@2003 Nanti Kasih Posted 10 December 2003
Makalah falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana/S3
Institut Pertanian Bogor
Desember 2003
Dosen:
Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto
Subsidi Ekologis Kawasan Taman
Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dalam Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Musi Rawas
Oleh:
Nanti Kasih
P062030141
Pendahuluan
Dalam
Rencana Pembangunan Tahunan 2004 yang disusun oleh Bappenas dijelaskan bahwa
pada saat ini dinamika pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup belum
secara konsisten dijadikan acuan pembangunan sektor-sektor lain dalam rangka
menciptakan keseimbangan antara pemanfaatan sumberdaya alam dan kelestarian
fungsi-fungsi lingkungan hidup yang mengarah pada visi pembangunan
berkelanjutan dan berkeadilan. Sebagian besar pemanfaatan sumberdaya alam hanya
untuk mengejar pertumbuhan ekonomi sehingga lebih banyak diperlakukan untuk
mengejar devisa dan modal pembangunan. Keberlanjutan sumberdaya alam seringkali terabaikan yang menyebabkan
kritisnya ketersediaan sumberdaya alam dan kerusakan lingkungan hidup.
Fakta di
beberapa wilayah Indonesia dan telah terjadi di hampir seluruh negara di dunia
menunjukkan bahwa untuk mencapai suatu tingkat pertumbuhan ekonomi tertentu
ternyata harus mengeluarkan biaya mahal, mengingat fungsi-fungsi ekologis dari
kawasan hutan yang selama ini tidak dimasukkan ke dalam neraca perhitungan rugi
laba, sudah tidak mampu lagi memainkan peranannya akibat proses deforestasi yang cukup tinggi. Sebagai
konsekwensi logisnya adalah pertumbuhan ekonomi di suatu daerah atau negara
tertentu gagal mencapai tingkat stabilitas pertumbuhan ekonomi.
Subsidi
hutan konservasi, sering tidak dihitung dalam bentuk rupiah, padahal nilainya
sangat tinggi (mahal) dan fungsi-fungsi ekologisnya tidak dapat tergantikan.
Sehingga telah mendorong para ahli memasukkan nilai ekologis sumberdaya alam
dan lingkungan ke dalam proses pengambilan keputusan. Bahkan di beberapa negara
maju nilai ekologis tersebut telah diposisikan sebagai modal alam (natural capital) yang harus
diperhiatungkan tingkat depresiasinya dalam setiap perhitungan pertumbuhan
ekonomi suatu wilayah.
Mengambil
konsep pembangunan berkelanjutan, MacKinnon (1993) mengemukakan bahwa kawasan konservasi/ dilindungi (protected areas) tidak ditetapkan untuk
dipisahkan dari arus pembangunan, melainkan merupakan suatu bentuk penggunaan
lahan yang harus melengkapi kawasan sekitarnya apabila kawasan yang dilindungi
ini diharapkan dapat berlanjut.
Anggapan
bahwa pelestarian sebagai perlindungan yang menutup kemungkinan pemanfaatan
sumberdaya harus didefinisi ulang.
Sependapat
dengan hal tersebut di atas, Effendi,dkk. dalam
laporan ICDP TNKS (2001) mengemukakan bahwa keberadaan kawasan yang
dilindungi atau kawasan konservasi seperti halnya Taman Nasional Kerinci Seblat
(TNKS) yang sering disebut peluang ekonomi yang hilang (opportunity cost) harus dikoreksi dengan memberikan peluang-peluang
alternatif pembiayaan pembangunan daerah jangka panjang. Pencabutan nilai
subsidi ekologis kawan konservasi dapat berdanpak buruk dalam jangka panjang
bagi keberlanjutan pembangunan secara lokal. Pilihan-pilihan pembangunan jangka
pendek hanya memberikan manfaat-manfaat ekonomi jangka pendek saja, sedangkan
generasi akan datang masih akan hidup sumur bumi ini. Artinya jika saat ini
kita mampu memberikan suatu jalan keluar alternatif yang tidak merusakn hutan
atau kawasan yang dilindungi untuk memakmurkan masyarakat, maka keberhasilan
ini akan terus diikuti oleh generasi mendatang.
