© 2003 Program Pasca Sarjana IPB                                                                       Posted  15 October 2003

Makalah Kelompok 12 (Materi Diskusi Kelas)

Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

October  2003

 

 

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (penanggung jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

                                                                                                                                        

 

 

 

 

KEMBALI KE AZAS : “PRINSIP SISTEM KEDIRIAN”

 

Oleh :

 

 

Ervizal Amzu (E.061030021),   Edy Nasriadi Sambas (E.061030121),

Muhammad Wiharto (E.061030101),  Muhdin (E.061030031),  James Rilatupa (E.061030111),

Endes N. Dahlan (E.061030011),   Wilson Novarino (E. 061030051)

 

Pendahuluan

Di akhir millenium kedua dan di awal millenium ketiga sekarang ini, kemajuan dan kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) begitu mencengangkan, namun dari sisi kemanusiaan berkaitan dengan keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran, kemajuan IPTEK tersebut nampaknya tidak/belum diikuti dengan perkembangan harkat kemanusiaan, bahkan menghasilkan kontradiksi di mana nilai kemanusiaan yang semakin terpuruk.  Selain dekadensi moral, jumlah pengangguran, polusi, dan kemiskinan yang semakin mengkhawatirkan juga banyak sumber daya alam yang seharusnya dapat memberi manfaat bagi kesejahteraan manusia secara berkelanjutan justru sebaliknya malah bisa menjadi sumber bencana.  Kejahatan politik, ekonomi maupun sosial di seluruh dunia sudah merata dan sangat kompleks, sampai saat ini sepertinya belum ada konsep yang dilahirkan oleh ilmuwan sekaliber dunia sekalipun, yang mampu membawa masyarakat dunia keluar dari kemelut kemanusiaan yang berkepanjangan ini. Refleksi dari permasalahan di atas di antaranya dapat dilihat pada  angka kerusakan hutan alam di Indonesia dari 1,3 juta ha per tahun (World Bank, 1994 dalam Suhendang, 2002) sampai dengan 2 juta ha per tahun (Manurung, 2002 dalam Suhendang, 2002).  Sedangkan laju pengurangan hutan tropika di dunia antara 1960 - 1990 sekitar 15 juta hektar per tahun (Gardner dan Engelman, 1999 dalam Suhendang, 2002).

Melalui paper ringkas ini kami mencoba mengungkapkan  hal mendasar yang kiranya menurut Nataatmadja (2003), bahwa manusia belum mengikuti, bahkan melawan dan melanggar karakter alam (termasuk manusia) ciptaan Tuhan berupa “prinsip keunikan dan prinsip hirarki sistem kedirian”.  Manusia saat ini belum membangun masyarakatnya sendiri berdasarkan prinsip atau azas keunikan dan hirarki sistem kedirian yang telah dianugerahkan Tuhan kepadanya.  Inilah tantangan kedepan untuk membangun masyarakat yang manusiawi, berkeadilan dan sejahtera.

 

Prinsip Sistem Kedirian

Menurut Nataatmadja (2003) prinsip keunikan sistem kedirian berpijak kuat pada azas kekeluargaan, pada hakikatnya keterikatan sesuatu atau seseorang pada yang lain, pada sistem keluarga yang besar, yang lebih penting dari dirinya.  Dengan demikian secara prinsip segala sesuatunya di alam mempunyai keunikan dan hirarki yang seimbang dan harmonis.

Allah menciptakan seluruh makhluk-Nya sebagai  satu kesatuan keluarga.  Tiada suatu ciptaan-Nya yang tidak tergantung pada ciptaan-Nya yang lain, dan hubungan itu mencerminkan hubungan keluarga “besar”, saling mengisi dan saling membutuhkan !  Allah menciptakan manusia dalam kelompok-kelompok dan dalam suku bangsa di bumi, yang artinya eksistensi kelompok, suku dan bangsa bukan sesuatu yang diada-ada oleh manusia, melainkan hakekat dari fitrah manusia itu sendiri untuk saling kenal mengenal, saling membantu dan mengisi, bukan saling menyakiti, apalagi saling membunuh dan lain-lain.  Hal itu tercermin pada konsep-konsep seperti : ramah lingkungan, kelestarian lingkungan, kelestarian hutan, keanekaragaman hayati, hak-hak azasi manusia, pengembangan bioregional dan seterusnya. Azas keunikan sistem kedirian merupakan pijakan operasional dalam wadah rukun keluarga, yang berpasangan dengan azas hirarki sistem kedirian, karena sistem keluarga itu berlapis.  Misalnya, kita mengenal keluarga tatasurnya dengan matahari sebagai induknya, dan planet-planet sebagai turunannya (F1).  Planet-planet itu ada yang punya satelit yang  berperan sebagai F2, berikut semua benda yang berada dalam pangkuan planet, misalnya pulau, gunung, laut, sungai dan udara.

