© 2003 Ni Made Laksmi Ernawati                                                                                                                 Posted:  2 November 2003

Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pascasarjana/S3

Institut Pertanian Bogor

November  2003

 

Dosen :

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

 

 

 

POTENSI MIKROORGANISME TANAH ANTAGONIS UNTUK MENEKAN Pseudomonas solanacearum PADA TANAMAN PISANG SECARA IN VITRO DI PULAU LOMBOK

[IN VITRO POTENCY OF ANTAGONISTIC SOIL-MICROORGANISMS TO SUPPRESS Pseudomonas solanacearum ON BANANA PLANT IN LOMBOK ISLAND]

 

Oleh:

 

Ni Made Laksmi Ernawati

A461030041/Ento-Fit

E-mail : nmlernawati@yahoo.com

 

PENDAHULUAN

Indonesia termasuk negara penghasil pisang terbesar. Dalam usaha pembudidayaan pisang ini tidak luput dari serangan hama dan penyakit. Salah satu penyakit yang beberapa tahun ini mewabah adalah penyakit layu yang disebabkan oleh P. solanacearum. Pseudomonas solanacearum yang menyerang tanaman pisang adalah ras 1 dan 2.  Kerugian yang dialami akibat serangan penyakit ini cukup tinggi yaitu 10-42 % bahkan dapat sampai 93,1% pada serangan yang berat (Buddenhagen dan Kelman, 1964; Rao, 1976; Rukmana, 1997).

            Pengendalian yang dilakukan hanya sebatas pada sanitasi karena pengendalian secara kimia mahal dan belum ditemukan bakterisida yang cocok. Untuk itu penggunaan mikroorganisme antagonis sebagai agen pengendali hayati memberikan harapan karena tersedia melimpah di lingkungannya. Secara alami, pada tanah terdapat mikroorganisme yang berpotensi untuk menekan perkembangan patogen tular tanah karena dapat bersifat antagonis (Cook dan Baker, 1989). 

Penggunaan mikroorganisme antagonis terhadap P. solanacearum sudah banyak dilakukan pada berbagai jenis tanaman baik secara percobaan di laboratorium maupun di lapang. Mikroorganisme antagonis yang penting dari golongan jamur salah satunya adalah Trichoderma spp. Populasi P. solanacearum penyebab penyakit layu pada kentang, dapat ditekan dengan menggunakan Trichoderma spp. sebesar 36 % (Gunawan, 1995). Trichoderma spp. juga berpotensi untuk mengendalikan P. solanacearum pada tanaman  tomat (menekan 23,4 – 100 %), dan kacang tanah (menekan 57,8 – 71,1 %) (Suprapto, 1982; Paath, 1988; dan Yusriadi, 1998). Penicillium, Aspergillus, Fusarium spp. dapat menghambat P. solanacearum secara in vitro (Nesmith dan Jenkins 1985 dalam Paath 1988). P. cepacia, P. fluorescens dan P. gladiol memiliki potensi sebagai agen pengendali hayati untuk menekan pertumbuhan P. solanacearum sebesar 60 – 90 % pada tanaman tomat (Hartman et al., 1992). Shekhawat et al. (1992) juga melaporkan bahwa penggunaan Bacillus sp., B. subtilis, P. fluorescens dan actinomycetes dapat mengurangi persentase penyakit layu pada tanaman kentang yang disebabkan oleh P. solanacearum baik secara percobaan laboratorium (menekan 43 – 71 %)  maupun di lapang (menekan 52 – 79 %). Selain bakteri tersebut, Kelman (1953 dalam Hartman et al. 1992) mendapatkan bahwa B. mesentericus, B. megaterium, B. mycoides, dan Erwinia merupakan agen pengendali hayati yang potensial. Diharapkan beberapa agen pengendali hayati tersebut juga dapat digunakan untuk menekan penyakit layu bakteri pada pisang. Namun penggunaannya pada tanaman pisang belum dilaporkan, sehingga diharapkan beberapa agen pengendali hayati tersebut juga dapat digunakan untuk menekan penyakit layu bakteri pada pisang.

