© 2003  Agus Nuryanto                                                                                         Posted, 10 November 2003

Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

November  2003

 

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof. Dr. Zahrial Coto

 

 

 

 

 

SYLVOFISHERY (MINA HUTAN):

PENDEKATAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE SECARA LESTARI

 

 

Oleh:

 

Agus Nuryanto

G361030031/BIO

E-mail:  anuryanto2003@yahoo.com

 

 

 

PENDAHULUAN

Ekosistem hutan mangrove merupakan kawasan hutan di wilayah pantai. Ekosistem hutan ini tersusun oleh flora yang termasuk dalam kelompok rhizoporaceae, combretaceae, meliaceae, sonneratiaceae, euphorbiaceae dan sterculiaceae.  Sementara itu, pada zona ke arah darat ditumbuhi oleh jenis paku-pakuan (Acrostichum aureum).

Ekosistem hutan mangrove merupakan tipe sistem fragile yang sangat peka terhadap perubahan lingkungan, padahal ekosistem tersebut bersifat open acces sehingga  meningkatnya eksploitasi sumberdaya mangrove oleh manusia akan menurunkan kualitas dan kuantitasnya.

Sementara itu, ekosistem hutan mangrove merupakan habitat bagi berbagai macam satwa liar antara lain reptil dan ikan-ikan yang penting secara ekonomis dan bialogis seperti kakap, bandeng, belanak dan udang. Lebih daripada itu, ekosistem hutan mangrove sangat mendukung perikanan artisanal.  Meskipun merupakan usaha perikanan skala kecil dan tradisional ternyata memiliki makna ekonomi yang cukup penting.  Bahkan pernah dilaporkan oleh Martosubroto dan Sudrajat (1974) bahwa perairan hutan mangrove di kawasan Segara Anakan Cilacap menyumbang 70% total produksi perikanan yang didaratkan di Cilacap. Namun, kondisi tersebut sudah jauh berkurang karena sebagian besar kawasan hutan mangrove di Segara Anakan Cilacap telah berubah jadi daratan oleh adanya sedimentasi dan rusaknya hutan karena penebangan. Menurut Ditjen Pengairan Departemen PU (1994), Segara Anakan menerima berbagai tekanan seperti sedimentasi, deforestasi dan konversi lahan.  Sedimentasi mempunyai pengaruh terhadap luasan Segara Anakan.  Luas kawasan telah berubah dari 6.450 ha pada tahun 1903 menjadi 1.800 ha pada tahun 1992.  Keadaan tersebut berubah setiap tahun (pengamatan penulis Agustus 2003).

Fungsi dan peran ekosistem hutan mangrove sangat penting sebagai tempat untuk memijah, mengasuh anak, berlindung serta mencari makan bagi berbagai jenis ikan.  Oleh karena itu,  kelestariannya harus dijaga.  Penurunan kualitas dan kuantitas ekosistem hutan mangrove akan mengancam kelestarian habitat tersebut dan selanjutnya akan mengancam kehidupan fauna tadi (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999a).

Untuk meningkatkan dan melestarikan fungsi biologis dan ekologis ekosistem hutan mangrove perlu suatu pendekatan yang rasional di dalam pemanfaatannya dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan dan masyarakat yang memanfaatkan kawasan hutan mangrove secara langsung.  Penerapan sistem mina hutan (sylvofishery) di ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu pendekatan yang tepat dalam pemanfaatan  ekosistem hutan mangrove secara lestari.

Mina hutan merupakan pola pendekatan teknis yang cukup baik, yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove.  Sistem ini memiliki teknologi sederhana, dapat dilakukan tanpa merusak tanaman bakau yang ada dan dapat dilakukan sebagai kegiatan sela sambil berusaha menghutankan kembali kawasan jalur hijau di daerah pantai yang kritis (Perhutani, 1993).  Dengan pola ini, diharapkan ada kerjasama yang saling menguntungkan antara petani penggarap dan fihak kehutanan.  Sebagai contoh,  di daerah Blanakan dan Cikeong Kabupaten Subang telah diadakan kerjasama mina hutan antara fihak perhutani dan  masyarakan di sekitar kawasan hutan serta hasilnya cukup baik bagi petani ikan maupun kelestarian hutan mangrove itu sendiri (pengamatan penulis dan tim peneliti ke lokasi).

