© 2003 Enni Dwi Wahjunie                                                                      Posted  18 December 2003

Makalah Pribadi

Pengantar Ke Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Desember 2003

 

 

 

SURFACE SEALING-CRUSTING, PEMBENTUKAN DAN PENGENDALIANNYA

 

 

 

Oleh:

 

 Enni Dwi Wahjunie

A261020011

E-mail: enniwahjunie@yahoo.com

 

 

ABSTRAK

 

Degradasi lahan umumnya diakibatkan oleh rusaknya struktur tanah yang diawali dengan terbentuknya surface sealing  dan crusting yang ada pada permukaan tanah .  Terbentuknya seal dan crust di permukaan tanah sangat tergantung pada : sifat-sifat tanah, iklim, dan pengelolaan terhadap tanah tersebut.  Oleh karena itu dalam tulisan ini diuraikan proses-proses terbentuknya seal dan crust; faktor-faktor yang mempengaruhi,  pengaruhnya terhadap sifat-sifat tanah, erosi, dan pertumbuhan serta produksi tanaman; dan cara-cara pengendalian terhadap seal dan crust.  Pemberian bahan amelioran berupa gypsum, bahan organik, dan pengaturan sistem pertanaman merupakan metode yang paling mudah dan relatif murah untuk mengendalikan degradasi lahan .

 

Kata kunci: Degradasi lahan, surface sealing, crusting, struktur tanah, erosi, amelioran, sistem pertanaman

 

 

 

I.  PENDAHULUAN

 

Salah satu penyebab degradasi lahan yang cukup penting adalah penurunan kualitas fisik tanah, dalam hal ini adalah rusaknya struktur tanah.  Kerusakan struktur tanah umumnya dimulai oleh  terbentuknya lapisan (seal) dan kerak (crust) di permukaan tanah (surface sealing dan crusting).  Akibat dua keadaan tersebut dapat menyebabkan kesulitan perkecambahan biji, menghambat pertumbuhan tanaman, dan  pengurangan laju infiltrasi tanah. Selanjutnya, penurunan laju infiltrasi tanah dapat mengurangi persediaan air dalam tanah, meningkatkan jumlah dan laju aliran permukaan dan pada akhirnya meningkatkan bahaya erosi pada tanah. 

Terbentuknya crust di permukaan tanah tergantung pada: 1. sifat dan proses pembentukan crust, 2. pengaruh pengelolaan lahan, dan 3. tindakan pengelolaan untuk mengurangi degradasi struktur tanah (Bresson, 1995; Angers 1998).  Selanjutnya Angers (1998) mengemukakan bahwa kondisi struktur tanah cukup bervariasi dengan waktu dan tempat, di mana tergantung pada jenis tanah, iklim, dan pengelolaan lahan.  Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi  secara komplek  yang selanjutnya mempengaruhi proses-proses fisik dan biologi dalam tanah untuk mengontrol struktur tanah.

            Usaha pengendalian degradasi tanah akibat terbentuknya crust dapat dilakukan dengan berbagai tindakan tergantung pada jenis tanah, dan jenis crust yang terbentuk, antara lain dengan penambahan gypsum atau bahan organik, pengurangan intensitas pengolahan tanah, dan penutupan permukaan tanah.

            Hasil-hasil penelitian terhadap soil crusting telah banyak di lakukan di luar negeri, namun di Indonesia selama ini penelitian tentang degradasi lahan lebih banyak difokuskan pada penurunan kualitas fisik tanah akibat erosi dan aliran permukaan.  Padahal, penurunan kualitas fisik tanah diawali oleh rusaknya agregat tanah yang diikuti oleh terbentuknya seal dan crust di permukaan tanah. Oleh karena itu dalam tulisan ini akan diuraikan secara rinci mengenai proses-proses terbentuknya seal dan crust, faktor-faktor yang mempengaruhi, pengaruhnya terhadap sifat-sifat tanah yang lain, serta cara-cara pencegahan dan pengendalian seal dan crust dengan pemilihan teknik konservasi tanah dan air.

