© 2004  Sekolah Pasca Sarjana IPB                                                   Posted  22 January 2004

Makalah Diskusi, Kelompok 3

Pengantar Ke Falsafah Sains (PPS702)

Sekolah Pasca Sarjana,   Program S3

Institut Pertanian Bogor

 

Januari 2004

 

 

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng

 

 

 

 

STRATEGI PENANGGULANGAN RESIDU ANTIBIOTIK PADA UDANG YANG DIEKSPOR KE UNI EROPA

 

 

 

Oleh: Kelompok III

 

 

Santoso (C561030144),

Tri Haryanto (C561030204),

Bidawi Hasyim (C561030214),

Anthon Anthonny Djari (C561030134),

Setia Mangunsong (C561030164),

Husni Mangga Barani (C561020224)

 

 

 

 

I.   PENDAHULUAN

 

1.1     Latar Belakang

 

Produk perikanan telah menjadi salah satu komoditas ekspor yang terpenting di Indonesia, sejak tahun1970 an. Berdasarkan statistik perikanan Indonesia, ekspor total produk ini mencapai  lebih dari 500.000 ton pada tahun 2002 dengan nilai lebih dari US $ 1,7 miliar. Meskipun hampir semua Negara telah menjadi tujuan ekspor hasil perikanan, Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang dan Negara Asia lainnya merupakan pasar utama baik sekarang maupun yang akan datang. Dalam Gerakan Pengembangan Mina Bahari yang dicanangkan oleh Presiden RI, bulan Oktober 2003 di Gorontalo, ekspor produk perikanan diharapkan akan meningkat menjadi US $ 5 milyar pada tahun 2006.

Dalam rangka memperlancar dan meningkatkan ekspor produk perikanan, Ditjen Perikanan Tangkap-Departemen Kelautan dan Perikanan telah mengembangkan suatu Sistem Nasional Jaminan Mutu dan Keamanan Produk Perikanan secara mantap, yang mengacu kepada Code of Conduct for Responsible Fisheries dan Technical Guideline on Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). Sistem ini telah mencapai suatu tingkat standar internasional, oleh karena sistem ini telah mendapat banyak pengakuan dari Negara lain, seperti Uni Eropa (UE) yang dituangkan dalam  CD 94/394/EC dengan perubahan terakhir melalui CD 2001/254/EC.

Udang merupakan salah satu komoditas ekspor perikanan yang paling penting dan menghasilkan banyak devisa selain ikan tuna khususnya jenis udang Penaus monodon memiliki daya saing komparatif yang baik di pasar internasional. Kondisi ini telah mengakibatkan banyak negara atau masyarakat menyediakan bahan baku udang tidak hanya tegantung pada penangkapan di laut, tetapi juga melakukan budidaya udang secara intensif dan cenderung besar-besarar dan kurang terkontrol, khususnya berkaitan dengan daya dukung alam. Kegiatan ini berdampak langsung terhadap kesehatan udang dari serangan beberapa penyakit udang, seperti bakteri vibrios dan virus. Untuk mengatasi penyakit ini petambak udang ternyata menggunakan antibiotik, bahkan beberapa antibiotik yang dilarang untuk digunakan dalam produk panganpun juga banyak dijumpai di lapangan, seperti CHP dan nitrofuran serta turunannya.

 

1.2  Tujuan

Tujuan daripada kajian ini adalah :

a.    Mencari strategi yang tepat dalam penanggunalangan residu antibiotik pada udang

b.    Mencari solusi guna penanggulangan residu antibiotik pada udang

c.    Memudahkan para eksportir untuk malkukan ekspor udang ke Uni Eropa

 

 

II.   PERMASALAHAN

 

Praktek penggunaan antibiotik terlarang ini berdampak sangat buruk terhadap ekspor hasil perikanan ke Negara tujuan utama, khususnya UE dan AS. Bahkan tanggal 27 September tahun 2001, UE menetapkan Rapid Alert System (RAS), mengenai residu CHP terhadap seluruh produk udang asal Indonesia yang akan masuk ke pasar Negara anggota UE, melalui suatu Commission Decision 2001/705/EC. Dalam CD ini, seluruh produk udang asal Indonesia diwajibkan untuk diperiksa terhadap residu antibiotic CHP, sebelum masuk ke pasar UE. Sebagai akibat dari penerapan RAS, 34 pengapalan udang asal Indonesia ditahan. Partai produk yang ditahan ini sebagian besar dapat dikembalikan ke Indonesia dan sebagian kecil dibakar oleh penguasa pelabuhan masuk. Dalam kondisi krisis ekonomi yang belum pulih, penolakan atau pemusnahan produk udang ini sangat  merugikan pengolah udang Indonesia.

