© 2003 Nining Puspanimgsih Posted
Makalah Pribadi
Pengantar Ke Falsafah Sains (PPS702)
Sekolah Pasca Sarjana, Program S3
Institut Pertanian
Desember 2003
Dosen:
Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung jawab)
Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto
EVALUASI KERUSAKAN LAHAN DI KAWASAN BOPUNJUR
Oleh :
Nining Puspanimgsih
NRP.
A262030011
I. Pendahuluan
Penataan kawasan Bopunjur dahulu
disebut kawasan Puncak telah dimulai sejak akhir tahun 1960-an yakni dengan
turunnya Peraturan Presiden No. 3 tahun 1963 tentang Penertiban Pembangunan
Baru Sepanjang Jalan antara Jakarta – Bogor - Cianjur dan sebenarnya perhatian
pemerintah tentang peran dan fungsi kawasan puncak telah ada sejak terbitnya
Kepress tersebut. Pada saat itu antisipasi perkembangannya sudah menjadi
perhatian karena keberadaan Puncak sangat strategis, baik dari segi keindahan
alam, dan iklimnya yang sejuk , namun juga merupakan
perlintasan regional yang menghubungkan wilayah Barat Jawa Barat ( Bandung – Jakarta ).
Pesatnya laju pembangunan dalam 10
tahun terakhir di kawasan Bopunjur , di satu sisi
pembangunan tersebut menjadi motor penggerak ekonomi kawasan tersebut. Namun disisi lainnya tingkat kebutuhan khususnya pada kawasan
budidaya juga semakin meningkat.
Tuntutan akan adanya kebutuhan lahan bagi
kegiatan pembangunan sektor pemukiman, industri, jasa perdagangan, pertanian,
dll pada akhirnya mengarah kepada lahan non budidaya atau kawasan lindung.
Ketidak sesuaian
antara pemanfaatan lahan baik pada kawasan budidaya dan kawasan lindung
terhadap kondisi fisik di lapangan menyebabkan terjadinya penyimpangan
peruntukkan lahan yang berujung kepada menurunnya fungsi lahan tersebut. Menurunnya fungsi lahan dari segi ekologis
sering berdampak negatif yaitu terjadinya kerusakan lahan seperti erosi, banjir , tanah longsor, dll.
Kawasan
Bopunjur merupakan perlintasan regional yang menghubungkan wilayah Barat Jawa
Barat (
a. Empat belas (14) kecamatan di Kabupaten Bogor yaitu, Ciawi, Cibinong, Citeureup, Gunung Putri, Sukaraja, Parung, Kemang, Gunung Sindur, Cisarua, Megamendung, Bojonggede, Ciseeng, Babakan Madang dan Ranca Bungur.
b. Tiga (3) kecamatan di Kabupaten Cianjur yaitu : Cigenang, Pacet, dan Sukaresmi
c. Tiga (3) kecamatan di Kecamatan Depok yaitu : Cimanggis, Sawangan dan Limo
d. Dua (2) kecamatan di Kabupaten Tanggerang yaitu : Ciputat dan Pamulang
Total luas kawasan Bopunjur 52.470,14 Ha yaitu di Kabupaten Bogor seluas 24.549 Ha dan di Kabupaten Cianjur 27.921 Ha.
Kawasan Bopunjur selain dibatasi oleh batasan Administratif juga dibatasi oleh batas DAS termasuk pada 4 DAS yaitu DAS Ciliwung, Cisadane, Cidurian dan Kali Bekasi.
III. Kebijakan
dan Performance
III.1. Policy / Kebijakan
Kebijakan pembangunan di kawasan Bopunjur didukung peraturan-peraturan tentang kebijakan penataan ruang dan pertanahan serta kebijakan tentang pelaksanaan pengendalian
A.
Kebijakan penataan ruang.