Penerapan kegiatan mina hutan di kawasan ekosistem hutan mangrove  secara umum diharapkan dapat mencegah perusakan kawasan tersebut oleh masyarakat karena akan memberikan alternative sumber pendapatan bagi masyarakat di kawasan tersebut.  Sedangkan untuk perambah hutan, dapat disediakan lapangan kerja sebagai pedagang dengan menjadikan kawasan mina hutan sebagai kawasan wisata seperti yang terjadi di Blanakan dan Cikeong. Dengan demikian, kawasan mina hutan dapat berfungsi ganda yaitu menjaga dan memelihara ekosistem serta menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat.

LANDASAN HUKUM

Pengelolaan suatu kawasan tidak dapat terlepas dari aturan dan landasan hukum yang ada.  Landasan hukum pengelolaan ekosistem hutan mangrove di Indonesia adalah Undang-undang No. 4 tahun 1960, tentang peraturan teritorial nasional di seluruh nusantara dan perairan sekitarnya di luar jarak 12 mil laut; Undang-undang No. 1 tahun 1963,  tentang batas kontinental pada kedalaman     200 m; Undang-undang No. 5 tahun 1983, tentang pengelolaan sumberdaya pada 200 mil laut zona ekonomi ekslusif.

Mengenai upaya yang terkait dengan kegiatan konservasi dan pemeliharaan lingkungan berdasarkan pada Undang-undang No. 4 tahun 1982, tentang ketetapan dasar pengelolaan lingkungan hidup yang menyangkut kebijakasanaan pembangunan yang lestari, pemeliharaan ekosistem, pengendalian dampak lingkungan dan perlindungan terhadap polusi.  Peraturan pemerintah No. 29 tahun 1993, tentang pengetrapan Undang-undang No. 4 tahun 1982, melalui AMDAL.  Undang-undang No. 5 tahun 1990, tentang konservasi sumberdaya hayati dan ekosistemnya yang menyangkut konsep-konsep integritas ekosistem dan pemanfaatan lestari.  Undang-undang No. 24 tahun 1992 tentang kegunaan Undang-undang No. 5 tahun 1990, melalui pengelolaan tata ruang dan undang-undang     No. 41 tahun 1999, tentang kehutanan.

Sedangkan untuk pengelolaan kawasan tertentu diatur dengan  dasar yang berbeda, seperti pengelolaan Hutan Lindung Angke Kapuk berdasarkan pada Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 24 tanggal 18 Juni 1939, tentang penetapan Muara Angke sebagai Cagar Alam dan dikuatkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 667/Kpts-II/1995, tentang penetapan Cagar Alam Muara Angke Kapuk serta Sk Menteri Pertanian No. 161/Um/6/1977. 

STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN MANGROVE

Agar strategi pengelolaan kawasan ekosistem hutan mangrove dengan kegiatan mina hutan dapat diterapkan di suatu kawasan, maka perlu dilakukan penelaahan mengenai karakter biofisik kawasan dan analisis permasalahan yang ada di suatu kawasan ekosistem hutan mangrove.  Apabila karakter biofisik dan permasalahan sudah diketahui maka prinsip-prinsip pengelolaan, azas dan tujuan pengelolaan serta sasaran pengelolaan dapat ditentukan.

Prinsip Pengelolaan

Sebagai kawasan hutan prinsip pengelolaan hutan mangrove tidak berbeda dengan pengelolaan hutan secara umum. Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara harmonis dan seimbang.  Oleh karena itu hutan harus dikelola dan diurus, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia baik generasi sekarang maupun yang akan datang.  Dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia, olehkarena itu harus dijaga kelestariannya. 

Sejalan dengan jiwa pada pasal 33 UUD 1945, penyelenggaraan kehutanan senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan.  Oleh karena itu penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan azas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan serta bertanggung jawab.  Dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan rakyat, maka pada aprinsipnya semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik dan kerentanannya serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya.

Azas dan Tujuan

Berdasarkan karakteristik lokasi dan analisis masalah disuatu kawasan ekosistem hutan mangrove serta kaitannya dengan dengan fungsi kawasan, maka pengelolaan dan pengembangan kawasan ekosistem hutan mangrove dimaksud, termasuk untuk kegiatan mina hutan (sylvofishery), perlu didasarkan atas azas kelestarian, manfaat dan keterpaduan dengan tujuan:

(1)   menjamin keberadaan ekosistem hutan mangrove dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional,

(2)   mengoptimalkan aneka fungsi kawasan tersebut, termasuk fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi yang seimbang secara berkelanjutan

(3)   meningkatan daya dukung kawasan, serta

(4)   mendukung pengembangan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga menciptakan ketahanan sosial ekonomi.