Pengendalian hayati dikatakan bersifat spesifik lokal yakni mikroorganisme antagonis yang terdapat di suatu daerah hanya akan memberikan hasil yang baik di daerah itu juga. Oleh karena itu perlu dicari mikroorganisme antagonis yang potensial di  pulau Lombok untuk mengendalikan  penyakit layu bakteri pada pisang yang sedang mewabah mulai akhir tahun 1998.

            Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan mikroorganisme antagonis terhadap P. solanacearum penyebab penyakit layu pada tanaman pisang secara in vitro.

 

METODA PENELITIAN

            Penelitian ini bersifat deskriptif. Penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang. Penelitian dimulai bulan Oktober 1999 sampai bulan Desember 2000.

 

1. Isolasi

Contoh tanah diambil pada 24 desa yang sama dengan tempat pengambilan sumber inokulum bakteri penyebab penyakit layu pada pisang (12 desa di kabupaten Lombok Barat, 3 desa di Kodya Mataram, dan 9 desa di kabupaten Lombok Timur). Sampel diambil pada bulan September 1999. Contoh tanah diambil di dekat perakaran tanaman pisang secara acak pada perpotongan diagonal sehingga akan didapatkan 5 contoh tanah pada setiap lokasi pertanaman pisang. Contoh tanah tersebut selanjutnya dicampur menjadi satu dan dimasukkan ke dalam kantong plastik. Isolasi jamur dan bakteri antagonis dilakukan terhadap contoh tanah yang telah diambil dengan cara menimbang 1 gram contoh tanah, selanjutnya ditambahkan air steril secukupnya dan didiamkan selama 10-15 menit. Suspensi tanah tersebut kemudian digoreskan pada media PDA (Potato Dextrose Agar) yang sudah memadat dan diinkubasikan pada suhu kamar (Jutono dkk. 1980; Tuite 1969). Jamur diambil dari biakan untuk dimurnikan apabila ada hambatan di sekitar jamur. Hambatan pada bakteri antagonis dapat diketahui dari adanya zone terang di sekitarnya. Untuk membedakan bakteri antagonis yang didapatkan apakah kelompok fluoresen atau tidak maka digunakan media selektif King’s B, kemudian biakan yang tumbuh diamati di bawah sinar ultra violet.  Jika biakan yang diamati menunjukkan pigmen yang berpendar di bawah sinar ultra violet maka termasuk kelompok bakteri yang fluoresen.

 2. Pengujian Jamur dan bakteri antagonis secara in vitro

            Pengujian dilakukan terhadap 8 (delapan) tipe koloni dari P. solanacearum yang didapat dari hasil pengujian patogenisitas pada tanaman pisang (hasil penelitian sebelumnya). Pengujian antagonisme  jamur terhadap P. solanacearum dilakukan dengan cara menumbuhkan jamur pada media PDA selama 1-2 hari. Suspensi bakteri P. solanacearum yang sudah berumur 48 jam pada media NGA (Nutrient Gelatine Agar) dicampur merata dengan media PDA yang belum memadat. Media yang sudah tercampur dengan suspensi bakteri patogen tadi kemudian dituang di atas media PDA yang telah berisi jamur antagonis tadi (overlay). Perlakuan ini kemudian diinkubasikan selama 1-2 hari (Arwiyanto 1997).

Pengujian antagonis bakteri terhadap P. solanacearum dilakukan dengan cara menggoreskan bakteri antagonis di tengah-tengah cawan petri yang sudah berisi media yang memadat dan diinkubasikan selama 2 hari. Setelah 2 hari, di kedua sisi bakteri antagonis tersebut dibuat garis tegak lurus sampai ke tepi cawan petri (garis tidak sampai menyentuh tepi pertumbuhan bakteri antagonis). Bakteri patogen yang sudah berumur 48 jam pada media NGA disuspensikan pada air steril. Suspensi bakteri ini kemudian diambil 1 lup dan digoreskan disepanjang garis yang sudah dibuat tadi. Perlakuan ini selanjutnya diinkubasikan selama 1-2 hari (Hartman et al. 1992).

