© 2003 Nining Puspanimgsih                                                      Posted  24 December 2003

Makalah Pribadi

Pengantar Ke Falsafah Sains (PPS702)

Sekolah Pasca Sarjana, Program S3

Institut Pertanian Bogor

Desember 2003

 

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

 

 

EVALUASI KERUSAKAN LAHAN DI KAWASAN BOPUNJUR

 

 

  

 

Oleh :

 

Nining Puspanimgsih

NRP. A262030011

 

 

 

 

 

 

 

I. Pendahuluan

 

          Penataan kawasan Bopunjur dahulu disebut kawasan Puncak telah dimulai sejak akhir tahun 1960-an yakni dengan turunnya Peraturan Presiden No. 3 tahun 1963 tentang Penertiban Pembangunan Baru Sepanjang Jalan antara Jakarta – Bogor - Cianjur dan sebenarnya perhatian pemerintah tentang peran dan fungsi kawasan puncak telah ada sejak terbitnya Kepress tersebut. Pada saat itu antisipasi perkembangannya sudah menjadi perhatian karena keberadaan Puncak sangat strategis, baik dari segi keindahan alam, dan iklimnya yang sejuk , namun juga merupakan perlintasan regional yang menghubungkan wilayah Barat Jawa Barat       ( Bandung – Jakarta ).

            Pesatnya laju pembangunan dalam 10 tahun terakhir di kawasan Bopunjur , di satu sisi pembangunan tersebut menjadi motor penggerak ekonomi kawasan tersebut. Namun disisi lainnya tingkat kebutuhan khususnya pada kawasan budidaya juga semakin meningkat.  Tuntutan akan adanya kebutuhan lahan bagi kegiatan pembangunan sektor pemukiman, industri, jasa perdagangan, pertanian, dll pada akhirnya mengarah kepada lahan non budidaya atau kawasan lindung.

            Ketidak sesuaian antara pemanfaatan lahan baik pada kawasan budidaya dan kawasan lindung terhadap kondisi fisik di lapangan menyebabkan terjadinya penyimpangan peruntukkan lahan yang berujung kepada menurunnya fungsi lahan tersebut.  Menurunnya fungsi lahan dari segi ekologis sering berdampak negatif yaitu terjadinya kerusakan lahan seperti erosi, banjir , tanah longsor, dll.

 

II.     Lokasi

 

         Kawasan Bopunjur merupakan perlintasan regional yang menghubungkan wilayah Barat Jawa Barat ( BandungJakarta ) dan menurut Kepress 114/1999, kawasan Bopunjur meliputi 22 kecamatan yaitu :

a.    Empat belas (14) kecamatan di Kabupaten Bogor yaitu, Ciawi, Cibinong, Citeureup, Gunung Putri, Sukaraja, Parung, Kemang, Gunung Sindur, Cisarua, Megamendung, Bojonggede, Ciseeng, Babakan Madang dan Ranca Bungur.

b.   Tiga (3) kecamatan di Kabupaten Cianjur yaitu : Cigenang, Pacet, dan Sukaresmi

c.    Tiga (3) kecamatan di Kecamatan Depok yaitu : Cimanggis, Sawangan dan Limo

d.   Dua (2) kecamatan di Kabupaten Tanggerang yaitu : Ciputat dan Pamulang

Total luas kawasan Bopunjur 52.470,14 Ha yaitu di Kabupaten Bogor seluas 24.549 Ha dan di Kabupaten Cianjur 27.921 Ha.

Kawasan Bopunjur selain dibatasi oleh batasan Administratif juga dibatasi oleh batas DAS termasuk pada 4 DAS yaitu DAS Ciliwung, Cisadane, Cidurian dan Kali Bekasi.

