© 2003 Gybert E. MAMUAYA Posted
24 December 2003
Makalah
Falsafah Sains (PPs 702)
Sekolah
Pascasarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
Desember 2003
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir Zahrial Coto
Kerangka Survei Penatagunaan Ruang Laut Daerah
Oleh:
Gybert E. MAMUAYA
C561030051 / TKL
E-mail :
trebyg58@yahoo.com
Abstract
The
term spatial arrangement normatively consists of three consequent activities,
namely spatial planning, spatial utilization and monitoring of spatial use
according to its function. Coastal
spatial planning attempted to change the spatial use to improve the quality of
life of the local people. It is a
systematic analysis of the suitability of an area and its alternatives of use,
which are the basis for selecting the best choice to be put
into practice. The allocation of spatial
use is therefore has to consider both protected and cultivated areas. This
paper is intended to present a framework of survey in
spatial use allocation for boundary analysis, modified from the ABC Resources
Survey Approach. From a technical point
of view, this approach involves four levels of analysis and mapping: (1) raw
data collection, mapping and analysis, (2) interpretation of spatial significance
and constraints, (3) synthesis or summation of spatial significance and
constraints, and (4) boundary delineation and indentification of spatial
planning requirements.
Pendahuluan
Tata ruang sebagai wujud struktural ruang dan pola
penggunaannya secara terencana atau tidak dari bagian permukaan bumi di laut
dan pesisir, dikenal selama ini sebagai objek dalam memenuhi berbagai kebutuhan
manusia. Selain mengandung beraneka ragam sumber daya alam dan jasa
lingkungan yang telah dan sementara dimanfaatkan manusia, ruang laut dan
pesisir menampilkan berbagai isu menyangkut keterbatasan dan konflik dalam
penggunaannya.
Untuk mengharapkan keberlanjutan manfaat ruang
laut dan pesisir, berbagai upaya sadar selayaknya digiatkan dalam suatu
rangkaian penataan ruang. Secara
normatif, penataan ruang dipahami sebagai suatu rangkaian proses perencanaan,
pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang dialokasikan menjadi
kawasan lindung dan kawasan budidaya (UU Nomor 24 Tahun 1992). Perencanaan tata ruang memungkinkan
fungsi dan manfaat ruang tersebut dapat berkelanjutan dinikmati oleh manusia. Hal ini menjadi semakin
penting karena ruang laut dan pesisir peka terhadap gangguan sehingga setiap
kegiatan pemanfaatan dan pengembangan di mana pun juga di wilayah ini, secara
potensial dapat merupakan sumber kerusakan bagi ekosistem-ekosistem di wilayah
ini (Dahuri et al, 2001).
Pengaturan ruang laut sebagai salah satu upaya
pengelolaan sumber daya nasional yang tersedia di wilayah provinsi, dikemukakan
dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, sebagai suatu kewenangan Daerah, di samping
eksplorasi, eksploitasi, konservasi, pengaturan administratif, dan penegakan
hukum. Dengan demikian, dalam
melaksanakan otonomi daerah di bidang kelautan, tata ruang laut perlu
direncanakan dan ditetapkan dalam suatu Peraturan Daerah yang kelak mengarahkan
berbagai aktivitas pembangunan daerah, baik di tingkat provinsi maupun di
tingkat kabupaten dan/atau kota. Meskipun demikian, Peraturan Daerah bukan satu-satunya indikator
pencapaian tujuan dan sasaran penataan ruang. Hasil pertemuan inisiasi penyusunan peraturan
daerah mengenai rencana tata ruang laut, pesisir dan pulau-pulau kecil, 22
Oktober 2003, antara lain merumuskan bahwa efektivitas peraturan tersebut akan sangat tergantung pada legitimasi proses perencanaan
tata ruang dimaksud (Berita Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil, 29 Oktober 2003).
Bertolak dari uraian di atas, permasalahan utama
yang terungkap adalah bagaimana perencanaan tata ruang laut diupayakan sebagai
suatu rangkaian proses yang memenuhi kaidah ilmiah yang dipraktekkan relatif
dilegitimasi dan berhasil selama ini. Untuk itu, tersedia cukup banyak metode berbasis pendekatan
ekosistem, pendekatan geosistem, pendekatan ko-manajemen, dan lain-lain secara
holistik. Forum implementasi
proses bernalar falsafah sains berkontribusi aktual dalam menelaah secara
konseptual permasalahan tersebut. Di antaranya, model rencana tata ruang wilayah pesisir
berkelanjutan berbasis masyarakat (Hartadi, 2001), pembangunan di wilayah pesisir secara terpadu dengan
pendekatan tata ruang (Iskandar, 2001), konsep tata ruang terpadu darat dan
laut (Indra, 2002), dan pendekatan sel sedimen sebagai acuan penataan ruang
wilayah pesisir menggunakan teknologi inderaja (Khakhim, 2003). Selanjutnya, suatu kerangka
kerja operasional dideskripsikan dalam upaya penatagunaan ruang laut daerah,
setelah beberapa terminologi diajukan berikut ini.