Sebaliknya,
apabila kawasan yang dilindungi, dirancang dan dikelola secara tepat, maka akan
dapat memberikan keuntungan yang lestari bagi masyarakat. Pelestarian memegang
peranan penting dalam pembangunan sosial dan ekonomi di lingkungan di mana kawasan
yang dilindungi atau daerah konservasi berada dan turut menyumbangkan
peningkatan kesejahteraan ekonomi wilayah secara keseluruhan.
Subsidi
ekologis kawasan konservasi atau kawasan lindung secara langsung maupun tidak
langsung juga memberikan kontribusi signifikan dalam menghemat anggaran suatu
daerah atau negara. Artinya, subsidi ekologis kawasan konservasi/lindung dapat
berperan dalam menghambat terjadinya pengeluranan yang tidak perlu dilakukan
oleh suatu daerah atau negara (unproductive
expenditure). Fakta di beberapa wilayah di Indonesia telah membuktikan
bahwa nilai pengeluaran tidak produktif yang harus di keluarkan pemerintah
sering melebihi nilai pendapatan maupun pengeluaran untuk pembangunan daerah
tersebut. Misalnya, terjadinya tanah longsor atau banjir bandang yang
menyebabkan jalan putus, areal pertanian terendam dan gagal panen, kekeringan
yang menyebabkan penurunan produksi pertanian, dan sebagainya. Biaya penanganan
bencana tersebut jelas menurunkan produktifitas suatu daerah yang terpaksa
mengalokasikan sebagian dana pendapatan daerah untuk perbaikan akibat bencana
tersebut.
Salah satu
kawasan konservasi yang mempunyai peranan ekologis sangat tinggi bagi
daerah-daerah yang berbatasan dengannya adalah Taman Nasional Kerinci Seblat
(TNKS), yang terletak di 4 provinsi di Pulau Sumatera.
Taman
Nasional Kerinci Seblat (TNKS) merupakan kawasan konservasi terbesar di
Sumatera dan hampir mewakili semua ekosistem penting yang ada di Indonesia
dan merupakan gabungan dari beberapa
peruntukan hutan, antara lain cagar alam, suaka margasatwa, hutan lindung dan
hutan produksi, serta memiliki keanekaragaman hayati yang unik. Sehubungan
dengan hal tersebut, tulisan ini mencoba untuk menggali mengenai peranan
subsidi ekologi kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) terhadap
pertumbuhan ekonomi wilayah Kabupaten Musi Rawas Propinsi Sumatera Selatan ,
yang sebagian wilayahnya termasuk ke dalam kawasan Taman Nasional Kerinci
Seblat.
Kondisi Umum Taman Nasional
Kerinci Seblat (TNKS)
Pada tahun
1982, Pemerintah Indonesia melalui melalui SK 736/Mentan/X/1982, mengukuhkan
Kawasan Lindung Kerinci Seblat sebagai Taman Nasional dengan luas sekitar
1.368.000 Ha yang membentang di 4 provinsi yaitu: Provinsi Bengkulu (21%),
Jambi (40%), Sumatera Barat (25%) dan Sumatera Selatan (14%) serta berbatasan
dengan 9 kabupaten yaitu : Kerinci, Bungo, Merangin , Solok,
Sawahlunto/Sijunjung, Musi Rawas, Bengkulu Utara, Rejang Lebong dan Pesisir
Selatan, yang terbagi ke dalam 92 kecamatan.
Taman
Nasional Kerinci Seblat (TNKS) mencakup puncak-puncak tertinggi pegunungan
Bukit Barisan. TNKS adalah taman nasional terluas di Sumatera dan mempunyai
peranan yang sangat berarti bagi konservasi baik ditingkat nasional maupun
internasional. TNKS menghubungkan wilayah dataran rendah dengan puncak-puncak
pegunungan dalam satu wilayah cadangan yang berkesinambungan, yang memberikan
nilai ekologi yang tinggi pada wilayah taman. Hampir 85 % dari wilayah taman
digolongkan ke dalam sistem pegunungan. Wilayah pegunungan itu sendiri dipisahkan
oleh sebuah lembah yang panjang, yaitu lembah kerinci. Di situ terdapat lebih
dari 20 wilayah lahan basah, termasuk danau-danau lembah, lahan hutan gambut
dan rawa serta gunung berapi. Danau gunung tujuh (1950 m dpl) adalah Danau
Caldera yang tertinggi di Asia Tenggara. Dengan demikian habitat yang adapun
sangat beragam, dari hutan hujan dipterocarp
dataran rendah, yang sangat kaya spesies, hingga hutan hujan pegunungan dan
hutan alpine gunung berapi “Gunung Kerinci” dengan ketinggian 3805 m (gunung
tertinggi kedua di Indonesia diluar Irian jaya).