 

III.    Kebijakan dan Performance

 

III.1. Policy  / Kebijakan

 

Kebijakan pembangunan di kawasan Bopunjur didukung peraturan-peraturan  tentang kebijakan penataan ruang dan pertanahan  serta kebijakan tentang pelaksanaan pengendalian

 

A.                      Kebijakan penataan ruang. 

Kebijakan penataan ruang yang dipakai untuk mengatur pembangunan di kawasan Bopunjur adalah :

1.      Rancangan penataan ruang kawasan Jakarta, Bogor, Tanggerang, Bekasi dan Depok (Kawasan Jabodetabek)

2.      Keputusan Presiden No. 48/1983 Jo 79/95 tentang penetapan RUTR kawasan Puncak yang dijabarkan dalam Perda No. 3 tahun 1993 tentang perubahan peraturan Perda No. 3 tahun 1998 tentang RDTR kawasan Puncak.

3.      SK Gubernur KDH TK I Jawa Barat No. 413.12/SK/222-Huk/1991 tentang criteria lokasi dan standar teknis penataan ruang di kawasan Puncak.

4.      UU No. 4/tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman

5.      Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 5/Thn 1993 tentang Rencana Detil Tata Ruang Kawasan Puncak

6.      Arahan Kebijakan Keppres 114 tahun 1999 tentang Penataan Masyarakat Kawasan Bopunjur

7.      Penjabaran Keppres No. 114/1999 Pemerintah Kabupaten Bogor telah menyusun rencana terperinci tata ruang kawasan Bopunjur

8.      Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 17/2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor

9.      Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 23/2000 tentang Ijin Mendirikan Bangunan

10.   Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 23/2000 tentang Retribusi Ijin Mendirikan Bangunan

11.    Pembentukan Tim dan Pengawasan Bangunan di Kawasan Pariwisata Puncak

 

B.     Kebijakan Pertanahan

Kebijakan pertanahan yang dijadikan acuan adalah :

1.      Sesuai Keppres 79/85, ditetapkan Kawasan BOPUNJUR yang meliputi 18 kecamatan di Kabupaten Cianjur dan 3 kecamatan di Kabupaten Bogor

2.      Berdasarkan UU No. 24/92 tentang penataan ruang, salah satunya berisi : “Akan diadakan penyesuaian Keppres 79/85 yang selanjutnya akan ditetapkan kawasan BOPUNJUR

3.      Dari point 1, 2 tersebut, Menteri Agraria memberikan suatu kebijakan pertanahan untuk kawasan BOPUNJUR sesuai dengan surat No. 500-276, tanggal 1-2-1999 yang intinya: “sambil menunggu dikeluarnya Keppres tentang Kawasan BOPUNJUR dan untuk mengurangi kemungkinan-kemungkinan yang tidak diharapkan dalam rangka penataan kawasan tersebut, maka untuk sementara semua permohonan / pemberi / perpanjangan /      pembaharuan hak atas tanah yang berasal dari tanah negara diseluruh kawasan Bopunjur ditangguhkan

4.      Menyusul kebijakan pada butir tiga di atas, maka Menteri Negara Agraria/Kepala BPN sesuai Surat No. 500-4104 tanggal 8 Oktober 1999 memberikan kebijakan baru mengingat pentingnya kepastian/hak atas yang dimiliki/dikuasai masyarakat apabila memenuhi syarat hak pakai dalam jangka waktu 10 tahun.

 

III.2. Kondisi Biofisik / Performance

 

A.  Iklim

Curah hujan dalam kawasan Bopunjur berkisar 2.428 – 4.053 mm/th dan Temperatur rata-rata harian minimum 14,8 ° C dan maksimum 26,6 ° C , berdasarkan klasifikasi iklim dari Schmidt dan Ferguson termasuk pada iklim A (sangat basah) dan B (basah).

 

B.  Topografi dan Tanah

Topografi di kawasan Bopunjur sangat bervariasi dari bergelombang, berbukit sampai bergunung dengan kemiringan lereng 15 - > 45 %.

      Sifat fisik tanah di kawasan Bopunjur termasuk dalam kelompok tanah residu                     dengan ketebalan lebih dari 0,5 m, serta tanah peka terhadap erosi.

