ini diduga pada waktu inkubasi tersebut, fitoplankton baru melakukan taraf penyesuaian dengan kondisi intensitas cahaya yang baru masuk ke perairan (pagi hari). Jenis-jenis fitoplankton saat itu baru melakukan penyesuaian ke lapisan air di mana intensitas cahaya sesuai dengan kebutuhan dan perkembangannya, sebagaimana yang dikatakan oleh James et al. (1990 dalam Samawi, 2000) bahwa intensitas cahaya merupakan faktor penting dalam migrasi vertikal organisme plankton. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Jeffries dan Mills (1996 dalam Effendi, 2000), bahwa intensitas cahaya sangat berpengaruh pada tingkah laku organisme akuatik. Algae planktonik memperlihatkan respon terhadap intensitas cahaya yang ada, oleh karenanya melakukan pergerakan vertikal pada kolom air (Valiela, 1984). Periode penyesuaian ini menyebabkan aktivitas fitoplankton dalam melakukan proses fotosintesis belum berjalan secara optimal, dan hal inilah yang menyebabkan kandungan produktivitas primer pada selang waktu inkubasi I lebih rendah dari selang waktu inkubasi II dan III.

 

 

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pengaruh selang waktu inkubasi terhadap produktivitas primer di perairan pulau Barrang Lompo sangat berbeda nyata. Ditemukan selang waktu inkubasi yang terbaik dalam pengukuran produktivitas primer pada selang waktu inkubasi II (10:00-14:00) dan III (11:00-16:00), kemudian I (09:00-14:00).

Saran

Dalam pengukuran produktivitas primer fitoplankton dengan sistem inkubasi sebaiknya memperhitungkan selang waktu inkubasi, dan untuk mendapatkan nilai produktivitas primer fitoplankton yang baik, sebaiknya menggunakan selang waktu inkubasi II (10:00-14:00) atau III (11:00-16:00).

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Arinardi, O. H., Trimaningsih dan Sudirjo. 1994. Pengantar Tentang Plankton serta Kisaran Kelimpahan dan Plankton Predominan di Sekitar Pulau Jawa dan Bali. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.

Effendi, H. 2000. Telaahan Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Mackenthum, K. M. 1969. The Practice of Water Pollution Biology. United States Department of Interior, Federal Water Pollution Control Administration, Division of Technical Support.

Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Alih bahasa: M. Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen dan M. Hutomo. Gramedia, Jakarta.

Odum, E. P. 1998. Dasar-dasar Ekologi : Alih Bahasa Samingan, T. Edisi Ketiga. Universitas Gadja Mada Press, Yogyakarta.

Parson, T. R., M. Takashi and B. Hargrave. 1984. Biological Oceanographic Processes. Third Edition. Pergamon Press, Offord-New York-Toronto-Sydney-Paris-Frankfurt.

Pescod, M. B. 1973. Investigation of Rational Effluent and Stream Standard for Tropical Countries. AIT, Bangkok.

Raymont, J. E. G. 1963. Plankton and Productivity in the Ocean. Mc Millan Co., New York.

Ruyitno, 1980. Lingkungan Laut dan Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Lingkungan Laut. Pewarta Oseana Th VI/1.

Samawi, M. F. 2000. Hubungan antara Struktur Komunitas dan Biomassa Fitoplankton dengan Hara Nitrogen-Fosfor pada Berbagai Ekosistem Pantai Pulau Bone Batang. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Steele, R. G. D. and J. H. Torrie. 1989. Principles and Procedures of Statistics, a Biomtrical Approach (Second edition). McGraw-Hill Kigakusha Ltd., Tokyo.

Sumich, J. L. 1992. An Introduction to The Biologi Marine Life. Fifth Edition. WCB WM.C.Brown Publisher.

Swingle, H. S. 1968. Standardization of Chemical Analyses for Water and Pond. FAO World on Warm-Water Pond Fish Culture. FAO Fisheries Report 44 (A):397-421.

Tambaru, R. 2000. Pengaruh Intensitas Cahaya Pada Berbagai Waktu Inkubasi Terhadap Produktivitas Primer Fitoplankton Di Perairan Teluk Hurun. Tesis. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Umaly, R. C. and L. A. Cuvin. 1988. Limnology:Laboratory and Field Guide Physico-Chemical Factors, Biology Factors. National Book Store Publ., Manila.

Valiela, I. 1984. Marine ecologycal processes. Springer-Verlag. New York.

Widjaja, F., S. Suwignyo, S. Yulianda, dan H. Effendi. 1994. Komposisi Jenis, Kelimpahan dan Penyebaran Plankton Laut di Teluk Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB Bogor.

 

Lampiran 1. Analisa Sidik Ragam Tiap Selang Waktu Inkubasi

Source

Type III Sum of Squares

df

Mean Square

F

Sig.

Corrected Model

5023.953

11

456.723

16.538

.000

Intercept

36295.965

1

36295.965

1314.297

.000

SELANG

2465.263

2

1232.632

44.634

.000

KDLM

2128.729

3

709.576

25.694

.000

SELANG * KDLM

429.961

6

71.660

2.595

.044

Error

662.790

24

27.616

 

 

Total

41982.708

36

 

 

 

Corrected Total

5686.743

35

 

 

 

Kesimpulan : Selang Waktu Inkubasi berpengaruh terhadap Produktivitas Primer.

Lampiran 2. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) Penentuan Selang Waktu Inkubasi Terbaik

VARIABEL TAK BEBAS       : Produktifitas primer Bersih

VARIABEL BEBAS                : Selang Waktu Inkubasi

 

 

 

Mean Difference

(I-J)

Std. Error

Sig.

95% Confidence Interval

 

(I) SELANG

(J) SELANG

 

 

 

Lower Bound

Upper Bound

I

II

-19.1817*

2.1454

.000

-23.6095

-14.7538

 

III

-15.2658*

2.1454

.000

-19.6937

-10.8380

II

I

19.1817*

2.1454

.000

14.7538

23.6095

 

III

3.9158

2.1454

.080

-.5120

8.3437

III

I

15.2658*

2.1454

.000

10.8380

19.6937

 

II

-3.9158

2.1454

.080

-8.3437

.5120

Pada interval 95 %

Kesimpulan : Selang Waktu Inkubasi yang terbaik adalah Selang Waktu Inkubasi II (10.00-14.00) dan III (11.00-16.00, selanjutnya Selang Waktu Inkubasi I (09.00-14.00).