            Perkembangan sistem keluarga terus berlanjut, sampai ke ekosistem, populasi,  tumbuhan, hewan, mikro-organisme, dan bagian terhalus benda-benda itu, seperti molekul dan atom.  Mungkin sebuah atom merupakan F (keturunan) kesekian juta dari sistem keluarga yang bernama bumi.  Hal ini menakjubkan, karena masing-masing benda bisa berperan sebagai sistem kedirian yang mandiri.  Misalnya atom oksigen berperan sebagai sistem kedirian bagi seluruh  elektron orbital yang dimilikinya, meskipun tetap tunduk pada sistem kedirian yang lebih tinggi. Sistem kedirian yang lebih tinggi di alam tidak pernah mengeksploitir sistem kedirian yang lebih rendah, bahkan sebaliknya dia melindungi yang lebih rendah.  Laut dan samudera merupakan satu sistem unik kedirian yang hirarkinya lebih tinggi dibanding sungai. Laut secara alami senantiasa menampung semua air sungai, termasuk limbah sekalipun, tetapi tidak pernah mengintervensi balik sistem kedirian sungai. Sekiranya ini terjadi akan menimbulkan bencana dan kerusakan yang dahsyat.

Kenyataannya, pelaksanaan pembangunan sosial ekonomi di Indonesia belum menerapkan prinsip keunikan dan hirarki sistem kedirian, sehingga terjadilah pengeksploitasian masyarakat kota terhadap masyarakat desa (petani), majikan terhadap buruh, pengusaha terhadap sumber daya alam (termasuk hutan), pemerintah terhadap rakyatnya, dan sebagainya.  Namun ironisnya saat ini petani Indonesia mensubsidi masyarakat kaya.  Para buruh memsubsidi majikan dan perusahaannya.  Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.  Pasti ini ada sesuatu yang salah !

             Azas atau prinsip keunikan sistem kedirian  yang berpasangan dengan azas hierarki sistem kedirian merupakan contoh hubungan otonomi dalam kehidupan keluarga, contoh otonomi hubungan keluarga di ekosistem hutan hujan tropika, mulai dari keluarga mikro-organisme sebagai dekomposer, tumbuhan sebagai produsen dan hewan sebagai konsumen.  Begitu harmonis dan begitu indahnya !. Kelestarian keanekaragaman hayati sangat tergantung kepada kelestarian “keluarga yang lebih besar”, yaitu kelestarian ekosistem hutan dan ekosistem laut. Keadaan seperti inilah yang belum terwujud dalam kehidupan sosial, seperti yang diungkapkan oleh Fritjof Capra (1999) dalam bukunya “Menyatu dengan Semesta” (Belonging to the Universe), karena pikiran dan kesadaran manusia masih belum ditata sebagaimana konstruksi al fitrah dan al khalifah.  Manusia telah meninggalkan kehendak Tuhan di sepanjang kehidupannya, manusia hanya beragama pada saat berada di mesjid, di gereja atau di kuil, tetapi meninggalkan agama (terutama moral dan akhlak) kalau mereka berada di jalan raya atau di tempat lain !. 

           