 3. Pengamatan

            Pengamatan terhadap pengujian antagonisme  jamur terhadap P. solanacearum dilakukan terhadap zone hambatan yang terdapat disekitar jamur, dan mengukur diameter zone hambatannya. Untuk pengamatan terhadap pengujian antagonisme  bakteri terhadap P. solanacearum dilakukan terhadap zone hambatan yang terlihat disepanjang garis dan dilakukan pengukuran.  

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil isolasi tanah dari 24 desa sampel didapatkan sebanyak 58 strain bakteri antagonis nonfluoresen, 4 strain bakteri fluoresen, dan 6 strain jamur antagonis (dari total 16 strain, banyak strain yang sama antara desa yang satu dengan lainnya). Jumlah  mikroorganisme antagonis pada setiap desa sampel hasil isolasi dari tanah tersaji pada Tabel 1.

 

Tabel 1. Jumlah mikroorganisme antagonis hasil isolasi dari tanah pada setiap desa sampel

 

Desa sampel

 

Jumlah mikroorganisme antagonis

Bakteri nonfluoresen

Bakteri fluoresen

Jamur

Bekijuk

2

-

1

Banyu Urip

2

-

2

Jembatan Kembar

3   

-

1

Karang Talo

2

-

-

Pekemit

2

-

1

Teluk Waru

1

-

-

Sokong

4

-

-

Pemenang

3

-

1

Tembogor

1

-

-

Braingan

1

1

1

Kolopiko

2

1

1

Gondang

1

-

-

Tanjung Karang

5

1

1

Kekalik Manggis

2

-

1

Tinggar

1

-

-

Sandubaya

4

1

-

Kerumut

4

-

1

Permatan

2

-

-

Pancor

5

-

2

Loyok

2

-

1

Sikur

2

-

-

Pengde

1

-

-

Karang Petak

4

-

1

Dasan LL

2

-

1

Total

58

4

16

 

            Hasil isolasi contoh tanah dari 24 desa sampel didapatkan 68 mikroorganisme antagonis. Dari 68 mikroorganisme antagonis tersebut, hanya 6 isolat termasuk jamur dan sisanya bakteri nonfluoresen dan bakteri fluoresen. Subba Rao (1994) dan Snow (dalam Sutedjo dkk., 1996) menyebutkan bahwa dalam setiap gram contoh tanah akan didapatkan bakteri dalam jumlah terbanyak, disusul Actynomycetes dan yang paling sedikit adalah jamur.        

Hasil uji daya antagonis  mikroorganisme yang didapatkan dari hasil isolasi pada 24 desa sampel disajikan pada Tabel 2 (hanya ditampilkan mikroorganisme yang efektif menghambat P. solanacearum). Dari 58 bakteri antagonis setelah diuji daya hambatnya terhadap 8 tipe koloni P. solanacearum secara in vitro, hanya 23 strain yang memiliki potensi untuk menghambat. Untuk bakteri fluoresen, dari 4 strain hanya 3 yang menunjukkan daya hambat terhadap P. solanacearum. Semua  strain jamur antagonis berpotensi untuk menghambat P. solanacearum kecuali isolat J6 yang hanya menghambat 1 tipe koloni. Tidak semua mikroorganisme antagonis  memiliki potensi untuk menghambat 8 tipe koloni P. solanacearum. Dari 23 bakteri antagonis, hanya 12 yang efektif menghambat 8 tipe koloni P. solanacearum. Untuk bakteri fluoresen 1 yang efektif,  sedangkan jamur antagonis 2 yang efektif. Rata-rata persentase daya hambat bakteri antagonis (B), bakteri fluoresen (Pf), dan jamur antagonis (J) terhadap semua tipe koloni P. solanacearum secara in vitro disajikan pada Tabel 3.