Kerinci
Seblat mendukung kehidupan jenis spesies yang sangat beraneka ragam. Menurut
perkiraan, ada lebih dari 4000 spesies tanaman yang tumbuh di kawasan ini,
termasuk bunga terbesar di dunia, Raflesia Arnoldi dan bunga yang tertinggi di
dunia, Amorphophallus sp.
Dari 199
spesies mamalia yang tercatat di Sumatera, 73 % (144 jenis) terdapat di Kerinci
Seblat, termasuk mamalia endemik seperti kijang Sumatera dan jenis tikus
gunung. Di taman ini juga terdapat beberapa jenis spesies yang paling terancam
punah, diantaranya adalah Badak Sumatera, Harimau Sumatera, Gajah dan Tapir.
Selain itu terdapat 180 spesies burung, termasuk 15 jenis yang endemik.
Masyarakat
setempat yang hidup di sekitar taman memiliki kehidupan kebudayaan yang kaya
dan beraneka ragam. Suku bangsa terdiri dari Suku kerinci, Minangkabau, Rejang
dan Ipuh, selain itu juga terdapat imigran dari Jawa yang menetap di Propinsi
Bengkulu dan sekitar perkebunan teh di daerah Gunung Kerinci. Masyarakat setempat
mempunyai hubungan yang erat satu sama lain dan kepercayaan yang tinggi pada
adat istiadat dan kebiasaan setempat.
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang merupakan
gabungan dari beberapa peruntukan hutan antara lain cagar alam, suaka
margasatwa, hutan lindung dan hutan produksi mempunyai keanekaragaman hayati (biodiversity) yang melimpah. Berdasarkan
laporan ICDP-TNKS (2001) bahwa tidak kurang dari 30 % keanekaragaman hayati
Indonesia dapat dijumpaindi taman nasional ini.
Keanekaragaman
hayati tersebut dapat dilihat berdasarkan klasifikasi hutan TNKS menurut
Loumonier (1994) dalam ICDP-TNKS yaitu hutan dataran rendah (lowland forest), hutan bukit (hill forest), hutan sub-montana (sub-montane forest), hutan montana
rendah (lower montane forest), hutan
montana sedang (mid-montane forest),
hutan montana tinggi (high-montane forest)
dan padang rumput sub-alpine (sub-alpine
thicket). (Laporan ICDP-TNKS).
Keberadaan
TNKS yang merupakan salah satu hutan hujan tropis yang tersisa dan terpenting
peranan ekologisnya di Pulau Sumatera, selama ini telah memberikan berbagai
manfaat terutama manfaat ekologis bagi perekonomian daerah yang berbatasan
dengannya. Untuk menjadi dasar dan sumber informasi bagi para pengambil
kebijakan, peranan ekologis tersebut perlu dijelaskan baik secara kualitatif
maupun kuantitatif, sehingga keberadaan TNKS sebagai aset produktif
perekonomian lokal, regional dan bahkan internasional tidak lagi dianggap
sebagai pembatas dan penghambat untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi dan
penguatan fiskal daerah terutama dalam kaitannya dengan desentralisasi
pembangunan dan pelaksanaan otonomi daerah.(Laporan ICDP-TNKS,2001).
Peranan TNKS terhadap pertumbuhan ekonomi
(Kasus: Kabupaten Musi Rawas)
Salah satu
indikator keberhasilan pembangunan yang penting bagi kabupaten adalah
pertumbuhan ekonomi dan nilai Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) yang tinggi. Indikator-indikator ekonomi lainnya
seperti pemerataan pendapatan, tingkat pendidikan serta kualitas sumber daya
manusia dan usia harapan hidup sangat tergantung kepada dan memerlukan nilai
PDRB yang memadai sebagai prasyarat. Selain itu nilai PDRB berdasarkan harga
konstan menggambarkan daya beli dan kualitas hidup masyarakat. Berarti
pertumbuhan PDRB yang tinggi atas dasar harga konstan tahun tertentu
mengindikasikan peningkatan kesejahteraan masyarakat daerahtersebut. Karena itu
usaha-usaha pemerintah dan masyrakat daerah tersebut, untuk mengoptimalkan seluruh potensi ekonomi
dalam rangka meningkatkan PDRB merupakan suatu hal yang wajar.