Permasalahan yang timbul sebagai akibat praktek penggunaan antibiotik tersebut adalah :

1.        Ditolaknya ekspor udang dari Indonesia di Uni Eropa

2.        Kerugian besar yang dialami perusahaan eksportir Indonesia

3.        Menurunnya devisa negara

 

 

III.   PEMBAHASAN

Untuk mencegah kerugian yang lebih besar dan meperlancar ekspor ke UE, maka pemerintah Indonesia, dalam hal ini Ditjen Perikanan Tangkap DKP sebagai Competent authority dalam pengawasan mutu hasil perikanan membuat suatu rencana aksi yang sistematis agar Commission Decision 2001/705/UE dicabut sehingga ekspor udang ke UE tidak mengalami hambatan atau dimusnahkan di port of entry karena terdeteksi mengandung residu antibiotik terlarang. Rencana aksi dimaksud meliputi sebagai berikut.

3.1. Pelaksanaan Peraturan

Jenis antibiotik CHP dan Nitrofurans sebenarnya telah dilarang untuk digunakan pada budidaya perikanan, karena jenis antibiotik ini membahayakan kesehatan manusia. Di Indonesia keduanya masih lazim digunakan dari mulai pembenihan sampai pembesaran udang. Tetapi dengan adanya penolakan bahan pangan yang mengandung dua jenis antibiotik tersebut dari masyarakat konsumen, kususnya di Uni Eropa dan Amerika Serikat, maka pemerintah khususnya Departemen Kelautan dan Perikanan sangat serius melakukan pengawasan terhadap penggunaan bahan antibiotik ini. Salah satu tindakan yang terpenting untuk mencegah timbulnya residu antibiotik pada udang adalah dengan menetapkan peraturan pelarangan penggunaan antibiotik pada budidaya udang. Beberapa peraturan yang telah diterbitkan antara lain :

a.   Keputusan Menteri Kesehatan No. 722/Menkes/Per/IX/88 mengenai pelarangan penggunaan antibiotik pada makanan.

b.   Keputusan Menteri Pertanian No. 806/Kpts/TN.260/12/94 mengenai Klasifikasi Obat Hewan. Dalam keputusan ini, CHP dan nitrofuran dikatagorikan sebagai antibiotik yang berbahaya dan dilarang digunakan pada praktek pembudiyaan prikananan.

c.    Keputusan Menteri Kesehatan. No.

d.   Surat Edaran Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, tanggal 19 Oktober 2001 mengenai Pelarangan penggunaan antibiotik tertentu pada budidaya udang.

 

Agar penanggulangan residu antibiotik pada budidaya perikanan lebih efektif, maka Depertemen Kelautan dan Perikanan membentuk Panitia Nasional tentang pencegahan resiudu antibiotik,  pada tanggal 12 Oktober 2001. Disamping itu, di tingkat daerah provinsi dan kabupaten juga membentuk tim daerah yang mempunyai tugas dan tujuan yang sama.

 

3.2.  Pengadaan Peralatan dan pengembangan uji residu CHP.

Metoda uji resmi untuk residu CHP  yang umum digunakan di beberapa Negara  adalah metoda chromatography. Selain metode chromatography juga digunakan metoda ELISA yang dapat digunakan sebagai metoda alternatif, meskipun metoda ini tidak dianggap sebagai metoda resmi atau metoda konfirmatif. Gas dan Liquid chromatography-MS merupakan alat uji yang paling canggih, mahal dan mampu mendeteksi residu CHP atau residu nitrofuras dalam kadar yang sangat rendah yaitu 0,1 ppb. Jenis alat lain yang lebih sederhana, dan relatif lebih murah adalah High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Alat/metoda ini mampu juga mendeteksi residu serendah metoda LC/GC-MS. Dengan pertimbangan harga dan kemampuan ujinya, maka pada tahun 2002 Ditjen Perikanan Tangkap melengkapi 9 LPPMHP dengan alat HPLC dan mendayagunakan  6   HPLC yang telah dimiliki sebelumnya. Total 15 LPPMHP ini merupakan pusat budidaya dan daerah ekspor udang ke Jepang, UE dan AS.