Sasaran

Sasaran kebijakan pengelolaan ekosistem hutan mangrove secara umum perlu diarahkan pada tiga aspek yaitu:

(1)   mengurangi tekanan terhadap ekosistem hutan mangrove, dalam bentuk:

a)      pengawasan yang ketat terhadap penebangan liar, perburuan liar dan ancaman kerusakan hutan lainnya;

b)      menindak petambak liar yang beroperasi

c)      melakukan penataan kawasan

(2)   revitalisasi fungsi ekosistem hutan mangrove, dalam bentuk:

a)      melakukan penghutanan kembali (reforestration) daerah yang telah rusak tegakan mangrovenya,

b)      menata dan memperbaiki aliran pasang surut di dalam kawasan yang sudah terganggu

(3)   mengembangkan manfaat sosial ekonomi kawasan, dalam bentuk:

a)      menata dan memperbaiki sistem budidaya perikanan yang ada dengan sistem mina hutan

b)      mengembangkan program wisata alam ekosistem hutan mangrove yang menarik dan profesional

(4)   merumuskan kembali sistem kelembagaan pengelolaan ekosistem hutan mangrove yang menjamin adanya sinergisme antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dalam mendukung fungsi ekologi dan ekonomis kawasan tersebut.

 

RANCANGAN TEKNIS PENGELOLAAN

Penataan Zona

Adanya sifat open acces pada kawasan ekosistem hutan mangrove maka diperlukan upaya penataan zona di kawasan.  Upaya tersebut dimaksudkan sebagai upaya meminimalkan kerusakan dan melestarikan fungsi ekologis dan ekonomis kawasan.  Penataan zona disini adalah pembagaian kawasan ekosistem hutan mangrove menjadi zona pemanfaatan dan zona perlindungan atau konservasi.

Reboisasi

Reboisasi diperlukan untuk kawasan ekosistem hutan mangrove yang sudah terlanjur digunakan untuk usaha perikanan tetapi dengan proporsi  yang tidak seimbang yaitu 80% tambak dan 20% hutan menjadi sebaliknya dan kawasan mangrove yang terkena abrasi.

Kendala upaya reboisasi di daerah tambak adalah kedalaman air kolam yang melebihi 1 meter.  Pada kedalaman ini bibit bakau akan terapung, tidak akan mampu mencapai media tumbuh yang berupa lumpur.  Pengurugan kolam tidaklah mungkin ditinjau dari aspek pembiayaan dan sumber tanah yang sejenis.  Suatu jalan pemecahan yang mungkin dilakukan adalah  dengan cara menanam bibit bakau dalam bumbung bambu.  Bumbung bambu tersebut diisi lumpur kemudian ditanami bibit bakau dan ditancapkan di kolam-kolam.

Adapun kendala reboisasi di daerah abrasi adalah tidak adanya media lumpur yang memadai untuk tumbuh bibit bakau dan daerahnya labil karena selalu terkena ombak. Untuk reboisasi di wilayah ini, terlebih dahulu perlu dilakukan kegiatan prakondisi berupa pengamanan dari pukulan ombak dan penyediaan media tumbuh.  Caranya adalah dengan pembuatan “groin” dari batu sepanjang garis pasang surut.  Namun pembuatan groin ini memerlukan biaya yang cukup besar.  Alternatif lain adalah membuat terucuk bambu yang rapat. Pembuatan groin atau terucuk bambu ini bertujuan untuk menahan lumpur yang terbawa ombak sehingga lama-kelamaan akan tersedia media tumbuh yang sesuai bagi pertumbuhan pohon.  Jenis pohon yang cocok untuk daerah yang terkena abrasi adalah api-api    (Avicenia sp).

 

Pengembangan Mina Hutan

Seperti diuraikan di atas, bahwa perlu adanya zonasi dikawasan ekosistem hutan mangrove salah satunya adalah zona pemanfaatan.  Zona pemanfaatan dalam hal ini diperuntukan bagi kegiatan mina hutan (sylvofishery). 

Penerapan mina hutan dikawasan ekosistem hutan mangrove diharapkan dapat tetap memberikan lapangan kerja bagi petani disekitar kawasan tanpa merusak hutan itu sendiri dan adanya pemerataan luas lahan bagi masyarakat.  Harapan ini dapat terwujud dengan catatan tidak ada pemilik modal yang menguasai lahan secara berlebihan.  Untuk mengantisipasi hal tersebut, harus ada ikatan perjanjian antara pengelola tambak dan Dinas Kehutanan, yang antara lain berisi kewajiban bagi pengelola tambak untuk menjaga kelestarian hutan serta sanksi bagi pengelola tambak mengingkari kewajibannya. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani di daerah Blanakan, Subang, ketentuan yang harus dipenuhi oleh pengelola tambak antara lain mnjaga perbandingan hutan dan tambak sebesar 80% hutan dan 20% kolam.  Jika perbandingan hutan dan tambak 50-80% : 20-50%, pengelola tambak diberi peringatan dan jika perbandingan antara hutan dan tambak mencapai 50% : 50% ijin pengelolaan dicabut.