Kebijakan penataan ruang yang dipakai untuk mengatur pembangunan di kawasan Bopunjur adalah :
1. Rancangan penataan ruang
kawasan
2. Keputusan Presiden No. 48/1983 Jo 79/95 tentang penetapan RUTR kawasan Puncak yang dijabarkan dalam Perda No. 3 tahun 1993 tentang perubahan peraturan Perda No. 3 tahun 1998 tentang RDTR kawasan Puncak.
3. SK Gubernur KDH TK I Jawa Barat No. 413.12/SK/222-Huk/1991 tentang criteria lokasi dan standar teknis penataan ruang di kawasan Puncak.
4. UU No. 4/tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman
5. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 5/Thn 1993 tentang Rencana Detil Tata Ruang Kawasan Puncak
6. Arahan Kebijakan Keppres 114 tahun 1999 tentang Penataan Masyarakat Kawasan Bopunjur
7. Penjabaran Keppres No. 114/1999 Pemerintah Kabupaten Bogor telah menyusun rencana terperinci tata ruang kawasan Bopunjur
8. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 17/2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor
9. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 23/2000 tentang Ijin Mendirikan Bangunan
10. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 23/2000 tentang Retribusi Ijin Mendirikan Bangunan
11. Pembentukan Tim dan Pengawasan Bangunan di Kawasan Pariwisata Puncak
B. Kebijakan
Pertanahan
Kebijakan pertanahan yang dijadikan acuan adalah :
1. Sesuai Keppres 79/85, ditetapkan Kawasan BOPUNJUR yang meliputi 18 kecamatan di Kabupaten Cianjur dan 3 kecamatan di Kabupaten Bogor
2. Berdasarkan UU No. 24/92 tentang penataan ruang, salah satunya berisi : “Akan diadakan penyesuaian Keppres 79/85 yang selanjutnya akan ditetapkan kawasan BOPUNJUR
3. Dari point 1, 2 tersebut, Menteri Agraria memberikan suatu kebijakan pertanahan untuk kawasan BOPUNJUR sesuai dengan surat No. 500-276, tanggal 1-2-1999 yang intinya: “sambil menunggu dikeluarnya Keppres tentang Kawasan BOPUNJUR dan untuk mengurangi kemungkinan-kemungkinan yang tidak diharapkan dalam rangka penataan kawasan tersebut, maka untuk sementara semua permohonan / pemberi / perpanjangan / pembaharuan hak atas tanah yang berasal dari tanah negara diseluruh kawasan Bopunjur ditangguhkan
4. Menyusul kebijakan pada
butir tiga di atas, maka Menteri Negara Agraria/Kepala BPN sesuai Surat No.
500-4104 tanggal 8 Oktober 1999 memberikan kebijakan baru mengingat pentingnya
kepastian/hak atas yang dimiliki/dikuasai masyarakat apabila memenuhi syarat
hak pakai dalam jangka waktu 10 tahun.
III.2. Kondisi
Biofisik / Performance
A. Iklim
Curah hujan dalam kawasan Bopunjur berkisar 2.428 – 4.053 mm/th dan Temperatur rata-rata harian minimum 14,8 ° C dan maksimum 26,6 ° C , berdasarkan klasifikasi iklim dari Schmidt dan Ferguson termasuk pada iklim A (sangat basah) dan B (basah).
B. Topografi dan
Tanah
Topografi di kawasan Bopunjur sangat bervariasi dari bergelombang, berbukit sampai bergunung dengan kemiringan lereng 15 - > 45 %.
Sifat fisik tanah di kawasan Bopunjur termasuk dalam kelompok tanah residu dengan ketebalan lebih dari 0,5 m, serta tanah peka terhadap erosi.
