©
2003 M. Anang Firmansyah Posted
Makalah Individu
Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Program Pascasarjana / S3
Institut Pertanian
Npvember 2003
Dosen:
Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (penanggung jawab)
Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto
RESILIENSI TANAH
TERDEGRADASI
Oleh:
M. Anang Firmansyah
Abstrak
Degradasi tanah di lingkungan
tropika cukup besar bila ditinjau dari faktor pembentuk tanah dan akibat
aktivitas manusia dalam pengelolaan lahan yang tidak sesuai kaidah konservasi
lingkungan. Faktor degradasi tanah dan proses terjadinya
degradasi tanah mutlak untuk dikenali sehingga upaya rehabilitasi tanah
terdegradasi dapat dilakukan dengan tepat sesuai kerusakan spesifik tanah
terdegradasi. Rehabilitasi
tanah terdegradasi dapat dilakukan dengan pemberian amelioran, bahan organik
merupakan salah satu upaya yang dapat ditempuh yang cukup murah dan dapat
dilakukan di tingkat usahatani.
Rehabilitasi tanah terdegradasi merupakan upaya memperpendek tercapainya
resiliensi sifat fisik, kimia dan biologi tanah, yaitu kondisi tanah semula
sebelum terjadi proses degradasi. Rehabilitas juga berdampak meningkatkan produktivitas tanah
terdegradasi sehingga mampu mendukung sistem usahatani.
Kata
Kunci: degradasi,
tanah, resiliensi, rehabilitasi
PENDAHULUAN
Tanah–tanah lahan kering tropika basah seperti di pulau-pulau besar luar Pulau Jawa merupakan tanah yang rentan degradasi, selain disebabkan faktor alami juga akibat campur tangan manusia. Namun akhir-akhir ini Pulau jawa tidaj kalah intensifnya degradasi tanah, ditandai dengan kondisi banjir saat musim hujan dan kekeringan cukup parah saat musim kemarau. Hal itu menunjukkan bahwa tanah tidak mampu lagi mengatur kelembaban, sehingga cepat mengering dan jenuh bila kondisi curah hujan berubah. Definisi degradasi tanah cukup banyak diungkapkan para pakar tanah, namun kesemuanya menunjukkan penurunan atau memburuknya sifat-sifat tanah apabila dibandingkan dengan tanah tidak terdegradasi. Degradasi tanah menurut FAO (1977) adalah hasil satu atau lebih proses terjadinya penurunan kemampuan tanah secara aktual maupun potensial untuk memproduksi barang dan jasa. Definisi tersebut menunjukkan pengertian umum dengan cakupan luas tidak hanya berkaitan dengan pertanian; definisi yang terkait erat dengan pertanian atau produksi tanaman dikemukakan oleh Arsyad (1989) yang menyamakan antara degradasi tanah dengan kerusakan tanah yaitu hilang atau menurunnya fungsi tanah sebagai matrik tempat akar tanaman berjangkar dan air tanah tersimpan, tempat unsur hara dan air ditambahkan.
Makalah ini bertujuan untuk memahami faktor-faktor terjadinya degradasi tanah, proses dan karakteristik tanah terdegradasi, serta upaya memperpendek tercapainya resiliensi melalui upaya rehabilitasi tanah terdegradasi.
FAKTOR-FAKTOR DEGRADASI TANAH
Faktor degradasi tanah umumnya terbagi 2
jenis yaitu akibat faktor alami dan akibat faktor campur tangan manusia.