 

 

II.  PEMBENTUKAN SURFACE CRUSTING

 

2.1.  Pengertian Soil Sealing dan Crusting

            Soil crusting adalah lapisan tipis yang mengeras di permukaan tanah, terjadi pada tanah kering (Bresson, 1995).  Istilah soil sealing digunakan untuk menjelaskan impermeabilitas secara dangkal terutama pada lingkungan basah.  Soil sealing terjadi jika agregat-agregat yang hancur menjadi partikel-partikel yang lebih kecil masuk ke dalam pori tanah untuk membentuk horizon tanah yang padat dan kemudian dapat menurunkan infiltrasi (Scheffer-Schachtschabel, 1998 dalam Thierfelder et al, 2002). 

            Menurut Le Bissonnais (1996), terbentuknya struktur crust pada permukaan tanah disebabkan energi kinetik hujan yang menimpa permukaan tanah dan terjadi pembasahan secara cepat yang menyebabkan slaking (perpecahan agregat) dan dispersi liat, selanjutnya liat menutupi pori-pori tanah.  Lapisan seal yang tipis ini berkembang dan bila kering menjadi lapisan crust yang keras.

 

2. 2  Faktor-faktor yang  mempengaruhi pembentukan seal  dan crust

 

Terbentuknya  crust di permukaan tanah, menurut Bresson dan Valentin (1994)  dalam Bresson (1995) tergantung pada jenis tanah, iklim, dan pengelolaan tanah. Berbagai faktor tersebut saling berinteraksi antara satu dengan yang lain secara komplek.  Zhang dan Miller (1996) mengemukakan bahwa terbentuknya crusting disebabkan oleh dua proses yang saling komplementer, yaitu 1.  disintegrasi fisik agregat tanah dan pemadatan tanah yang disebabkan oleh energi tetesan butir hujan, dan 2. dispersi kimia dan pergerakan partikel liat yang menyebabkan tertutupnya pori-pori dan membentuk lapisan kurang permeable di bawah permukaan tanah.  Peranan dua proses di atas secara relatif tergantung pada energi curah hujan, kualitas air, dan sifat tanah.  Proses fisik akan dominan apabila tanah memiliki Electrolyte Concentration (EC) tinggi atau Exchangeable Sodium Percentage (ESP) rendah yang terbuka terhadap intensitas hujan yang tinggi.  Dengan cara lain, proses kimia dapat menambahkan proses fisik.  Interaksi kedua proses menjadi nyata jika tanah memiliki ESP dan  EC rendah, dan didominasi oleh mineral liat 1:1 yang terbuka oleh curah hujan dengan EC rendah

 Adapun Le Bissonnais (1996) merangkum dari peneliti-peneliti sebelumnya, bahwa pembentukan crust didahului oleh pecahnya agregat tanah yang dapat dibedakan ke dalam empat proses utama:

1.  Slaking, yaitu pecahnya agregat tanah oleh desakan udara

     yang  terjerap, Selama terjadi pembasahan, volume udara berkurang dan terjadi penurunan gradien potensial matrik. Chan dan Mullins (1994) mengemukakan bahwa pecahnya agregat tanah akibat slaking berkurang apabila kadar liat tanah meningkat.

2.      Pecahnya agregat oleh perbedaan pembengkakan dan pengkerutan pada saat basah dan kering liat tanah sehingga menyebabkan terbentuknya microcracking pada agregat.  Terbentuknya microcracking dapat mempercepat pembentukan struktur crust.,

3.      Pecahnya agregat oleh energi kinetik hujan, dan

     4. Dispersi fisiko-kimia akibat tekanan osmotic. Selama terjadi   pembasahan, gaya tarik antar partikel koloid tanah berkurang.  Stabilitas atau dispersi agregat tergantung pada ukuran kation dan valensinya.  Kation monovalen menyebabkan dispersi dan kation polivalen menyebabkan flokulasi.  Dispersi juga dipengaruhi oleh electrolyte concentration (EC) dan exchangeable sodium percentage (ESP) tanah.  Perbedaan masing-masing cara ditampilkan dalam Tabel 1.

Ramos et al (2000) mengemukakan bahwa faktor penting yang dapat memudahkan terbentuknya sealing adalah tingginya kadar debu dan rendahnya kadar bahan organik tanah.