Metoda uji residu CHP dengan menggunakan HPLC dikembangkan oleh Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan Jakarta, awal tahun 2002. Berdasarkan hasil kajian atau verifikasi oleh BBPMHP, HPLC dapat digunakan untuk menguji residu CHP dengan batas deteksi 0.16 ppb.

 

3.3.   Sosialisasi pencegahan penggunaan antibiotik .

 

Sosialisasi  dilakukan dengan berbagai cara, antara lain loka karya, pelatihan,  penyuluhan, dan pertemuan antar instansi pemerintah yang terkait dan swasta, termasuk pembudidaya udang. Sosialisasi pencegahan residu antibiotik mempunyai tujuan utama untuk menyadarkan pembudidaya atau pengolah udang untuk tidak menggunakan antibiotik terlarang selama proses budidya, khususnya pada tahap pembesaran atau saat penanganan dan pengolahan udang.  Sosialisasi umumnya dihadiri oleh pengolah ikan, pembudidaya udang, Lembaga Swadaya Masyarakat, tokoh masyarakat dan instansi pemerintah terkait. Materi sosialisasi meliputi sebagai berikut :

1.      Karakteristik dan bahaya residu CHP dan nitrofuran bagi kesehatan manusia.

2.      Cara pembudidayaan udang yang baik da aman.

3.      Perdagangan hasil perikanan di pasar internasional.

 

3.4.  Monitoring  CHP pada Udang

          Kegiatan monitoring meliputi sebagai berikut :

3.4.1. Observasi di pusat-pusat produksi udang.

            Kegiatan observasi yang dilaksanakan, antara lain meliputi :

a.   Observasi langsung ke pabrik pakan, unit pembenihan, dan pembesaran.

Beberapa hal penting yang diobservasi antara lain: pakan, peralatan, gudang, pupuk, karyawan dan obat-obatan, serta operasional budidaya udang.

b.   Melakukan identifikasi jenis antibiotik yang digunakan di pembenihan, pembesar udang, dan penampungan

c.    Pengambilan dan pengujian contoh.

Monitoring dilakukan oleh tim pusat dan tim daerah secara bersama atau terpisah dan hasilnya disampaikan ke Ditjen Perikanan Tangkap-DKP untuk dievaluasi.

Hasil observasi menunjukkan bahwa pembudidayaan udang secara intensif umumnya masih menggunakan antibiotik CHP dan Chlortetracycline dan Oxitetracycline. Sedang pembudidaya udang tradisional tidak ditemukan menggunakan antibiotik dalam proses pembesaran.

Sebagian besar contoh udang yang diambil dari pembudidayaan udang secara intensif ditemukan mengandung residu CHP. Sebagian besar udang asal Sumatera Utara dan Jawa Timur ditemukan dari jenis residu CHP, tetapi hanya satu contoh dari 44 contoh (asal Kalimantan Barat),  terdeteksi mengandung residu chlortetracycline (BBPMHP, 2002).

Berdasarkan laporan hasil monitoring dari Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi, secara berangsur-angsur pembudidaya udang mulai meninggalkan penggunaan antibiotik.

 

 

 

Tabel 1. Rekapitulasi residu antibiotik dalam contoh udang dari TambakTahun 2002

 

No.

Lokasi

Jumlah contoh

Jumlah positif

Residu

 ppb

Catatan

1.

Sumatera Selatan

5

0

ND

 

2.

Sumatera Utara

16

3

0.16  - 4.96

CHP

3.

Jawa Timur

5

1

0.17

CHP

4.

Lampung

7

0

ND

 

5.

Sulawesi Selatan

2

0

ND

 

6.

Kalimantan Barat

4

1

700

CTC

7.

Kalimantan Selatan

5

0

ND

 

 

 

 

 

3.4.2. Sertifikasi produk Udang.

Kegiatan sertifikasi produk perikanan merupakan pengawasan terakhir yang sangat strategis sebelum produk udang dipasarkan untuk tujuan ekspor. Setiap produk udang untuk tujuan ekspor ke Uni Eropa dan Amerika Serikat wajib diambil contohnya dan diuji di Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) di tingkat propinsi. Apabila hasil pengujian menunjukkan bahwa contoh tidak mengandung residu CHP, maka LPPMHP menerbitkan Health Certificate dan produk diijinkan untuk diekspor. Bila kondisi partai udang sebaliknya, maka LPPMHP tidak menerbitkan Health Certificate dan partai udang tidak diperkenankan untuk diekspor ke AS dan UE.

