© 2004 Sekolah Pasca Sarjana IPB
Posted 22 January 2004
Makalah Diskusi, Kelompok 3
Pengantar Ke Falsafah Sains
(PPS702)
Sekolah Pasca Sarjana, Program S3
Institut Pertanian Bogor
Januari 2004
Dosen:
Prof. Dr. Ir. Rudy C.
Tarumingkeng
STRATEGI PENANGGULANGAN
RESIDU ANTIBIOTIK PADA UDANG YANG DIEKSPOR KE UNI EROPA
Oleh: Kelompok
III
Santoso (C561030144),
Tri Haryanto (C561030204),
Bidawi Hasyim (C561030214),
Anthon Anthonny Djari
(C561030134),
Setia Mangunsong
(C561030164),
Husni Mangga Barani (C561020224)
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Produk
perikanan telah menjadi salah satu komoditas ekspor yang terpenting di
Indonesia, sejak tahun1970 an. Berdasarkan statistik perikanan Indonesia,
ekspor total produk ini mencapai lebih
dari 500.000 ton pada tahun 2002 dengan nilai lebih dari US $ 1,7 miliar. Meskipun hampir semua Negara telah menjadi tujuan
ekspor hasil perikanan, Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang dan Negara Asia
lainnya merupakan pasar utama baik sekarang maupun yang akan datang. Dalam
Gerakan Pengembangan Mina Bahari yang dicanangkan oleh
Dalam rangka memperlancar dan
meningkatkan ekspor produk perikanan, Ditjen Perikanan Tangkap-Departemen
Kelautan dan Perikanan telah mengembangkan suatu Sistem Nasional Jaminan Mutu
dan Keamanan Produk Perikanan secara mantap, yang mengacu kepada Code of
Conduct for Responsible Fisheries dan Technical Guideline on Hazard Analysis
Critical Control Point (HACCP). Sistem ini telah mencapai suatu tingkat
standar internasional, oleh karena sistem ini telah mendapat banyak pengakuan
dari Negara lain, seperti Uni Eropa (UE) yang dituangkan dalam CD 94/394/EC dengan perubahan terakhir
melalui CD 2001/254/EC.
Udang merupakan salah satu
komoditas ekspor perikanan yang paling penting dan menghasilkan banyak devisa
selain ikan tuna khususnya jenis udang Penaus monodon memiliki daya
saing komparatif yang baik di pasar internasional. Kondisi ini telah
mengakibatkan banyak negara atau masyarakat menyediakan bahan
1.2
Tujuan
Tujuan daripada kajian ini adalah :
a.
Mencari strategi yang
tepat dalam penanggunalangan residu antibiotik pada udang
b.
Mencari solusi guna
penanggulangan residu antibiotik pada udang
c.
Memudahkan para
eksportir untuk malkukan ekspor udang ke Uni Eropa
II. PERMASALAHAN
Praktek penggunaan
antibiotik terlarang ini berdampak sangat buruk terhadap ekspor hasil perikanan
ke Negara tujuan utama, khususnya UE dan AS. Bahkan tanggal 27 September tahun 2001, UE
menetapkan Rapid Alert System (RAS), mengenai residu CHP terhadap
seluruh produk udang asal Indonesia yang akan masuk ke pasar Negara anggota UE,
melalui suatu Commission Decision 2001/705/EC. Dalam CD ini,
seluruh produk udang asal
Permasalahan yang timbul sebagai akibat praktek
penggunaan antibiotik tersebut adalah :
1.
Ditolaknya
ekspor udang dari Indonesia di Uni Eropa
2.
Kerugian besar
yang dialami perusahaan eksportir
3.
Menurunnya
devisa negara
III. PEMBAHASAN
Untuk mencegah kerugian yang lebih
besar dan meperlancar ekspor ke UE, maka pemerintah Indonesia, dalam hal ini
Ditjen Perikanan Tangkap DKP sebagai Competent authority dalam pengawasan mutu
hasil perikanan membuat suatu rencana aksi yang sistematis agar Commission
Decision 2001/705/UE dicabut sehingga ekspor udang ke UE tidak mengalami
hambatan atau dimusnahkan di port of entry karena terdeteksi mengandung residu
antibiotik terlarang. Rencana aksi dimaksud meliputi sebagai berikut.