C. Kondisi
Tutupan Lahan
1. Luas
Wilayah KPP (Kawasan Pemukiman Perkotaan) = 18.298,918
Ha/3 kecamatan
- Cisarua = 7.460,565 Ha
- Ciawi = 4.825,923 Ha
- Megamendung = 6.012,430 Ha
2. Jumlah Bangunan = 48.575 unit
- Jika diasumsikan luas masing-masing bangunan = 200 m2, maka untuk jumlah bangunan = 48.575 unit, luas lahan yang terpakai adalah 9715000 m2 (971,5 Ha) atau 5,31% dari total keseluruhan luas kawasan pariwisata Puncak
- Jika diberikan KDB (Koefisien Dasar Bangunan) = 10%, maka tutupan lahan yang terpakai = 97,15 Ha
- Jika diberikan KDB (Koefisien Dasar Bangunan) = 20% (Perda No. 3 tahun 1998 tentang RDTR KPP), maka Tutupan Lahan yang terpakai 194,3 Ha
3. Jumlah Villa
- Cisarua: 1046 unit (20,92 Ha = 0,28%), di tanah negara 130 unit (2,6 Ha = 0,03%), di tanah perorangan ber IMB 804 unit 916,08 Ha = 0,22%)
- Megamendung: 669 unit (13,38 Ha = 0,28%), di tanah negara 159 unit (3,18 Ha = 0,06%), di tanah peorangan ber IMB 36 unit (0,72 Ha = 0,01%)
- Ciawi: di tanah 321 sebanyak 6 unit (0,12 Ha = 0,002%)
- 80
% dari pemilik villa adalah penduduk
4. Jumlah IMB di wilayah KPP (1985/1986-FEB 2002) = 1.287 IMB
- Jumlah IMB yang diterbitkan dari April 1999 sampai dengan Februari 2002 = 477 IMB (4,63 Ha)
5. Perubahan penggunaan lahan di kawasan Bopunjur
dari tahun 1995-1999 dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1, Tataguna Tanah Kawasan Bopunjur
No. |
Penggunaan |
Th. 1995 |
Th. 1999 |
Perubahan |
|||
Luas (Ha) |
% |
Luas (Ha) |
% |
Luas (Ha) |
% |
||
1 |
Pemukiman |
17.216,85 |
21,18 |
19.342,00 |
23,80 |
2.125,15 |
2,61 |
2 |
Industri |
306,26 |
0,38 |
724,19 |
89,00 |
417,93 |
0,51 |
3 |
Pariwisata |
920,12 |
1,13 |
3.739,15 |
4,60 |
2.819,03 |
3,47 |
4 |
Sawah |
9.017,98 |
11,10 |
5.817,00 |
7,16 |
(3.200,98) |
(3,94) |
5 |
Tegalan/Kebun |
15.237,00 |
18,75 |
15.674,00 |
19,28 |
434,00 |
0,53 |
6 |
Ladang/Huma |
3,126.00 |
3,85 |
- |
- |
(3.126,00) |
(3,85) |
7 |
|
122,00 |
0,15 |
400,00 |
0,49 |
278,00 |
0,34 |
8 |
Hutan Rakyat |
880,00 |
1,08 |
2.793,00 |
3,44 |
1.913,00 |
2,35 |
9 |
Hutan Negara |
5.322,00 |
6,55 |
4.603,00 |
5,66 |
(719,00) |
(0,88) |
10 |
Perkebunan |
11.541,00 |
14,20 |
6.433,49 |
7,92 |
(5.107,51) |
6,28) |
11 |
Kolam/Empang |
1.167,00 |
1,44 |
1.189,00 |
1,46 |
22,00 |
0,03 |
12 |
Lain-lain |
15.466,79 |
19,03 |
20.244,17 |
24,91 |
4.777,38 |
5,88 |
13 |
Tidak diusahakan |
952,00 |
1,17 |
319,00 |
0,39 |
(633,00) |
(0,78) |
|
|
81.275,00 |
100,00 |
81,275,00 |
100,00 |
|
|
Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan, 2002
D. Kerusakan
lahan di Kabupaten
Sampai
dengan tahun 2002 luas lahan kritis di kawasan Bopunjur yang terdapat pada
Kabupaten
Salah satu indikator yang sangat potensial menyebabkan kerusakan lahan adalah sektor pariwisata. Obyek pariwisata kawasan Bopunjur dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 2. Obyek wisata dan jumlah wisatawan di kawasan Bopunjur kabupaten
No. |
Obyek Wisata |
Jumlah Wisatawan |
1 |
|
1.164.901 |
2 |
Wisata Agro Gunung Mas |
69.798 |
3 |
Telaga Warna |
78.544 |
4 |
Panorama Alam Riung Gunung |
5.480 |
5 |
Curug Cilember |
63.430 |
6 |
|
42.330 |
|
Jumlah |
1.424.483 |
Sumber : Kab.