Perencanaan
Tata Ruang
Menurut UU Nomor 24 Tahun 1992, ruang didefinisikan sebagai wadah yang
meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan
wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta
memelihara kelangsungan hidupnya. Ruang
laut sebagai wujud fisik dalam dimensi geografis, penataannya dapat dipandang
sebagai suatu rangkaian proses perencanaan pengaturan tata ruang secara efektif
dan efisien yang ditetapkan dan dikendalikan dengan fungsi utama untuk kawasan
lindung dan kawasan budidaya. Untuk suatu daerah (provinsi dan kabupaten/kota), kewenangannya
yang mencakup hingga 12 mil dari garis pantai, umumnya merupakan luasan dari
wilayah pesisir. Dengan demikian, pengaturan ruang laut daerah dapat dicakup dalam
suatu kesatuan penataan ruang pesisir.
Sesuai pengertian umum, perencanaan adalah persiapan teratur dari
setiap usaha untuk mewujudkan suatu tujuan. Dalam usaha merubah struktur ruang untuk
meningkatkan kualitas hidup penggunanya, berkembang dua prinsip pendekatan : (1) studi terpadu terhadap satuan lingkungan,
dan (2) analisis lingkungan untuk setiap elemen yang kemudian diintegrasikan
informasinya (Golley dan Bellot, 1999). Lebih jauh terungkap bahwa kedua pendekatan dimaksud umumnya dapat
disatukan, sebagaimana dalam konsepsi teritorial yang menggunakan satuan dan
sistem lahan di
Sesuai karakteristik lingkungan laut dan pesisir, Direktorat Tata
Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, DKP, mengembangkan pendekatan kawasan
terpadu sebagai satuan perencanaan dalam penyusunan rencana tata ruang (Berita Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, 27
Agustus 2003).
Diinformasikan, beberapa pendekatan kawasan yang digunakan dan (akan) dikembangkan mencakup (1) pendekatan sedimen sel, (2)
pendekatan ekoregion, dan (3) pendekatan daerah aliran sungai. Ketiga pendekatan yang berpeluang mewujudkan
kesepakatan antar kawasan dalam mengelola sumber daya laut ini, akan sangat ditentukan keberhasilan implementasinya oleh
ketersediaan data dan informasi yang terhimpun akurat.
Perencanaan tata ruang – sebagaimana dinyatakan dalam UU Nomor 24 Tahun
1992 – dilakukan melalui proses dan
prosedur penyusunan serta penetapan rencana tata ruang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk itu, langkah-langkah kegiatannya meliputi :
a. menentukan arah pengembangan yang akan dicapai,
dilihat dari segi ekonomi, sosial, budaya, daya-dukung dan daya-tampung
lingkungan, serta fungsi pertahanan keamanan;
b. mengidentifikasikan berbagai potensi dan masalah
pembangunan dalam suatu wilayah perencanaan;
c. perumusan perencanaan tata ruang
d. penetapan rencana tata ruang.
Berdasarkan rencana tata ruang yang ditetapkan sebagai suatu
peraturan, baik daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota, pemanfaatan ruang
pantai beserta pengendaliannya, dipandang penting untuk mengacu pada pedoman
pengelolaan. Pedoman dimaksud
tersusun selengkapnya dan dapat antara lain ditemukan dalam Dahuri et al (2001) meliputi sektor- sektor pembangunan dan/atau bentuk pemanfaatan
ruang laut dan pesisir: kehutanan, pertanian, perikanan budidaya, perikanan
tangkap, permukiman dan perkotaan, pariwisata dan rekreasi, pertambangan dan
energi, sistem pembuangan limbah, kepelabuhanan dan infrastruktur perhubungan
lainnya.
Pendekatan
Survei Penatagunaan
Merencanakan suatu
tata ruang secara praktis dapat diartikan sebagai suatu upaya merancang
penetapan zona pemanfaatan dan/atau peruntukan suatu kawasan. Sebagai suatu proses penatagunaan ruang,
upaya ini diwujudkan dalam serangkaian kegiatan studi untuk alokasi ruang
beserta batas keruangannya yang berpeluang dilaksanakan dengan menerapkan
pendekatan survei berikut ini.