Menurut Barrow (1991) faktor alami penyebab degradasi tanah antara lain: areal
berlereng curam, tanah mudah rusak, curah hujan intensif, dan lain-lain. Faktor degradasi tanah akibat campur tangan
manusia baik langsung maupun tidak langsung lebih mendominasi dibandingkan
faktor alami, antara lain: perubahan populasi, marjinalisasi penduduk, kemiskinan
penduduk, masalah kepemilikan lahan, ketidakstabilan politik dan kesalahan
pengelolaan, kondisi sosial dan ekonomi, masalah kesehatan, dan pengembangan
pertanian yang tidak tepat. Oldeman
(1994) menyatakan
Umumnya telah sepakat bahwa faktor-faktor penyebab degradasi baik secara alami maupun campur tangan manusia menimbulkan kerusakan dan menurunnya produktivitas tanah. Pada sistem usahatani tebas dan bakar atau perladangan berpindah masih tergantung pada lama waktu bera agar tergolong sistem usaha yang berkelanjutan secara ekologis. Secara khusus disebutkan bahwa sistem tersebut pada beberapa daerah marjinal dan tekanan populasi terhadap lahan cukup tinggi, kebutuhan ekonomi makin meningkat mengakibatkan masa bera makin singkat sangat merusak dan menyebabkan degradasi tanah dan lingkungan (Lal, 1986). Lahjie (1989) menyatakan kondisi tanah menentukan lamanya masa bera, pada tanah subur di Datah Bilang Kabupaten Kutai maka jekau betiq muda (vegetasi Ć 10 cm) dicapai pada umur 4 tahun, sedangkan pada tanah kurang subur seperti di Long Urug Kabupaten Bulungan dicapai pada umur 8 tahun. Ahn (1993) menyatakan masa bera telah memendek dari masa bera umumnya yaitu lebih dari 10 – 20 tahun. Von Vexkul (1996) menyatakan bahwa lama masa bera yang berkelanjutan dalam banyak kasus telah menurun kurang dari 5 tahun. Berdasarkan hasil kajian diatas patokan masa bera yang berkelanjutan tergantung juga kepada kondisi kesuburan tanah, pada tanah ladang yang subur maka masa bera lebih pendek dibandingkan tanah ladang tidak subur. Driessen et al., (1976) menyatakan bahwa pada tanah ladang Podzolik di Tamiyang Layang Kalimantan Tengah mengalami penurunan produktivitas mula-mula disebabkan memburuknya morfologi, sifat fisik dan sifat kimia tanah. Namun setelah 5 tahun penggunaan tanah penurunan produktivitas disebabkan karena slaking sehingga terjadi erosi , menyebabkan tanah kehilangan lapisan atas yang umumnya mengandung lebih dari 80% unsur hara di dalam profil tanah. Hal tersebut sejalan dengan penelitian McAlister et al., (1998) bahwa setelah 5 tahun sejak pembakaran maka konsentrasi unsur hara menurun, persentase Al tinggi dan persentase kejenuhan basa rendah di subsoil setelah 2 – 5 tahun pembakaran. Tanah menjadi subyek erosi, subsoil menjadi media tumbuh tanaman, dan tingginya tingginya konsentrasi Al pada tingkat meracun serta rendahnya kejenuhan basa mendorong penurunan produksi tanaman.
Pengaruh antropogenik terhadap degradasi tanah akan sangat tinggi apabila tanah diusahakan bukan untuk non pertanian. Perhitungan kehilangan tanah yang ditambang untuk pembuatan bata merah sangat besar. Manik dkk (1997) menghitung kehilangan tanah akibat pembuatan bata merah di Bandar Lampung sekitar 4.510,4 Mg ha-1 yang merupakan 201,4 kali lebih besar dari erosi rata-rata. Hidayati (2000) menyatakan akibat penimbunan permukaan tanah dengan tanah galian sumur tambang emas di Sukabumi mengakibatkan penurunan status hara, menurunkan populasi mikroba dan artropoda tanah, dan merubah iklim mikro.
