© 2003 Ni Made Laksmi Ernawati Posted:
2 November 2003
Pengantar Falsafah Sains
(PPS702)
Program Pascasarjana/S3
Institut Pertanian Bogor
November 2003
Dosen :
Prof. Dr. Ir. Rudy C.
Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto
POTENSI
MIKROORGANISME TANAH ANTAGONIS UNTUK MENEKAN Pseudomonas solanacearum PADA TANAMAN PISANG SECARA IN VITRO DI
PULAU LOMBOK
[IN VITRO POTENCY OF ANTAGONISTIC SOIL-MICROORGANISMS TO SUPPRESS Pseudomonas
solanacearum ON BANANA PLANT IN LOMBOK
ISLAND]
Oleh:
E-mail : nmlernawati@yahoo.com
Indonesia termasuk negara
penghasil pisang terbesar. Dalam usaha pembudidayaan pisang ini tidak luput
dari serangan hama dan penyakit. Salah satu penyakit yang beberapa tahun ini
mewabah adalah penyakit layu yang disebabkan oleh P. solanacearum. Pseudomonas
solanacearum yang menyerang tanaman pisang adalah ras 1 dan 2. Kerugian yang dialami akibat serangan
penyakit ini cukup tinggi yaitu 10-42 % bahkan dapat sampai 93,1% pada serangan
yang berat (Buddenhagen dan Kelman, 1964; Rao, 1976; Rukmana, 1997).
Pengendalian
yang dilakukan hanya sebatas pada sanitasi karena pengendalian secara kimia
mahal dan belum ditemukan bakterisida yang cocok. Untuk itu penggunaan
mikroorganisme antagonis sebagai agen pengendali hayati memberikan harapan
karena tersedia melimpah di lingkungannya. Secara alami, pada tanah terdapat
mikroorganisme yang berpotensi untuk menekan perkembangan patogen tular tanah
karena dapat bersifat antagonis (Cook dan Baker, 1989).
Penggunaan mikroorganisme
antagonis terhadap P. solanacearum sudah
banyak dilakukan pada berbagai jenis tanaman baik secara percobaan di
laboratorium maupun di lapang. Mikroorganisme antagonis yang penting dari
golongan jamur salah satunya adalah Trichoderma
spp. Populasi P. solanacearum
penyebab penyakit layu pada kentang, dapat ditekan dengan menggunakan Trichoderma spp. sebesar 36 % (Gunawan,
1995). Trichoderma spp. juga
berpotensi untuk mengendalikan P.
solanacearum pada tanaman tomat
(menekan 23,4 – 100 %), dan kacang tanah (menekan 57,8 – 71,1 %) (Suprapto, 1982;
Paath, 1988; dan Yusriadi, 1998). Penicillium,
Aspergillus, Fusarium spp. dapat menghambat P.
solanacearum secara in vitro (Nesmith dan Jenkins 1985 dalam Paath 1988). P. cepacia,
P. fluorescens dan P. gladiol memiliki potensi sebagai agen
pengendali hayati untuk menekan pertumbuhan P.
solanacearum sebesar 60 – 90 % pada tanaman tomat (Hartman et al., 1992). Shekhawat et al. (1992) juga melaporkan bahwa
penggunaan Bacillus sp., B. subtilis, P. fluorescens dan actinomycetes dapat mengurangi persentase penyakit
layu pada tanaman kentang yang disebabkan oleh P. solanacearum baik secara percobaan laboratorium (menekan 43 – 71
%) maupun di lapang (menekan 52 – 79
%). Selain bakteri tersebut, Kelman (1953 dalam
Hartman et al. 1992) mendapatkan
bahwa B. mesentericus, B. megaterium, B. mycoides, dan Erwinia
merupakan agen pengendali hayati yang potensial. Diharapkan beberapa agen
pengendali hayati tersebut juga dapat digunakan untuk menekan penyakit layu
bakteri pada pisang. Namun penggunaannya pada tanaman pisang belum dilaporkan,
sehingga diharapkan beberapa agen pengendali hayati tersebut juga dapat
digunakan untuk menekan penyakit layu bakteri pada pisang.
Pengendalian hayati dikatakan
bersifat spesifik lokal yakni mikroorganisme antagonis yang terdapat di suatu
daerah hanya akan memberikan hasil yang baik di daerah itu juga. Oleh karena
itu perlu dicari mikroorganisme antagonis yang potensial di pulau Lombok untuk mengendalikan penyakit layu bakteri pada pisang yang
sedang mewabah mulai akhir tahun 1998.