Penerapan Sistem Kedirian    

Marilah kita simak dengan cermat pemikiran yang jernih yang keluar dari seorang pakar filsafat ekonomi terkenal E.F. Schumacher kelahiran Jerman dalam bukunya SMALL IS BEAUTIFUL yang terbit pertama kali di Inggeris tahun 1973, (beliau ini pertama kali datang ke Inggeris pada tahun 1930, dan pada umur 22 tahun telah mengajar ekonomi pada Universitas Columbia, New York). :  Pertama, saya dibesarkan dalam suasana penafsiran sejarah yang menyatakan bahwa mula-mula sekali ada keluarga; kemudian keluarga berhimpun dengan keluarga lainnya membentuk suku; lalu beberapa suku membentuk bangsa atau negara; kemudian  beberapa negara membentuk negara “serikat” ini atau itu; dan akhirnya, dapat kita harapkan lahirnya satu pemerintahan dunia.  Sejak saya mendengar uraian yang masuk akal itu, saya selalu memperhatikan proses tersebut; namun yang saya saksikan terjadi justeru sebaliknya, yaitu berkembang-biaknya jumlah negara.  PBB dibentuk kira-kira 25 tahun yang lalu dengan anggota 60 negara; sekarang anggotanya lebih dari dua kali lipat, dan masih  terus bertambah.  Pada masa muda saya, proses seperti ini disebut “balkanisasi”, dan dianggap hal yang tidak baik.  Tetapi walaupun setiap orang mengatakan tidak baik, “balkanisasi” itu terus terjadi selama 50 tahun yang terakhir ini, hampir di seluruh dunia.  Unit-unit yang besar cenderung terpecah-pecah menjadi unit-unit kecil (terakhir sebagai contoh Uni Soviet bubar menjadi negara kecil-kecil dari konsekuensi program “Perestroika dan Glasnost yang dimotori oleh Gorbachev pada tahun 1987)   Gejala ini yang sangat bertentangan dengan teori yang kita pelajari dahulu, lepas dari soal setuju atau tidak sekurang-kurangnya harus kita indahkan juga. 

Kedua, kita dibesarkan dengan teori bahwa supaya makmur, suatu negara harus besar, makin besar, makin baik.  Pendapat ini juga sangat masuk akal nampaknya. Namun apabila kita cermati, jika kita buat daftar semua negara yang paling makmur di dunia, akan kita lihat kebanyakan adalah negara kecil, sedangkan negara-negara yang paling besar di dunia kebanyakan melarat, ini juga patut dipikirkan !.  

Konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia telah berjalan selama hampir 60 tahun, namun sampai hari ini belum menghantarkan rakyatnya menjadi makmur atau sejahtera !  Tentu dan pasti ada yang salah, kita telah menjungkirbalikkan hukum alam, yaitu azas keunikan sistem kedirian !.  Pemerintah NKRI dengan program sentralisasinya telah menghancurkan “keunikan sistem kedirian” : setiap daerah, setiap masyarakat, setiap suku bangsa.  Contoh kongkrit sistem pemerintahan diseragamkan di semua daerah, yaitu mulai dari presiden, gubernur, bupati, camat, lurah, RW dan RT.  Kepala adat, raja suku dan lain-lain dihilangkan peran dan fungsinya.  Gerakan “padinisasi” dan “sawahnisasi”, semua masyarakat Indonesia di dorong mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokoknya, sagu, ubi jalar, jagung dan lain-lain yang sudah menjadi “keunikan sistem kedirian” di masyarakat suku tertentu sejak lama dimarginalkan.  Sistem pengairan subak yang sangat unik di Bali dihancurkan dengan sistem pengairan lain dari pemerintah pusat.  Sistem pelayanan kesehatan diseragamkan sampai ke desa melalui PUSKESMAS dengan metoda pengobatan barat dan memarginalkan sistem pengobatan tradisional, sehingga ketergantungan obat dan IPTEK impor sangat tinggi.   Pola pertanian tradisional di setiap masyarakat yang memiliki keunikan sistem kedirian tidak dikembangkan dengan IPTEK sendiri, tetapi diganti dengan IPTEK asing dan menghasilkan ketergantungan input yang tinggi yang berasal dari luar/impor, misalnya pestisida, pupuk sintetis dan lain-lain.   

Ketiga, kita dibesarkan atas dasar teori “economies of scale”, yaitu bahwa industri dan perusahaan, seperti halnya negara, cenderung jadi tambah besar, karena dorongan perkembangan teknologi moderen.  Memang benar bahwa sekarang terdapat lebih banyak organisasi besar dan barangkali juga jauh lebih besar dari yang pernah ada pada masa-masa yang lalu.  Namun, jumlah organisasi kecil juga bertambah, dan di negara-negara seperti Inggeris dan Amerika Serikat jelas tidak berkurang; tetapi apakah betul kemakmuran rakyat Amerika Serikat dapat bertahan lama, dengan mereka menentang hukum alam yang namanya “azas keunikan sistem kedirian”,  lihat sajalah kejadian matinya secara total aliran listrik di kota New York baru-baru ini (awal September 2003) telah membuat panik dan frustasi semua masyarakatnya !