Tabel 2. Rata-rata zone hambatan (%) mikroorganisme antagonis terhadap
masing-
masing tipe koloni P. solanacearum

 

 

MA(a)

Zone hambatan terhadap masing-masing tipe koloni P.solanacearum

    2

(b)

    5

(c)

     6

(d)

     7

(e)

     9

(f)

    11

(g)

    16

(h)

    18

(i)

B0

      -         

     -

  32,3

  48,4

     -

     -

  70,4

  63,8

B1

  50,7

  36,6

  22,8

  36,4

  38,6

  13,8

  45,0

  36,0

B2

  42,4

     -

     -

     -

     -

     -

  28,4

  48,6

B3

  32,2

     -

     -

  26,6

     -

    3,9

  17,2

  25,2

B4

  23,9

  19,3

  24,6

  58,9

  56,3

  60,1

  57,2

  46,6

B5

  44,7

  27,3

  23,3

  32,7

  52,8

  48,9

  38,4

  61,2

B6

  53,3

  24,3

  26,6

  20,7

  21,8

  27,1

  24,2

  45,4

B7

  35,9

  10,1

  12,5

  18,9

  23,0

  21,8

  29,2

  60,5

(a)

(b)

©

(d)

(e)

(f)

(g)

(h)

(i)

B8(Pf)

  62,2

  13,5

  18,9

  75,5

  69,1

  74,0

  46,8

  66,2

B9

     -

     -

     -

  42,9

  43,1

  48,6

  54,2

  56,8

B10

  54,2

  31,0

  30,2

  17,6

  32,3

  29,3

  19,0

  65,6

B11

  19,7

     - 

     -

     -

     -

     -

  18,5

     -

B12

  20,3

  30,3

     -

     -

     -

     -

     -

     -

B13

     -

     -

     -

  19,7

  12,4

  10,4

  20,5

  13,6

B15

  28,6

     -

     -

  25,0

  22,2

  25,7

     -

     -

B17

  25,9

  18,8

  17,0

  31,4

  31,7

  26,6

     -

     -

B18

  27,0

     -

  21,7

  28,6

  43,0

  31,2

  31,0

  21,3

B19

  34,1

  23,8

  17,2

  30,7

  28,8

  37,5

  47,6

  34,0

B20

  43,5

    9,7

  20,8

  35,0

  41,0

  30,5

  31,2

  29,5

B22

  41,1

  13,6

  30,6

  29,0

  19,9

  33,8

  20,0

  30,0

B25

  20,9

  19,5

     -

  12,7

  14,6

     -

     -

     -

B27

  38,4

  31,9

  30,6

  35,2

  38,5

  30,6

  48,3

  49,2

B28

  19,0

  14,8

  16,6

  25,5

  16,7

  17,3

  15,7

  17,8

B29

  36,9

  28,1

  25,4

  40,3

  36,7

  38,1

  38,9

  31,0

Pf1

     -

     -

     -

  59,3

     -

     -

     -

  44,7

Pf3

  33,4

     -

     -

  35,0

     -

     -

     -

     -

J1

     -

     -

     -

  58,3

   26,8

     -

  55,7

    3,9

J2

  14,3

  11,5

  20,0

    4,7

   10,0

   17,1

  13,4

  28,6

J3

     -

  20,7

     -

  18,6

     -

     3,3

    5,0

     -

J4

     -

  11,4

     -

    4,2

   22,1

     7,7

  22,5

    4,0

J5

    8,5

    6,5

  18,7

    9,7

   19,7

   21,4

  11,0

  14,3

J6

     -

     -

     -

     -

     5,9

      -

      -

      -

Ket : MA = mikroorganisme antagonis, B = bakteri nonfluoresen, J = Jamur antagonis,  Pf = bakteri fluoresen

 

Tabel 3. Rata-rata persentase daya hambat bakteri antagonis (B), bakteri fluoresen (Pf) dan jamur antagonis (J) terhadap P. Solanacearum  secara in vitro

 Mikroorganisme antagonis

Rata-rata persentase daya hambat

B1

13,8 – 50,7

B4

19,3 – 60,1

B5

23,3 – 61,2

B6

20,7 – 53,3

B7

10,1 – 60,5

B10

17,6 – 65,6

B19

17,2 – 47,6

B20

9,7 – 43,5

B22

13,6 – 41,1

B27

30,6 – 49,2

B28

14,8 – 25,5

B29

25,4 – 40,3

B8(Pf)

13,5 – 75,5

J2

4,7 – 28,6

J5

6,5 – 21,4

  Ket : rata-rata persentase hambatan merupakan nilai hambatan terendah dan nilai tertinggi (diambil dari Tabel 2, hanya yang mampu menghambat semua tipe koloni P. solanacearum)