Secara umum sifat-sifat tanah yang berperan dalam stabilitas agregat mempengaruhi pembentukan crust. Sifat-sifat tersebut adalah: tekstur, jenis mineral liat, kadar bahan organik, tipe dan konsentrasi kation, kadar sesquioksida, dan kadar CaCO3.  Untuk tanah-tanah tropika dan Laterit, pembentukan crust dipengaruhi oleh ESP, Fe dan Al oksida dan Oksihidroksida yang dapat menyemen agregat, serta bahan organik tanah yang merupakan agent pengikat antar partikel mineral tanah.  Besarnya pengaruh dari sifat-sifat tanah tersebut tidak terlepas dari system pengelolaan yang diterapkan pada suatu lahan.

Pengelolaan tanah yang dapat mempengaruhi pembentukan sealing dan crusting meliputi: pengolahan tanah, system pertanaman, dan penambahan bahan kimia maupun amelioran ke dalam tanah.  Ketiga

 

Tabel 1. Karakteristik dari mekanisme utama perpecahan agregat

 

Mekanisme

Slaking

Swelling

Energi huja

Dispersi fisiko-kimia

Tipe gaya yang bekerja

Tekanan internal oleh udara terjerap selama pembasahan

Tekanan internal oleh pembengkakan liat

Tekanan eksternal oleh energi kinetik hujan

Gaya tarik internal antara partikel koloid

Sifat tanah yang mengontrol mekanisme

Porositas,pembasahan, kohesi internal

Potensial pembengkakan, kondisi pembasahan, kohesi

Kohesi basah (liat, bahan organic, dan oksida)

Status ion, mineal liat

Fragmen yang dihasilkan

Mikro agregat

Makro dan mikroagregat

Partikel tanah

Partikel tanah

Intensitas disagregasi

Besar

Terbatas

Kumulatif

Total

 

 

faktor tersebut sulit untuk dipisahkan pengaruhnya karena dalam penerapannya di lapangan sering dilakukan secara bersama-sama (kombinasi).

Adanya tanaman yang selalu tumbuh di atas tanah akan selalu menutupi permukaan tanah dari daya perusak butir hujan.  Di samping itu tanaman yang ada di lapangan dapat meninggalkan residu, yang merupakan sumber bahan organik. Hasil penelitian Moss, (1991) menyebutkan  besarnya  proporsi   curah   hujan  yang   diintersepsi   oleh

tanaman telah dilepaskan kembali sebagai tetesan gravitasi yang besar dimana lebih erosive.  Namun tetesan butir hujan yang jatuh pada ketinggian kurang dari 30 cm di atas permukaan tanah memiliki erosivitas yang dapat diabaikan, sehingga penutupan serasah dan sisa tanaman dapat mengubah raindrops menjadi impact droplets yang hampir tidak erosive karena kecilnya kecepatan jatuh dan ukuran butir hujan.  (Moss dan Watson, 1991).  Penutupan ruang diameter antara 1-3 mm oleh bahan tanaman (misalnya rumput, daun-daun dan serasah) terutama efektif dalam mengurangi crusting akibat hujan.

Hasil penelitian Caron et al (1996) mengemukakan bahwa adanya bahan organik yang masih tinggi pada lahan yang tidak diusahakan dapat melindungi slaking  dan mellowing agregat.  Bahan organik dapat memperlambat masuknya air ke dalam agregat, sehingga agregat tidak mudah pecah.

Pertumbuhan tanaman di lapangan juga dapat mempengaruhi stabilitas agregat makro tanah oleh pengaruh perakaran, hifa fungi, dan eksudat yang dihasilkan, baik oleh mikroba maupun perakaran tanaman.  Dekompossi sisa tanaman menyebabkan lingkungan di sekitarnya membentuk agregat akibat terikatnya partikel-partikel tanah oleh hifa fungi maupun mucilages oleh mikroba dekompuser.(Angers, 1998).  Chantigny et al (1997), mengemukakan bahwa perubahan dari bera menjadi system pertanaman telah merubah agregasi tanah yang dicerminkan oleh banyaknya  fraksi berukuran besar (>2 mm)

 

2. 3.  Jenis-Jenis Soil Sealing dan Crusting

West et al (1992) dalam Le Bissonnais (1996) membedakan morfologi crust ke dalam dua tipe utama, yaitu structural crust dan depositional  atau sedimentary crust.  Structural crust terbentuk oleh reorganisasi dengan sedikit perpindahan fragmen.  Crust ini umumnya terbentuk oleh proses slaking dan microcracking.  Adapun depositional crust terbentuk oleh perpindahan dan pemilihan  fragmen di bawah kondisi tergenang. 