Dari kegiatan sertifikasi Pada kurun waktu Maret 2001 sampai dengan Januari 2003, telah dikumpulkan 1.0115 contoh dari 7 provinsi, yaitu Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat, dan dianggap  merupakan pusat ekspor udang nasional (Ditjen Perikanan Tangkap tahun Maret 2002 dan Maret 2003). Contoh terbanyak berasal dari provinsi Jawa Timur.

Hasil sertifikasi produk udang yang akan diekspor ke UE, menunjukan bahwa secara keseluruhan dari jumlah total yang diambil dan diuji, hanya 8.6 % contoh ditemukan mengandung CHP. Contoh dari partai yang diekspor melalui  Kalimantan Barat ditemukan paling tinggi mengandung residu CHP (29,55%), sedang contoh asal Lampung paling rendah ditemukan mengandung residu CHP (3.7%).

Kadar residu CHP berkisar antara 0.11 ppb pada udang asal Sumatera Utara  sampai 123.8 ppb pada bulan Oktober 2002. Kadar residu tertinggi tersebut ditemukan pada contoh yang diekspor melalui Jawa Timur. Secara keseluruhan, kecenderungan penemuan residu CHP pada contoh udang yang diambil menurun selama Maret 2002 sampai Maret 2003.

 

3.4.3. Jumlah ekspor udang yang ditolak oleh Uni Eropa.

Berdasarkan Commission Decision 2001/705/EC, 27 September 2001, seluruh udang asal Indonesia yang masuk ke pasar UE dikenakan wajib Control Measure sesuai dengan Rapid Alert System (RAS). Dalam RAS, Setiap terjadi penolakan atau pemusnahan produk udang oleh Lembaga Pengawasan Impor, maka  UE memberitahukan secara tertulis ke Ditjen perikanan Tangkap melalui perwakilannya di Jakarta (European Delegation).  Selama dikenakan RAS ini, sebanyak  34  kontainer udang ditolak oleh UE, karena kedapatan mengandung residu antibiotic CHP dan nitrofuran. Sebagian besar pengapalan udang yang ditolak tersebut diijinkan untuk dikirim balik ke Indonesia dan hanya 2 kontainer yang dibakar di pelabuhan Inggris dan Belanda.

Dalam kasus residu antibiotik, Negara anggota UE belum memiliki sikap yang sama dalam  menangani penolakan partai udang dan hasil perikanan lainnya yang ditemukan mengandung residu CHP dan cenderung tidak konsisten. Negara Perancis dan Inggris tergolong sangat keras, karena produk yang ditemukan mengandung bahan berbahaya seperti residu CHP dan Salmonella harus dimusnahkan. Sedang Negara lainnya seperti, Jerman dan Belgia memperbolehkan produk dikirim balik. Selama kurun waktu dari 27 September sampai dengan Desember 2001, penolakan karena kedapatan mengandung residu CHP sebanyak 2 kali di Denmark dan Inggris. Sedang pada tahun 2002, tercatat sebanyak 26 kasus penolakan yang disebabkan oleh residu  dan 11 kasus dari total tersebut disebabkan oleh residu nitrofuran dan turunannya. Pada tahun 2003, kasus penolakan udang asal Indonesia oleh UE menurun drastis hingga hanya 6 kasus yang sebagian besar karena alasan residu nitrofurans.

Semenjak dicabutnya CD 2001/705/EC melalui CD 2003/  546/EU, tanggal 22 Juli 2003, kasus penolakan udang  oleh UE karena alasan residu CHP masih terjadi satu kali. Sampai Desember 2002, lebih dari 50 % (16 kasus) dari total kasus penolakan udang terjadi diNegara Inggris dan Belanda. Sisanya (12 kasus) terjadi di 13 negara anggota UE lainnya.  Negara anggota UE umumnya menggunakan Metoda pengujian LC-MS atau GC-MS untuk mengukur kadar residu CHP dan nitrofuran pada udang.