Organisasi kecil banyak yang makmur, dan menghasilkan untuk masyarakat perkembangan-perkembangan baru yang sungguh-sungguh berfaedah. Juga disini tak mudah untuk menyelaraskan teori dengan praktek, dan segala sesuatu yang bersangkutan dengan soal ukuran besar-kecil ini jelas merupakan teka-teki bagi siapapun yang dibesarkan di atas landasan ketiga teori tersebut.

Bahkan sampai sekarang, orang masih menyatakan bahwa organisasi raksasa mau tak mau diperlukan.  Organisasi besar yang kuat dan bertahan lama, tidak lain di dalamnya adalah terdiri dari unit-unit kecil yang unik dan mandiri yang saling terkait dengan dasar sharing, bukan persaingan tidak sehat.  Jika kita telaah lebih dalam, dapat kita saksikan bahwa segera sesudah organisasi besar terwujud, seringkali ada usaha keras untuk membentuk yang kecil-kecilan di dalam yang besar itu.  Struktur yang mula-mula bersifat monolitik diubah menjadi himpunan unit-unit semi otonom yang diatur rapi, masing-masing dengan dorongan dan perasaan bangga atas hasil usahanya sendiri-sendiri.  Meskipun banyak teoritikus yang boleh jadi tidak terlalu memahami kehidupan sehari-hari yang masih memuja-muja ukuran besar, tetapi banyak orang-orang praktis di dunia nyata yang mendambakan dan berjuang untuk memperoleh manfaat atau keuntungan, jika mungkin dari usaha kecil yang lebih menyenangkan, lebih berkemanusiaan dan lebih mudah diurus.

Sekarang mari kita dekati masalah ini dari segi lain dan bertanya apa sesungguhnya yang “diperlukan”. Manusia punya sekurang-kurangnya dua kebutuhan sekaligus, yang sepintas lalu nampaknya tidak selaras dan saling bertentangan.  Kita selalu membutuhkan kebebasan dan ketertiban.  Kita membutuhkan kebebasan unit-unit kecil yang otonom, dan sekaligus ketertiban suatu kesatuan dan koordinasi besar atau bahkan mungkin bersifat global. Jika kita harus mengambil tindakan, kita memerlukan unit yang kecil. Karena tindakan sangat bersifat pribadi, dan kita hanya dapat berhubungan dengan sejumlah orang yang terbatas pada waktu tertentu.  Tetapi jika kita sampai pada dunia pikiran, azas atau etika, perdamaian, maka harus kita akui bahwa kesatuan umat manusia itu ada dan dengan sendirinya kita harus mendasarkan tindakan kita atas azas bahwa seluruh umat manusia itu bersaudara dan setiap manusia punya hak untuk menikmati ketertiban.  

 

Ø      Kebijakan Ekonomi yang Bertentangan dengan Azas Sistem Kedirian 

Bagaimana orang dapat berbicara tentang ekonomi negara merdeka yang kecil-kecil, ekonomi rakyat, ekonomi pancasila ?. Banyak orang membicarakan suatu masalah yang bukan masalah ?   “Kelangsungan hidup bangsa atau negara itu tidak ada, yang ada hanyalah masalah kelangsungan hidup manusia:  manusia, pribadi-pribadi seperti anda dan saya, dapat hidup terus jika mereka dapat berdiri di atas kaki sendiri dan berpenghasilan!” Kita tidak dapat membuat kelompok yang tak dapat berdiri sendiri menjadi bisa berdiri sendiri dengan menghimpunnya jadi satu kelompok besar, dan kita tidak dapat membuat orang–orang yang mampu berdiri sendiri menjadi tak mampu berdiri sendiri dengan memecah-mecah jadi kelompok kecil-kecil.  

