ã 2003 Yayat Hidayat Posted 11 May, 2003
Makalah
Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana /S3
Institut
Pertanian Bogor
Mei
2003
Dosen:
Prof
Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Dr
Bambang Purwantara
E-mail: y_hida_yat@yahoo.com
Erosi
tanah merupakan faktor utama penyebab ketidak-berlanjutan kegiatan usahatani di
wilayah hulu. Walaupun masih diperdebatkan, penggunaan lahan yang intensif di
wilayah hulu khususnya untuk kegiatan pertanian telah menyebabkan terjadinya
peningkatan erosi yang sangat nyata dari tahun ke tahun. Peningkatan erosi tersebut disebabkan karena
petani melakukan kegiatan usahatani secara subsisten dengan menerapkan
praktek-praktek usahatani yang menyebabkan erosi yang sangat tinggi (Garrity, 1991). Disamping menyebabkan
ketidak-berlanjutan usahatani di wilayah hulu, kegiatan usahatani tersebut juga
menyebabkan kerusakan sumberdaya lahan dan lingkungan di wilayah hilir yang
sekaligus menyebabkan ketidak-berlanjutan beberapa kegiatan usaha ekonomi
produktif di wilayah hilir akibat terjadinya pengendapan sedimen, kerusakan
sarana irigasi, bahaya banjir dan lain-lain.
Secara alami, sebagian besar tanah di Indonesia mempunyai tingkat kesuburan tanah yang rendah seperti tanah Ultisols dan Oxisols dengan tingkat produktivitas lahan yang juga tergolong rendah. Erosi yang intensif di lahan pertanian menyebabkan semakin menurunnya produktivitas usahatani, dimana penurunan produktivitas usahatani secara linier akan diikuti oleh penurunan kesejahteraan petani. Oleh karena itu, pengendalian erosi di lahan usahatani mutlak harus dilakukan agar kelestarian sumberdaya lahan dan lingkungan dapat dipertahankan sehingga kesejahteraan petani (khususnya) dapat ditingkatkan.
Menyadari dampak kerusakan yang ditimbulkan akibat erosi (on site dan off site effect), pengendalian erosi dan aliran permukaan di lahan pertanian dan kehutanan telah dilakukan sejak tahun 70-an. Berbagai kegiatan penelitian mekanisme erosi, teknik konservasi tanah dan air (KTA) untuk mengendalikan erosi dan aliran permukaan, serta penerapan teknik KTA di lapangan telah dilakukan dengan sasaran utama masyarakat petani yang tinggal di wilayah hulu.
Berdasarkan fakta lapangan hasil monitoring dan evaluasi pengelolaan DAS diketahui bahwa kegiatan pengendalian erosi dan aliran permukaan belum memberikan hasil yang memuaskan. Selain disebabkan karena pendekatan pelaksanaan kegiatan bersipat proyek dan top down (belum melibatkan partisipasi masyarakat), kekurang-berhasilan pengendalian erosi di lapangan, juga berkaitan pemilihan teknik KTA yang diterapkan di lahan petani kurang tepat baik dari sisi kelayakan fisik-teknis maupun sosial ekonomi.
Pemilihan teknik KTA secara teknis dilakukan dengan menggunakan model penduga erosi USLE. Model tersebut juga digunakan untuk memprediksi erosi dari suatu wilayah (DAS) yang kemudian dikalibrasi dengan nilai sediment delivery ratio (SDR). Karena model penduga erosi USLE dikembangkan skala plot, maka erosi wilayah hasil dugaannya mengalami deviasi yang cukup besar. Dengan demikian kebijakan konservasi yang didasarkan atas model tersebut keakuratannya belum cukup memuaskan.
Secara teleologi makalah ini berusaha mencari beberapa keterangan yang dapat menunjukkan kendala-kendala penggunaan model penduga erosi di Indonesia, mengapa model penduga erosi tersebut perlu disempurnakan (ontologis), bagaimana usaha penyempurnaannya (epistomologis) dan manfaat yang diperoleh dari penyempurnaan yang dilakukan (aksiologis).