Berdasarkan hasil monitoring residu nitrofuran pada udang yang dilakukan dimpor oleh Negara UE oleh Institute of Food Safety 2003,  dibandingkan dengan Negara China, Thailand, Vietnam, dan India sebagai eksportir produk udang utama, Indonesia dinilai tergolong rendah terkena kasus residu nitrofuran yaitu hanya 6 %. Sedang Thailand dan China menduduki rangking teratas dalam kasus penolakan oleh residu nitrofurans, masing-masing berturut-turut 61 % dan 53 %       

 

 

Tabel. 2. Jumlah contoh, jumlah positip dan prosentase yang mengandung residu antibiotic

 

 

Negara Asal

Jumlah Contoh

Jumlah Positip

% Positip

Bangladesh

6

0

0

Brasil

2

0

0

China

15

8

53

India

27

6

22

Indonesia

35

2

6

Iran

1

0

0

Kenya

1

0

0

Madagascar

2

0

0

Malaysia

1

0

0

Myanmar

4

0

0

Nigeria

1

0

0

Pakistan

7

0

0

Surinam

2

0

0

Thailand

81

50

61

USA

1

0

0

Vietnam

22

7

32

Tidak diketahui

118

36

31

Total

327

109

33

 

Sumber : Fish Inspection Congress di Hague, 20-22 Oktober 2003.

 


3.5.   Penerapan prosedur operasional standar sanitasi (SSOP) dan Sistem Mutu dan Keamanan Pangan dengan HACCP pada Industri pengolahan ikan.

Pada dasarnya Indonesia, telah memiliki Sistem Nasional Jaminan Keamanan Pangan sejak tahun 1998 seperti yang diamanatkan oleh Code of Conduct for Responsible Fisheries. Sistem ini dituangkan dalam Keputusan Menteri Pertanian N0. 41/Kpts/IK210/2/1998 yang diamandemen terakhir melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 01/Kep/2002 dan system jaminan mutu dan kemanan ini lebih terkenal disebut Program Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan (PMMT).

Dalam menerapkan program ini, Unit pengolahan ikan/udang secara rutin diperiksa oleh pengawas mutu perikanan di daerah dan di pusat, melalui kegiatan validasi, audit dan verfikasi audit. Kekurangannya belum semua UPI yang terdaftar saat ini berjumlah lebih dari 650 unit menerapkan HACCP. Menurut catatan terakhir Ditjen Perikanan Tangkap yang telah menerapkan HACCP berjumlah 263 unit.

Sumber residu chloramphenicol di UPI diperkirakan berasal dari bahan-bahan disinfektan yang digunakan untuk mencuci udang di unit pengolahan ikan. Sumber lainnya adalah salep yang sering digunakan untuk mengobati bagian tubuh pekerja yang luka. Oleh karena itu pada saat pengawasan, bahan-bahan desinfektan dan salep dilarang untuk digunakan kapan saja. Pekerja yang bagian tangannya terluka dilarang menangani produk untuk menghindari pencemaran. Berdasarkan laporan pengawas mutu, beberapa unit pengolahan udang pernah menggunakan bahan disinfektan yang diduga mengandung CHP.

 

3.6. Negosiasi dengan negara Importir.

Negosiasi dengan Negara importir, khususnya UE dan AS merupakan bagian yang sangat penting setelah persyaratan teknis yang mempengaruhi terjadinya residu antibiotic pada udang. Negosiasi dilakukan pada tataran bilateral dan regional, melalui jalur Federasi Perikanan ASEAN. Negosiasi bilateral dilakukan dengan prinsip-prinsip kooperatif dan menghindari konfrontatif. Beberapa kali delegasi Departemen Kelautan dan Perikanan RI dan ASEAN melakukan kunjungan ke Competent Authority di UE: European Commission agar  pengenaan RAS residu CHP pada udang Indonesia segera dicabut. Suatu pertemuan yang diselenggarakan oleh Federasi Perikanan ASEAN menghadirkan delegasi UE dan dilakukan di Jakarta pada tahun 2002. Bahkan beberapa Negara di Asia, seperti China melakukan aksi yang sama terhadap produk asal UE yang masuk ke China, yaitu dilakukan pengawasan terhadap residu CHP dan nitrofurans. Negosiasi secara bilateral dianggap sangat  efektif mengingat Negara anggota UE masih memiliki persepsi yang berbeda dalam menerapkan peraturan yang diterbitkan oleh Komisi Eropa.