Lalu alternatif
mana yang akan dipilih antara mengeksploitasi potensi ekonomi TNKS berupa nilai
kayu komersil atau mempertahankan keberadaannya ? Dalam jangka pendek
eksploitasi kayu jelas akan memperoleh pertambahan pendapatan daerah dari nilai
kayu tersebut. Di sisi lain, taman nasional tidak akan dapat lagi memberikan
fungsi ekologisnya yang selama ini memberikan dukungan yang signifikan terhadap
perekonomian daerah.
Fungsi
ekologis TNKS sebagai pengendali tata air, pengatur iklim dan mendukung
kesuburan tanah memiliki arti penting bagi perekonomian 9 kabupaten yang
berbatasan dengannya. Keterkaitan antara perekonomian daerah dengan keberadaan
dan fungsi ekologis yang diberikan TNKS dapat dilihat pada gambar berikut:
Sektor
ekonomi yang memberikan kontribusi terbesar dalam PDRB daerah yang berbatasan
dengan TNKS adalah sektor pertanian, artinya dalam konteks sektor pertanian
sebagai sektor perekonomian dominan inilah arti penting keberadaan TNKS.
Hilangnya fungsi ekologis akan menyebabkan kebutuhan terhadap air, iklim yang
cocok dan kesuburan lahan tidak dapat terpenuhi. Apabila TNKS mengalami
kerusakan, proses produksi dalam sektor pertanian akan terganggu. Dengan
posisinya sebagai sektor perekonomian yang dominan, penurunan jumlah dan nilai
produksi sektor pertanian akan menyebabkan perlambatan pertumbuhan PDRB daerah
sekitar TNKS. Dengan demikian ketergantungan perekonomian 9 kabupaten yang
berbatasan dengan TNKS terhadap keberadaan taman nasional sangat ditentukan
oleh kontribusi sektor pertanian yang besar terhadap PDRB.
Berdasarkan laporan ICDP-TNKS Komponen A (Park Management) memperlihatkan bahwa 9
kabupaten yang berbatasan dengan TNKS menunjukkan bahwa sektor pertanian secara
keseluruhan berkontribusi sebesar 39,8 persen. Jika dilihat klasifikasi
komoditas utama dari 9 kabupaten tersebut meliputi sekor pertanian dengan
subsektor tanaman bahan makanan, subsektor perikanan dan peternakan, subsektor
perkebunan dan subsektor kehutanan. Komoditas utama pada subsektor pertanian tanaman
pangan berupa padi, ubi kayu, jagung, ketela rambat, tanaman palawija,
sayur-sayuran dan buah-buahan. Sementara pada subsektor perkebunan terdiri dari
perkebunan rakyat dengan komoditas yang dihasilkan berupa karet, kopi, kelapa
sawit dan kayu manis.
Sedangkan
subsektor peternakan mencakup ternak besar berupa kerbau, sapi, kambing, domba
dan unggas berupa ayam pedaging, itik, dan lain-lain. Selanjutnya subsektor
perikanan meliputi semua usaha perikanan, baik di perairan umum maupun
pengusahaan ikan tambak dan ikan air kolam deras.
Perbedaan
tingkat ketergantungan terhadap TNKS antara satu sektor perekonomian dengan
sektor perekonomian lainnya berkaitan erat dengan fungsi ekologis TNKS, yang
tentunya memiliki pengaruh yang berbeda-beda untuk tiap sektor ekonomi. Secara
umum, fungsi ekologis taman nasional antara lain sebagai pengendali tata air
serta pengatur iklim yang alami sangat dibutuhkan oleh sektor pertanian. Karena
itu semakin besar kontibusi sektor pertanian terhadap PDRB suatu daerah,
kebutuhan daerah tersebut terhadap keberadaan dan manfaat yang diberikan TNKS
akan semakin besar juga.
