© 2003  Helen Hetharie                                                             Posted  19 November  2003

Makalah Individu

Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pascasarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

November  2003

 

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (penanggung jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

 

 

 

 

 

 

 

PERBAIKAN SIFAT TANAMAN MELALUI PEMULIAAN  POLIPLOIDI 

 

 

 

Oleh:

 

Helen Hetharie

NRP  A361030091

E-mail: helen_hetharie@yahoo.com

 

 

 

 

Pendahuluan

Negara-negara berkembang diperhadapkan dengan masalah pertambahan penduduk, dan diperkirakan  lebih dari 900 juta dari 5.8 miliar penduduk dunia mengalami kelaparan. Pada tahun 2025 penduduk dunia diperkirakan 8 miliar dengan sebagian kelahiran baru terjadi di negara-negara berkembang. Asia akan menjadi tempat tinggal kira-kira 4 miliar orang dan tiap orang memerlukan cukup pangan, sedangkan produksi belum dapat mengatasi kebutuhan manusia. Hal ini diperparah  dengan berkurangnya lahan pertanian karena kebutuhan manusia akan tempat tinggal dan perkembangan pembangunan.

Ekstensifikasi bukan langkah  bijak untuk meningkatkan produksi tanaman karena diperhadapkan dengan keterbatasan lahan. Pemuliaan tanaman menawarkan alternatif perbaikan genetik tanaman sesuai sifat-sifat yang diharapkan dalam upaya peningkatan hasil panen. Saat ini tersedia berbagai metode perbaikan sifat tanaman mulai dari  konvensional sampai  molekuler dengan didukung komputerisasi. Namun tiap metode memiliki kelemahan atau  keterbatasan sehingga pada akhirnya diperlukan pengetahuan dan pertimbangan pemulia untuk menentukan metode yang sesuai serta tujuan yang ingin dicapai.

Keragaman merupakan hal penting dalam pemuliaan karena dapat ditemukan berbagai sumber gen untuk perbaikan suatu sifat tanaman. Gen-gen tersebut dapat ditransfer ke tanaman dengan cara konvensional maupun rekayasa genetik. Salah satu teknik pemuliaan untuk perbaikan sifat adalah perakitan poliploidi. Poliploidi adalah  keadaan sel dengan penambahan satu atau lebih genom dari genom normal 2n=2x.

Fenomena poliploidi di alam dapat dibagi atas : (1) autopoliploid (penambahan genom dimana pasangan kromosomnya homolog), dan (2) allopoliploid (penambahan genom dimana kromosomnya tidak homolog).  Secara umum autopoliploid sama dengan diploid, perbedaannya hanya tergantung pada genotip asal, serta terjadi peningkatan ukuran sel merismatik dan sel penjaga (Sparrow, 1979 ; Poehlman dan Sleper, 1995). Sedangkan tanaman allopoliploid dihasilkan menurut Sparrow (1979) adalah untuk mengkombinasi karakter-karakter yang diinginkan dari dua tetua diploid ke dalam satu tanaman.

Secara alami penampakan morfologi tanaman poliploidi  lebih besar  dari spesies diploid, seperti permukaan daun lebih luas, organ bunga lebih besar, batang lebih tebal dan tanaman lebih tinggi (Kuckuck, Kobabe dan Wenzel, 1991). Selain itu, menurut Thomas (1993) poliploidi menunjukkan resisten terhadap penyakit, rasanya lebih enak, mudah dicerna, sebagian besar berstruktur karbohidrat dan seratnya kurang kasar. Karmana (1989) menyatakan bahwa tanaman budidaya poliploidi berperan besar dalam penyediaan protein, lemak dan karbohidrat dunia dibandingkan dengan tanaman diploid. Dengan demikian metode pemuliaan tanaman melalui perakitan poliploidi diharapkan dapat menanggulangi krisis pangan dunia.

 

 Pemuliaan Tanaman dan Peningkatan Produksi

Pada negara-negara berkembang kebutuhan akan karbohidrat 50 % berasal dari padi. Sekitar 70 % padi diperlukan untuk mencukupi makanan 5 miliar konsumer padi di dunia. Selain padi, tanaman gandum, jagung dan sorghum juga adalah bahan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk dunia. Peningkatan produksi untuk memenuhi kebutuhan pangan dunia merupakan hal yang esensial saat ini.