 


IV.   KESIMPULAN DAN SARAN

Enam rencana aksi yang dilakukan oleh Indonesia telah membawa hasil yang baik terhadap produksi dan pengolahan udang. Hal ini memberikan dampak yang sangat positif terhadap sikap European Commission untuk mencabut CD 2001/705/EU. Karena ternyata Indonesia mempunyai komitmen dan konsisten dalam menanggulangi residu antibiotic: CHP dan nitrofurans serta turunannya.

Berdasarkan hasil pengawasan dari Negara anggota UE di setiap port of entry  terhadap produk udang asal Indonesia, mereka tidak menemukan lagi resdu. Disamping itu, suatu lembaga independen UE melakukan monitoring dan menyimpulkan bahwa udang asal Indonesia sudah sangat jarang mengandung residu CHP. Bahkan dalam hal residu nitrofuran, udang asal Indonesia tergolong  rendah (hanya 6 %) dibandingkan dengan Negara lain seperti China (53 %) dan Thailand (61   %).

Atas dasar dua hal pokok tersebut diatas maka akhirnya CD 2001/705/EU, 27 September 2001,  yang berisi pemeriksaan wajib terhadap udang asal Indonesia telah dicabut melalui CD 2003/546/EU tanggal 22 Juli 2003. Dengan dicabutnya kewajiban pemerikasaan residu CHP terhadap udang Indonesia, maka eskpor udang menjadi lancar dan kerugian dapat dihindarkan. Para pengusaha udang Indonesia seharusnya mengambil peluang ini mengingat beberapa negara pesaing ekspor Indonesia masih terkena wajib pemeriksaan terhadap residu nitrofuran pada udang asal China, Thailand dan Vietnam.

Pasar UE sangat unik. Meskipun UE telah bersatu dan harmonis secara ekonomi berdasarkan regulation, Council Directives dan Commission Decision, setiap Negara anggota masih tetap memberlakukan ketentuannya negaranya masing-masing. Negara anggota mempunyai persepsi masing-masing dalam memahami aturan yang diterbitkan oleh European Commission. Oleh karena itu Indonesia tetap harus mengambil strategi khusus dengan tetap menjalin hubungan yang baik dengan UE dan Negara anggota UE.

 


Lampiran 1. Rekapitulasi  penolakan produk udang, karena ras antibiotik Uni Eropa September Tahun 2001 s/d Desember 2002

 

 

 

No

Tanggal

Lokasi Perusahaan

Jenis Produk

Alasan

Metoda Uji

1

27-12-2001,

Denmark

Situbondo, Jawa Timur

Black Tiger Shrimps IQF, Cooked,  Un-deveined

CHP 0,4 ppb

LC/MS

2

27-12-2001,

 UK

 Surabay

Black Tiger Pink Cooked PUD IQF 20%

CHP 0,63 ppb

Dan 0,34  ppb

GCMS

3

12-02-2002,

Netherlands

Pontianak, Kal-Bar.

Red PUD, PUD M. Palmensis 1100 M/C.

CHP 0,6 ppb

 

MVO NR:54ED NR: 10

4

19-02-2002

Netherlands

Gresik, East Java

Cooked and Peeled Prawns (Cultured Pink)

CHP 0,5 ppm

 

SOP Method PGE/001 ED 1

5

06-03-2002

 (UK)

Surabaya

Frozen Peeled and Undeveined Prawns

CHP 0,2 ppb

C-MS

6

06-03-2002

(UK via Netherlands)

Palembang

Frozen Shrimp

-       M. brevicornis

-       P. merguiensis

CHP

 

 

         -

7

17-12-2002

Surabaya

Frozen Prawn

CHP 0,6 ppb

SOP PGE 001 ed 1

8

06-03-2002

BB-030/

PRIME /III/02

Kalimantan Timur

F.W RHSO 1st & 2nd Grade Black Tiger PND Shrimp Indonesia Origin

CHP 0,6 ppb

BS 4401 PART 17

9

08-04-2002

Netherlands

Medan

 

Frozen Shrimps

Nitrofurans

0,6   pbb

MSMS

10

16-04-2001

 (UK)

 

Sidoarjo

 

Raw Shrimps

Pink King Prawns

CHP 0.5  ppb

SOP method PGE/001 ED1

11

16-04-2001

 (Netherlands)