3.1. Pelaksanaan Peraturan
Jenis antibiotik CHP dan
Nitrofurans sebenarnya telah dilarang untuk digunakan pada budidaya perikanan,
karena jenis antibiotik ini membahayakan kesehatan manusia. Di Indonesia keduanya masih lazim
digunakan dari mulai pembenihan sampai pembesaran udang. Tetapi dengan
adanya penolakan bahan pangan yang mengandung dua jenis antibiotik tersebut
dari masyarakat konsumen, kususnya di Uni Eropa dan Amerika Serikat, maka
pemerintah khususnya Departemen Kelautan dan Perikanan sangat serius melakukan
pengawasan terhadap penggunaan bahan antibiotik ini. Salah
satu tindakan yang terpenting untuk mencegah timbulnya residu antibiotik pada
udang adalah dengan menetapkan peraturan pelarangan penggunaan antibiotik pada
budidaya udang. Beberapa peraturan yang telah diterbitkan antara lain :
a. Keputusan Menteri
Kesehatan No. 722/Menkes/Per/IX/88 mengenai pelarangan penggunaan antibiotik
pada makanan.
b. Keputusan Menteri Pertanian No.
806/Kpts/TN.260/12/94 mengenai Klasifikasi Obat Hewan. Dalam keputusan ini, CHP dan
nitrofuran dikatagorikan sebagai antibiotik yang berbahaya dan dilarang
digunakan pada praktek pembudiyaan prikananan.
c. Keputusan Menteri Kesehatan. No.
d. Surat Edaran Direktur Jenderal Perikanan Budidaya,
tanggal 19 Oktober 2001 mengenai Pelarangan penggunaan antibiotik tertentu pada
budidaya udang.
Agar penanggulangan residu antibiotik
pada budidaya perikanan lebih efektif, maka Depertemen Kelautan dan Perikanan
membentuk Panitia Nasional tentang pencegahan resiudu antibiotik, pada tanggal 12 Oktober 2001. Disamping itu,
di tingkat daerah provinsi dan kabupaten juga membentuk tim
daerah yang mempunyai tugas dan tujuan yang sama.
3.2. Pengadaan Peralatan dan pengembangan
uji residu CHP.
Metoda uji resmi untuk
residu CHP yang
umum digunakan di beberapa Negara adalah
metoda chromatography. Selain metode chromatography juga
digunakan metoda ELISA yang dapat digunakan sebagai metoda alternatif, meskipun
metoda ini tidak dianggap sebagai metoda resmi atau metoda konfirmatif.
Gas dan Liquid chromatography-MS merupakan alat uji yang paling canggih, mahal
dan mampu mendeteksi residu CHP atau residu nitrofuras dalam kadar yang sangat
rendah yaitu 0,1 ppb. Jenis alat lain
yang lebih sederhana, dan relatif lebih murah adalah High Performance Liquid
Chromatography (HPLC). Alat/metoda ini mampu juga mendeteksi residu serendah
metoda LC/GC-MS. Dengan pertimbangan harga dan kemampuan ujinya, maka pada
tahun 2002 Ditjen Perikanan Tangkap melengkapi 9 LPPMHP dengan alat HPLC dan
mendayagunakan 6 HPLC yang telah dimiliki sebelumnya. Total 15 LPPMHP ini merupakan pusat budidaya dan daerah ekspor
udang ke Jepang, UE dan AS.
Metoda
uji residu CHP dengan menggunakan HPLC dikembangkan oleh Balai Pengembangan dan
Pengujian Mutu Hasil Perikanan Jakarta, awal tahun 2002. Berdasarkan
hasil kajian atau verifikasi oleh BBPMHP, HPLC dapat digunakan untuk menguji
residu CHP dengan batas deteksi 0.16 ppb.
3.3. Sosialisasi
pencegahan penggunaan antibiotik .
Sosialisasi dilakukan dengan berbagai cara,
antara lain loka karya, pelatihan,
penyuluhan, dan pertemuan antar instansi pemerintah yang terkait dan
swasta, termasuk pembudidaya udang. Sosialisasi pencegahan residu antibiotik
mempunyai tujuan utama untuk menyadarkan pembudidaya atau pengolah udang untuk
tidak menggunakan antibiotik terlarang selama proses budidya, khususnya pada
tahap pembesaran atau saat penanganan dan pengolahan udang. Sosialisasi umumnya
dihadiri oleh pengolah ikan, pembudidaya udang, Lembaga Swadaya Masyarakat,
tokoh masyarakat dan instansi pemerintah terkait. Materi sosialisasi
meliputi sebagai berikut :
1.