MODEL PENDUGA EROSI
Model
Skala Plot (USLE)
Model penduga erosi USLE (universal soil loss equation) merupakan model empiris yang dikembangkan di Pusat Data Aliran Permukaan dan Erosi Nasional, Dinas Penelitian Pertanian, Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) bekerja sama dengan Universitas Purdue pada tahun 1954 (Kurnia, 1997). Model tersebut dikembangkan berdasarkan hasil penelitian erosi pada petak kecil (Wischmeier plot) dalam jangka panjang yang dikumpulkan dari 49 lokasi penelitian. Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dibuat model penduga erosi dengan menggunakan data curah hujan, tanah, topografi dan pengelolaan lahan. Secara deskriptif model tersebut diformulasikan sebagai (Arsyad, 2000) :
A = R K L
S C P
di mana A :
jumlah tanah yang tererosi (ton/ha/tahun)
R
: faktor erosivitas hujan
K
: faktor erodibilitas tanah
L :
faktor panjang lereng
S :
faktor kemiringan lereng
C :
faktor penutupan dan pengelolaan tanaman
P : faktor tindakan
konservasi tanah
Pada awalnya model penduga
erosi USLE dikembangkan sebagai alat bantu para ahli konservasi tanah untuk
merencanakan kegiatan usahatani pada suatu landscape
(skala usahatani). Akan tetapi
mulai tahun 1970, model ini menjadi sangat populer sebagai model penduga erosi
lembar (sheet erosion) dan erosi alur
(rill erosion) dalam rangka
mengaplikasikan kebijakan konservasi tanah.
Model ini juga pada awalnya digunakan untuk menduga erosi dari
lahan-lahan pertanian, tetapi kemudian digunakan pada daerah-daerah
penggembalaan, hutan, pemukiman, tempat rekreasi, erosi tebing jalan tol,
daerah pertambangan dan lain-lain (Wischmeier, 1976).
Model
penduga erosi USLE juga telah secara luas digunakan di Indonesia. Disamping digunakan sebagai model penduga
erosi wilayah (DAS), model tersebut juga digunakan sebagai landasan pengambilan
kebijakan pemilihan teknik konservasi tanah dan air yang akan diterapkan,
walaupun ketepatan penggunaan model tersebut dalam memprediksi erosi DAS masih
diragukan (Kurnia, 1997). Hal ini
disebabkan karena model USLE hanya dapat memprediksi rata-rata kehilangan tanah
dari erosi lembar dan erosi alur, tidak mampu memprediksi pengendapan sedimen
pada suatu landscape dan tidak
menghitung hasil sedimen dari erosi parit, tebing sungai dan dasar sungai
(Wischmeier, 1976).
Berdasarkan hasil pembandingan besaran erosi hasil pengukuran pada petak erosi standar (Wischmeier plot) dan erosi hasil pendugaan diketahui bahwa model USLE memberikan dugaan yang lebih tinggi untuk tanah dengan laju erosi rendah, dan erosi dugaan yang lebih rendah untuk tanah dengan laju erosi tinggi. Dengan kata lain kekurang-akuratan hasil pendugaan erosi pada skala plot, mencerminkan hasil dugaan model ini pada skala DAS akan mempunyai keakuratan yang kurang baik. Disamping itu, model USLE tidak menggambarkan proses-proses penting dalam proses hidrologi (Risse et al.,1993). Berdasarkan beberapa kelemahan tersebut, model erosi USLE disempurnakan menjadi RUSLE (Revised USLE) dan MUSLE (Modified USLE) dengan menggunakan teori erosi modern dan data-data terbaru (Renard, 1992, dalam Risse et al., 1993), tetapi masih tetap berbasis plot.
Hasil-hasil penelitian pengujian model penduga erosi USLE baik yang dilakukan di Indonesia maupun di luar negeri seperti Afrika, Eropa, negara-negara Asia dan di Amerika Serikat itu sendiri, menunjukkan bahwa model penduga erosi USLE tidak dapat digunakan secara universal (Kurnia, 1997) dan memberikan hasil pendugaan yang bias jika digunakan untuk memprediksi erosi DAS. Hal tersebut disebabkan karena ekstrapolasi hasil penelitian dari areal yang sempit ke areal yang lebih luas (DAS) akan memberikan hasil yang keliru (Lal, 1988).