Penelitian
ini bertujuan untuk mendapatkan mikroorganisme antagonis terhadap P. solanacearum penyebab penyakit layu
pada tanaman pisang secara in vitro.
Penelitian
ini bersifat deskriptif. Penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya,
Malang. Penelitian dimulai bulan Oktober 1999 sampai bulan Desember 2000.
1.
Isolasi
Contoh tanah diambil pada 24
desa yang sama dengan tempat pengambilan sumber inokulum bakteri penyebab
penyakit layu pada pisang (12 desa di kabupaten Lombok Barat, 3 desa di Kodya
Mataram, dan 9 desa di kabupaten Lombok Timur). Sampel diambil pada bulan
September 1999. Contoh tanah diambil di dekat perakaran tanaman pisang secara
acak pada perpotongan diagonal sehingga akan didapatkan 5 contoh tanah pada
setiap lokasi pertanaman pisang. Contoh tanah tersebut selanjutnya dicampur
menjadi satu dan dimasukkan ke dalam kantong plastik. Isolasi jamur dan bakteri
antagonis dilakukan terhadap contoh tanah yang telah diambil dengan cara
menimbang 1 gram contoh tanah, selanjutnya ditambahkan air steril secukupnya
dan didiamkan selama 10-15 menit. Suspensi tanah tersebut kemudian digoreskan
pada media PDA (Potato Dextrose Agar) yang sudah memadat dan diinkubasikan pada
suhu kamar (Jutono dkk. 1980; Tuite 1969). Jamur diambil dari biakan untuk
dimurnikan apabila ada hambatan di sekitar jamur. Hambatan pada bakteri
antagonis dapat diketahui dari adanya zone terang di sekitarnya. Untuk membedakan
bakteri antagonis yang didapatkan apakah kelompok fluoresen atau tidak maka
digunakan media selektif King’s B, kemudian biakan yang tumbuh diamati di bawah
sinar ultra violet. Jika biakan yang
diamati menunjukkan pigmen yang berpendar di bawah sinar ultra violet maka
termasuk kelompok bakteri yang fluoresen.
2.
Pengujian Jamur dan bakteri antagonis secara in vitro
Pengujian
dilakukan terhadap 8 (delapan) tipe koloni dari P. solanacearum yang didapat dari hasil pengujian patogenisitas
pada tanaman pisang (hasil penelitian sebelumnya). Pengujian antagonisme jamur terhadap P. solanacearum dilakukan dengan cara menumbuhkan jamur pada media
PDA selama 1-2 hari. Suspensi bakteri P.
solanacearum yang sudah berumur 48 jam pada media NGA (Nutrient Gelatine
Agar) dicampur merata dengan media PDA yang belum memadat. Media yang sudah
tercampur dengan suspensi bakteri patogen tadi kemudian dituang di atas media
PDA yang telah berisi jamur antagonis tadi (overlay). Perlakuan ini kemudian
diinkubasikan selama 1-2 hari (Arwiyanto 1997).
Pengujian antagonis bakteri
terhadap P. solanacearum dilakukan
dengan cara menggoreskan bakteri antagonis di tengah-tengah cawan petri yang
sudah berisi media yang memadat dan diinkubasikan selama 2 hari. Setelah 2
hari, di kedua sisi bakteri antagonis tersebut dibuat garis tegak lurus sampai
ke tepi cawan petri (garis tidak sampai menyentuh tepi pertumbuhan bakteri
antagonis). Bakteri patogen yang sudah berumur 48 jam pada media NGA disuspensikan
pada air steril. Suspensi bakteri ini kemudian diambil 1 lup dan digoreskan
disepanjang garis yang sudah dibuat tadi. Perlakuan ini selanjutnya
diinkubasikan selama 1-2 hari (Hartman et
al. 1992).
3.
Pengamatan
Pengamatan
terhadap pengujian antagonisme jamur
terhadap P. solanacearum dilakukan
terhadap zone hambatan yang terdapat disekitar jamur, dan mengukur diameter
zone hambatannya. Untuk pengamatan terhadap pengujian antagonisme bakteri terhadap P. solanacearum dilakukan terhadap zone hambatan yang terlihat
disepanjang garis dan dilakukan pengukuran.