 

C.      Kondisi Tutupan Lahan

1. Luas Wilayah KPP (Kawasan Pemukiman Perkotaan)                                = 18.298,918 Ha/3 kecamatan

-  Cisarua                             = 7.460,565 Ha

-  Ciawi                                = 4.825,923 Ha

-  Megamendung                  = 6.012,430 Ha

2.  Jumlah Bangunan = 48.575 unit

-  Jika diasumsikan luas masing-masing bangunan = 200 m2, maka untuk jumlah bangunan = 48.575 unit, luas lahan yang terpakai adalah 9715000 m2 (971,5 Ha) atau 5,31% dari total keseluruhan luas kawasan pariwisata Puncak

-  Jika diberikan KDB (Koefisien Dasar Bangunan) = 10%, maka tutupan lahan yang terpakai = 97,15 Ha

-  Jika diberikan KDB (Koefisien Dasar Bangunan) = 20% (Perda No. 3 tahun 1998 tentang RDTR KPP), maka Tutupan Lahan yang terpakai 194,3 Ha

3. Jumlah Villa

-  Cisarua: 1046 unit (20,92 Ha = 0,28%), di tanah negara 130 unit (2,6 Ha = 0,03%), di tanah perorangan ber IMB 804 unit 916,08 Ha = 0,22%)

-  Megamendung: 669 unit (13,38 Ha = 0,28%), di tanah negara 159 unit (3,18 Ha = 0,06%), di tanah peorangan ber IMB 36 unit (0,72 Ha = 0,01%)

-    Ciawi: di tanah 321 sebanyak 6 unit (0,12 Ha = 0,002%)

-    80 % dari pemilik villa adalah penduduk Jakarta.

4. Jumlah IMB di wilayah KPP (1985/1986-FEB 2002) = 1.287 IMB

-  Jumlah IMB yang diterbitkan dari April 1999 sampai dengan Februari 2002 = 477 IMB (4,63 Ha)

5.  Perubahan penggunaan lahan di kawasan Bopunjur dari tahun 1995-1999 dapat dilihat pada tabel 1.

 

Tabel 1, Tataguna Tanah Kawasan Bopunjur

No.

Penggunaan

Th. 1995

Th. 1999

Perubahan

Luas (Ha)

%

Luas (Ha)

%

Luas (Ha)

%

1

Pemukiman

17.216,85

21,18

19.342,00

23,80

2.125,15

2,61

2

Industri

306,26

0,38

724,19

89,00

417,93

0,51

3

Pariwisata

920,12

1,13

3.739,15

4,60

2.819,03

3,47

4

Sawah

9.017,98

11,10

5.817,00

7,16

(3.200,98)

(3,94)

5

Tegalan/Kebun

15.237,00

18,75

15.674,00

19,28

434,00

0,53

6

Ladang/Huma

3,126.00

3,85

-

-

(3.126,00)

(3,85)

7

Padang Rumput

122,00

0,15

400,00

0,49

278,00

0,34

8

Hutan Rakyat

880,00

1,08

2.793,00

3,44

1.913,00

2,35

9

Hutan Negara

5.322,00

6,55

4.603,00

5,66

(719,00)

(0,88)

10

Perkebunan

11.541,00

14,20

6.433,49

7,92

(5.107,51)

6,28)

11

Kolam/Empang

1.167,00

1,44

1.189,00

1,46

22,00

0,03

12

Lain-lain

15.466,79

19,03

20.244,17

24,91

4.777,38

5,88

13

Tidak diusahakan

952,00

1,17

319,00

0,39

(633,00)

(0,78)

 

 

81.275,00

100,00

81,275,00

100,00

 

 

Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan, 2002

 

D.     Kerusakan lahan di Kabupaten Bogor

Sampai dengan tahun 2002 luas lahan kritis di kawasan Bopunjur yang terdapat pada Kabupaten Bogor seluas 2.237,49 Ha (9%) (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bogor, 2002)

 

E.      Pariwisata

         Salah satu indikator yang sangat potensial menyebabkan kerusakan lahan adalah sektor pariwisata.  Obyek pariwisata kawasan Bopunjur dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.

 

Tabel 2.  Obyek wisata dan jumlah wisatawan  di kawasan Bopunjur    kabupaten Bogor.

No.