Dari data
laporan Bappeda dan Kantor Statistik Kabupaten Musi Rawas terlihat bahwa
perekonomian di Kabupaten Musi Rawas masih didominasi oleh sektor pertanian,
artinya Kabupaten Musi Rawas sampai saat ini masih sangat tergantung secara
signifikan terhadap keberadaan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
Tabel 1. Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Musi
Rawas
ADH Konstan Tahun 1993 (dalam %)
|
Lapangan Usaha |
2000 |
2001 |
1 |
Pertanian |
38.58 |
38.99 |
2 |
Pertambangan dan
Galian |
32.73 |
32.02 |
3 |
Industri pengolahan |
9.11 |
9.27 |
4 |
Listrik, Gas dan Air Bersih |
0.02 |
0.03 |
5 |
Bangunan |
4.31 |
4.52 |
6 |
Perdagangan,Hotel & Restoran |
7.46 |
7.22 |
7 |
Pengangkutan dan
Komunikasi |
0.91 |
1.07 |
8 |
Keuangan Sewa dan Jasa Perusahaan |
1.01 |
1.19 |
9 |
Jasa-Jasa |
5.87 |
5.70 |
|
|
100 |
100 |
Sumber : Kantor Statistik Kabupaten Musi Rawas, 2000
Kontribusi
sektor pertanian terhadap PDRB Kabupaten Musi Rawas masih sangat signifikan,
seperti yang terlihat pada tabel 1 yang menyajikan data distribusi sektoral
PDRB Kabupaten Musi Rawas atas dasar harga konstan. Kontribusi sektor pertanian
terhadap pembentukan PDRB mencapai 38 %. Artinya, jika TNKS mengalami
kerusakan, maka akan mengakibatkan hilangnya nilai produksi pertanian dalam
jumlah besar, yang akhirnya akan menurunkan nilai PDRB dan memperlemah kinerja
perekonomian kabupaten secara keseluruhan.
Tabel 2. Nilai sub sektor Pertanian Kabupaten Musi
Rawas ADH Berlaku
Sektor PDRB |
2001 (Juta) |
I. Pertanian |
713,371 |
a. Tanaman Bhn Makanan
|
221,300 |
b. Tanaman Perkebunan |
346,081 |
c. Peternakan |
62,496 |
d. Perikanan |
44,869 |
Ket: Belum termasuk nilai
Kehutanan |
|
Sumber : Kantor Statistik Kabupaten Musi Rawas, 2000
Selanjutnya
seperti tersaji pada tabel 2 pada tahun 2001 sektor pertanian memberikan
kontribusi terhadap total PDRB Kabupaten Musi Rawas sebesar
Rp. 713,371 milyar. Dari nilai sebesar itu, tanaman perkebunan merupakan
subsektor paling dominan dengan memberikan kontribusi sebesar Rp. 346,081
milyar. Usaha dari subsektor perkebunan meliputi tanaman perkebunan rakyat dan
perkebunan besar. Selanjutnya diikuti oleh subsektor Tanaman Bahan makanan yang
menyumbang sebesar Rp. 221,3 milyar, dengan komoditi berupa padi, jagung, kedelai,
kacang tanah, ubi kayu, buah-buahan dan sayur-sayuran.
Selanjutnya Subsektor Peternakan meliputi berbagai usaha
ternak besar dan kecil (seperti unggas) menyumbang sebesar Rp. 62.496 milyar
dan subsektor Perikanan yang meliputi usaha penangkapan, pengambilan maupun
pemeliharaan segala jenis ikan baik di paerairan umum maupun ikan tambak
menyumbang sebesar Rp. 44,869 milyar.
Selanjutnya akan dilihat sekilas seberapa besar
ketergantungan Sektor Pertanian terhadap TNKS berdasarkan analisis yang
dilakukan oleh Park Management ICDP-TNKS bekerjasama dengan Greenomics (2001).
Ketergantungan ini berhubungan dengan fungsi ekologis hutan TNKS di antaranya
sebagai sumber dan pengatur tata air serta pengatur iklim yang sangat besar
artinya bagi sektor pertanian di Kabupaten Musi Rawas.
Dalam laporan tersebut dihasilkan bahwa apabila skenario
ketergantungan yang tinggi digunakan, dengan hilangnya manfaat TNKS dalam jangka sepuluh tahun, maka masyarakat dan
pemerintah Kabupaten Musi Rawas akan kehilangan nilai output dari sektor
pertanian sebesar Rp 1,94 trilyun (nilai sekarang), yang meliputi subsektor
tanaman bahan makanan, subsektor perkebunan, peternakan dan perikanan.
Sebaliknya apabila keberadaan TNKS dipertahankan,
dukungan ekologis yang diperlukan oleh sektor pertanian dapat terus diperoleh
secara berkesinambungan. Dengan demikian merupakan suatu hal yang tidak dapat
dibantah lagi bahwa dalam jangka waktu yang lebih lama, eksploitasi kayu taman
nasional atau pengrusakan jenis lain akan menyebabkan penurunan pertumbuhan
ekonomi daerah ini.