Metode survei yang semula dikembangkan
awal 1980-an diterapkan Skibicki (1995) dalam menganalisis batas taman nasional Pukaskwa Raya, Kanada. Survei dilaksanakan untuk
mendeskripsikan, menganalisis dan mengevaluasi sumber daya bentang alam yang
mencakup komponen-komponen abiotik, biotik, dan kultural. Komponen abiotik dapat
berupa aspek geologi–geomorfologi, cuaca dan hidrologi. Komponen biotik meliputi antara lain biota dan kehidupan liar. Sementara komponen kultural
mencakup arkeologi, sejarah penggunaan lahan, ekonomi, institusional, dan
rekreasi. Mengacu
sekaligus memodifikasi metode ini, suatu kerangka penerapannya diuraikan dalam
penatagunaan ruang pesisir, berikut ini.
Secara umum, metode ini bermaksud : (1) mengidentifikasi dan
mendeskripsikan corak penting komponen-komponen abiotik, biotik, dan kultural
beserta proses-prosesnya pada suatu daerah dan/atau kawasan, (2) menilai
kebermaknaan dan keterbatasan sesuai sasaran yang ditetapkan, dan (3)
memperkaitkan informasi ini dengan aransemen institusional untuk penggunaan
berimbang, konservasi dan pengembangan berkelanjutan.
Dari perspektif teknis, pendekatan
survei sumber daya ini mencakup empat tahapan analisis dan pemetaan : (1)
koleksi data mentah, analisis dan pemetaan, (2) interpretasi kebermaknaan dan
keterbatasan dari tata ruang aktual, (3) sintesis dan/atau ikhtisar kebermaknaan
dan keterbatasan dari tata ruang aktual, dan (4) deliniasi batas dan
identifikasi penatagunaan sesuai tujuan dan sasaran. Secara grafik, hal ini
diperlihatkan dalam Gambar 1.
Gambar
1.
Kerangka Survei Penatagunaan Ruang Pesisir
Tahapan Pertama : Analisis
dan Pemetaan Data Mentah
Data komponen abiotik,
biotik, dan kultural disajikan masing-masing dalam dua perangkat peta. Perangkat peta yang satu
mengilustrasikan informasi struktural terpilih dominan pada ruang kajian, dan
peta lainnya menampilkan informasi fungsional menyangkut di mana proses-proses
berlangsung. Dalam
tahapan ini, kesenjangan dan ketidakakuratan data yang tersedia, berpeluang
teridentifikasi, dan hendaknya diungkapkan.
Ruang pesisir
merupakan bentang alam spesifik, sebagai percampuran pengaruh antara udara,
lautan dan daratan (Pethick, 1997).
Secara struktural, karakteristik fisiknya terkait
terutama dengan hidrografi (sungai, DAS), oseanografi (pasut, arus dan
gelombang), dan geomorfologi (bentuklahan). Sebagian informasi ini, nampaknya dapat
‘ditambang’ dari Atlas Pesisir dan Laut yang berhasil secara ‘terburu-buru’
dikerjakan oleh sejumlah daerah provinsi di Indonesia, November–Desember
2002. Untuk kawasan
daratan, deskripsi bentuklahan menurut sistem dan satuannya – sebagai salah
satu dasar peruntukan lahan – tersedia bagi semua daerah dalam Peta Sistem
Lahan terbitan BAKOSURTANAL. Meskipun demikian, deskripsi bentuklahan pesisir (daratan dan
perairan) berpeluang disusun dalam suatu “sistem dan satuan litoral” yang
khusus untuk perairannya dimasukkan atribut relief pasut dan arus litoral. Kedua atribut ini merupakan
peubah penting dalam studi mengunsur tentang sistem sel sedimen dan/atau sistem
litoral.
Informasi yang
dikoleksi pada sisi komponen biotik, terutama ditujukan untuk mengidentifikasi
pola keragaman spesies biota dalam tata ruang aktual. Secara umum, informasi
strukturalnya dapat meliputi komposisi spesies dan agihannya, kelimpahan,
densitas, dan tipe habitatnya.