Peningkatan produksi tanaman tidak dapat diharapkan melalui perluasan areal pertanian (ekstensifikasi). Para peneliti berupaya meningkatkan produksi tanaman secara intensifikasi melalui  perbaikan kultur teknis budidaya serta meminimalisasi pengaruh lingkungan mikro pada tanaman. Disisi lain tanaman mempunyai kemampuan genetik yang terbatas, meskipun lingkungan tumbuhnya menguntungkan namun peningkatan produksi tidak dapat diharapkan melebihi kemampuan tanaman  tersebut.

 

Perbaikan hasil dan kualitas biasanya merupakan tujuan utama pemuliaan tanaman, baik  tanaman yang dipanen dalam bentuk biji maupun seratan, buah, umbi, bunga atau bagian-bagian tanaman lainnya (Phoelman dan Sleper, 1995). Produksi suatu tanaman dapat ditingkatkan dengan memodifikasi sifat-sifat morfologi seperti jumlah biji per polong atau permalai pada serealia, berat biji dan juga-sifat-sifat fisiologi seperti indeks panen, pemanfaatan unsur hara secara efisien oleh tanaman. Selain itu sifat ketahanan terhadap hama dan penyakit serta dapat beradaptasi dengan suatu lahan  yang lebih luas melalui toleransi terhadap kekeringan, suhu ekstrim, salinitas, keadaan lingkungan yang ekstrim juga menjadi perhatian pemulia.

 

Pemuliaan Poliploidi

Poliploidi  adalah keadaan sel yang memiliki lebih dari  dua  genom dasar (3x, 4x, 5x dan seterusnya), ditemukan banyak pada kingdom tanaman. Poliploidi dapat berisikan dua atau lebih pasang genom dengan segmen kromosom yang homolog, keseluruhan kromosom homolog atau keseluruhan kromosom tidak homolog. Perbedaan satu dengan yang lain pada sejumlah gen atau segmen kromosom yang menyebabkan sterilitas sebagian atau seluruhnya(Stebbins, 1950 dalam Sareen, Chowdhury dan Chowdhury, 1992).

Famili rumput-rumputan (gramineae) adalah famili terbesar dari semua tanaman berbunga, meliputi 10.000 species. Famili ini dikelompokan dalam 600 -700 genus yang berasal dari moyang purba sekitar 50-70 juta tahun lalu (Kellogg, 2001; Huang et al, 2002). Famili ini biasanya dipakai sebagai model dalam mempelajari poliploidi. Sebagian besar tipe poliploidi dari famili gramineae yaitu autopolyploid, allopolyploid segmental dan allopolyploid (Vandepoele, Simillion dan Van de Peer, 2003)

Secara alami poliploidi sering lebih besar penampakan morfologi dari spesies diploid seperti permukaan daun lebih luas, organ bunga lebih besar, batang lebih tebal dan  tanaman lebih tinggi. Fenomena ini diistilahkan sebagai gigas atau jagur (Kuckuck et al., 1991). Populasi poliploidi mempunyai kemampuan berkompetisi lebih baik dibanding moyang diploid ditunjukkan dengan daerah penyebarannya yang luas (Karmana, 1989). Menurut Poehlman dan Sleper (1995)  poliploidi juga memberi peluang untuk merubah karakter suatu tanaman melalui perubahan jumlah genom dan kontribusi gen-gen alelik pada karakter tertentu.

 

Autopoliploid                             

            Autopoliploid adalah sel yang mempunyai lebih dari dua genom dimana genomnya identik atau mempunyai kromosom homolog karena pada umumnya berasal dari satu spesies. Autopoliploid muncul dari penggandaan kromosom yang komplemen secara langsung. Autopoliploid dapat diinduksi artifisial melalui perlakuan kolsisin dan dapat terjadi secara spontan, tetapi yang terakhir ini jarang ditemukan. Menurut Vandepoele et al, (2003) autopoliploid dapat berasal dari persilangan intraspesies diikuti dengan penggandaan kromosom dimana gamet tidak mengalami reduksi dan kromosomnya membentuk multivalent pada saat miosis, dengan pewarisan yang multisomik Beberapa tanaman yang termasuk  autopoliploid alami adalah kentang, ubi jalar, kacang tanah, alfalfa dan “orchardgrass”.