Hasil isolasi tanah dari 24 desa
sampel didapatkan sebanyak 58 strain bakteri antagonis nonfluoresen, 4 strain
bakteri fluoresen, dan 6 strain jamur antagonis (dari total 16 strain, banyak
strain yang sama antara desa yang satu dengan lainnya). Jumlah mikroorganisme antagonis pada setiap desa
sampel hasil isolasi dari tanah tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah mikroorganisme
antagonis hasil isolasi dari tanah pada setiap desa
sampel
Desa sampel |
Jumlah mikroorganisme antagonis |
||
Bakteri nonfluoresen |
Bakteri fluoresen |
Jamur |
|
Bekijuk |
2 |
- |
1 |
Banyu Urip |
2 |
- |
2 |
Jembatan Kembar |
3 |
- |
1 |
Karang Talo |
2 |
- |
- |
Pekemit |
2 |
- |
1 |
Teluk Waru |
1 |
- |
- |
Sokong |
4 |
- |
- |
Pemenang |
3 |
- |
1 |
Tembogor |
1 |
- |
- |
Braingan |
1 |
1 |
1 |
Kolopiko |
2 |
1 |
1 |
Gondang |
1 |
- |
- |
Tanjung Karang |
5 |
1 |
1 |
Kekalik Manggis |
2 |
- |
1 |
Tinggar |
1 |
- |
- |
Sandubaya |
4 |
1 |
- |
Kerumut |
4 |
- |
1 |
Permatan |
2 |
- |
- |
Pancor |
5 |
- |
2 |
Loyok |
2 |
- |
1 |
Sikur |
2 |
- |
- |
Pengde |
1 |
- |
- |
Karang Petak |
4 |
- |
1 |
Dasan LL |
2 |
- |
1 |
Total |
58 |
4 |
16 |
Hasil isolasi contoh tanah dari 24 desa sampel didapatkan 68
mikroorganisme antagonis. Dari 68 mikroorganisme antagonis tersebut, hanya 6 isolat
termasuk jamur dan sisanya bakteri nonfluoresen dan bakteri fluoresen. Subba
Rao (1994) dan Snow (dalam Sutedjo
dkk., 1996) menyebutkan bahwa dalam setiap gram contoh tanah akan didapatkan
bakteri dalam jumlah terbanyak, disusul Actynomycetes dan yang paling sedikit
adalah jamur.
Hasil uji daya antagonis mikroorganisme yang didapatkan dari hasil isolasi pada 24 desa
sampel disajikan pada Tabel 2 (hanya ditampilkan mikroorganisme yang efektif
menghambat P. solanacearum). Dari 58
bakteri antagonis setelah diuji daya hambatnya terhadap 8 tipe koloni P. solanacearum secara in vitro, hanya
23 strain yang memiliki potensi untuk menghambat. Untuk bakteri fluoresen, dari
4 strain hanya 3 yang menunjukkan daya hambat terhadap P. solanacearum. Semua
strain jamur antagonis berpotensi untuk menghambat P. solanacearum kecuali isolat J6 yang hanya menghambat 1 tipe
koloni. Tidak semua mikroorganisme antagonis memiliki potensi untuk menghambat 8 tipe
koloni P. solanacearum. Dari 23
bakteri antagonis, hanya 12 yang efektif menghambat 8 tipe koloni P. solanacearum. Untuk bakteri fluoresen
1 yang efektif, sedangkan jamur
antagonis 2 yang efektif. Rata-rata persentase daya hambat bakteri antagonis
(B), bakteri fluoresen (Pf), dan jamur antagonis (J) terhadap semua tipe koloni
P. solanacearum secara in vitro
disajikan pada Tabel 3.