Menurut Dahuri (2002), khusus perihal informasi sumber daya alam dan
jasa lingkungan, sebaiknya meliputi besaran atau biomasa secara spasial maupun
temporal untuk setiap jenisnya. Menyangkut informasi fungsional, pemetaan diupayakan
mengilustrasikan aspek kawasan migrasi dan arena perawatan, habitat yang
digunakan, dan kemungkinan arena pemijahan dari spesies penting. Berkenaan dengan kondisi
ruang sebagai habitat, informasi fungsional dapat pula menyajikan kawasan yang
telah dan/atau berpeluang mengalami pencemaran pesisir.
Pada sisi kultural,
informasi yang dikoleksi dapat difokuskan pada penampilan aktual penggunaan
dan/atau pemanfaatan ruang pesisir dan sumber dayanya. Demikian pula dengan
aransemen institusional yang berlangsung selama ini. Informasi struktural
dipetakan mencakup existing kawasan-kawasan
permukiman, wisata, jalur perhubungan, pelayaran, pelabuhan, penangkapan ikan,
budidaya ikan, pertanian/perkebunan, “penempatan limbah’, dan
proteksi/perlindungan pesisir. Sementara informasi fungsional dipetakan meliputi kawasan-kawasan
yang ditempati manusia, industri, rekreasi, dan usaha lainnya. Berkaitan dengan informasi fungsional,
kawasan-kawasan harapan masa depan dapat diajukan dalam peta, berupa antara lain : kawasan wisata, ‘penempatan limbah’, perikanan
rekreasi, dan penyewaan bagian pesisir tertentu atau pulau.
Tahapan Kedua :
Interpretasi Kebermaknaan beserta Keterbatasan Tata Ruang Pesisir
Dua perangkat indeks
digunakan untuk memindahkan data mentah ke bentuk yang lebih berarti sesuai
tujuan. Satu
perangkat digunakan untuk menilai kebermaknaan tata ruang, dan yang lainnya
untuk menilai keterbatasan tata ruang aktual.
Indeks kebermaknaan
tata ruang memberikan perbandingan nilai-nilai ‘natural’ dan ‘kultural’ sumber
daya pesisir dalam kawasan yang dtelaah menurut skala regional. Hal ini dapat dijabarkan
dari suatu kombinasi menyangkut teori-teori ekologi, geomorfologi, dan
nilai-nilai (ekonomi, sosial, budaya) bagi manusia. Berkaitan dengan ekologi, kebermaknaan dapat
diungkapkan antara lain berdasarkan keragaman biota dan komunitas beserta
kepentingannnya dalam keberlangsungan proses ekologik. Sementara proses geomorfik yang digerakkan
oleh aliran fluida, berkontribusi dalam perubahan dan perkembangan aktual suatu
lahan pesisir (Summerfield, 1991; Pethick, 1997). Kelestarian fungsi ruang permukaan bumi yang
eksistensinya dipengaruhi manusia, ditentukan sekaligus oleh keberlangsungan
proses ekologik dan proses geomorfik. Selanjutnya mengenai indeks keterbatasan tata ruang, ini dapat
diturunkan dari berbagai isu menyangkut komponen abiotik, biotik, dan kultural. Untuk keberlanjutan penggunaan dan/atau
pemanfaatan ruang dan sumber daya dalam kawasan yang ditelaah, keterbatasan
dimaksud dapat antara lain mencakup sensibilitas lahan, ketergantungan habitat
biota tertentu, laju perubahan penggunaan lahan, dan interaksi penggunaan lahan
pesisir. Dampak penting yang berpeluang
dialami lingkungan secara keseluruhan, diperhadapkan pada skenario tata ruang
pesisir masa depan (hasil perencanaan), perlu pula secara cermat diprakirakan
dan dituangkan sebagai perangkat keterbatasan tata ruang pesisir. Untuk itu, alokasi
penggunaan lahan dan analisis dampak lingkungan selayaknya diterapkan
sebagaimana diajukan Glaria dan Cenal (1999) secara mengesankan dalam
perencanaan penggunaan lahan.
Tahapan Ketiga : Peta
Ikhtisar
Sejumlah peta yang
dihasilkan pada tahapan kedua, dianalisis dan diinterpretasi dalam tahapan ini
untuk kemudian hasilnya disajikan sebagai ikhtisar kebermaknaan dan
keterbatasan tata ruang. Dalam hal ini, peta yang dihasilkan sebagai ikhtisar menyajikan
indikasi mengenai simpul-simpul utama beserta koridor dalam tata ruang. Selain itu, tergantung pada
interpretasi pada tahap-tahap sebelumnya, jumlah peta yang dihasilkan dapat
terdiri atas perangkat tunggal (satu ikhtisar kebermaknaan dan satu ikhtisar
keterbatasan) atau perangkat berganda (lebih dari satu ikthisar untuk aspek
kebermaknaan dan keterbatasan).