Crust ini umumnya terbentuk oleh proses dispersi dan perpecahan mekanik oleh energi kinetik hujan.  Hubungan antara crusting dan erosi dapat dilihat pada Gambar 1.

 

 

 

Gambar 1. Diagram hubungan antara perpecahan agregat,  crusting, dan erosi (Le Bissonnaise 1990 dan Hairsine dan Hook, 1995 dalam Le Bissonnais, 1996)

 

Adapun Valentin dan Bresson (1992) membagi structural crust kedalam empat kelompok, yaitu: slaking crust, infilling crust, coalescing crust, dan sieving crust; sedangkan depositional crust dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu:run off depositional crust, still depositional crust, dan erosion crust.

 

 

III.  PENGARUH SURFACE CRUSTING PADA SIFAT-SIFAT FISIK, EROSI, DAN PRODUKSI TANAMAN

 

 

3.1.  Pengaruh Surface crusting pada sifat-sifat fisik tanah

 

Terbentuknya sealing dan crusting pada permukaan tanah telah dapat mempengaruhi berbagai sifat-sifat tanah, antara lain: penurunan laju infiltrasi tanah, penurunan permeabilitas tanah, peningkatan bobot jenis tanah, dan soil strength.  Hasil penelitian Ramos et al (1999) menunjukkan bahwa laju infiltrasi telah menurun 1-7 mm/jam hanya dalam waktu 20 menit akibat terbentuknya crust.

 

 

3. 2.  Pengaruh Surface crusting pada Erosi

 

Pengaruh crust yang terbentuk di permukaan tanah terhadap erosi tanah cukup komplek.  Pada satu pihak, pengurangan laju infiltrasi akibat terbentuknya crust di permukaan tanah menyebabkan peningkatan jumah dan laju aliran permukaan, selanjutnya meningkatkan erosi.  Di lain pihak, daya hancur kerak ( crust detachability) sering lebih rendah dibandingkan detachability tanah asal, sehingga crust yang terbentuk menurunkan erodilitas tanah.  Sebagai akibatnya, kehilangan tanah oleh erosi antara alur (interrill) berkurang akibat terbentuknya crust.  Pada gilirannya, tingginya aliran permukaan dan rendahnya sedimen akibat crusting dapat meningkatkan penghancuran alur (rill detachment) (Nearing et al, 1990).  Dengan demikian erosi tidak hanya dipengaruhi oleh crust yang terbentuk, dan kehilangan tanah sering mencapai maksimum setelah beberapa menit kejadian hujan kemudian berkurang menuju nilai konstan (Moore dan Singer, 1990).  Pengurangan erosi berhubungan dengan peningkatan tinggi aliran permukaan dimana mengurangi daya hancur oleh energi hujan.

            Terbentuknya seal dan crust  menyebabkan permukaan tanah antar alur (interrill) menjadi lebih tahan terhadap energi kinetik hujan dan daya angkut aliran permukaan, tetapi di dalam alur tanah lebih potensial tererosi (Zhang dan Miller, 1996).  Aliran permukaan pada alur memiliki daya hancur yang kurang, tetapi daya angkut tinggi; sebaliknya pada antar alur memiliki daya angkut rendah dan daya hancur tinggi  Dengan demikian bahan sedimen yang berasal dari alur lebih kasar dibandingkan antara alur karena tidak selektifnya pemindahan bahan masiv dari alur.

 

 

3. 3.  Pengaruh Surface crusting pada pertumbuhan dan produksi  tanaman

 

Pengaruh pengkerakan permukaan tanah pada pertumbuhan tanaman melalui berbagai cara , antara lain:1.  Kerak di permukaan tanah dapat menurunkan infiltrasi dan permeabilitas tanah di permukaan.  Besarnya penurunan ini sangat tergantung pada sejauh mana tingkat degradasi struktur tanah yang telah terjadi.  Keadaan ini dapat mengurangi imbibisi biji, untuk selanjutnya menghambat percecambahan biji, dan pertumbuhan tanaman juga terhambat.  Kerak di permukaan tanah juga dapat menghambat permeabilitas udara.  2. Dalam keadaan kering, kerak di permukaan memiliki ketahanan penetrasi yang cukup tinggi sehingga dapat menghambat penyerapan hara, selanjutnya mempengaruhi produksi tanaman.  3. Albedo permukaan tanah meningkat tajam akibat terbentuknya bare silt dan sand grains pada permukaan kerak.  Hal ini sangat penting , terutama untuk daerah lintang tinggi, dapat menghambat pemanasan tanah guna menunjang perkecambahan biji.