Dengan pengembangan mina hutan secara lebih tertata dan perbandingan antara hutan dan tambak sebesar 80% : 20%, diharapkan dapat meningkatkan produksi per satuan luas dan hasil tangkapan udang liar.  Harapan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa hutan disekitar kolam yang lebih baik akan meningkatkan kesuburan kolam dengan banyaknya detritus, yang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap produksi. Di samping itu, hutan yang lebih baik akan menjadi tempat mengasuh anak yang cukup bagi udang, melindungi udang dari suhu yang tinggi dan menyediakan makanan yang lebih banyak bagi udang dan ikan. Lebih lanjut, daun mangrove yang jatuh diduga mengandung alelopaty yang dapat mengurangi keberadaan penyakit ikan dalam tambak.  Asumsi ini timbul berdasarkan hasil wawancara dengan Mantri Hutan pada saat studi banding di Blanakan, bahwa produksi bandeng dan udang dari kolam yang hutannya cukup baik lebih tinggi dari lahan tambak yang hutannya tidak baik (terbuka).

 Adapun sistem mina hutan yang dapat diaplikasikan adalah sistem empang parit dan sistem empang inti.  Sistem empang parit adalah sistem mina hutan dimana hutan bakau berada di tengan dan kolam berada di tepi mengelilingi hutan.  Sebaliknya sistem empang inti adalah sistem mina hutan dengan kolam di tengah dan hutan mengelilingi kolam (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999b).

 

Kelembagaan

Mengingat kepentingan strategis dan kompleksnya permassalahan di kawasan ekosistem hutan mangrove, maka perlu kelembagaan yang jelas yang diberi kewenangan untuk menangani kawasan tersebut secara menyeluruh.  Jika selama ini pengelolaan kawasan hutan mangrove diserahkan kepada Dinas Kehutanan, maka diperlukan badan khusus di Dinas tersebut untuk menangani kawasan ekosistem hutan mangrove.  Dengan adanya lembaga dimaksud diharapkan tidak ada tumpang tindih kepentingan antara bagian-bagian yang ada di dinas Kehutanan.

 

PENUTUP

Dalam pengembangan sistem mina hutan (sylvofishery) di kawasan ekosistem hutan mangrove ada beberapa hal yang dapat direkomendasikan:

1.      Rencana pengembangan dan pengelolaan kawasan harus didasarkan atas azas kelestarian, manfaat dan keterpaduan, dengan tujuan:

a.       menjamin keberadaan kawasan ekosistem hutan mangrove dengan luasan yang cukup dan sebaran proporsional

b.      mengoptimalkan aneka fungsi kawasan, termasuk fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi yang seimbang dan berkelanjutan.

c.       mendukung  pengembangan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga menciptakan ketahan sosial dan ekonomi.

2.      Revitalisasi fungsi kawasan hutan mangrove

3.      Pengembangan kegiatan mina hutan dengan poporsi 80% kawasan untuk hutan dan 20% untuk uaha perikanan.

 

UCAPAN TERIMAKASIH

Makalah ini disarikan dari hasil penelitian yang berjudul “ Studi Penyusunan Rancangan Teknis Pemanfaatan Kawasan Hutan Dengan Sistem Mina Hutan” dengan tim Bapak Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika, MS (Ketua); Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA; Dr. Ir.  Djadja Subardja Sjafei; Dr. Ir. M.F. Rahardjo; Ir. Endang Achmad Husaeni dan Agus Nuryanto, SSi, MSi (Penulis Makalah).  Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh anggota Tim.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999a.  Strategi national pengelolaan hutan mangrove di Indonesia.  Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Jakarta.

 

Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999b.  Sylvofishery, budidaya tambak-mangrove terpadu.  Majalah Kehutanan Indonesia.  Departemen Kehutanan dan Perkebunan.  Jakarta.

 

Martosubroto, P dan Sudrajat, 1974.  A study on some ecological aspect and fisheries of Segara Anakan in Indonesia.  Publ. Of. Fish Rest. Inst. LPPL 1/73: 73-84.

 

Perhutani, 1993.  Pelaksanaan program perhutanan sosial dengan sistem sylvofishery pada kawasan hutan payau di pulau Jawa.  Direksi Perum Perhutani, Jakarta.

 

Pemerintah Republik Indonesia, 1999.  Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.  Kopkar Hutan, Jakarta