Laju deforestrasi di
Kebakaran hutan seringkali
terjadi, data menunjukkan bahwa luas kebakaran hutan di
KARAKTERISASI TANAH TERDEGRADASI
Karakteristik tanah terdegradasi umumnya diukur dengan membandingkan dengan tanah non terdegradasi yaitu tanah hutan. Pembandingan tanah hutan sebagai tanah non terdegradasi karena memiliki siklus tertutup artinya semua unsur hara di dalam sistem tanah hutan berputar dan sangat sedikit yang hilang atau keluar dari sistem siklus hutan. Sedangkan selain tanah hutan merupakan sistem terbuka dimana siklus hara dapat hilang dari sistem tersebut. Penurunan sifat pada tanah untuk penggunaan non hutan akan menunjukkan memburuknya sifat-sifat tanah. Handayani (1999) menyatakan bahwa tanah Ultisol Bengkulu di vegetasi hutan habis tebang 4 bulan dan tanah pertanian yang diusahakan 3 tahun terjadi penurunan kemampuan menyediakan N anorganik sebesar 12 - 13% dibandingkan tanah hutan. Selain itu terjadi penurunan intensitas mineralisasi N pada lahan pertanian sebesar 39% pada kedalaman tanah 0 – 10 cm. Hal ini menunjukkan bahwa tanah hutan mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan tanah pertanian. Konversi penggunaan lahan hutan ke pertanian telah menyebabkan degradasi pada siklus N akibat rendahnya sumber pool N-labil.
Penelitian lain yang membandingkan tanah hutan (non terdegradasi) dan alang-alang serta lahan tebu (terdegradasi) dilakukan di Lampung Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan N total tanah hutan lebih tinggi daripada tanah alang-alang dan kebun tebu masing-masing 0,26, 0,17, 0,16%. Hasil KTK pun menunjukkan kecenderungan sama dimana tanah hutan tertinggi sebesar 7,15 me 100g-1, lahan alang-alang sebesar 6,37 me 100g-1 dan kebun tebu sebesar 4,66 me 100g-1. Proses pencucian ternyata intensif di tanah alang-alang terlihat dari ketebalan horison E sebesar 40 cm, sedangkan hutan sebesar 30 cm, sedangkan kebun tebu hanya 20 cm diakibatkan pengolahan tanah dalam (Armanto, 2001).
PROSES DEGRADASI TANAH
KLASIFIKASI TANAH TERDEGRADASI
Klasifikasi tanah terdegradasi cukup banyak dimunculkan diantaranya adalah GLASOD (Globall Assessmen of Soil Degradation), suatu proyek yang dirancang UNEP (United Nations Environment Programme) yang dikoordinir olrh ISRIC (International Soil Reference and Information Centre) bekerjasama dengan ISSS (International Soil Society of Soil Science). The Winand Staring Centre for Integrated Land, Soil and Water Research (SC/DLO), and Food and Agricultural Organization (FAO). Klasifikasi GLASOD didasarkan atas keseimbangan antara kekuatan rusak iklim dan resisensi alami kelerengan terhadap kekutan merusak akibat intervensi manusia, sehingga dihasilkan penurunan kapasitas tanah saat ini atau kedepan untuk mendukung kehidupan manusia. Tipe degradasi tanah terbagi 2 macam, pertama berhubungan dengan displasemen bahan tanah yang terdiri dari erosi air (hilangnya top soil dan deformasi lereng) dan erosi angin (hilangnya top soil, deformasi lereng, dan overblowing). Kedua berdasarkan deteroriasi in situ terdiri dari degradasi kimia (hilangnya unsur hara/ bahan organik, salinisasi, acidifikasi, dan polusi), dan degradasi fisik (kompaksi, crusting , sealing, banjir, subsiden bahan organik). Derajat tipe degradasi terbagi menjadi rendah sedang, kuat dan ekstrim, dengan faktor penyebab adalah deforestasi, overgrazing, kesalahan pengelolaan pertanian, eksploitasi berlebihan, dan aktivitas industri (Oldeman, 1994)
Menurut Eswaran et al., (2001) klasifikasi tersebut lebih banyak berdasarkan faktor iklim dan penggunaan lahan daripada kondisi lahan aktual atau saat in.