Peranan TNKS terhadap Penghematan APBD Kabupaten
Terdapat kekeliruan pandangan umum selama ini mengenai
keberadaan dan peranan TNKS, dimana taman nasional dianggap sebagai potensi
ekonomi yang hilang dan tidak dapat dimanfaatkan. Pelestarian keberadaan TNKS
sering diyakini menghambat pertumbuhan ekonomi daerah yang berbatasan
dengannya. Memang dengan keharusan melakukan konservasi terhadap TNKS, kayu komersial
tidak dapat dieksploitasi dan ini berarti potensi pendapatan masyarakat dan
pemerintah dari eksploitasi kayu komersial akan hilang.
Namun perlu
diperhatikan bahwa selain memiliki nilai kayu komersial, TNKS juga dapat
memberikan fungsi ekologis atau produk hutan non kayu dan mempunyai nilai
keanekaragaman hayati. Ketiga manfaat TNKS ini tidak bisa didapatkan secara
bersama-sama, dalam pengertian jika pemerintah daerah mengeksploitasi kayu
komersial maka manfaat lain yaitu keanekaragaman hayati dan fungsi
ekologis/produk hutan non kayu tidak dapat diperoleh oleh pemerintah dan
masyarakat.
Dampak hilangnya fungsi ekologis TNKS berarti hilangnya
kemampuan TNKS mengatur tata air dan iklim kawasan sekitar, sehingga akan
menyebabkan peningkatan resiko terjadinya bencana alam seperti banjir dan tanah
longsor. Kebutuhan biaya pemulihan bencana akan mengalihkan pengalokasian dana
dari investasi di sektor-sektor produktif kepada usaha pemulihan bencana. Bagi
masyarakat, dana yang seharusnya digunakan untuk investasi usaha, perbaikan
kualitas tempat tinggal, peningkatan
gizi keluarga dan pembiayaan pendidikan, akan beralih pengalokasiannya kepada
aktifitas renovasi kerusakan dan kerugian yang diakibatkan bencana alam. Dampak
tersebut akan semakin terasa merupakan beban berat bagi masyarakat golongan
ekonomi lemah.
Hal yang sama juga akan dialami oleh pemerintah daerah
yang berbatasan dengan TNKS. Terjadinya bencana alam akibat kerusakan TNKS akan
sangat membebani sekaligus memboroskan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD). Pemborosan dan beban yang berat pada APBD tersebut mencakup dua
permasalahan. Pertama, akan terjadi perubahan alokasi belanja dari
sektor-sektor ekonomi yang produktif kepada biaya pemulihan pasca bencana.
Kedua, Pemerintah akan menemui kesulitan untuk mendapatkan sumber biaya
pemulihan bencana.
Apabila terjadi bencana alam, pemerintah daerah
kemungkinan besar terpaksa mengalihkan alokasi belanja dari pengeluaran
pembangunan kepada usaha-usaha pemulihan bencana. Efek negatif dari bencana alam akan lebih besar lagi
apabila dilihat dalam konteks yang lebih luas dan dalam jangka waktu yang lebih
lama. Terjadinya bencana tidak hanya akan mengganggu sektor perekonomian yang
terkena akibat langsung seperti sektor pertanian, tetapi juga sektor-sektor
ekonomi lainnya seperti sektor perdagangan, hotel restoran, sektor industri
pengolahan dan jasa-jasa. Masyarakat
harus mengalokasikan pendapatannya untuk pemulihan serta renovasi aset
pribadi dan mungkin kehilangan sebagian pendapatannya, sehingga permintaan
terhadap komoditas baik barang maupun jasa yang dihasilkan sektor perekonomian
akan menurun. Multiplier effect ini akan terus terjadi selama tidak ada
pemulihan dan intervensi pemerintah yang tentunya juga akan mengeluarkan biaya
tinggi. Pada akhirnya, komponan APBD yang terkena dampak tidak hanya pada
pendapatan tetapi juga pada komponen pengeluaran.