 Medan, Indonesia

Frozen Shrimps

Penaeus Monodon

Nitrofuran, Furazolidon

6,2  ppb

 

RSVA 0949

12

16-04-2002

 (UK)

Cirebon,  (001.09.B)

Raw Black Tiger Headless  Prawns

CHP 0.4 & 0.7 ppb

SOP method PGE/001 ED1

13

06-04-2002

(Belgia)

Cirebon,   (001.09B)

Frozen Shrimp

Metapenaeus barbata

CHP

GC-MS

14

15-05-2002

 (UK)

Lampung

Peeled and Deviened white Prawns

CHP 1,3  ppb

SOP method PGA/001ED1

15

05-06-2002

(UK)

Surabaya

Headless-Shell-on Back Tiger King Prawn

CHP  0,5 ppb

SOP method PGE/001 ED1

16

25-06-2002

(Netherland)

Surabaya

P. monodon sushi ebi

Furazolidon

(AOZ) 19 ppb

RSVA 0949

 

 

 

 

 

 

 

17

11-06-2002

(Netherlands)

Banyuwangi Jatim

Penaeus monodon

(AOZ) 1.5 PPB

RSVA 0949

18

11-06-2002

(Netherlands)

Sidoarjo

 

Frozen Fresh Water Shrimp, M. rosenbergii

Nitrofurazone

(SEM) 1,4 ppb

RSVA 0949

19

11-06-2002

(Netherlands)

Semarang, Jateng

Frozen Cooked and Peeled P. monodon

Furazolidon

(AOZ) 1,1 ppb

RSVA 0949

20

25-06-2002

 (Netherlands)

Surabaya

Sushi ebi (Penaeus monodon)

(AOZ) 19 ppb

RSV A 0949

21

02-07-2002

 (Germany)

Banyuwangi

Frozen Shrimps Penaeus Monodon

(AOZ) 1,6 ppb

LC-MS-MS 

22

10-09-2002

 (UK)

 Pasuruan, Jatim

Frozen Shrimps (Penaeus monodon)

 

AOZ, 1.6 ppb

RSV A 0949

23

10-09-2002

Komisi Eropa di Ind

Gresik, Jatim

Warm Water Prawns

AOZ, 0.3 ppb

LC-MC/MS

24

10-09-2002

 Komisi Eropa di Ind

 Lampung

White Frozen Shrimp

CHP 0.4 ppb

LC-MC/MS

25

08-10-2002

(Belgia)

Pontianak, Kalbar

Shrimps

CHP

LC/MS

26

29-11-2002

Germany

Banyuwangi Jatim

Penaeus monodon

CHP 0,4 ppb

GC/MS

27

03-12-2002

 (Germany)

Surabaya

Jatim

Penaeus monodon (Black Tiger)

AOZ 16,5 ppb

LC/MS/MS

28

11-12-2002

 (Swedia)

 

Black Tiger

CHP 0,18 ppb

SLV K-1-m-319-1

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Lampiran 2. Partai produk udang yang ditolak di UE, karena  RAS residu antibiotik Thn. 2003

 

 

NO

 

Tanggal

 

 

Asal Produk

 

Jenis Produk

Alasan Penolakan

Metoda Uji

1

21-01-2003

Belgium

Surabaya Jatim

frozen cooked shrimps

CHP

GC-MS

2

21-01-2003

Netherlands

Medan Sumut

raw frozen shrimp

Nitrofurans         

RSV A0949

3

03-02-2003

Netherlands

Jakarta

cooked black tiger prawns

Nitrofurans

2,0 MG/KG

LC-MS

4

03-02-2003

Netherlands

Pontianak (Kalbar)

frozen shrimp

Nitrofurans

2,0 MG/KG

LC-MS

5

27-06-2003

England

Banjarbaru (Kalsel)

frozen raw peeled black tiger prawns

Nitrofurans

 

 LC-MS

6

17-12-2003

Brussels

Surabaya -Jatim

black tiger shrimp iqmp, cooked, peeled

CHP

 0.4 ug

GC-MS

 

 

Note:

1. CHP: Chloramphenicol

2. AHD (Nitrofurantone)  

3. AMOZ (Furaltadone)  

4. AOZ (Furazolidone)   

5. SEM (Nitrofurazon)