DAMPAK DEGRADASI TANAH TERHADAP PRODUKTIVITAS
Degradasi tanah berdampak terhadap peurunan produktivitas tanah. Kehilangan produktivitas dicirikan terjadinya erosi akibat tanah terdegradasi diperkirakan 272 juta Mg pangan dunia hilang berdasarkan tingkat produksi tahun 1996 (Lal, 2000). Tanah yang mengalami kerusakan sifat fisik, kimia dan biologi memiliki pengaruh terhadap penurunan produksi padi mencapai 22% pada lahan semi kritis, 32% pada lahan kritis, dan 38% pada sangat kritis; sedangkan untuk kacang tanah mengalami penurunan 9%, 46%, 58% masing-masing pada tanah semi kritis, kritis, dan sangat kritis. Sifat tanah yang berkorelasi nyata terhadap produksi padi adalah kedalaman solum, kandungan bahan organik. P2O5 tersedia, Fe dan Cu; sedangkan pada kacang tanah adalah kedalaman solum, ketebalan topsoil, kandungan bahan organik, P2O5 tersedia, P2O5 total, K2O total, Fe, Cu dan Zn (Sudirman dan Vadari, 2000).
PENTINGNYA REHABILITASI TANAH TERDEGRADASI DALAM UPAYA MEMPERPENDEK TERCAPAINYA RESILIENSI
DAN MENINGKATKAN PRODUKTIFITAS
Resiliensi (resilience)
sebagai kata benda adalah ukuran kemampuan sistem tanah untuk kembali kepada
kondisi asli, sedangkan resiliensi sebagai kata sifat berarti kemampuan sangga
tanah atau ketahanan tanah terhadap perubahan (Eswaran, 1994). Konsep resiliensi adalah mengevaluasi kemampuan
tanah untuk kembali kepada tinkat penampilan semula, jika tanah tersebut
mengalami degradasi atau terjadi penurunan sifat-sifatnya dalam konteks dimensi
waktu dan nilai. Resiliensi merupakan upaya dari rehabilitasi (Eswaran, 1994),
sedangkan Lal (1994) menyatakan resiliensi tanah tergantung kepada keseimbangan
antara restorasi tanah dan degradasi tanah. Proses degradasi di lahan kering antara lain
memburuknya struktur tanah, gangguan terhadap siklus air, karbon dan hara;
sedangkan restorasinya meliputi pembentukan mikroagregat mantap, mekanisme
humifikasi dan biomass C tanah, meningkatkan cadangan hara dan mekanisme siklus
hara, dan keragaman hayati.
Seybold (1999) menyatakan terdapat 3
pendekatan untuk mengkaji resiliensi tanah antara lain: 1) mengukur secara
langsung recovery setelah terjadinya gangguan, 2) melakukan kuantifikasi
terpadu mekanisme recovery setelah terjadinya gangguan, dan 3) mengukur
sifat-sifat yang mendukung indikator mekanisme recovery tersebut.
Rehabilitasi
tanah terdegradasi dapat ditinjau dari sifat tanah yang mengalami penurunan dan
diupayakan dilakukan perbaikan dengan menggunakan amelioran. Menurut Dent (1993) bentuk
degradasi tanah yang terpenting di kawasan
Laju recovery = d [(B - C) : (A - C)] : dt Recovery = (B - C) : (A - C) Resistensi = C : A |
(1) (2) (3) |
Dimana, A adalah kemampuan tanah sebelum terganggu atau non terdegradasi atau tanah hutan sekunder , B adalah tingkat recovery atau sifat tanah terdegradasi yang telah melalui upaya rehabilitasi, dan C adalah tingkat fungsi tanah segera setelah mengalami gangguan atau tanah terdegradasi pada saat sebelum diberikan perlakuan rehabilitasi.