Kerugian
lain yang diakibatkan hilangnya fungsi ekologis TNKS adalah peningkatan biaya
produksi pada industri yang membutuhkan air dalam jumlah besar dan juga
peningkatan biaya hidup rumah tangga. Apabila TNKS yang sudah rusak tidak dapat
lagi memberikan fungsinya sebagai sumber
dan pengatur tata air, biaya untuk kebutuhan air bersih dan sumber tenaga
listrik menjadi mahal. Alternatif lain dengan membangun sistem tata air buatan
(artifisial) yang sudah pasti akan membutuhkan biaya yang besar dan akan
memboroskan APBD . Lebih jauh lagi apabila dikaitkan dengan pertumbuhan
ekonomi, tingginya biaya produksi dalam industri dan meningkatnya biaya hidup masyarakat
akan menimbulkan kelesuan dalam perekonomian daerah.
Penghematan APBD Kabupaten Musi Rawas
Dari
keseluruhan luas TNKS, sekitar 208.000 hektare diantaranya berada di Kabupaten
Musi Rawas. Pandangan yang tidak lengkap (Comprehensive)
terhadap manfaat taman nasional akan melahirkan pandangan yang salah mengenai
keberadaan TNKS. Merupakan suatu kenyataan bahwa taman nasional memiliki
manfaat lain yang jauh lebih besar dibandingkan manfaat kayu. Manfaat tersebut
tidak akan bisa diperoleh apabila fungsi kayu digunakan dan TNKS mengalami kerusakan. Berdasarkan laporan
ICDP-TNKS nilai ekologis hutan bernilai konstan empat kali lebih besar
dibandingkan dengan penerimaan dari kayu komersial. Dari prediksi yang dilakukan
diperoleh bahwa fungsi ekologis/produk hutan non kayu (NTFP) akan bernilai
sebesar Rp. 1,44 trilyun pertahun dan nilai keanekaragaman hayati bernilai Rp.
723,48 milyard pertahun sama dengan dua kali penerimaan dari kayu komersial
yang diekploitasi. Atau dapat menghemat Rp. 2,02 trilyun pertahun, atau Rp.
12,45 trilyun selama 10 tahun dan tingkat diskonto 10 %.
Namun, jika
masyarakat dan pemerintah daerah melakukan hal yang sebaliknya, yaitu apabila
kayu komersial di taman nasional justru di eksploitasi, maka nilai bersih
konstan per tahun eksploitasi kayu komersial bernilai negatif sebesar Rp. 2,02
trilyun. Apabila dilakukan eksploitasi kayu selama 10 tahun, maka nilai
kerugian sebesar Rp. 12,45 trilyun.
Dampak buruk
hilangnya nilai fungsi ekologis dan nilai keanekaragaman hayati tidak hanya berupa
pengurangan penerimaan tetapi juga bisa berarti peningkatan pengeluaran
masyarakat dan pemerintah. Sebagai contoh adalah dukungan taman nasional
sebagai sumber air bagi irigasi dan sumber air minum. Meskipun kontribusi
sektor listrik dan air bersih terhadap PDRB Kabupaten Musi Rawas relatif kecil,
namun multiplier effect terhadap
sektor ekonomi lainnya sangat signifikan terutama sektor pertanian. Sehingga
dengan rusaknya TNKS jelas akan membebankan APBD Kabupaten Musi Rawas.
Kerusakan
TNKS juga akan melahirkan resiko terjadinya bencana alam yang tinggi seperti
banjir dan tanah longsor. Untuk melakukan pemulihan pasca bencana alam,
diperlukan biaya dalam jumlah besar yang harus dipikul oleh pemerintah dan
mansyarakat. Bagi pemerintah berarti harus ada perubahan alokasi belanja daerah
dari aktifitas yang produktif menjadi aktifitas pemulihan atau perbaikan.
Sedangkan bagi masyarakat, pendapatan yang seharusnya digunakan untuk investasi
atau konsumsi maka harus dialihkan ke renovasi atau perbaikan dan kehilangan
kepemilikan lainnya. Dampak hal tersebut bukan hanya menimbulkan meningkatnya
pengeluaran pembangunan tetapi juga menyebabkan perlambatan pertumbuhan atau
bahkan terjadi kemandekan (stagnasi) ekonomi.
Berdasarkan
ilustrasi yang lakukan oleh ICDP-TNKS (2001) bahwa jika terjadi satu kali
banjir yang mengakibatkan jalan putus dan terendamnya areal pertanian, maka
Kabupaten Musi Rawas mengalami kerugian sebesar Rp 9,5 milyar. Nilai ini
merupakan akumulasi dari biaya penanggulangan banjir sebesar Rp 4 milyar,
kerugian akibat tanah longsor sebesar Rp 5 milyar dan kerugian pertanian
sebesar Rp 500 juta.