Kebijaksanaan-kebijaksanaan konvensional ilmu ekonomi zaman sekarang tak berdaya menolong rakyat yang melarat. Contoh kongkrit kebijakan pemerintah di bidang perdagangan dan industri tidak dapat menolong nasib petani gurem sampai hari ini ! Tanpa kecuali ini membuktikan bahwa garis-garis kebijaksanaan yang dapat hidup terus hanyalah yang berhasil membuat si kaya dan si kuat lebih kaya dan kuat lagi; pengembangan industri akan memberi hasil hanya bila dilakukan sedapat mungkin dekat ibukota atau kota-kota terbesar lainnya, dan bukan di daerah pedesaan; bahwa proyek-proyek besar lebih ekonomis daripada yang kecil-kecil; dan bahwa proyek-proyek yang padat modal lebih baik daripada yang padat karya. Perhitungan-perhitungan ekonomi, seperti yang dilakukan oleh ilmu ekonomi zaman sekarang, memaksa para industrialis menghapuskan faktor manusia dan menggantinya dengan mesin, karena mesin, berbeda dengan manusia, di anggap tidak mungkin berbuat salah. Karena itulah timbul usaha otomatisasi dan usaha menciptakan unit yang makin lama makin besar. Dan hal itu berarti bahwa mereka yang tak memiliki apa-apa kecuali tenaga badan sendiri, dalam tawar menawar, tetap dalam kedudukan yang paling lemah. Manusia yang bernama rakyat dilihat sebagai objek bukan subjek yang harus diberdayakan dan dibangkitkan daya kreatifitasnya.

Kebijaksanaan konvensional dari apa yang sekarang diajarkan sebagai sebagai ilmu ekonomi tidak menyangkut golongan miskin, golongan yang justru membutuhkan manfaat pembangunan ekonomi. Ilmu ekonomi yang memuja ukuran raksasa  dan otomatisasi itu adalah sisa-sisa dari kondisi abad ke-19 dan cara pemikiran abad ke-19 yang sama sekali tidak mungkin dapat memecahkan masalah nyata zaman ini.

Sungguh sayang, para lulusan SMU yang brilian dari seluruh Indonesia dididik di Fakultas Ekonomi yang terkenal di Universitas Negeri terkenal di Indonesia, yang pembiayaannya sebagian besar ditanggung oleh rakyat, tetapi sepertinya kurikulumnya sangat sedikit menyentuh untuk mengangkat ekonomi rakyat melarat, sebaliknya bahkan mereka dijejali konsep pengembangan ekonomi kaum kaya dan perusahaan multinasional !

Sekarang kita membutuhkan suatu sistem yang sama sekali baru, suatu sistem yang berdasarkan perhatian pada orang, bukan pada barang-barang (barang-barang itu toh akan beres sendiri!). Dalam satu kalimat, sistem “production by the masses, rather than mass production” (produksi oleh massa, bukan produksi secara massal).  Akan tetapi, apa yang tidak mungkin dalam abad ke-19 adalah mungkin sekarang.  Dan apa yang tidak diacuhkan orang dalam abad ke-19, sekarang sungguh-sungguh sangat mendesak.  Marilah secara sadar kita menggunakan potensi teknologi dan ilmu kita yang maha besar untuk melawan kemelaratan dan kemerosotan martabat manusia – suatu perjuangan dalam hubungan yang mesra dengan manusia yang nyata, dengan perorangan, dengan keluarga, dengan kelompok kecil, bukannya dengan negara dan pengertian-pengertian abstrak yang lain.  Ini memerlukan suatu struktur politik dan organisasi yang dapat memberikan kemesraan itu.  Apakah arti demokrasi, kebebasan, martabat manusia, tingkat hidup, mengembangkan potensi diri, dan kepuasan ?.  Apakah ini hanya soal barang-barang, ataukah soal orang ?  Tentu saja ini soal orang !. Tetapi orang dapat berlaku sebagaimana  adanya hanya dalam kelompok kecil yang dikenalnya.  Karena itu kita harus belajar berpikir dari segi struktur yang dapat menampung beraneka ragam unit kecil.  Kalau pemikiran ekonomi tidak mampu memahami hal itu, maka ilmu ekonomi tidak ada faedahnya.  Jika pemikiran ekonomi tak mampu keluar dari pengertian-pengertian abstraknya, pendapatan nasional, laju pertumbuhan, perbandingan modal/output, analisa input/output, mobilitas tenaga kerja, menghimpun modal; jika pemikiran ekonomi tak mampu keluar dari semua ini dan mengaitkan diri dengan kenyataan-kenyataan manusiawi,  yang berwujud kemelaratan, rasa kecewa, rasa terasing, putus asa, kejahatan, lari ke dunia khayal, tekanan batin, keburukan, dan kematian ruhaniah, maka pasti ada yang salah dalam ilmu  ekonomi itu, dan mari kita mulai kembali ke ilmu ekonomi yang banyak belajar dan mengacu kepada ilmu ekologi, yaitu berazaskan keunikan sistem kedirian.  Mari kita renungkan bahwa Ilmu Pengetahuan Alam, termasuk ekologi tidak lain adalah ilmu turunan dari Tuhan Sang Pencipta, berbeda dari ilmu ekonomi yang bisa direkayasa oleh manusia, sesuai dengan pikiran dan nafsunya, yang sekarang ini terbukti telah banyak menyusahkan manusia itu sendiri.  Ilmu ekonomi yang dikembangkan sampai hari ini lebih banyak menghasilkan “kemiskinan orang-orang kaya”.