Perbaikan kondisi fisik tanah akibat berkurangnya crusting dapat  meningkatkan produksi singkong sampai 30,92 ton/ha dibanding  kontrol yang hanya 4,33 ton/ha ( Thierfaelder, 2002).

 

 

IV. PENGENDALIAN SEALING DAN CRUSTING

 

Pengendalian crusting dapat dikelompokkan ke dalam pencegahan terbentuknya dan perbaikan permukaan tanah yang telah terbentuk crust.  Cara-cara pengendalian tergantung proses-proses yang menyebakan terjadinya crust.  Bresson dan Valentin (1994) dalam Bresson (1995) mengemukakan bahwa pada kenyataannya crust dapat terjadi di bawah pengaruh energi kinetik hujan yang rendah, terutama pada tanah-tanah yang tidak stabil. Berbagai penelitian telah banyak dilakukan dalam rangka mencegah atapun memperbaiki sealing dan crusting yang telah terbentuk.  Pengaruh berbagai cara pengelolaan tanah telah dilakukan dengan mengukur suatu indikator terbentuknya seal dan crust berupa beberapa sifat tanah, seperti laju infiltrasi minimum, permeabilitas, konduktivitas hidrolik, ketahanan penetrasi tanah, persentase perkecambahan biji, kemantapan agregat, dan aliran permukaan, serta erosi (Green et al, 2000). 

Usaha pencegahan sealing dan crusting di permukaan tanah dapat diusahakan dengan cara menanam sesegera mungkin dengan mempercepat perkecambahan biji sebelum tanah kering, sehingga dapat mengurangi kerugian akibat crusting.  Mulsa dapat digunakan untuk mencegah terbentuknya crust yang disebabkan oleh energi kinetik hujan.  Apabila crust terjadi akibat slaking oleh udara yang terjerap, pencegahan crusting dapat dilakukan dengan membasahi tanah melalui irigasi (Bresson,1995).  .

 Pada tanah – tanah dengan ESP dan EC rendah dan didominasi oleh mineral liat tipe 1:1, penutupan kanopi atau mulsa ditambah dengan pemberian gypsum lebih efektif dibandingkan tanpa perlakukan.  Penambahan gypsum dan kanopi dapat meningkatkan laju infiltrasi minimum hampir 26%, dan 132% pada perlakuan kombinasi (Zhang dan Miller, 1996).

Secara umum pengendalian crusting dapat dilakukan melalui pencegahan kerusakan struktur tanah dan perbaikan struktur tanah yang telah rusak.  Pencegahan dan perbaikan kerusakan struktur tanah dapat dilakukan dengan penambahan bahan organik dan melindungi permukaan tanah dari energi butir hujan dengan mengatur system pertanaman,

Le Bissonnais dan Arrouays (1997) mengemukakan bahwa penambahan bahan organik ke dalam tanah telah dapat meningkatkan stabilitas agregat tanah sehingga dapat mengurangi surface  sealing. Thierfelder (2002) mendapatkan hasil bahwa penambahan pupuk kandang telah memperbaiki kondisi tanah seperti: soil hardening pada tingkat sedang, agregasi terjadi, dan laju infiltrasi meningkat. Penambahan bahan organik dapat dilakukan melalui pemberian pupuk kandang, pengembalian sisa tanaman ataupun dengan cara pergiliran tanaman dengan tanaman penutup tanah.

Pengaturan sistem pertanaman menyangkut pola tanam dan jenis tanaman yang diusahakan, Dengan mengatur pola tanam yang disesuaikan dengan distribusi hujan sepanjang tahun, maka perlindungan terhadap permukaan tanah dapat terjadi secara terus-menerus.  Sehingga pada bulan-bulan dengan curah hujan tinggi, tanah telah tertutup dengan vegetasi secara sempurna.