Obyek Wisata

Jumlah Wisatawan

1

Taman Safari Indonesia

1.164.901

2

Wisata Agro Gunung Mas

    69.798

3

Telaga Warna

     78.544

4

Panorama Alam Riung Gunung

       5.480

5

Curug Cilember

     63.430

6

Taman Bunga Melrimba

     42.330

 

Jumlah

1.424.483

Sumber :  Kab. Bogor dalam angka, 2002

 

Tabel 3.  Obyek wisata dan jumlah wisatawan  di kawasan Bopunjur    kabupaten Cianjur.

No.

Obyek Wisata

Jumlah Wisatawan

1

Kebun Raya Cibodas

   510.359

2

Istana Kepresidean Cipanas

       7.848

3

T.N. Gunung Gede Pangrango

     56.698

4

Wanawisata Mandalawangi

     26.639

5

Makam Dalem Cikundul

  394.696

6

Taman Bunga Nusantara

   212.793

7

Wisata Tirta Jangari/Calincing

     17.516

 

Jumlah

1.226.549

Sumber : Dinas Pariwisata  Kab. Cianjur, 2002

 

 

 

F.      Debit

Intensitas curah hujan memiliki korelasi yang positif terhadap terjadinya peningkatan aliran limpasan (run off), yang dapat meningkatkan volume serta fluktuasi debit sungai.  Data debit maksimum dan minimum Sungai Ciliwung di lokasi Bendung Katulampa Kabupaten bogor adalah sebagai berikut :

 

Tabel 4.  Debit maksimum dan minimum sungai Ciliwung di bendung Katulampa

No.

Tahun

Besarnya Debit Sungai (m3/dt)

Curah Hujan

Maksimum

Minimum

1

1989

144,38

2,74

 

2

1990

132,47

4,76

 

3

1991

211,25

2,24

 

4

1992

378,68

2,18

 

5

1993

343,20

5,71

 

6

1994

378,68

1,86

 

7

1995

411,67

1,71

 

8

1996

743,33

3,046

Curah hujan maksimum 130 mm

9

1997

244,20

1,22

 

10

1998

651,75

1,22

 

11

1999

610,50

1,71

 

12

2000

525,53

1,71

 

13

2001

411,68

3,46

 

14

2002

525,53

6,75

Curah hujan maksimum 80 mm

Sumber: Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Bogor, 2002

 

IV. Perumusan  Masalah

         Kerusakan lahan di kawasan Bopunjur disebabkan oleh 4 faktor, yaitu faktor lokasi , faktor alam, faktor aturan atau kebijakan , serta faktor kegiatan manusia di kawasan tersebut.

         Kawasan Bopunjur terdapat pada perlintasan regional yang menghubungkan wilayah Barat Jawa Barat ( BandungJakarta ) dan merupakan wilayah metropolitan Jabodetabek  serta didukung oleh kondisi biofisik yang nyaman dan indah menyebabkan kawasan ini menjadi menjadi pusat perhatian masyarakat untuk melakukan kegiatan pembangunan di wilayah ini.

         Ada 2 tipologi kegiatan manusia di kawasan Bopunjur, yang pertama, kegiatan manusia untuk tujuan rekreasi, hal ini ditunjukan banyaknya tempat rekreasi yang selalu ramai (tabel 2 dan 3) dan banyaknya villa-villa berdiri ( 80 % dari pemilik villa adalah penduduk Jakarta). Kedua, kegiatan manusia untuk tujuan ekonomi atau berusaha, hal ini ditunjukan banyaknya hotel, restoran, pedagang-pedagang, dan tempat-tempat hiburan/rekreasi di sepanjang jalan yang melintasi Bopunjur.  Untuk itu diperlukan kebutuhan lahan bagi kegiatan pembangunan tersebut yang pada akhirnya  kebutuhan laahan untuk pembangunan sektor pariwisata, pemukiman, jasa pwerdagangan, pertanian , dll, akhirnya mengarah pada lahan non budidaya atau lindung.

         Kebijakan dan peraturan-peraturan yang mendukung kegiatan pembangunan di kawasan ini masih bersifat sektoral, kebijakan dari Pusat, Propinsi dan dari Kabupaten. Kebijakan menggunakan pendekatan administratif dan tidak ada koordinasi antar stakeholder menyebabkan kerusakan lahan di kawasan Bopunjur terus terjadi.