            Beberapa sifat autopoliploid yang berbeda dengan diploid  adalah :        (1) volume sel dan nukleus lebih besar, (2) bertambah ukuran daun  dan bunga serta batang lebih tebal, (3) terjadi perubahan komposisi kimia meliputi peningkatan dan perubahan karbohidrat, protein, vitamin dan alkaloid,              (4) kecepatan pertumbuhan lebih lambat dibanding diploid, menyebabkan pembungaannya juga terlambat, (5) miosis sering tidak teratur dengan terbentuknya multivalen sebagai penyebab sterilitas, (6) poliploidi tidak seimbang terutama pada triploid dan pentaploid (Sparrow, 1979).      Dikatakan juga oleh Poehlman dan Sleper (1995) bahwa autopoliploid berperan meningkatkan ukuran sel merismatik tetapi jumlah total sel tidak bertambah. Menurut Sareen et al. (1992) tanaman autotetraploid mempunyai bagian vegetatif lebih besar, menyebabkan mereka lebih jagur dibanding diploidnya. Tetapi efek ini tidak universal karena ada beberapa autotetraploid yang mirip atau lebih lemah dibandingkan tetua diploid.

            Menurut Poehlman dan Sleper (1995) tiga hal dasar sebagai petunjuk untuk memproduksi dan memanfaatkan autoploidi dalam program pemuliaan tanaman yaitu : (1) autoploidi cenderung mempunyai pertumbuhan vegetatif lebih besar sedangkan biji yang dihasilkan sedikit, sehingga lebih bermanfaat untuk pemuliaan tanaman yang bagian vegetatifnya dipanen, (2) lebih berhasil untuk mendapatkan autoploidi yang jagur dan fertil melalui penggandaan  diploid yang jumlah kromosom  sedikit, (3) autoploidi yang berasal dari spesies  menyerbuk silang lebih baik dari pada autoploidi dari spesies menyerbuk sendiri, sebab penyerbukan silang membantu secara luas rekombinasi gen dan kesempatan untuk memperoleh keseimbangan genotip pada poliploidi.

           

Allopoliploid

            Allopoliploid adalah keadaan sel yang mempunyai satu atau lebih    genom dari genom normal 2n =2x, dimana pasangan kromosomnya tidak homolog. Allopoliploid terbentuk dari hibridisasi antara spesies atau genus yang berlainan genom (hibridisasi interspesies). Tanaman F1-nya akan steril karena tidak ada atau hanya beberapa kromosom homolog. Bila terjadi penggandaan kromosom spontan atau diinduksi maka tanaman menjadi fertil. Beberapa tanaman yang termasuk alloploidi alami adalah gandum, terigu, kapas, tembakau, tebu dan beberapa spesies kubis.

            Allopoliploid ditemukan ada yang allopoliplod segmental (sebagian kromosom homolog) menyebabkan steril sebagian, dan allopolyploid (semua kromosom tidak homolog) menyebabkan steril penuh. Allopoliploid segmental memiliki segmen kromosom homologous dan homoeologus (homolog parsial) yang selama miosis dapat terjadi bivalen dan multivalen sehingga pewarisannya campuran disomik-polisomik (Vandepoele et al. 2003).  Dikatakan juga bahwa prototipe poliploidi dari  rumput-rumputan seperti gandum adalah allopolyploid, jagung adalah alloploidi segmental dan padi adalah paleopoliploid.

Tujuan induksi allopoliploid adalah mengkombinasi sifat-sifat yang diinginkan dari dua tetua diploid ke dalam satu tanaman (Sparrow, 1979). Menurut Poehlman dan Sleper (1995) beberapa manfaat alloploidi untuk para pemulia adalah : (1) dapat mengidentifikasi asal genetik  spesies tanaman poliploidi, (2) menghasilkan genotip tanaman baru, (3) dapat memudahkan transfer gen antar spesies dan (4) memudahkan transfer atau subtitusi kromosom secara individual atau pasangan kromosom.

Para pemulia menginduksi poliploidi dengan menyilangkan antara spesies budidaya tetraploid dengan kerabat liarnya dengan tujuan supaya gen yang diinginkan dapat ditransfer dari spesies liar ke kultivar budidaya (Sparrow, 1979). Menurut Poehlman dan Sleper (1995) hampir semua kerabat liar Solanum dapat disilangkan dengan Solanum tuberosum (interspesies) dengan tujuan untuk mendapatkan resistensi terhadap stress abiotik maupun biotik serta memperbaiki heterosigositas tanaman.