Model Skala DAS
Model
penduga erosi skala DAS dikembangkan dalam rangka mengatasi bebe-rapa kelemahan
model erosi skala plot, sehingga model tersebut telah mengintegrasikan
karakteristik unik dan keragaman spasial DAS. Model penduga erosi skala DAS
biasanya dikembangkan dengan menggunakan konsep transportasi sedimen pada
permukaan lahan (overland flow) dan
aliran sungai (stream flow). Oleh karena itu, parameter-parameter utama
yang digunakan merupakan parameter yang mempengaruhi karakteristik hidrologi
DAS.
Model
ANSWERS (areal non-point source watershed
environmental response simulation)
dan model AGNPS (agricultural non point
source pollutioan model)
merupakan model penduga erosi skala DAS yang telah mulai banyak digunakan di
Indonesia. Walaupun masih mempunyai beberapa kelemahan, model tersebut
memberikan hasil pendugaan erosi yang cukup baik. Sinukaban (1997) telah menggunakan model AGNPS untuk memprediksi
aliran permukaan, erosi, kehilangan nitrogen dan fosfor dan COD dari DAS seluas
10,4 hektar di wilayah perbukitan.
Hasilnya menunjukkan bahwa hasil prediksi model tidak berbeda secara
stastistik dengan hasil pengukuran.
Sedangkan Ginting dan Ilyas (1997) yang melakukan simulasi berbagai
penggunaan lahan dengan menggunakan model ANSWERS di DAS Siluak, menyimpulkan
bahwa model ANSWERS memerlukan validasi lebih lanjut.
Hasil
penelitian Tikno (1996) di Sub DAS Cibarengkok-Cimuntur, Jawa Barat, Ramadhan
(1998) di Sub DAS Cikutumuk, Jawa Barat dan Hidayat (2001) di DTA Bodong Jaya
dan DAS Way Besay Hulu, menunjukkan model ANSWERS dapat menduga volume aliran
permukaan dan erosi dengan baik, tetapi kurang baik apabila digunakan untuk
menduga debit puncak, waktu debit puncak dan time base aliran permukaan.
Erosi dan aliran permukaan hasil dugaan model ANSWERS cukup baik pada
jumlah dan intensitas hujan yang relatif tinggi, dan mengalami deviasi yang
cukup besar pada curah hujan rendah (Hidayat, 2001).
Disamping disebabkan adanya perbedaan ukuran raster sel dan DAS yang
digunakan, bevariasinya hasil dugaan model ANSWERS diduga terkait dengan
dinamika proses erosi pada suatu bentang lahan. Dinamika erosi terjadi akibat
bervariasinya jumlah dan intensitas hujan serta karakteristik permukaan lahan
yang mempengaruhi proses deposisi sedimen (barrier/filter). Sinukaban et al. (2000) dan Susswein, Noordwjk dan Verbist (2001) menunjukkan
bahwa jenis dan konfigurasi barier/filter
sangat mempengaruhi jumlah erosi dan volume aliran permukaan yang dihasilkan
dari suatu bentang lahan dan wilayah.
PENGGUNAAN MODEL
PENDUGA EROSI DI INDONESIA
Walaupun kebijakan pengendalian
erosi dan aliran permukaan telah mulai didasarkan atas pendekatan kawasan
(DAS), tetapi kebijakan yang diambil dalam menentukan alternatif tindakan
konservasi tanah dan air yang akan diterapkan masih didasarkan pada model
penduga erosi USLE yang sebetulnya hanya valid jika digunakan pada skala
usahatani (skala plot). Kebijakan
kontradiktif tersebut tidak jarang menyebabkan pendugaan erosi DAS dengan model
USLE (lumped parameter) lebih tinggi
(overestimate) dari pada erosi yang
sebenarnya terjadi di lapangan (Rachman et
al., 1991, Kurnia et al., 1991), sehingga teknik
konservasi tanah dan air yang dipilih untuk mengendalikan erosi dan aliran
permukaan menjadi kurang sesuai dengan kondisi biofisik lahan dan khususnya
kondisi sosial ekonomi petani.