 

IV.1. Pertanyaannya ?

1. Seberapa jauh besar kerusakan lahan sudah terjadi dan faktor-faktor apa sebenarnya yang menyebabkan kerusakanan lahan tersebut ?

2. Mengapa kerusakan lahan terus terjadi sementara sudah banyak peraturan-peraturan yang mendukung kebijakan pembangunan di kawasan Bopunjur?

 

V.           Analisis

 

V.1.  Jawaban Konsepsional

1.  Data  yang ada belum dapat menyebutkan seberapa besar tingkat kerusakan sudah terjadi di kawasan Bopunjur, data masih terpotong potong tidak lengkap, data berdasarkan pada wilayah administratif di Kabupaten Bogor dan Cianjur.

 

2.   Dari aspek alamnya sendiri kawasan Bopunjur sangat rentan terhadap kerusakan lahan.  Curah hujan yang tinggi (> 3000 mm/thn) dengan kemiringan lereng cukup berat (> 40%) dan tanah peka terhadap erosi, ditambah pemandangan alam yang bagus dan suhu udara yang sejuk          (20-25°C) m, serta mempunyai potensi pariwisata yang tinggi                  (Tabel 2 dan 3).  Semuanya ini menyebabkan potensi kerusakan lahan sangat besar.

 

3.   Perubahan penggunaan lahan  menjadi pemukiman, pariwisata, dan industri di kawasan Bopunjur yang meningkat dari tahun 1995 sampai dengan tahun 1999, sementara luas hutan negara dan perkebunan menurun masing-masing sebesar 0,88 dan 6,28 %, menunjukan terdapat potensi kerusakan lahan (Tabel 1).

 

4.   Fluktuasi debit di DAS Ciliwung Hulu (Tabel 4) belum dapat dijelaskan secara tepat, faktor apa yang menyebabkan , apakah pengaruh dari penutupan lahan atau karena besarnya curah hujan itu sendiri.

 

5.   Meskipun sudah banyak peraturan yang mengatur dan menata kawasan Puncak (butir III.1), namun  kerusakan lahan tetap terjadi (butir 3), hal ini disebabkan karena kebijakan yang memayungi kebanyakan adalah kepress, sementara Keppress tidak mengatur unsur sangsi terhadap pelanggaran yang terjadi pada kawasan yang diatur tersebut.  Unsur penegakan aturan atau hukum baru muncul pada peraturan daerah.  Untuk wilayah Kabupaten Bogor baru ada pada tahun 1993 yaitu yang diatur melalui Perda No. 5/tahun 1993 tentang : RDTR kawasan Puncak serta Perda No. 23 dan 24 /tahun 2000 tentang Retribusi IMB dan Ijin mendirikan bangunan.  Bahkan berdasarkan UU No. 24 / Th.1992 tentang penataan ruang maka Perda No. 5/ Th. 1993 sudah harus direvisi, karena sudah 10 tahun.

 

6.   Sudah ada tindakan pengendalian bangunan  di kawasan Bopunjur yang diatur dalam SK Bupati tentang pembentukan tim penertiban dan pengawasan bangunan di kawasan Pariwisata Puncak seharusnya dapat mengendalikan kerusakan lahan.

7.   Mengkaji butir III.1. dapat dijelaskan bahwa: pertama kebijakan penanganan kawasan Bopunjur masih berdasarkan pada batasan administratif belum pada sistem hidrologis DAS. Kedua,  kebijakan yang mengatur tentang wewenang dan tanggung jawab dalam penanganan kawasan Bopunjur masih bersifat sektoral dari Pusat, Propinsi, dan Kabupaten. (Tabel 5).

 

Tabel 5. Kebijakan penataan ruang yang mengatur pembangunan di Kawasan Bopunjur.

No

Kebijakan Penataan Ruang

Dari Pusat

Dari Propinsi

Dari Kabupaten

1

 

 

Rancangan penataan ruang kawasan Jakarta, Bogor, Tanggerang, Bekasi dan Depok  (Kawasan Jabodetabek)

SK Gubernur KDH TK I Jawa Barat No. 413.12/SK/222-Huk/1991tentang criteria lokasi dan standar teknis penataan ruang di kawasan Puncak.

Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 5/Thn 1993 tentang Rencana Detil Tata Ruang Kawasan Puncak.

2.

Keputusan Presiden No. 48/1983 Jo 79/95 tentang penetapan RUTR kawasan Puncak yang dijabarkan dalam Perda No. 3 tahun 1993 tentang perubahan peraturan Perda No. 3 tahun 1998 tentang RDTR kawasan Puncak.

 

Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 17/2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor

 

3.

UU No. 4/tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman

 

Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 23/2000 tentang Ijin Mendirikan Bangunan

4.

Arahan Kebijakan Keppres 114 tahun 1999 tentang Penataan Masyarakat Kawasan Bopunjur

 

 

Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 23/2000 tentang Retribusi Ijin Mendirikan Bangunan.

5.

Penjabaran Keppres No. 114/1999 Pemerintah Kabupaten Bogor telah menyusun rencana terperinci tata ruang kawasan Bopunjur.

 

Pembentukan Tim dan Pengawasan Bangunan di Kawasan Pariwisata Puncak

 

 

 

 

 

V.2. Jawaban dari stake holder

Tindakan pengendalian pembangunan di kawasan Bopunjur sebagai penjabaran dari perda tahun 1993 sudah dilakukan, namun belum optimal.  Hal ini disebabkan karena :

1.             Kebijakan dan peraturan dari Pusat, Propinsi, dan Kabupaten, juga antar kabupaten Bogor dan Cianjur. Masing-masing mempunyai kepentingan sendiri-sendiri dan tidak ada koordinasi antara stake holder.

2.             Tidak sebandingnya antara pengawas di lapangan dengan luas wilayah pengamatan.

3.             Masih dijadikannya retribusi IMB sebagai elemen penghasil PAD, dimana retribusi IMB terhadap bangunan di kawasan Bopunjur masih relatif besar.  ( Di kabupaten Bogor, hampir 60 % dari total retribusi IMB disumbangkan dari kawasan Puncak).

4.             Kurang tegasnya pengaturan peruntukkan pengendalian pada rencana detil tata ruang / RDTR kawasan Bopunjur

5.             Masih banyak bangunan yang didirikan oleh masyarakat perorangan tanpa mengikuti prosedur perijinan.

6.             Adanya pelanggaran terhadap tanah negara yaitu berupa okuvasi oleh penduduk setempat maupun  dari luar.

 

V.3.  Analisis Kerusakan lahan di Kawasan Bopunjur.

Berdasarkan analisis pada butir V.1 dan V.2 , kerusakan lahan di kawasan Bopunjur disebabkan oleh :

1.   Data  yang ada belum dapat menyebutkan seberapa besar tingkat kerusakan sudah terjadi di kawasan Bopunjur, data masih terpotong potong tidak lengkap, data berdasarkan pada wilayah administratif di Kabupaten Bogor dan Cianjur.

2.   Dari aspek alamnya sendiri kawasan BOPUNJUR sangat rentan terhadap kerusakan lahan.  Curah hujan yang tinggi (> 3000 mm/thn) dengan kemiringan lereng cukup berat (> 40%) dan tanah peka terhadap erosi, ditambah pemandangan alam yang bagus dan suhu udara yang sejuk          (20-25°C) m, serta mempunyai potensi pariwisata yang tinggi              (Tabel 2 dan 3).  Semuanya ini menyebabkan potensi kerusakan lahan sangat besar.

3.       Perubahan penggunaan lahan  menjadi pemukiman, pariwisata, dan industri di kawasan Bopunjur yang meningkat dari tahun 1995 sampai dengan tahun 1999, sementara luas hutan negara dan perkebunan menurun masing-masing sebesar 0,88 dan 6,28 %, menunjukan terdapat potensi kerusakan lahan (Tabel 1). Hal ini disebabkan karena :

·    Masih dijadikannya retribusi IMB sebagai elemen penghasil PAD, dimana retribusi IMB terhadap bangunan di kawasan Bopunjur masih relatif besar.  ( Di kabupaten Bogor, hampir 60 % dari total retribusi IMB disumbangkan dari kawasan Puncak).