            Pendekatan pembuatan allopoliploid ini kelihatan kurang berhasil dibanding induksi autopoliploid. Kesulitan yang ditemui dengan pendekatan ini adalah : (1) adanya “barier incompatible” antar kedua spesies yang akan disilangkan, (2) terjadi pembuahan tetapi mengalami aborsi embrio (Karmana, 1989). Kendala dalam menghasilkan tanaman allopoliploid ini dapat diatasi dengan teknik hibridisasi baru yaitu  fusi protoplas atau hibridisasi somatik.

 

Pembuatan Poliploidi melalui Fusi Protoplas

            Tanaman yang mempunyai hubungan kekerabatan jauh (spesies liar) dan tanaman steril atau tanaman yang hanya dapat diperbanyak secara vegetatif memiliki sifat-sifat yang potensial. Hibridisasi seksual pada tanaman ini sulit dilakukan karena mempunyai barier seksual. Pendekatan teknik fusi protoplas atau hibridisasi somatik merupakan alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut.

Pembuahan adalah suatu proses fusi protoplasma secara alamiah pada tanaman dimana terjadi penyatuan gamet jantan (sub protoplasma) dengan gamet betina (protoplasma) (Wattimena dan Mattjik, 1992). Fenomena ini yang dipakai dan dikembangkan untuk mendapatkan suatu hibrida somatik melalui teknik fusi protoplas.

Keuntungan hibridisasi somatik, selain dapat mentransfer gen-gen yang belum teridentifikasi, juga dapat memodifikasi atau memperbaiki sifat-sifat yang diturunkan secara monogenik dan poligenik antara galur atau spesies (Millam, Payne dan Mackay, 1995; Waara dan Glimelius, 1995).  Keuntungan fusi protoplas yang lain adalah diperoleh kombinasi sifat baru yang merupakan kombinasi sitoplasma, karena sitoplasma pada perkawinan seksual hanya berasal dari tetua betina saja (Wattimena dan Mattjik, 1992).

Hibrida somatik yang diperoleh oleh Richard et al., (1994b) mempunyai sejumlah besar variasi terutama karakter morfologi. Ditemukan bahwa hibrida yang   berasal   dari fusi protoplas   menunjukkan   perbedaan dalam taraf ploidi, morfologi, fertilitas dan kombinasi sitoplasma. Sumber variabilitas dari aspek biologi fusi protoplas yaitu (1) proses fusi tidak dapat dikontrol dan banyak, (2) perkembangan lanjut produk fusi ke mikro koloni atau kalus dan diregenerasi menjadi tunas menunjukkan variasi yang tidak dapat dikontrol, (3) pencampuran organel-organel dari dua sel dalam suatu heterokarion belum dipahami.

Hasil penelitian Hetharie (2000), terhadap beberapa klon hibrida somatik tanaman kentang hasil hibridisasi somatik intraspesies dan interspesies menunjukkan bahwa 1) Hibrida somatik interspesies lebih jagur yang ditampakkan melalui morfologi dan hasil umbi dibandingi hibrida intraspesies,  2) penampakkan tanaman dan umbi dari hibrida somatik interspesies heksaploid lebih kecil dibanding tetraploid, (Gambar 1),    3) hibrida somatik tetraploid dari tetua yang sama (S. tuberosum dan S. phureja) menunjukkan penampilan yang berbeda (Gambar 1).

 

 

 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 1.  Penampilan Hibrida Somatik Tetraploid, Heksaploid dan Kedua Tertua

 

 

Konstitusi Genetik Poliploidi

Poliploidi mengalami diploidisasi genetik sehingga gen-gennya ada empat atau enam dosis yang dapat memberi fungsi baru. Ditemukan besarnya variabilitas genetik potensial pada poliploidi sejalan dengan penambahan jumlah gen yang menghasilkan genotip-genotip baru. Genotip ini menampilkan adaptasi poliploidi lebih luas dan  cocok pada habitat yang baru (Sareen et al., 1992).

Diantara berbagai efek poliploidi ada empat arti dalam bidang pertanian, yaitu : (1) setiap perubahan pada jumlah kromosom akan merubah segregasi genetik, (2) setiap penambahan jumlah kromosom akan memberikan suatu efek penutup yang mengurangi gen-gen resesif yang merugikan, (3) penambahan jumlah kromosom hampir selalu sering menunjukkan keunggulan sifat, (4) sterilitas pada gamet dan penurunan daya perkembangbiakan merupakan akibat dari poliploidi (Brewbaker, 1983).  