 
Ø      Sistem Pendidikan bertentangan dengan Azas Sistem Kedirian

Kebijakan pendidikan di Indonesia di zaman orde baru sampai hari ini lebih banyak menghasilkan “kebodohan orang-orang pintar”.  Manusia-manusia text-book thingking, manusia-manusia pengejar gelar, manusia-manusia gudang pustaka, bukan menghasilkan manusia-manusia yang bisa berpikir yang bisa memecahkan masalah-masalah yang muncul dimasyarakat, apalagi berpikir untuk mengantisipasi munculnya masalah yang besar di masyarakat.

Akar permasalahan sistem  pendidikan di negeri kita ini adalah karena sekolah dan universitas  telah dipisahkan dari soal-soal kehidupan nyata sehari-hari.  Ia telah berubah menjadi semacam sekolah militer yang diisi indoktrinasi yang memasung kreatifitas murid.

Mari kita simak pendapat Harefa (2000) dalam bukunya “Menjadi Manusia Pembelajar” : Kesalahan atau bahkan dosa terbesar para guru dan dosen, adalah terlalu banyak melakukan pengajaran dan pelatihan, namun hampir tidak pernah melakukan pendampingan (mentorship) terhadap siswa, mahasiswa, untuk mengejar dan mencari jati dirinya sebagai pribadi, lalu sebagai anggota kelompok, dan sebagai bagian dari organisasi, serta sebagai bagian dari sebuah masyarakat bangsa bernama Indonesia, dan akhirnya sebagai manusia warga masyarakat dunia. 

Pendapat di atas kiranya mendukung dugaan bahwa sistem pendidikan yang dikembangkan selama ini di Indonesia telah memasung pengembangan atau pembodohan atau pemiskinan “keunikan sistem kedirian” setiap insan manusia Indonesia,  sehingga banyak para sarjana, magister sains dan doktor sekalipun hanya cukup puas dengan gelar yang diperolehnya. Padahal gelar-gelar itu semestinya dapat berkorelasi positif dengan kemampuan daya kreatifitas untuk menjawab dan memecahkan permasalahan yang timbul dan berkembang di tengah masyarakat miskin dan serba susah ini.

 

Penutup

“Tanda-zaman” yang ada sekarang sudah cukup sebagai petunjuk bahwa sekarang ini “reformasi total” dibutuhkan, mulai dari setiap individu, setiap keluarga, setiap kelompok masyarakat, setiap bangsa di dunia !.  Mulai dengan Tata Kehidupan Sosial “Baru” menuju Masyarakat Manusiawi, Masyarakat Adil dan Makmur, Masyarakat yang Damai dan Bersaudara, Masyarakat Manusiawi Dunia yang Bersatu, sama-sama Ciptaan Tuhan.  Tidak ada alternatif lain, kecuali dengan rambu-rambu : Kembali ke azas “keunikan sistem kedirian” dan azas “hierarki sistem kedirian” !.  Kembali ke al Fitrah, Back to Nature !.  Kembali kepada jalan keTuhanan !  Kembali ke falsafah Pancasila yang sebenarnya ! Berjayalah bangsa Indonesia !

 

 

Bahan Bacaan

 

Capra, F.  1999.  Menyatu dengan Semesta. Fajar Pustaka Baru.  Yogyakarta

Harefa, A.  2000.  Menjadi Manusia Pembelajar.  Penerbit Harian Kompas.  Jakarta.

Nataatmadja, H.  2003.  Intelegensi Spiritual.  Intuisi Press. Depok.

Schumacher, E.F.  1973.  Kecil Itu Indah. Yayasan Obor. Jakarta.

Suhendang, E.  2002.  Pengantar Ilmu Kehutanan.  Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB.  Bogor.