·    Kurang tegasnya pengaturan peruntukkan pengendalian pada rencana detil tata ruang / RDTR kawasan Bopunjur.

·    Masih banyak bangunan yang didirikan oleh masyarakat perorangan tanpa mengikuti prosedur perijinan.

·    Adanya pelanggaran terhadap tanah negara yaitu berupa okuvasi oleh penduduk setempat maupun  dari luar.

4.    Fluktuasi debit di DAS Ciliwung Hulu (Tabel 4) belum dapat dijelaskan secara tepat, faktor apa yang menyebabkan , apakah pengaruh dari penutupan lahan atau karena besarnya curah hujan itu sendiri.

5.    Meskipun sudah banyak peraturan yang mengatur dan menata kawasan Puncak (butir III.1), namun  kerusakan lahan tetap terjadi (butir 3), hal ini disebabkan karena kebijakan yang memayungi kebanyakan adalah kepress, sementara Keppress tidak mengatur unsur sangsi terhadap pelanggaran yang terjadi pada kawasan yang diatur tersebut.  Unsur penegakan aturan atau hukum baru muncul pada peraturan daerah.  Untuk wilayah Kabupaten Bogor baru ada pada tahun 1993 yaitu yang diatur melalui Perda No. 3/tahun 1993 tentang : RDTR kawasan Puncak serta Perda No. 23 dan 24 /tahun 2000 tentang Retribusi IMB dan Ijin mendirikan bangunan.  Bahkan berdasarkan UU No. 24 / Th.1992 tentang penataan ruang maka Perda No. 3 / Th. 1993 sudah harus direvisi, karena sudah 10 tahun.

6.    Sudah ada tindakan pengendalian bangunan  di kawasan Bopunjur yang diatur dalam SK Bupati tentang pembentukan tim penertiban dan pengawasan bangunan di kawasan Pariwisata Puncak seharusnya dapat mengendalikan kerusakan lahan. Tetapi tidak sebandingnya antara pengawas di lapangan dengan luas wilayah pengamatan menyebabkan kegiatan pengendalian belum optimal .

7.    Kebijakan penanganan kawasan Bopunjur masih berdasarkan pada batasan administratif belum pada sistem hidrologis DAS.

8.    Kebijakan yang mengatur tentang wewenang dan tanggung jawab dalam penanganan kawasan Bopunjur masih bersifat sektoral dari Pusat, Propinsi dan Kabupaten, juga antar kabupaten Bogor dan Cianjur. Masing-masing mempunyai kepentingan sendiri-sendiri dan tidak ada koordinasi antara stake holder.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Badan Perencanaan Daerah. 2002. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Bogor dalam Pembangunan DAS Ciliwung. Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor.

_______________________. 2002. Konsepsi dan Kinerja Penataan Ruang Kawasan Bopunjur-Jabotabek  Kabupaten Bogor.

Badan Pusat Statistik. 2002. Kabupaten Bogor Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor.

Departemen Kehutanan. 2001. Kriteria dan Indikator Pengelolaan DAS Ciliwung. Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Rehabilitasi dan Perhutanan Sosial. Badan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Citarum Ciliwung. Jakarta.

___________________. 2000. Pengembangan Sistem Insentif Dalam Rangka Rehabilitasi Lahan/Penghijauan di DAS Ciliwung. Kerjasama Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan dengan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

___________________.  2001. Pedoman Penyelengaara Pengelolaan DAS. Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Rehabilitasi dan Perhutanan Sosial Jakarta

Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. 2003. Kaji Ulang Rencana Detil Tata Ruang Kawasan Puncak. Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Direktorat Jenderal Penataan Ruang. Jakarta.

Dinas Cipta Karya. 2002. Upaya Penertiban Bangunan Kawasan Parimeter Puncak. Dinas Cipta Karya Kabupaten Bogor.

Soeriadmadja. 2002. Hubungan Timbal Balik Manusia dan Sungai (dan Danau) : Kasus Pengembangan Sistem Pengelolaan Terpadu Sungai Ciliwung. Cipayung Bogor.