Formula untuk mengukur degradasi dan non degradasi tanah pada makrofauna pendekomposisi serasah daun/kehilangan berat kering (MD) atau pelepasan unsur hara (MN) Seastedt (1984 diacu dalam Tian, 1998) adalah sebagai berikut:
MD atau MN = (A - B)/(100 - B) x 100 % |
Dimana A merupakan persentase kehilangan bobot kering daun atau unsur hara yang terkandung dalam kantong mesh halus, dan B merupakan mkehilangan berat kering daun atau unsur hara yang terkandung dalam kantong mesh kasar. Persamaan lain yang menunjukkan bahwa degradasi tanah menurunkan dekomposisi daun dan pelepasan unsur hara yaitu pengaruh degradasi tanah (DD), yang dihitung dengan persamaan berikut:
DD = (D – N)/(100-N) x 100% |
Dimana D merupakan persentase kehilangan berat kering daun atau unsur hara yang terkandung di dalam tanah terdegradasi, dan N merupakan persentasekehilangan berat kering daun atau unsur hara yang terkandung di dalam tanah non terdegradasi.
Degradasi sifat fisik tanah umumnya
disebabkan memburuknya struktur tanah, sehingga upaya perbaikan sifat
tersebut mengarah terhadap perbaikan struktur tersebut. Zhang et al.,
(1997) menyatakan bahwa penggunaan gambut terhumifikasi rendah dengan BD 0,10
Mg m-3 memiliki pengaruh lebih besar daripada gambut terhumifikasi
tinggi dengan BD 0,29 Mg m-3 dalam menurunkan kompaktibilitas
tanah. Penelitian tersebut juga
menemukan bahwa bahan organik lebih efektif untuk tanah dengan kompaktibilitas
tinggi, ketahanan penetrasi maksimum tanah liat menurun dari 0,64 menjadi 0,30 MPa, dan pada tanah berpasir meningkat dari
0,64 menjadi 1,08 MPa. Penelitian lain
yang menggunakan amelioran gambut dan juga kompos dilakukan oleh Saidi
(1994) tenyata pemberian bahan tersebut
dapat memperbaiki sifat fisik tanah berupa peningkatan total ruang pori,
perbaikan aerasi tanah, pori air tersedia, permeabilitas tanah dan menurunkan
ketahanan penetrasi. Pemberian dosis 20 Mg ha-1
dapat meningkatkan aerasi diatas 12%, sedangkan pada takaran 10 Mg ha-1
sudah dapat memperbaiki ketahanan penetrasi. Penelitian Afandi et al., (1997)
ternyata upaya rehabilitasi ultisol melalui pencampuran lapisan atas dengan
lapisan bawah tidak berpengaruh terhadap sifat fisik tanah.
Upaya perbaikan sifat fisik tanah utamanya dalam pemantapan agregat
tanah yang memiliki tekstur lepas menggunakan polimer organik. Polyacrilamide (PAM)
berberat molekul tinggi dan bermuatan negatif sedang mampu memantapkan
permukaan tanah, menurunkan runoff dan erosi (Shainberg et al., 2002). Nadler et al., (1996) melakukan
penelitian pemberian PAM
pada tanah Typic Haplargid
lempung berpasir ternyata mampu memantapkan struktur pada dosis rendah
25 – 75 mg kg-1. Selain memantapkan struktur tanah maka pemberian PAM
sebanyak 15 kg ha-1 mampu mengendalikan sealing, crusting
dan menurunkan runoff serta erosi (Zhang and Miller, 1996). Penelitian PAM juga pernah dilakukan pada
agregasi lahar dingin Gunung Merapi dengan kadar pasir 89,7% ternyata mampu
menurunkan ketahanan penetrasi dari 1,31 menjadi 0,50 kg m-2,
menurunkan BD dari 1,29 menjadi 1,13 Mg m-3, meningkatkan porositas
total dari 51,4% menjadi 57,5%, dan menaikkan kadar air tersedia dari 10,6
menjadi 13,5% berat (Wardoyo, 1992).