MA(a) |
Zone hambatan terhadap masing-masing tipe koloni P.solanacearum |
|||||||
2 (b) |
5 (c) |
6 (d) |
7 (e) |
9 (f) |
11 (g) |
16 (h) |
18 (i) |
|
B0 |
- |
- |
32,3 |
48,4 |
- |
- |
70,4 |
63,8 |
B1 |
50,7 |
36,6 |
22,8 |
36,4 |
38,6 |
13,8 |
45,0 |
36,0 |
B2 |
42,4 |
- |
- |
- |
- |
- |
28,4 |
48,6 |
B3 |
32,2 |
- |
- |
26,6 |
- |
3,9 |
17,2 |
25,2 |
B4 |
23,9 |
19,3 |
24,6 |
58,9 |
56,3 |
60,1 |
57,2 |
46,6 |
B5 |
44,7 |
27,3 |
23,3 |
32,7 |
52,8 |
48,9 |
38,4 |
61,2 |
B6 |
53,3 |
24,3 |
26,6 |
20,7 |
21,8 |
27,1 |
24,2 |
45,4 |
B7 |
35,9 |
10,1 |
12,5 |
18,9 |
23,0 |
21,8 |
29,2 |
60,5 |
(a) |
(b) |
© |
(d) |
(e) |
(f) |
(g) |
(h) |
(i) |
B8(Pf) |
62,2 |
13,5 |
18,9 |
75,5 |
69,1 |
74,0 |
46,8 |
66,2 |
B9 |
- |
- |
- |
42,9 |
43,1 |
48,6 |
54,2 |
56,8 |
B10 |
54,2 |
31,0 |
30,2 |
17,6 |
32,3 |
29,3 |
19,0 |
65,6 |
B11 |
19,7 |
- |
- |
- |
- |
- |
18,5 |
- |
B12 |
20,3 |
30,3 |
- |
- |
- |
- |
- |
- |
B13 |
- |
- |
- |
19,7 |
12,4 |
10,4 |
20,5 |
13,6 |
B15 |
28,6 |
- |
- |
25,0 |
22,2 |
25,7 |
- |
- |
B17 |
25,9 |
18,8 |
17,0 |
31,4 |
31,7 |
26,6 |
- |
- |
B18 |
27,0 |
- |
21,7 |
28,6 |
43,0 |
31,2 |
31,0 |
21,3 |
B19 |
34,1 |
23,8 |
17,2 |
30,7 |
28,8 |
37,5 |
47,6 |
34,0 |
B20 |
43,5 |
9,7 |
20,8 |
35,0 |
41,0 |
30,5 |
31,2 |
29,5 |
B22 |
41,1 |
13,6 |
30,6 |
29,0 |
19,9 |
33,8 |
20,0 |
30,0 |
B25 |
20,9 |
19,5 |
- |
12,7 |
14,6 |
- |
- |
- |
B27 |
38,4 |
31,9 |
30,6 |
35,2 |
38,5 |
30,6 |
48,3 |
49,2 |
B28 |
19,0 |
14,8 |
16,6 |
25,5 |
16,7 |
17,3 |
15,7 |
17,8 |
B29 |
36,9 |
28,1 |
25,4 |
40,3 |
36,7 |
38,1 |
38,9 |
31,0 |
Pf1 |
- |
- |
- |
59,3 |
- |
- |
- |
44,7 |
Pf3 |
33,4 |
- |
- |
35,0 |
- |
- |
- |
- |
J1 |
- |
- |
- |
58,3 |
26,8 |
- |
55,7 |
3,9 |
J2 |
14,3 |
11,5 |
20,0 |
4,7 |
10,0 |
17,1 |
13,4 |
28,6 |
J3 |
- |
20,7 |
- |
18,6 |
- |
3,3 |
5,0 |
- |
J4 |
- |
11,4 |
- |
4,2 |
22,1 |
7,7 |
22,5 |
4,0 |
J5 |
8,5 |
6,5 |
18,7 |
9,7 |
19,7 |
21,4 |
11,0 |
14,3 |
J6 |
- |
- |
- |
- |
5,9 |
- |
- |
- |
Ket : MA =
mikroorganisme antagonis, B = bakteri nonfluoresen, J = Jamur antagonis, Pf = bakteri fluoresen
Tabel
3. Rata-rata persentase daya hambat bakteri antagonis (B), bakteri fluoresen
(Pf) dan jamur antagonis (J) terhadap P.