Penambahan jumlah kromosom membentuk poliploidi membawa kompleksitas terhadap rasio genetik. Jika suatu ekspresi suatu gen seperti hukum Mendel dengan asumsi ada alel A dan a maka pada organisme diploid diperoleh dua genotip homosigot (AA dan aa) dan hanya satu genotip heterosigot (Aa). Kasus pada autotetraploid diperoleh dua genotip homosigot (AAAA dan aaaa) tetapi dengan tiga genotip heterosigot (AAAa, AAaa, dan  Aaaa). Tiap genotip heterosigot ini pada generasi lanjut akan menghasilkan beberapa kombinasi genotip. Contoh genotip AAaa diperoleh ratio genotip 1AAAA : 8AAAa : 18AAaa : 8Aaaa : 1aaaa. Jika ada dominansi sempurna maka genotip homosigot dominan  dan heterosigot mempunyai fenotip  sama.

Taraf heterosigositas pada autotetraploid dipengaruhi perbedaan empat alel dalam satu lokus. Ada lima kemungkinan kondisi alelik pada satu lokus autotetraploid yaitu 1) lokus monoalelik  : a1a1a1a1,  2) lokus dialelik unbalance : a1a1a1a2,  3) lokus dialelik balance : a1a1a2a2,  4) lokus trialelik : a1a1a2a3,  5)  lokus tetraalelik : a1a2a3a4. Muncul hipotesis bahwa kondisi tetraalelik  memberikan heterosis maksimum karena banyak interaksi interlokus  yang mungkin pada kondisi ini  membentuk lokus heterosigot dibanding kondisi alelik  yang lain (Poehlman dan Sleper, 1995).

Jika diasumsikan adanya dominan sempurna dari satu alel terhadap alel a maka hanya ada satu hubungan yang mungkin antara alel dari lokus gen tetraploid. Contoh genotip FFFF pada tanaman Cyclamen mengekspresikan bunga tidak berwarna. Dengan bertambahnya jumlah alel f, warna merah lebih intensif yaitu genotip  FFFf berfenotip merah pucat, FFff merah muda, Ffff merah.  Kejadian ini disebut sebagai akibat efek dosis alel dan merupakan suatu fenomena yang menguntungkan dalam pemuliaan poliploidi       (Kuckuck et al., 1991).

Penampakan suatu tetraploid ditentukan oleh konstitusi genetik dari tipe diploidnya dan nilai tetraploid dapat ditingkatkan melalui rekombinasi dan seleksi (Kuckuck et al., 1991). Contoh gen F meningkatkan resistensi terhadap frost 1oC dan gen H sebagai inhibitor. Gen H dapat diimbangi dengan penambahan gen F sedangkan alel f dan h tidak efektif. Khusus genotip diploid FFhh resistensi terhadap frost - 2oC, genotip autotetraploid FFFFhhhh resistensi meningkat sampai suhu - 4oC. Sebaliknya genotip diploid FFHH dan FfHh resistensi frost hanya pada suhu 0oC, demikian juga pada genotip autotetraploid. Tetapi jika melalui rekombinasi dan seleksi khusus untuk genotip  FFffHHhh dapat diperoleh generasi bergenotip FFFFhhhh yang resistensi pada suhu  - 4oC (Kuckuck  et al., 1991).

Poliploidi yang memiliki dua atau lebih genom berbeda disebut allopoliploid dengan konstitusi genom seperti AABB atau A1A1A2A2. Karakteristik struktur gen dari spesies allopoliploid yaitu ada satu genom tetua dan satu atau dua genom dari tetua lain yang berasal dari hibridisasi.   Adanya genotip berbeda yang berasal dari genom berbeda menyebabkan terjadi pertukaran material genetik dan membentuk genom campuran.

Allopoliploid menunjukkan heterosis parmanen yang diakibatkan dari interaksi gen loci tertentu dalam genom berbeda (Feldman dan Sears, 1981). Menurut Brewbaker (1981) kejaguran hibrida (heterosis) lebih nyata pada persilangan antara tanaman yang jauh hubungan kerabatnya dibanding antara tanaman berkerabat dekat.

Hasil penelitian awal pemuliaan tanaman menunjukkan bahwa diantara taraf ploidi yang berbeda, didapatkan bahwa tiap spesies mempunyai taraf ploidi optimum tertentu. Contoh pada bit gula dimana jumlah ploidi optimumnya adalah tetraploid. Penelitian Hetharie (2000) menunjukkan bahwa taraf ploidi optimum pada hibrida somatik kentang dari tetua S. tuberosum adalah 4x (Gambar 1). Penambahan jumlah kromosom yang melebihi jumlah optimum tersebut akan menyebabkan gangguan fisiologi ke arah negatif (Karmana, 1989).