Tabel 3. Obyek wisata dan jumlah wisatawan di kawasan Bopunjur kabupaten Cianjur.
No. |
Obyek Wisata |
Jumlah Wisatawan |
1 |
Kebun Raya Cibodas |
510.359 |
2 |
Istana Kepresidean Cipanas |
7.848 |
3 |
T.N. Gunung Gede Pangrango |
56.698 |
4 |
Wanawisata Mandalawangi |
26.639 |
5 |
Makam Dalem Cikundul |
394.696 |
6 |
|
212.793 |
7 |
Wisata Tirta Jangari/Calincing |
17.516 |
|
Jumlah |
1.226.549 |
Sumber : Dinas Pariwisata Kab. Cianjur, 2002
F. Debit
Intensitas curah hujan memiliki korelasi yang positif terhadap
terjadinya peningkatan aliran limpasan (run off), yang dapat meningkatkan
volume serta fluktuasi debit sungai.
Data debit maksimum dan minimum Sungai Ciliwung di lokasi Bendung
Katulampa Kabupaten
Tabel 4. Debit maksimum dan minimum sungai Ciliwung di bendung Katulampa
No. |
Tahun |
Besarnya Debit Sungai (m3/dt) |
Curah Hujan |
|
Maksimum |
Minimum |
|||
1 |
1989 |
144,38 |
2,74 |
|
2 |
1990 |
132,47 |
4,76 |
|
3 |
1991 |
211,25 |
2,24 |
|
4 |
1992 |
378,68 |
2,18 |
|
5 |
1993 |
343,20 |
5,71 |
|
6 |
1994 |
378,68 |
1,86 |
|
7 |
1995 |
411,67 |
1,71 |
|
8 |
1996 |
743,33 |
3,046 |
Curah hujan maksimum 130 mm |
9 |
1997 |
244,20 |
1,22 |
|
10 |
1998 |
651,75 |
1,22 |
|
11 |
1999 |
610,50 |
1,71 |
|
12 |
2000 |
525,53 |
1,71 |
|
13 |
2001 |
411,68 |
3,46 |
|
14 |
2002 |
525,53 |
6,75 |
Curah hujan maksimum 80 mm |
Sumber: Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Bogor, 2002
IV. Perumusan Masalah
Kerusakan lahan di kawasan Bopunjur disebabkan oleh 4 faktor, yaitu faktor lokasi , faktor alam, faktor aturan atau kebijakan , serta faktor kegiatan manusia di kawasan tersebut.
Kawasan
Bopunjur terdapat pada perlintasan regional yang menghubungkan wilayah Barat
Jawa Barat (
Kebijakan dan peraturan-peraturan yang mendukung kegiatan pembangunan di kawasan ini masih bersifat sektoral, kebijakan dari Pusat, Propinsi dan dari Kabupaten. Kebijakan menggunakan pendekatan administratif dan tidak ada koordinasi antar stakeholder menyebabkan kerusakan lahan di kawasan Bopunjur terus terjadi.
IV.1. Pertanyaannya ?
1. Seberapa jauh besar kerusakan lahan sudah terjadi dan faktor-faktor apa sebenarnya yang menyebabkan kerusakanan lahan tersebut ?