Jumlah
kerugian yang ditanggung tersebut mencakup dampak yang ditimbulkan dalam bentuk
terganggunya aktifitas perekonomian seperti
terhambatnya arus barang dan mobilitas untuk aktifitas lainnya. Jika
efek berganda ikut diperhitungkan, nilai kerugian jauh lebih besar. Hal ini
disebabkan penurunan permintaan barang dan jasa akibat terganggunya kegiatan
ekonomi dan efek penurunan pendapatan serta pengalihan alokasinya mempengaruhi
seluruh sektor perekonomian bahkan terhadap lapangan usaha yang tidak secara
langsung terkena dampak bencana. Sebagai contoh terhadap jasa-jasa dan
perdagangan akan menurun karena pendapatan digunakan untuk usaha pemulihan atau
hilang akibat bencana alam.
Penutup
Nilai ekonomi subsidi ekologis TNKS merupakan kontribusi
nyata baik dalam memperkuat pertumbuhan ekonomi kabuopaten yang berbatasan
dengan TNKS maupun wilayah lain yang secara ekologis cukup tergantung terhadap
keberadaan kawasan konservasi tersebut sebagai penyangga ekosistem alam. Melalui pembahasan di atas dapat disimpulkan
bahwa keberadaan TNKS penting sekali untuk mendukung perekonomian Kabupaten
Musi Rawas. Eksploitasi kayu TNKS yang menyebabkan hilangnya fungsi ekologis
dan keanekaragaman hayati yang tekah diberikan selama ini akan menyebabkan
terganggu dan berkurangnya produksi sektor pertanian yang merupakan sektor
dominan di Kabupaten Musi Rawas. Dampak selanjutnya pertumbuhan PDRB Kabupaten
Musi Rawas akan terhambat yang memiliki efek buruk yang lebih luas lagi bagi
perekonomian dan masyarakat daerah ini. Selain itu, apabila dianalisis secara
menyeluruh dengan menghitung fungsi ekologis dan keanekaragaman hayati yang
hilang
Selain itu, subsidi ekologis TNKS baik secara langsung
maupun telah menciptakan efisiensi APBD dengan tidak memerlukan suatu anggaran
khusus untuk menyediakan fasilitas-fasilitas ekologis sebagai kebutuhan utama
dalam mendorong kegiatan perekonomian masyarakat, terutama sektor pertanian.
Proses penghematan ini sungguh berarti dan signifikan kontribusinya dalam
menciptakan suatu sistem pembiayaan kabupaten yang lebih berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Brown,R.L,dkk. 1995. Masa Depan Bumi (Penerjemah:
Hernoyo). Yayasan Obor Indonesia.Jakarta.
------------- Bappeda dan BPS
Kabupaten Musi Rawas.2001. Buku PDRB Kabupaten Musi Rawas tahun 2001.
Effendi, Elfian.dkk. 2001. Subsidi
Ekologis Taman Nasional Kerinci Seblat. Memperkuat Pertumbuhan Ekonomi dan
menciptakan efisiensi APBD Kabupaten. Laporan ICDP-TNKS – Park Management
Component A. Greenomics.Indonesia.
Iskandar,Johan.2001. Manusia Budaya
dan Lingkungan: Kajian Ekologi Manusia. Humaniora Utama Press. Bandung.
MacKinnon,K., John. Child, Graham.
Thorsell,J.1993. Pengelolaan Kawasan yang di lindungi di daerah tropika. Gajah
Mada University Press.Yogyakarta.
Pradono.1994. Perencanaan
Pengembangan Wilayah dan Otonomi di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional :
Perencanaan Pengembangan Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II dalam Rangka
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia, Bandung, 6 – 7 Des 1994. Jurusan
Teknik Planologi – FTSP – ITB.GTZ.
Republik Indonesia. 2003. Rencana
Pembangunan Tahunan (REPETA) Tahun 2004. DPR-RI dan Bappenas.
Soemarwoto,O.2001. Atur-Diri-Sendiri: Paradigma
Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pembangunan Ramah Lingkungan berpihak pada
Rakyat, Ekonomis, Berkelanjutan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
-------------- Ministry of Home Affairs.1999.
Interprovincial Spatial Plan-ICDP-TNKS. Final Report.Geosys Intipranti.Pt.