Karakteristik dan bahaya residu CHP dan nitrofuran
bagi kesehatan manusia.
2.
Cara pembudidayaan udang yang baik da aman.
3.
Perdagangan hasil perikanan di pasar internasional.
3.4. Monitoring CHP pada Udang
Kegiatan monitoring meliputi sebagai berikut
:
3.4.1.
Observasi di pusat-pusat produksi udang.
Kegiatan observasi yang dilaksanakan, antara lain meliputi :
a.
Observasi langsung ke pabrik pakan, unit pembenihan,
dan pembesaran.
Beberapa
hal penting yang diobservasi antara lain: pakan, peralatan, gudang, pupuk,
karyawan dan obat-obatan, serta operasional budidaya udang.
b.
Melakukan identifikasi jenis antibiotik yang digunakan di pembenihan,
pembesar udang, dan penampungan
c.
Pengambilan dan pengujian contoh.
Monitoring dilakukan oleh tim pusat dan tim
daerah secara bersama atau terpisah dan hasilnya disampaikan ke Ditjen
Perikanan Tangkap-DKP untuk dievaluasi.
Hasil observasi menunjukkan bahwa pembudidayaan
udang secara intensif umumnya masih menggunakan antibiotik CHP dan Chlortetracycline
dan Oxitetracycline. Sedang pembudidaya udang tradisional tidak ditemukan menggunakan
antibiotik dalam proses pembesaran.
Sebagian besar contoh udang yang diambil dari
pembudidayaan udang secara intensif ditemukan mengandung residu CHP. Sebagian besar udang asal
Sumatera Utara dan Jawa Timur ditemukan dari jenis residu CHP, tetapi hanya
satu contoh dari 44 contoh (asal Kalimantan Barat), terdeteksi mengandung residu
chlortetracycline (BBPMHP, 2002).
Berdasarkan laporan hasil monitoring dari Dinas
Perikanan dan Kelautan Propinsi, secara berangsur-angsur pembudidaya udang
mulai meninggalkan penggunaan antibiotik.
Tabel 1. Rekapitulasi residu
antibiotik dalam contoh udang dari TambakTahun 2002
No. |
Lokasi |
Jumlah contoh |
Jumlah positif |
Residu ppb |
Catatan |
1. |
Sumatera Selatan |
5 |
0 |
ND |
|
2. |
Sumatera Utara |
16 |
3 |
0.16 - 4.96 |
CHP |
3. |
Jawa Timur |
5 |
1 |
0.17 |
CHP |
4. |
Lampung |
7 |
0 |
ND |
|
5. |
|
2 |
0 |
ND |
|
6. |
|
4 |
1 |
700 |
CTC |
7. |
|
5 |
0 |
ND |
|
3.4.2. Sertifikasi
produk Udang.
Kegiatan sertifikasi produk perikanan merupakan pengawasan terakhir yang
sangat strategis sebelum produk udang dipasarkan untuk tujuan ekspor. Setiap
produk udang untuk tujuan ekspor ke Uni Eropa dan Amerika Serikat wajib diambil
contohnya dan diuji di Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil
Perikanan (LPPMHP) di tingkat propinsi. Apabila hasil pengujian
menunjukkan bahwa contoh tidak mengandung residu CHP, maka LPPMHP menerbitkan
Health Certificate dan produk diijinkan untuk diekspor. Bila kondisi
partai udang sebaliknya, maka LPPMHP tidak menerbitkan Health Certificate dan
partai udang tidak diperkenankan untuk diekspor ke AS dan UE.
Dari kegiatan sertifikasi
Pada kurun waktu Maret 2001 sampai dengan Januari 2003, telah dikumpulkan 1.0115 contoh
dari 7 provinsi, yaitu Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung, Sumatera
Utara, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat, dan dianggap merupakan pusat ekspor udang nasional (Ditjen
Perikanan Tangkap tahun Maret 2002 dan Maret 2003). Contoh
terbanyak berasal dari provinsi Jawa Timur.