2. Mengapa
kerusakan lahan terus terjadi sementara sudah banyak peraturan-peraturan yang
mendukung kebijakan pembangunan di kawasan Bopunjur?
V.
Analisis
V.1. Jawaban
Konsepsional
1. Data yang ada belum dapat menyebutkan
seberapa besar tingkat kerusakan sudah terjadi di kawasan Bopunjur, data masih
terpotong potong tidak lengkap, data berdasarkan pada wilayah administratif di
Kabupaten
2. Dari aspek alamnya sendiri kawasan Bopunjur sangat rentan terhadap kerusakan lahan. Curah hujan yang tinggi (> 3000 mm/thn) dengan kemiringan lereng cukup berat (> 40%) dan tanah peka terhadap erosi, ditambah pemandangan alam yang bagus dan suhu udara yang sejuk (20-25°C) m, serta mempunyai potensi pariwisata yang tinggi (Tabel 2 dan 3). Semuanya ini menyebabkan potensi kerusakan lahan sangat besar.
3. Perubahan penggunaan lahan menjadi pemukiman, pariwisata, dan industri di kawasan Bopunjur yang meningkat dari tahun 1995 sampai dengan tahun 1999, sementara luas hutan negara dan perkebunan menurun masing-masing sebesar 0,88 dan 6,28 %, menunjukan terdapat potensi kerusakan lahan (Tabel 1).
4. Fluktuasi debit di DAS Ciliwung Hulu (Tabel 4) belum dapat dijelaskan secara tepat, faktor apa yang menyebabkan , apakah pengaruh dari penutupan lahan atau karena besarnya curah hujan itu sendiri.
5. Meskipun sudah banyak peraturan yang mengatur dan menata kawasan Puncak (butir III.1), namun kerusakan lahan tetap terjadi (butir 3), hal ini disebabkan karena kebijakan yang memayungi kebanyakan adalah kepress, sementara Keppress tidak mengatur unsur sangsi terhadap pelanggaran yang terjadi pada kawasan yang diatur tersebut. Unsur penegakan aturan atau hukum baru muncul pada peraturan daerah. Untuk wilayah Kabupaten Bogor baru ada pada tahun 1993 yaitu yang diatur melalui Perda No. 5/tahun 1993 tentang : RDTR kawasan Puncak serta Perda No. 23 dan 24 /tahun 2000 tentang Retribusi IMB dan Ijin mendirikan bangunan. Bahkan berdasarkan UU No. 24 / Th.1992 tentang penataan ruang maka Perda No. 5/ Th. 1993 sudah harus direvisi, karena sudah 10 tahun.
6. Sudah ada tindakan pengendalian bangunan di kawasan Bopunjur yang diatur dalam SK Bupati tentang pembentukan tim penertiban dan pengawasan bangunan di kawasan Pariwisata Puncak seharusnya dapat mengendalikan kerusakan lahan.
7. Mengkaji butir III.1. dapat dijelaskan bahwa: pertama kebijakan penanganan kawasan Bopunjur masih berdasarkan pada batasan administratif belum pada sistem hidrologis DAS. Kedua, kebijakan yang mengatur tentang wewenang dan tanggung jawab dalam penanganan kawasan Bopunjur masih bersifat sektoral dari Pusat, Propinsi, dan Kabupaten. (Tabel 5).
Tabel 5. Kebijakan penataan ruang yang mengatur pembangunan di Kawasan Bopunjur.