Solanacearum secara in vitro
Mikroorganisme
antagonis |
Rata-rata persentase daya hambat |
B1 |
13,8 – 50,7 |
B4 |
19,3 – 60,1 |
B5 |
23,3 – 61,2 |
B6 |
20,7 – 53,3 |
B7 |
10,1 – 60,5 |
B10 |
17,6 – 65,6 |
B19 |
17,2 – 47,6 |
B20 |
9,7 – 43,5 |
B22 |
13,6 – 41,1 |
B27 |
30,6 – 49,2 |
B28 |
14,8 – 25,5 |
B29 |
25,4 – 40,3 |
B8(Pf) |
13,5 – 75,5 |
J2 |
4,7 – 28,6 |
J5 |
6,5 – 21,4 |
Ket : rata-rata persentase hambatan
merupakan nilai hambatan terendah dan nilai tertinggi (diambil dari Tabel 2,
hanya yang mampu menghambat semua tipe koloni P. solanacearum)
Hasil pengujian daya antagonis mikroorganisme
terhadap P. solanacearum secara in
vitro, didapatkan hanya 12 bakteri nonfluoresen, 1 bakteri fluoresen, dan 2
jamur antagonis yang efektif menghambat semua tipe koloni P. solanacearum. Daya hambat bakteri antagonis yang nonfluoresen
(Tabel 3) berkisar antara 9,7 – 65,6 %, bakteri fluoresen antara 13,5 – 75,5 %,
dan jamur antara 4,7 – 28,6 %. Secara in vitro didapatkan bahwa bakteri
fluoresen memiliki potensi yang tinggi untuk menghambat P. solanacearum, disusul oleh bakteri antagonis nonfluoresen dan
yang terendah jamur antagonis. Menurut Campbell (1989), Arwiyanto (1997), dan
Tjahjono (2000) kelompok bakteri yang fluoresen (misalnya kelompok bakteri Pseudomonas yang fluoresen)
merupakan bakteri yang sangat efektif dan agresif sebagai pengkoloni akar
dibandingkan kelompok bakteri yang nonfluoresen (misalnya kelompok Bacillus). Disamping
itu, kelompok Pseudomonas yang fluoresen ini mampu menghasilkan senyawa
penghambat pertumbuhan terhadap mikroorganisme kompetitor lain seperti HCN,
asam salisilat, puoluterin, monoacetylphloroglucinol, siderofor, dan
2,4-diacetylphloroglucinol. Kelemahan kelompok Pseudomonas yang fluoresen ini
adalah sensitif terhadap tekanan lingkungan sehingga viabilitasnya tidak
bertahan lama. Kelompok Bacillus memiliki keunggulan dibandingkan kelompok
bakteri lainnya yaitu mampu menghasilkan endospora yang tahan terhadap panas, dingin,
pH yang ekstrim, pestisida, pupuk dan waktu penyimpanan. Dwijoseputro (1989)
dan Claus dan Berkeley (dalam
Arwiyanto, 1997) menyebutkan kelompok Bacillus ini juga menghasilkan berbagai
senyawa penghambat dan antibiotik seperti tirotrisin, basitrasin, dan
polimiksin.
Mekanisme antagonisme dari bakteri antagonis terhadap P. solanacearum adalah antibiosis. Hal
ini ditandai dengan adanya zone hambatan di sekitar goresan mikroorganisme
antagonis, karena mikroorganisme tersebut menghasilkan antibiotik yang
didifusikan ke medium sehingga dapat menghambat atau mendegradasi pertumbuhan P. solanacearum. Untuk jamur antagonis,
mekanismenya adalah antibiosis dan kompetitor. Pada percobaan secara in vitro,
ke 2 strain jamur disamping menghasilkan zone hambatan, 2 hari setelah
inokulasi dengan P. solanacearum
mampu tumbuh kembali pada medium sehingga hampir memenuhi cawan petri. Hal ini
menunjukkan jamur antagonis lebih kompetitif dalam memanfaatkan ruang dan
nutrisi, sehingga pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan patogennya. Menurut Domsch dkk. (1980)
beberapa jamur dapat menghasilkan metabolit antibakteri yaitu asam aspergilat
dan juga toksin (aflatoxins), juga dapat menghasilkan antibakteri peptide
suzukacillin dan dermadin yang aktif menghambat bakteri gram positif maupun
negatif. Antibiotik lain yang juga dihasilkan adalah trichothecin, polipeptida,
dan peptida trichotoxin.
Kesimpulan
1.
Hasil isolasi
mikroorganisme antagonis dari rizosfer tanaman pisang didapatkan 3 kelompok
yang potensial menekan P. solanacearum
secara in vitro yaitu: kelompok bakteri nonfluoresen (12 strain), kelompok
bakteri fluoresen (1 strain), dan kelompok jamur (2 strain).
2.
Kelompok
bakteri fluoresen memiliki potensi tertinggi untuk menghambat P. solanacearum yakni 13,5 – 75,5 %,
disusul oleh kelompok bakteri nonfluoresen yaitu 9,7 – 65,6 %, dan terendah
jamur antagonis yakni 4,7 – 28,6 %.