            Hasil pengujian daya antagonis mikroorganisme terhadap P. solanacearum secara in vitro, didapatkan hanya 12 bakteri nonfluoresen, 1 bakteri fluoresen, dan 2 jamur antagonis yang efektif menghambat semua tipe koloni P. solanacearum. Daya hambat bakteri antagonis yang nonfluoresen (Tabel 3) berkisar antara 9,7 – 65,6 %, bakteri fluoresen antara 13,5 – 75,5 %, dan jamur antara 4,7 – 28,6 %. Secara in vitro didapatkan bahwa bakteri fluoresen memiliki potensi yang tinggi untuk menghambat P. solanacearum, disusul oleh bakteri antagonis nonfluoresen dan yang terendah jamur antagonis. Menurut Campbell (1989), Arwiyanto (1997), dan Tjahjono (2000) kelompok bakteri yang fluoresen (misalnya  kelompok bakteri Pseudomonas yang fluoresen) merupakan bakteri yang sangat efektif dan agresif sebagai pengkoloni akar dibandingkan kelompok bakteri yang nonfluoresen (misalnya kelompok Bacillus). Disamping itu, kelompok Pseudomonas yang fluoresen ini mampu menghasilkan senyawa penghambat pertumbuhan terhadap mikroorganisme kompetitor lain seperti HCN, asam salisilat, puoluterin, monoacetylphloroglucinol, siderofor, dan 2,4-diacetylphloroglucinol. Kelemahan kelompok Pseudomonas yang fluoresen ini adalah sensitif terhadap tekanan lingkungan sehingga viabilitasnya tidak bertahan lama. Kelompok Bacillus memiliki keunggulan dibandingkan kelompok bakteri lainnya yaitu mampu menghasilkan endospora yang tahan terhadap panas, dingin, pH yang ekstrim, pestisida, pupuk dan waktu penyimpanan. Dwijoseputro (1989) dan Claus dan Berkeley (dalam Arwiyanto, 1997) menyebutkan kelompok Bacillus ini juga menghasilkan berbagai senyawa penghambat dan antibiotik seperti tirotrisin, basitrasin, dan polimiksin. 

            Mekanisme antagonisme dari bakteri antagonis terhadap P. solanacearum adalah antibiosis. Hal ini ditandai dengan adanya zone hambatan di sekitar goresan mikroorganisme antagonis, karena mikroorganisme tersebut menghasilkan antibiotik yang didifusikan ke medium sehingga dapat menghambat atau mendegradasi pertumbuhan P. solanacearum. Untuk jamur antagonis, mekanismenya adalah antibiosis dan kompetitor. Pada percobaan secara in vitro, ke 2 strain jamur disamping menghasilkan zone hambatan, 2 hari setelah inokulasi dengan P. solanacearum mampu tumbuh kembali pada medium sehingga hampir memenuhi cawan petri. Hal ini menunjukkan jamur antagonis lebih kompetitif dalam memanfaatkan ruang dan nutrisi, sehingga pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan patogennya. Menurut Domsch dkk. (1980) beberapa jamur dapat menghasilkan metabolit antibakteri yaitu asam aspergilat dan juga toksin (aflatoxins), juga dapat menghasilkan antibakteri peptide suzukacillin dan dermadin yang aktif menghambat bakteri gram positif maupun negatif. Antibiotik lain yang juga dihasilkan adalah trichothecin, polipeptida, dan peptida trichotoxin.

 

KESIMPULAN DAN SARAN

 Kesimpulan

1.      Hasil isolasi mikroorganisme antagonis dari rizosfer tanaman pisang didapatkan 3 kelompok yang potensial menekan P. solanacearum secara in vitro yaitu: kelompok bakteri nonfluoresen (12 strain), kelompok bakteri fluoresen (1 strain), dan kelompok jamur (2 strain).

2.      Kelompok bakteri fluoresen memiliki potensi tertinggi untuk menghambat P. solanacearum yakni 13,5 – 75,5 %, disusul oleh kelompok bakteri nonfluoresen yaitu 9,7 – 65,6 %, dan terendah jamur antagonis yakni 4,7 – 28,6 %.