No |
Kebijakan Penataan Ruang |
||
Dari Pusat |
Dari Propinsi |
Dari Kabupaten |
|
1 |
Rancangan penataan ruang kawasan |
SK Gubernur KDH TK I Jawa Barat
No. 413.12/SK/222-Huk/1991tentang criteria lokasi dan standar teknis penataan
ruang di kawasan Puncak. |
Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 5/Thn 1993 tentang
Rencana Detil Tata Ruang Kawasan Puncak. |
2. |
Keputusan Presiden No. 48/1983 Jo 79/95 tentang penetapan
RUTR kawasan Puncak yang dijabarkan dalam Perda No. 3 tahun 1993 tentang
perubahan peraturan Perda No. 3 tahun 1998 tentang RDTR kawasan Puncak. |
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 17/2000 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor |
3. |
UU No. 4/tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman |
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 23/2000 tentang Ijin Mendirikan
Bangunan |
4. |
Arahan Kebijakan Keppres 114 tahun 1999 tentang Penataan
Masyarakat Kawasan Bopunjur |
|
Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 23/2000 tentang
Retribusi Ijin Mendirikan Bangunan. |
5. |
Penjabaran Keppres No. 114/1999 Pemerintah Kabupaten Bogor
telah menyusun rencana terperinci tata ruang kawasan Bopunjur. |
|
Pembentukan Tim dan Pengawasan
Bangunan di Kawasan Pariwisata Puncak |
V.2. Jawaban dari stake holder
Tindakan pengendalian pembangunan di kawasan Bopunjur sebagai penjabaran dari perda tahun 1993 sudah dilakukan, namun belum optimal. Hal ini disebabkan karena :
1.
Kebijakan dan peraturan dari Pusat, Propinsi, dan
Kabupaten, juga antar kabupaten
2. Tidak sebandingnya antara pengawas di lapangan dengan luas wilayah pengamatan.
3.
Masih dijadikannya retribusi IMB sebagai elemen
penghasil PAD, dimana retribusi IMB terhadap bangunan di kawasan Bopunjur masih
relatif besar. ( Di
kabupaten
4. Kurang tegasnya pengaturan peruntukkan pengendalian pada rencana detil tata ruang / RDTR kawasan Bopunjur
5. Masih banyak bangunan yang didirikan oleh masyarakat perorangan tanpa mengikuti prosedur perijinan.
6. Adanya pelanggaran terhadap tanah negara yaitu berupa okuvasi oleh penduduk setempat maupun dari luar.
V.3. Analisis Kerusakan lahan di Kawasan Bopunjur.
Berdasarkan analisis pada butir V.1 dan V.2 , kerusakan lahan di kawasan Bopunjur disebabkan oleh :
1. Data yang ada belum dapat menyebutkan
seberapa besar tingkat kerusakan sudah terjadi di kawasan Bopunjur, data masih
terpotong potong tidak lengkap, data berdasarkan pada wilayah administratif di
Kabupaten
2. Dari aspek alamnya sendiri kawasan BOPUNJUR sangat rentan terhadap kerusakan lahan. Curah hujan yang tinggi (> 3000 mm/thn) dengan kemiringan lereng cukup berat (> 40%) dan tanah peka terhadap erosi, ditambah pemandangan alam yang bagus dan suhu udara yang sejuk (20-25°C) m, serta mempunyai potensi pariwisata yang tinggi (Tabel 2 dan 3). Semuanya ini menyebabkan potensi kerusakan lahan sangat besar.
3. Perubahan penggunaan lahan menjadi pemukiman, pariwisata, dan industri di kawasan Bopunjur yang meningkat dari tahun 1995 sampai dengan tahun 1999, sementara luas hutan negara dan perkebunan menurun masing-masing sebesar 0,88 dan 6,28 %, menunjukan terdapat potensi kerusakan lahan (Tabel 1). Hal ini disebabkan karena :
· Masih dijadikannya retribusi IMB sebagai
elemen penghasil PAD, dimana retribusi IMB terhadap bangunan di kawasan Bopunjur
masih relatif besar. (
Di kabupaten
· Kurang tegasnya pengaturan peruntukkan pengendalian pada rencana detil tata ruang / RDTR kawasan Bopunjur.
· Masih banyak bangunan yang didirikan oleh masyarakat perorangan tanpa mengikuti prosedur perijinan.