Saran
Perlu pengujian lebih lanjut di lapang untuk mengetahui
apakah terjadi penurunan atau peningkatan potensi mikroorganisme tanah
antagonis yang sudah didapatkan secara in vitro.
Arwiyanto,
T., 1997. Pengendalian hayati penyakit layu bakteri tembakau: 1.isolasi bakteri
antagonis. Jurnal Perlindungan Tanaman
Indonesia 3,54 : 54 – 60
Buddenhagen
dan Kelman, 1964. Biological and physiological aspects of bacterial wilt caused
by Pseudomonas solanacearum. Annual Review Phytopathology 2,203-230
Campbell, R.,
1989. Biological Control of Microbial Plant Pathogens. Cambridge Univ. Press.
Cook R.J.
dan K.F. Baker, 1989. The nature and practice of biological control of plant
pathogens. The American Phytopathology
Society.St. Paul, MN.
Domsch,
K.H., W. Gams. dan T. Anderson, 1980. Compendium of Soil Fungi. Vol 1.
Academic Press London.
Dwidjoseputro, D., 1989. Dasar-dasar Mikrobiologi. Penerbit Djambatan.
Gunawan,
O.S., 1995. Pengaruh mikroorganisme antagonis
dalam mengendalikan bakteri layu
Pseudomonas solanacearum pada tanaman kentang. Dalam Risalah Kongres Nasional XIII dan Seminar Ilmiah PFI (Mataram, 25-27
September 1995), p.473-479. Mataram, NTB.
Hartman,
G.L., W.F. Hong, Hanudin, dan A.C. Hayward., 1992. Potential of biological and
chemical control of bacterial wilt. pp. 322-326. Proceeding of an international
conference held at Kaohsiung, Taiwan, 28-31 october 1992.
Jutono, J. Soedarsono, S. Hartadi, Siti Kabirun S.,
Suhadi D., dan Soesanto, 1980. Pedoman
Praktikum Mikrobiologi Umum (Untuk Perguruan Tinggi). Penerbit Departemen
Mikrobiologi Fakultas Pertanian Universitas Gajahmada. Yogyakarta.
Paath, J.M.,
1988. Pengaruh antagonistik Trichoderma
spp. terhadap perkembangan penyakit layu bakteri Pseudomonas solanacearum pada
tanaman tembakau dan tomat.Tesis master, Fakultas Pascasarjana, IPB.
Rao, M.V.B., 1976. Bacterial wilt of tomato and eggplant in India. In Proc. 1st International Planning
Conference and Workshop on Ecology and Control of Bacterial Wilt Caused by
Pseudomonas solanacearum, pp. 92-94. New Delhi, India.
Rukmana,
1997. Penyakit Tanaman dan Teknik
Pengendalian. Kanisius. Jakarta.
Shekhawat,
G.S., S.K. Chakrabarti, V. Kishore, V. Sunaina, dan Ashok V. Gadewar, 1992.
Possibilities of biological management of potato bacterial wilt with strains of
Bacillus sp., B. subtilis, Pseudomonas
flourescens and Actinomycetes. In Proceeding
of an international conference, pp. 327-330. Kaohsiung, Taiwan.
Subba Rao,
N.S., 1994. Mikroorganisme Tanah dan
Pertumbuhan Tanaman. Edisi Kedua. Penerbit
Universitas Indonesia (UIP), Jakarta.
Suprapto, W., 1982. Penelitian jazad-jazad antagonis terhadap
bakteri penyebab layu Pseudomonas solanacearum E.F. Smith. Skripsi, Departemen Ilmu
Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, IPB.
Sutedjo,
M.M., A.G. Kartasapoetra dan R.D.S. Sastroatmodjo, 1996. Mikrobiologi Tanah. Cetakan Ketiga. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Tjahjono, B., 2000. Bakteri untuk pengendalian
hayati penyakit tanaman. Dalam Seminar Sehari
Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, 6 p. Malang, Jawa Timur.
Tuite,
J., 1969. Plant Pathological Methods
(Fungi and Bacteria). Burgess Publishing Company. Minneapolis, USA
Yusriadi, 1998. Dampak
introduksi mikroorganisme antagonis terhadap perkembangan penyakit layu bakteri
(Pseudomonas solanacearum E.F. Smith)
pada kacang tanah. Thesis, Program Pascasarjana, IPB.