 

Saran

            Perlu pengujian lebih lanjut di lapang untuk mengetahui apakah terjadi penurunan atau peningkatan potensi mikroorganisme tanah antagonis yang sudah didapatkan secara in vitro.

DAFTAR PUSTAKA

Arwiyanto, T., 1997. Pengendalian hayati penyakit layu bakteri tembakau: 1.isolasi bakteri antagonis. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 3,54 : 54 – 60

Buddenhagen dan Kelman, 1964. Biological and physiological aspects of bacterial wilt caused by Pseudomonas solanacearum.  Annual Review Phytopathology 2,203-230

Campbell, R., 1989. Biological Control of Microbial Plant Pathogens. Cambridge Univ. Press.

Cook R.J. dan K.F. Baker, 1989. The nature and practice of biological control of plant pathogens. The American Phytopathology Society.St. Paul, MN.

Domsch, K.H.,  W. Gams. dan T. Anderson, 1980. Compendium of Soil Fungi. Vol 1. Academic Press London. 

Dwidjoseputro, D., 1989. Dasar-dasar Mikrobiologi. Penerbit Djambatan.

Gunawan, O.S., 1995. Pengaruh mikroorganisme antagonis dalam mengendalikan bakteri layu Pseudomonas solanacearum pada tanaman kentang. Dalam Risalah Kongres Nasional XIII dan Seminar Ilmiah PFI (Mataram, 25-27 September 1995), p.473-479. Mataram, NTB.

Hartman, G.L., W.F. Hong, Hanudin, dan A.C. Hayward., 1992. Potential of biological and chemical control of bacterial wilt. pp. 322-326. Proceeding of an international conference held at Kaohsiung, Taiwan, 28-31 october 1992.

Jutono, J. Soedarsono, S. Hartadi, Siti Kabirun S., Suhadi D., dan Soesanto, 1980. Pedoman Praktikum Mikrobiologi Umum (Untuk Perguruan Tinggi). Penerbit Departemen Mikrobiologi Fakultas Pertanian Universitas Gajahmada. Yogyakarta.

Paath, J.M., 1988. Pengaruh antagonistik Trichoderma spp. terhadap perkembangan penyakit layu bakteri Pseudomonas solanacearum pada tanaman tembakau dan tomat.Tesis master, Fakultas Pascasarjana, IPB.

Rao, M.V.B., 1976. Bacterial wilt of tomato and eggplant in India. In Proc. 1st International Planning Conference and Workshop on Ecology and Control of Bacterial Wilt Caused by Pseudomonas solanacearum, pp. 92-94. New Delhi, India.

Rukmana, 1997. Penyakit Tanaman dan Teknik Pengendalian. Kanisius. Jakarta.

Shekhawat, G.S., S.K. Chakrabarti, V. Kishore, V. Sunaina, dan Ashok V. Gadewar, 1992. Possibilities of biological management of potato bacterial wilt with strains of Bacillus sp., B. subtilis, Pseudomonas flourescens and Actinomycetes. In Proceeding of an international conference, pp. 327-330. Kaohsiung, Taiwan.

Subba Rao, N.S., 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Edisi Kedua. Penerbit Universitas Indonesia (UIP), Jakarta.

Suprapto, W., 1982. Penelitian jazad-jazad antagonis terhadap bakteri penyebab layu Pseudomonas solanacearum E.F. Smith. Skripsi, Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, IPB.

Sutedjo, M.M., A.G. Kartasapoetra dan R.D.S. Sastroatmodjo, 1996. Mikrobiologi Tanah. Cetakan Ketiga. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.

Tjahjono, B., 2000. Bakteri untuk pengendalian hayati penyakit tanaman. Dalam Seminar Sehari Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, 6 p. Malang, Jawa Timur.

Tuite, J., 1969. Plant Pathological Methods (Fungi and Bacteria). Burgess Publishing Company. Minneapolis, USA

Yusriadi, 1998. Dampak introduksi mikroorganisme antagonis terhadap perkembangan penyakit layu bakteri (Pseudomonas solanacearum E.F. Smith) pada kacang tanah. Thesis, Program Pascasarjana, IPB.