Hasil sertifikasi produk
udang yang akan diekspor ke UE, menunjukan bahwa
secara keseluruhan dari jumlah total yang diambil dan diuji, hanya 8.6 % contoh
ditemukan mengandung CHP. Contoh dari partai yang diekspor melalui Kalimantan Barat ditemukan paling
tinggi mengandung residu CHP (29,55%), sedang contoh asal Lampung paling rendah
ditemukan mengandung residu CHP (3.7%).
Kadar residu CHP berkisar
antara 0.11 ppb pada udang asal Sumatera Utara sampai 123.8 ppb pada bulan Oktober
2002. Kadar residu tertinggi tersebut ditemukan pada contoh
yang diekspor melalui Jawa Timur. Secara keseluruhan,
kecenderungan penemuan residu CHP pada contoh udang yang diambil menurun selama
Maret 2002 sampai Maret 2003.
3.4.3. Jumlah ekspor udang yang ditolak oleh Uni
Eropa.
Berdasarkan Commission Decision
2001/705/EC,
Dalam kasus residu antibiotik, Negara anggota UE
belum memiliki sikap yang sama dalam menangani penolakan partai udang dan
hasil perikanan lainnya yang ditemukan mengandung residu CHP dan cenderung
tidak konsisten. Negara Perancis dan Inggris tergolong sangat
keras, karena produk yang ditemukan mengandung bahan berbahaya seperti residu
CHP dan Salmonella harus dimusnahkan. Sedang Negara
lainnya seperti, Jerman dan Belgia memperbolehkan produk dikirim balik.
Selama kurun waktu dari 27 September sampai dengan Desember 2001, penolakan
karena kedapatan mengandung residu CHP sebanyak 2 kali di Denmark dan Inggris.
Sedang pada tahun 2002, tercatat sebanyak 26 kasus penolakan yang disebabkan
oleh residu dan
11 kasus dari total tersebut disebabkan oleh residu nitrofuran dan turunannya. Pada tahun 2003, kasus penolakan udang asal
Semenjak dicabutnya CD 2001/705/EC melalui CD
2003/ 546/EU, tanggal 22 Juli 2003,
kasus penolakan udang oleh UE karena
alasan residu CHP masih terjadi satu kali. Sampai Desember 2002, lebih dari 50
% (16 kasus) dari total kasus penolakan udang terjadi diNegara Inggris dan
Belanda. Sisanya (12 kasus) terjadi di 13 negara anggota UE
lainnya. Negara anggota UE
umumnya menggunakan Metoda pengujian LC-MS atau GC-MS untuk mengukur kadar residu CHP dan nitrofuran pada udang.
Berdasarkan hasil monitoring residu nitrofuran pada
udang yang dilakukan dimpor oleh Negara UE oleh Institute of Food Safety
2003, dibandingkan dengan Negara China,
Thailand, Vietnam, dan India sebagai eksportir produk udang utama, Indonesia
dinilai tergolong rendah terkena kasus residu nitrofuran yaitu hanya 6 %.
Sedang
Tabel. 2. Jumlah contoh, jumlah positip dan prosentase yang
mengandung residu antibiotic
Negara Asal |
Jumlah Contoh |
Jumlah Positip |
% Positip |
|
6 |
0 |
0 |
Brasil |
2 |
0 |
0 |
|
15 |
8 |
53 |
|
27 |
6 |
22 |
|
35 |
2 |
6 |
|
1 |
0 |
0 |
|
1 |
0 |
0 |
|
2 |
0 |
0 |
|
1 |
0 |
0 |
|
4 |
0 |
0 |
|
1 |
0 |
0 |
|
7 |
0 |
0 |
|
2 |
0 |
0 |
|
81 |
50 |
61 |
|
1 |
0 |
0 |
|
22 |
7 |
32 |
Tidak diketahui |
118 |
36 |
31 |
Total |
327 |
109 |
33 |
Sumber : Fish Inspection Congress di Hague, 20-22 Oktober 2003.
3.5. Penerapan
prosedur operasional standar sanitasi (SSOP) dan Sistem Mutu dan Keamanan
Pangan dengan HACCP pada Industri pengolahan ikan.