Rehabilitasi pada tanah terdegradasi yang
dicirikan dengan penurunan sifat kimia dan biologi tanah umumnya tidak terlepas
dari penurunan kandungan bahan organik tanah, sehingga amelioran yang umum digunakan berupa
bahan organik sebagai agen resiliensi. Pemberian bahan organik jerami atau
mucuna sebanyak 10 Mg ha-1 dapat memperbaiki sifat-sifat tanah Typic
Haplohumult (Gajruk) yaitu: meningkatkan aktivitas mikroba, meningkatkan pH H2O,
meningkatkan selisih pH, meningkatkan pH NaF (mendorong pembentukan bahan
anorganik tanah yang bersifat amorf), meningkatkan KTK pH 8,2 atau KTK variabel
yang tergantung pH, menurunkan Aldd dan meningkatkan C-organik
tanah. Penurunan Aldd
selain disebabkan oleh kenaikan pH dan pengikatan oleh bahan-bahan tanah
bermuatan negatif, juga disebabkan pengkhelatan senyawa humik. Peranan asam fulvik dalam
mengkhelat Al jauh lebih tinggi dibandingkan asam humik sekitar tiga kalinya
(Winarso, 1996).
Tian et al., (1999) menyatakan
bahwa dalam pertanian tradisional maka pemanfaatan cover crop pada masa
bera dapat meningkatkan produktivitas tanah berliat aktivitas rendah di tropika
basah Pueraria phaseloides diperkirakan dapat memfiksasi 172 kg N-1
dari atmosfer selama siklus 2 tahun.
Penelitian lainnya yang menggunakan tanaman penutup tinggi yaitu pohon
juga diteliti oleh Tiasn et al., (2001) bahwa Leucaena leucochephala dan
Acacia leptocarpa merupakan spesies yang menjanjikan untuk ditanam saat
masa bera dengan tujuan regenerasi tanah di tropika basah. Tingginya polifenol yang
dihasilkan dari serasah daun mampu mengikat protein selama dekomposisi daun,
sehingga terjadi immobilisasi N, hal tersebut merupakan peranan utama polifenol
dalam bahan organik tanah dan peningkatan N pada tanah terdegradasi.
Bahan organik
sebagai bahan rehabilitasi juga didapat dari limbah, terutama limbah industri
kelapa sawit yang banyak di luar Pulau Jawa. Manik (2002) menyatakan bahwa penambahan tandan kosong kelapa sawit
sebanyak 96 Mg ha-1 mampu meningkatkan pH tanah, kandungan P, K, Mg,
dan KTK tanah, serta meningkatkan produksi tandan buah segar sebesar
16,3%. Widhiastuti
(2002) pemanfaatan limbah cair kelapa sawit atau POME (Palm Oil Mill
Effluent) meningkatkan karbon mikroorganisme C-mic, dengan kecenderungan
makin lama limbah diaplikasikan kandugnan C-mic makin meningkat. Pada aplikasi limbah POME tahun 1990
kandungan C-mic mencapai 256 mg g-1, aplikasi limbah POME
tahun 1991 kandungan C-mic mencapai 156 mg g-1,
aplikasi POME tahun 1992 didapat C-mic sebesar 117 mg g-1,
sedangkan pada perkebunan sawit rakyat tanpa pemupukan hanya 34 mg g-1 dan perkebunan dengan pemupukan anorganik sebesar 59 mg g-1. C mic merupakan indikator utama suatu sistem terdegradasi atau ter-recovery
(Smith et al., 1992).
Amelioran lain
yang umum digunakan pada tanah-tanah tropika adalah kapur. Pengapuran umumnya
ditujukan untuk menetralkan Aldd terutama pada tanaman yang peka terhadap
keracunan Al. Biasanya
meningkatkan pH tanah hingga 5,5, sedangkan bila
karena keracunan Mn, maka pH perlu dinaikkan hingga 6,0 (Ahn,1993).
1.
Faktor degradasi tanah dapat
terjadi secara alami dan dipercepat akibat aktivitas manusia seperti
deforestasi, perladangan berpindah, kebakaran hutan, tambang.