Alasan utama penggunaan model USLE
untuk memprediksi erosi DAS karena model tersebut relatif sederhana dan input
parameter model yang diperlukan mudah diperoleh (biasanya tersedia dan dapat
dengan mudah diamati di lapangan). Jumlah erosi hasil prediksi model kemudian dikalibrasi
dengan nilai sediment delivery ratio (SDR) untuk menghasilkan jumlah tanah tererosi (net erosion) yang hilang keluar dari suatu DAS. Namun demikian karena instrumentasi
pengukur debit sedimen pada suatu DAS sering tidak tersedia, maka nilai SDR
sering dijustifikasi berdasarkan karakteristik fisik DAS yang mempengaruhi
proses erosi dan sedimentasi. Oleh
karena itu erosi DAS hasil prediksi erosi model USLE keakuratannya semestinya
dipertanyakan.
Sebaliknya penggunaan model erosi
skala DAS dengan parameter terdistribusi masih terbatas pada skala
penelitian. Disamping memerlukan
input parameter yang relatif banyak dan kompleks, input parameter model
tersebut juga sering tidak tersedia di lapangan. Penggunaan
model ANSWERS mulai dirintis pada beberapa DAS seperti DAS Solo bagian hulu dan
Brantas bagian hulu dibawah pengelolaan Balai Teknologi Pengelolaan DAS
(Priyono dan Mulyadi, 2000). Penggunaannya
pada DAS-DAS yang lain dihadapkan pada kendala penyediaan parameter input yang
tidak dapat dipenuhi, karena instrumentasi pengukur debit aliran air dan
sedimen biasanya tidak tersedia di sebagian besar DAS di Indonesia.
Adanya kondisi kontradiktif antara
penggunaan model USLE yang relatif sederhana tetapi keakuratannya kurang baik
dengan penggunaan model ANSWERS/ AGNPS yang relatif kompleks dan cukup akurat,
menimbulkan beberapa pertanyaan diantaranya :
1.
Apakah
model penduga erosi USLE dapat divalidasi dan dikembangkan kembali sehingga
memberikan hasil dugaan yang cukup baik dan sesuai dengan kondisi biofisik
Indonesia.
2.
Bisakah
beberapa input parameter yang digunakan dalam model ANSWERS /AGNPS direduksi
sehingga tidak terlalu kompleks, atau ditambahkan parameter lain yang mudah
diperoleh di Indonesia.
PENGEMBANGAN
MODEL YANG DIPERLUKAN
Model merupakan representasi atau
gambaran tentang sistem, obyek atau
kejadian. Representasi tersebut
dinyatakan dalam bentuk sederhana sehingga mudah dipahami dan digunakan untuk
berbagai tujuan pemanfaatan. Oleh
karena itu, model yang relatif sederhana akan lebih disukai, tetapi hasil
prediksinya mengalami deviasi yang cukup besar. Sebaliknya model yang lebih kompleks akan menghasilkan hasil
dugaan yang lebih baik, tetapi input parameter yang digunakannya relatif
banyak.
Model penduga erosi USLE merupakan
model yang sangat popular dan digunakan sebagai landasan pengambilan kebijakan
konservasi tanah di Indonesia.
Kelemahan utama model ini belum mempertimbangkan keragaman spasial dalam
suatu DAS dimana nilai input parameter yang diperlukan merupakan nilai
rata-rata yang dianggap homogen dalam suatu unit lahan atau DAS. Hal tersebut
kontradiktif dengan fenomena alam dimana DAS mempunyai karakteristik yang unik
(Agus, et al., 1997). Disamping itu nilai erosi hasil prediksi
model USLE harus dikalibrasi dengan nilai SDR yang biasanya tidak tersedia
dalam suatu DAS.