Pada
dasarnya Indonesia, telah memiliki Sistem Nasional Jaminan Keamanan Pangan
sejak tahun 1998 seperti yang diamanatkan oleh Code of Conduct for Responsible
Fisheries. Sistem ini dituangkan dalam Keputusan Menteri
Pertanian N0. 41/Kpts/IK210/2/1998 yang
diamandemen terakhir melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.
01/Kep/2002 dan system jaminan mutu dan kemanan ini lebih terkenal disebut
Program Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan (PMMT).
Dalam
menerapkan program ini, Unit pengolahan ikan/udang secara rutin diperiksa oleh
pengawas mutu perikanan di daerah dan di pusat, melalui kegiatan validasi,
audit dan verfikasi audit. Kekurangannya belum semua UPI yang
terdaftar saat ini berjumlah lebih dari 650 unit menerapkan HACCP. Menurut catatan terakhir Ditjen Perikanan Tangkap yang telah menerapkan
HACCP berjumlah 263 unit.
Sumber residu chloramphenicol di UPI diperkirakan berasal dari
bahan-bahan disinfektan yang digunakan untuk mencuci udang di unit pengolahan
ikan. Sumber lainnya adalah salep yang sering digunakan
untuk mengobati bagian tubuh pekerja yang luka. Oleh
karena itu pada saat pengawasan, bahan-bahan desinfektan dan salep dilarang
untuk digunakan kapan saja. Pekerja yang bagian
tangannya terluka dilarang menangani produk untuk menghindari pencemaran.
Berdasarkan laporan pengawas mutu, beberapa unit pengolahan
udang pernah menggunakan bahan disinfektan yang diduga mengandung CHP.
3.6. Negosiasi dengan negara Importir.
Negosiasi dengan Negara importir, khususnya UE dan AS merupakan bagian
yang sangat penting setelah persyaratan teknis yang mempengaruhi terjadinya
residu antibiotic pada udang. Negosiasi
dilakukan pada tataran bilateral dan regional, melalui jalur Federasi Perikanan
ASEAN. Negosiasi bilateral dilakukan dengan
prinsip-prinsip kooperatif dan menghindari konfrontatif. Beberapa kali
delegasi Departemen Kelautan dan
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Enam rencana aksi yang dilakukan oleh
Berdasarkan
hasil pengawasan dari Negara anggota UE di setiap port of entry terhadap produk udang asal
Atas
dasar dua hal pokok tersebut diatas maka akhirnya CD 2001/705/EU, 27 September
2001, yang berisi pemeriksaan wajib
terhadap udang asal Indonesia telah dicabut melalui CD 2003/546/EU tanggal 22
Juli 2003. Dengan dicabutnya kewajiban pemerikasaan residu
CHP terhadap udang
Pasar UE sangat unik. Meskipun UE telah bersatu dan
harmonis secara ekonomi berdasarkan regulation, Council Directives dan
Commission Decision, setiap Negara anggota masih tetap memberlakukan
ketentuannya negaranya masing-masing. Negara anggota
mempunyai persepsi masing-masing dalam memahami aturan yang diterbitkan oleh
European Commission. Oleh karena itu
Lampiran 1. Rekapitulasi penolakan produk udang, karena ras antibiotik Uni Eropa September Tahun 2001 s/d Desember 2002
No |
Tanggal |
Lokasi Perusahaan |