2.
Degradasi tanah
menurunkansifat-sifat tanah dan produktivitas tanah.
3.
Rehabilitasi tanah merupakan upaya
memperpendek pencapaian resiliensi tanah terdegradasi.
4.
Penggunaan amelioran, bahan organik
merupakan salah satu upaya untuk rehabilitasi tanah terdegradasi.
Afandi,
R. Widiastuti, dan M. Utomo. 1997. Upaya rehabilitasi sifat fisika tanah Ultisol
melalui pencampuran tanah lapisan atas, lapisan bawah dan bahan organik. J. Tanah Trop. 4:83-88.
Ahn, P.M. 1993. Tropical soils and fertilizer use. Longman Science & Technical. 263p.
Arsyad, S. 1989. Konservasi tanah dan air. IPB Press. 290 hal.
Barrow, C.J. 1991. Land degradation.
Boerner, R.E.J., K.L.M. Decker, and E.K. Sutherland. 2000.
Prescribed burning effects on soil enzyme activity in a southern
Saidi, B.B. Rehabilitasi sifat fisik Ultisol (Typic Kandiudult) Sitiung dengan kompos dan Gambut. Tesis IPB. 167 hal.
Castellanos, J., V.J. Jaramillo, R.L. Sanford Jr,
and J.B. Kauffman. 2001. Slash-and-burn effect on fine root biomass
and productivity in a tropical dry forest ecosystem in
Dent, F.J.
1993. Toward
a standart methodology for the collection and analysis of land degradation
data. Proposal for
discussion. Expert
Consultation of the Asian Network on Problem Soils. 25-29 October 1993,
Dephut. Statistik
Kehutanan. http://www.dephut.org.id/. dikunjungi
Driessen, P.M., P. Buurman, and Permadhy. 1976.
The influence of shifting cultivation on a Podzolic soil from
Eswaran, H.
1994. Soil resilience and
sustainable land management in the context of AGENDA 21.
_________, R. Lal, and P.F. Reich. 2001. Land degradation: an overview. Bridges, E.M., I.A. Hannan, L.R. Oldeman, F.W.T.P. de Vries, S.J. Scherr and S. Sombatpanit (editor). Response to land degradation. Science Publishers, Inc. P:20-35.
FAO.
1977. FAO soil bulletin: assesing
soil degradation. UN.
Fritze, H., T. Pennanen, and V. Kitunen. 1998. Characterization of dissolved organic carbon from burned humus and its effects on microbial activity and community structure. Soil Biol. Biochem. 30(6):687-693.
Garcia, E.G. V. Andreu, dan J.L. Rubio. Changes in organic matter, nitrogen, phosphorus and cations in soil as a result of fire and water erosion in a Mediterranean landscape. European Journal of Soil Science. 51:201-210.
Ketterings, Q.M. and J.M. Bighman.
2000. Soil color as an indicator
of slash-and-burn fire severity and soil fertility in
Lahjie, A.M. 1989. Praktek perladangan oleh penduduk asli dan pendatang di Kalimantan
Timur. Proceeding
of the Pusrehut seminar on reforestration and rehabilitation to develop the
tropical rain forest and to support human prosperity and ecosystems.
Lal, R. 1986. Soil surface management in the tropics for intensive land use and high and sustained production. Stewart, B.A.(editor). Advances in soil science volume 5. Springer-Verlag New York Inc. p:1-110.
_____. 1994. Sustainable land use system and soil
resilience.
_____. 1995. Sustainable management
of soil resources in the humid tropics. United
_____. 2000. Soil management in the developing countries. Soil Science. 165(1):57-72.
Handayani, I.P. 1999. Kuantitas dan variasi nitrogen-tersedia pada tanah setelah penebangan hutan. J. Tanah Trop. 8:215-226.
Hidayati, N.