Pengendalian kerusakan tanah, terutama pada lahan pertanian intensif dengan pengaturan sistem pertanaman yang dikombinasikan dengan penambahan bahan organik berupa pupuk kandang dapat disarankan sebagai salah satu metode pengawetan tanah yang relatif murah dan mudah. Keadaan permukaan tanah yang selalu tertutup oleh vegetasi akan memberikan sisa tanaman yang dapat digunakan sebagai sumber bahan organik.

 

 

V.     KESIMPULAN

 

1.      Surface sealing dan crusting dipengaruhi oleh sifat-sifat tanah, iklim, dan cara-cara pengelolaan lahan

2.      Adanya sealing dan crusting dapat menurunkan kualitas fisik tanah, meningkatkan erosi dan aliran permukaan, serta mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman.

3.      Pemberian bahan amelioran berupa gypsum dan bahan oraganik dan pengaturan sistem pertanaman dapat digunakan untuk mengendalikan degradasi lahan secara mudah dan relatif murah.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Angers, D. A. 1998.  Water-stable aggregation of Quebec silty clay soils: some factors controlling its dynamics.  Soil Tillage Research. 47:91-96.

 

Bresson, L.M. 1995.  A Review of Physical management for crusting control in Australian ropping systems research opportunities.  Aust. J. Soil Res. 33:195-209.

 

Chan, K. Y.  dan Mullins, C. E.  1994.  Slaking characteristics of some Australian and British soils.  Europ. J. Soil Sci. 45:273-283.

 

Chantigny, M. H., D.A. Angers, D. Prevost, L.P. Vezina, and F. P. Chalifour.  1997.  Soil aggregation and fungal and bacterial biomass under annual and perennial cropping systems.  Soil Sci. Soc. Am . J. 61:262-267.

 

Greent, V. S., D.E. Stott, L.D. Norton, dan J. G. Graveel.   2000.  Polyacrylamide molecular weight and charge effects on infiltration under simulated rainfall.  Soil Sci. Soc. Am. J. 64 : 1786-1791.

 

Le Bissonnais, Y.  1996.  Aggregate stability and assessment of crustability and erodibity : I. Theory and methodology.  Europ. J. Soil Sci. 47:425-437.

 

Le Bissonnais, Y.  dan D. Arrouays.  1997.  Aggregate stability and assessment of soil crustability and erodibility : II. Application to humic loamy soils with various organic carbon contens.  Europ. J. Soil Sci. 48:39-48.

 

Moore, D. C. dan Singer, M. J.  1990.  Crust formation effects on soil erosion processes.  Soil Sci. Soc. Amer J. 54:1117-1123.

 

Moss.A.J.  1991.  Rai-impact soil crust.  1: Formation on granite derived soil.  Australian Journal of Soil Research 29:271-290

 

Moss, A. J., and Watson C. L. 1991.  Rain-impact soil crust3: Effect of continuous and flawed crust oninfiltration, and the ability of plant covers to maintain crustal flaws.  Aust. J. Soil Res. 29:311-330

 

Nearing,M.A., Lane, L.J., Alberts, E. E., and Laflen, J.M.  1990.  Prediction technology for soil erosion by water: status and research needs.  Soil Sci Soc Amer. J. 54:1702-1711.

 

Ramos, M. C., S. Nacci, dan I. Pla.  2000.  Soil sealing and its influence on erosion rates for some soils in the Mediterranean area.  Soil Sci.165: 398-405.

 

Thierfelder, C. E. Amezquita, R. J. Thomas, and K. Stahr.  2002.  Characterization of the phenomenen of soil crusting and sealing in the Andean Hillsides of Colombia: physical and chemical constrain.  Procceding 12 th ISCO Conference. Beijing 2002.

 

Valentin, C.  dan  l. M. Bresson.  (1992).  Morphology, genesis, and classification of surface crusts in loamy and sandy soils.  Geoderma 55:225-245.

 

Zhang, X. C. dan W. P. Miller. 1996.  Physical and chemical crusting processes affecting runoff and erosion in furrows.  Soil Sci. Soc. Am J. 60:860-865.