Jenis Produk |
Alasan |
Metoda Uji |
1 |
|
Situbondo,
Jawa Timur |
Black
Tiger Shrimps IQF, Cooked, Un-deveined |
CHP
0,4 ppb |
LC/MS |
2 |
|
Surabay |
Black
Tiger Pink Cooked PUD IQF 20% |
CHP 0,63 ppb Dan 0,34 ppb |
GCMS |
3 |
|
|
Red
PUD, PUD M. Palmensis 1100 M/C. |
CHP 0,6 ppb |
MVO
NR:54ED NR: 10 |
4 |
|
Gresik,
|
Cooked
and Peeled Prawns (Cultured Pink) |
CHP 0,5 ppm |
SOP
Method PGE/001 ED 1 |
5 |
( |
|
Frozen
Peeled and Undeveined Prawns |
CHP
0,2 ppb |
C-MS |
6 |
( |
|
Frozen Shrimp -
M. brevicornis -
P. merguiensis |
CHP |
- |
7 |
|
|
Frozen
Prawn |
CHP
0,6 ppb |
SOP
PGE 001 ed 1 |
8 |
BB-030/ PRIME /III/02 |
|
F.W RHSO 1st & 2nd Grade Black
Tiger PND Shrimp |
CHP 0,6 ppb |
BS 4401 PART 17 |
9 |
|
|
Frozen Shrimps |
Nitrofurans 0,6 pbb |
MSMS |
10 |
( |
Sidoarjo |
Raw Shrimps Pink King Prawns |
CHP 0.5 ppb |
SOP method PGE/001 ED1 |
11 |
( |
|
Frozen Shrimps Penaeus Monodon |
Nitrofuran, Furazolidon 6,2 ppb |
RSVA 0949 |
12 |
( |
|
Raw Black Tiger Headless
Prawns |
CHP 0.4 & 0.7 ppb |
SOP method PGE/001 ED1 |
13 |
(Belgia) |
|
Frozen Shrimp Metapenaeus barbata |
CHP |
GC-MS |
14 |
( |
Lampung |
Peeled and Deviened white Prawns |
CHP 1,3 ppb |
SOP method PGA/001ED1 |
15 |
( |
|
Headless-Shell-on Back Tiger King Prawn |
CHP 0,5 ppb |
SOP method PGE/001 ED1 |
16 |
(Netherland) |
|
P. monodon sushi ebi |
Furazolidon (AOZ) 19 ppb |
RSVA 0949 |
17 |
( |
Banyuwangi Jatim |
Penaeus monodon |
(AOZ) 1.5 PPB |
RSVA 0949 |
18 |
( |
Sidoarjo |
Frozen Fresh Water Shrimp, M. rosenbergii |
Nitrofurazone (SEM) 1,4 ppb |
RSVA 0949 |
19 |
( |
|
Frozen Cooked and Peeled P. monodon |
Furazolidon (AOZ) 1,1 ppb |
RSVA 0949 |
20 |
( |
|
Sushi ebi (Penaeus monodon) |
(AOZ) 19 ppb |
RSV A 0949 |
21 |
( |
Banyuwangi |
Frozen Shrimps Penaeus Monodon |
(AOZ) 1,6 ppb |
LC-MS-MS |
22 |
( |
Pasuruan, Jatim |
Frozen Shrimps (Penaeus monodon) |
AOZ, 1.6 ppb |
RSV A 0949 |
23 |
Komisi Eropa di Ind |
Gresik, Jatim |
Warm Water Prawns |
AOZ, 0.3 ppb |
LC-MC/MS |
24 |
Komisi Eropa di Ind |
Lampung |
White Frozen Shrimp |
CHP 0.4 ppb |
LC-MC/MS |
25 |
(Belgia) |
|
Shrimps |
CHP |
LC/MS |
26 |
|
Banyuwangi Jatim |
Penaeus monodon |
CHP 0,4 ppb |
GC/MS |
27 |
( |
Jatim |
Penaeus monodon (Black Tiger) |
AOZ 16,5 ppb |
LC/MS/MS |
28 |
(Swedia) |
|
Black Tiger |
CHP 0,18 ppb |
SLV K-1-m-319-1 |
NO |
Tanggal
|
Asal Produk |
Jenis Produk |
Alasan Penolakan |
Metoda Uji |
1 |
|
|
frozen cooked shrimps |
CHP |
GC-MS |
2 |
|
|
raw frozen shrimp |
Nitrofurans
|
RSV A0949 |
3 |
|
|
cooked black tiger prawns |
Nitrofurans 2,0 MG/KG |
LC-MS |
4 |
|
|
frozen shrimp |
Nitrofurans 2,0 MG/KG |
LC-MS |
5 |
|
Banjarbaru (Kalsel) |
frozen raw peeled black tiger prawns |
Nitrofurans |
LC-MS |
6 |
|
|
black tiger shrimp iqmp, cooked, peeled |
CHP 0.4 ug |
GC-MS |
Note:
1. CHP: Chloramphenicol
2. AHD (Nitrofurantone)
3. AMOZ (Furaltadone)
4. AOZ (Furazolidone)
5. SEM (Nitrofurazon)