2000. Degradasi lahan pasca
penambangan emas dan upaya reklamasinya: kasus penambangan emas
Jampang-Sukabumi. PROSIDING Konggres Nasional VII HITI: Pemanfaatan sumberdaya
tanah sesuai dengan potensinya menuju keseimbangan lingkungan hidup dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Manik, K.S.E., K.S. Susanto, dan Afandi. 1997. Degradasi lahan akibat proses antropogenik :studi kasus pembuatan batu bata di sekitar Bandar Lampung. J. Tanah Trop. 4:95-98.
___________. 2002. Pperubahan beberapa sifat kimia tanah akibat pemberian tandan kosong pada areal tanaman kelapa sawit di PT. Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Rejosari Lampung Selatan. J. Tanah Trop. 14:111-115.
McAlister, J.J., B.J. Smith, and B. Sanchez. 1998.
Forest clearence: impact of landuse change on fertility status of soils
from the
Nadler, A., E. Perfect, and B.D. Kay. 1996. Effect of polyacrylamide application on stability of dry and wet aggregates. Soil Sci. Soc. Am. J. 60:555-561.
Oldeman, L.R. 1994. The global extent of soil degradation.
__________. 1994. An international methodology for an
assessment of soil degradation land georeferenced soils and terrain database. The Collection and Analysis of Land
Degradation Data: Report of the Expert Consultation of the Asian Network on
Problem soils.
Pennington, P., M. Laffan, R. Lewis, and P. Otahal. 2001. Assessing the long-term impacts of forest harvesting and high intensity broadcast burning on soil properties at the Warra LTER Site. Tasforest. 13 (2):291-301.
Shainberg,
Smith, J.L., R.I. Papendick, D.F. Bezdicek, and J.M. Lynch. 1992. Soil organic matter dynamics and crop residue management. In Soil microbial ecology: applications in agricultural and environmental management. F.B. Metting Jr. (editor). Marcel Dekker Inc. p:65-94.
Sudirman dan T. Vadari. 2000.
Pengaruh kekritisan lahan terhadap produksi padi dan kacang tanah di
Garut Selatan. PROSIDING Konggres Nasional VII HITI: Pemanfaatan sumberdaya
tanah sesuai dengan potensinya menuju keseimbangan lingkungan hidup dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Tian G. 1998. Effect of soil degradation on leaf decomposition and nutrient release under humid tropical conditions. Soil Science. 163(11):897-906.
_____, G.O. Kolawole, F.K. Salako, and B.T. Kang. 1999. An improved cover crop-fallow system for sustainable management of low activity clay soils of the tropics. Soil Science. 164(9):671-682.
_____, F.K. Salako, and F. Ishida. 2001. Replenishment of C, N, and P in a degraded Alfisol under humid tropical condition: effect of fallow species and litter polyphenols. Soil Science. 166(9):614-621.
Ulery, A.L., R.C. Graham, and L.H. Bowen.
Von Vexkull, H. 1996.
Constraint to agricultural production and food security in
Wardoyo, S.S. 1992. Pengaruh polyacrylamide (PAM) dan bahan organik terhadap agregasi lahar dingin Gunung Merapi dan perkecambahan biji Flemigia congesta. Tesis IPB. 86 hal.
Widhiastuti, R. 2002. Pengaruh limbah cair pabrik pengolahan kelapa sawit yang digunakan sebagai pupuk terhadap sifat biologi dan kualitas air tanah. Jurnal Penelitian Pertanian. 21(2):105-111.
Winarso, S. 1996. Pengaruh penambahan bahan organik terhadap pengkhelatan Aluminium oleh senyawa-senyawa humik pada Typic Haplohumult. Tesis IPB. 130 hal.
Zhang, H., K.H. Hartge, and H. Ringe. 1997. Effectiveness of organic matter incorporation in reducing soil compactibility. Soil Sci. Soc. Am. J. 61:239-245.
Zhang, X.C., and W.P. miller. 1996. Polyacrylamide effect on infiltrasi and erosion in furrow. Soil Sci.Soc. Am. J. 60:866-872.