· Adanya pelanggaran terhadap tanah negara yaitu berupa okuvasi oleh penduduk setempat maupun dari luar.
4. Fluktuasi debit di DAS Ciliwung Hulu (Tabel 4) belum dapat dijelaskan secara tepat, faktor apa yang menyebabkan , apakah pengaruh dari penutupan lahan atau karena besarnya curah hujan itu sendiri.
5. Meskipun sudah banyak peraturan yang mengatur dan menata kawasan Puncak (butir III.1), namun kerusakan lahan tetap terjadi (butir 3), hal ini disebabkan karena kebijakan yang memayungi kebanyakan adalah kepress, sementara Keppress tidak mengatur unsur sangsi terhadap pelanggaran yang terjadi pada kawasan yang diatur tersebut. Unsur penegakan aturan atau hukum baru muncul pada peraturan daerah. Untuk wilayah Kabupaten Bogor baru ada pada tahun 1993 yaitu yang diatur melalui Perda No. 3/tahun 1993 tentang : RDTR kawasan Puncak serta Perda No. 23 dan 24 /tahun 2000 tentang Retribusi IMB dan Ijin mendirikan bangunan. Bahkan berdasarkan UU No. 24 / Th.1992 tentang penataan ruang maka Perda No. 3 / Th. 1993 sudah harus direvisi, karena sudah 10 tahun.
6. Sudah ada tindakan pengendalian bangunan di kawasan Bopunjur yang diatur dalam SK Bupati tentang pembentukan tim penertiban dan pengawasan bangunan di kawasan Pariwisata Puncak seharusnya dapat mengendalikan kerusakan lahan. Tetapi tidak sebandingnya antara pengawas di lapangan dengan luas wilayah pengamatan menyebabkan kegiatan pengendalian belum optimal .
7. Kebijakan penanganan kawasan Bopunjur masih berdasarkan pada batasan administratif belum pada sistem hidrologis DAS.
8.
Kebijakan yang mengatur tentang wewenang dan tanggung
jawab dalam penanganan kawasan Bopunjur masih bersifat sektoral dari Pusat,
Propinsi dan Kabupaten, juga antar kabupaten
DAFTAR PUSTAKA
Badan Perencanaan Daerah. 2002. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Bogor
dalam Pembangunan DAS Ciliwung. Badan Perencanaan Daerah
Kabupaten
_______________________. 2002. Konsepsi dan Kinerja Penataan Ruang Kawasan Bopunjur-Jabotabek Kabupaten Bogor.
Badan Pusat Statistik. 2002.
Kabupaten
Departemen Kehutanan. 2001. Kriteria dan Indikator
Pengelolaan DAS Ciliwung. Departemen Kehutanan Direktorat
Jenderal Rehabilitasi dan Perhutanan Sosial. Badan
Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Citarum Ciliwung.
___________________. 2000. Pengembangan Sistem
Insentif Dalam Rangka Rehabilitasi Lahan/Penghijauan di DAS Ciliwung. Kerjasama Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial
Departemen Kehutanan dengan Fakultas Kehutanan IPB.
___________________. 2001. Pedoman Penyelengaara Pengelolaan DAS. Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Rehabilitasi dan Perhutanan Sosial Jakarta
Departemen Pemukiman dan Prasarana
Wilayah. 2003. Kaji Ulang Rencana Detil Tata
Ruang Kawasan Puncak. Departemen Pemukiman dan Prasarana
Wilayah. Direktorat Jenderal Penataan Ruang.
Dinas Cipta Karya. 2002. Upaya Penertiban Bangunan Kawasan
Parimeter Puncak. Dinas Cipta Karya Kabupaten
Soeriadmadja. 2002. Hubungan Timbal Balik Manusia dan Sungai (dan Danau) : Kasus Pengembangan Sistem Pengelolaan Terpadu Sungai Ciliwung. Cipayung Bogor.