Peta ikhtisar
menyajikan interrelasi kawasan yang komponen abiotik, biotik, dan kultural
memiliki corak bermakna atau corak terbatas. Beberapa kawasan dalam
ruang yang ditelaah, dapat saja menampilkan kebermaknaan untuk semua komponen
ruang. Kawasan
lainnya berpeluang hanya dua komponen atau bahkan satu saja yang menampilkan
kebermaknaan. Kawasan
yang menampilkan kebermaknaan serupa atau kawasan kerumunan elemen bermakna,
menyajikan kemudahan dalam deliniasi batas, sesuai dengan pertimbangan/analisis
untuk tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Sebaliknya,
interrelasi kawasan yang komponen-komponen ruangnya menampilkan keterbatasan,
disisihkan sesuai tujuan dan sasaran, yang kemudian menjadi isu untuk ditangani
dalam perencanaan menyeluruh.
Tahapan Keempat :
Penetapan Batas dan Analisis Institusional
Pada tahapan ini, peta
yang dihasilkan dalam tahapan ketiga diinterpretasikan untuk memungkinkan
penetapan batas dan/atau peruntukan berbagai kawasan. Berkenaan dengan hal itu,
serangkaian analisis institusional diupayakan dalam menemukan
alternatif-alternatif terbaik.
Proses penarikan keputusan berkriteria ganda, dapat diterapkan baik
berupa metode pembobotan, maupun metode Electre
dan Analytic Hierarchy Process
(Glaria dan Cenal, 1999).
Penutup
Ruang laut dan pesisir di Indonesia merupakan
bentang alam tropis bermatra fraktal dalam skala luas dan isi yang tidak saja mengandung
sumber daya yang beragam, tapi juga memiliki sumber daya unggulan yang tidak
dapat ditiru (unimitable resources). Sejalan dengan
semangat otonomi daerah di bidang kelautan, upaya strategis mendayagunakan laut
selayaknya bertolak dari kaidah penataan ruang yang merupakan rangkaian proses yang tidak saja menyangkut
perencanaan tata ruang, tapi juga meliputi aktivitas pemanfaatan ruang pantai
beserta aktivitas pengendalian pemanfaatannya.
Untuk merencanakan
tata ruang pesisir, serangkaian proses penatagunaan berlangsung untuk
menetapkan alokasi dan/atau peruntukan ruang.
Tahapan proses yang disajikan dalam metode survei penatagunaan ini, akan dapat memberikan hasil optimal, bila secara harmonis
upayanya melibatkan tidak saja partisipan profesional tapi juga semua komponen
masyarakat pesisir terpaut.
Berita
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, http://www.dkp.go.id
Dahuri,
R., J.Rais, S.P.Ginting, dan M.J. Sitepu, 2001.
Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu.
Edisi Kedua. P.T. Pradnya Paramita.
Jakarta.
Dahuri,
R., 2002. Paradigma baru pembangunan Indonesia berbasis
kelautan. Orasi ilmiah gurubesar tetap bidang
pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan, FPIK – IPB, Bogor.
Glaria, G., dan M.A. Cenal, 1999. Land use allocation and environmental
impact assessment in land planning. In : F.B. Golley dan J. Bellot (Editor). Rural
planning from an environmental systems perspective. Springer-Verlag,
New York.
Golley,
F.B., dan J. Bellot, 1999. Planning as a way of achieving
sustainable development. In : F.B. Golley dan J. Bellot (Editor). Rural
planning from an environmental systems perspective. Springer-Verlag,
New York.
Hartadi, J. 2001. http://www.hayati-ipb.com/users/rudyct/
indiv2001/ joko_hartadi.htm
Indra, 2002. http://rudyct.tripod.com/sem1_023/indra_zainun.htm
Iskandar, 2001. http://www.hayati-ipb.com/users/rudyct/
indiv2001/ iskandar.htm
Khakhim, N. 2003. http://rudyct,tripod.com/pps702_71034/
nurul_kh.htm
Pethick, J., 1997. An introduction to coastal geomorphology. Eduard Arnold. London.
Skibicki,
A.J., 1995. Preliminary
boundary analysis of the Greater Pukaskwa National Park ecosystem using the ABC
resources survey approach. Occasional Paper N0.6 Dept. of
Summerfield,
M.A., 1991. Global
geomorphology. Longman
Science & Technology.
Undang-Undang Republik
Undang-Undang Republik