 

Kesimpulan

·                    Pemuliaan poliploidi dapat memperbaiki sifat tanaman dan menambah kejaguran

·                    Tanaman poliploidi mempunyai penampilan morfologi meliputi daun, bunga, batang, umbi lebih jagur atau vigor dibanding tanaman diploid

·                    Perakitan tanaman poliploidi melalui persilangan seksual atau persilangan somatik dapat mentransfer sifat-sifat penting yang diinginkan dari  tetua

·                    Tanaman poliploidi  berupa autopoliploid maupun allopoliploid dapat dihasilkan melalui persilangan seksual, persilangan somatik dan diinduksi dengan zat-zat kimia

·                    Setiap spesies tanaman mempunyai jumlah kromosom optimum untuk penampakkan kejaguran.

 

 

Daftar Pustaka

 

Brewbaker,  J.  L. 1983.  Genetika   Pertanian.   Terjemahan   Santoso,   I. Seri Lembaga Genetika Modern.

 

Feldman, M., Sears, E.R. 1981. The wild gene resources of wheat. Sci.Am., 244:102-112.

 

Hetharie, H. 2000. Keragaan Fenotipik Beberapa Klon Hibrida Somatik Tanaman Kentang pada Taraf dan Sumber Ploidi Berbeda. Program Pascasarjana IPB. Skripsi.

 

Huang, S., Sirikhachornkit, A., Su X., Faris, J., Gill, B., Haselkorn, R., Gornicki, P., (2002) Genes encoding plastid acetyl-CoA carboxylase and 3-phosphoglycerate kinase of the Triticum/Aegilops complex and the evolutionary history of polypoid wheat. Proc Natl Acad Sci USA 99: 8133-8138.

 

Karmana, M.H. 1989. Mutasi, Poliploidi dan Kultur jaringan, p. 247-291. In Kumpulan Materi Perkuliahan Latihan Teknik Pemuliaan Tanaman Hibrida. Makalah dalam Pelatihan Teknik Pemuliaan Tanaman dan Hibrida di Fakultas Pertanian. UNPAD. Jatinangor, Bandung.

 

Kellogg , E.A. 2001. Evolutionary   history   of the grasses. Plant Physiol 125: 198-1205[Free Full Text]

Kuckuck, H., G. Kobabe, G. Wenzel. 1991. Fundamental of Plant Breeding. Springer-verlag. Berlin.

 

Millam, S., L.A. Payne and G.R. Mackay. 1995. The Integration of protoplast fusion-derived material into a potato breeding programme-areview of progress and problems. Euphityca., 85:451-455.

 

Poehlman, J.M. and D.A. Slepper. 1995. Breeding Field Crops. Fourth Edition. Iowa State Uni.Press/Ames.

 

Richard, H., Ozminkowski, Jr. and P. Jourdan. 1994b. Comparing the resynthesis of Brassica napus L. by interspesific somatic and sexual hybridization. II.hybrid morphology and identifying organelle genomes. J.Amer.Soc.Hort.Sci., 199 (4):808-815.

 

Sareen, P. K., J. B. Chowdhury and V. K. Chowdhury. 1992. Amphidiploids/synthetic crop species, p. 62-67. In Kaloo, G., and J.B. Chowdhury (Eds.). Distant Hybridization of Crop Plants. Springer-verlag. Berlin.

 

Sparrow, D.H.B. 1979. Special techniques in plant breeding, p. 37-52. In Genetics in Plant Breeding (Brookhaven symposia in biology vol. 9). New York.

 

Thomas, H. 1993. Chromosome manipulation and polyploidy, p. 79-92. In : Vandepoele, K.,  C. Simillion, dan Y. Van de Peer.  Evidence That Rice and Other Cereals Are Ancient Aneuploids. Plant Cell, September 1, 2003; 15(9): 2192 - 2202.

 

Waara, S. and K. Glimelius. 1995. The potential of somatic hybridization in crop breeding. Euphytica., 85:217-233.

 

Wattimena, G.A., N.A. Mattjik. 1992. Pemuliaan tanaman secara in vitro, p.105-126. In Tim Laboratorium Kultur Jaringan  (Eds.). Bioteknologi Tanaman.  PAU Bioteknologi, IPB. Bogor.