Sebagai langkah awal, pengembangan
model penduga erosi skala DAS di
Indonesia diantaranya dapat dilakukan melalui :
1. Integrasi Konsep Keruangan Kedalam Model USLE
Pengintegrasian konsep keruangan
(spasial) ke dalam model penduga erosi USLE dilakukan dalam bentuk pembagian
wilayah DAS kedalam raster sel bujur sangkar sehingga seluruh wilayah DAS
terbagi habis kedalam sel-sel yang unik. Ukuran sel ditentukan sedemikian rupa
sehingga nilai-nilai parameter di dalam setiap sel menjadi homogen sesuai
dengan skala ketelitian kajian yang dilakukan. Algoritma model USLE selanjutnya
ditransfer kedalam raster sel yang telah dibuat. Pembuatan raster sel dan pengintegrasian algoritma model USLE ke dalam sel dapat dilakukan dengan
menggunakan software GIS seperti ArcView dan alat model PCRaster. Pembagian wilayah DAS ke dalam raster sel bertujuan untuk
mengatasi kelemahan model USLE yang bersifat lumped parameter menjadi model dengan parameter terdistribusi,
sehingga setiap sel (elemen) yang
dibuat mempunyai nilai parameter input sendiri yang bersifat unik.
Agar keluaran model USLE menjadi laju
erosi yang betul-betul keluar dari suatu DAS (net erosion), maka model USLE yang telah ditransformasikan kedalam
raster sel dikalibrasi dengan suatu koefisien yang mempengaruhi proses fisik
erosi dan sedimentasi dalam suatu DAS.
Nilai koefisien yang dimaksud dapat diperoleh dari hasil pengamatan dan atau pengukuran
parameter karakteristik fisik DAS yang
dikombinasikan dengan pengukuran erosi dan deposisi di lapangan pada berbagai
bentang lahan. Karakteristik fisik DAS
yang dipertimbangkan diantaranya adalah :
konfigurasi lereng, kerapatan drainase, hambatan aliran permukaan (filter), dan rasio luas lahan pada
berbagai kelas lereng. Dengan demikian
erosi hasil dugaan model USLE yang telah dikembangkan tidak perlu lagi
dikalibrasi dengan nilai sediment
delivery ratio.
2. Pengembangan Model Penduga
Erosi Berdasar Proses Fisik
a.
Model GUEST
Model penduga erosi yang
dikembangkan berdasarkan proses-proses fisik (physically based model) mempunyai keakuratan yang cukup baik dalam
menduga erosi dalam skala plot. Model tersebut
diantaranya adalah model GUEST (Griffith
University Erosion System Template)
yang awalnya dikembangkan oleh Hairsine dan Rose (1992). Model GUEST dapat dikembangkan menjadi
model penduga erosi skala DAS dengan membagi habis wilayah DAS menjadi raster
sel dimana formula GUEST diintegrasikan kedalamnya. Karena telah didasarkan atas proses-proses yang mempengaruhi
erosi dan sedimentasi, maka erosi dugaan model GUEST yang telah diintegrasikan
kedalam model skala DAS merupakan laju erosi bersih yang keluar dari suatu DAS.
b.
Model ANSWERS
dan AGNPS
Pengembangan
model ANSWERS dan AGNPS ditujukan agar model tersebut dapat digunakan di Indonesia dengan hasil dugaan yang lebih baik
dan input parameter yang dibutuhkannya relatif lebih sederhana. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa model
erosi ANSWERS dan AGNPS belum sepenuhnya mempertimbangkan parameter fisik yang
mempengaruhi erosi dalam suatu DAS. Model tersebut cenderung overestimate pada intensitas hujan
tinggi dan underestimate pada
intensitas hujan rendah. Simulasi
teknik konservasi tanah dan air (best
management practice) yang diterapkan juga memberikan efektivitas yang sama
baik pada curah hujan rendah maupun curah hujan tinggi. Dengan kata lain efektivitas penerapan
teknik konservasi tanah dan air tidak
tergantung kepada besaran dan intensitas hujan yang terjadi.
Alternatif pengembangan model
ANSWERS dan AGNPS yang dapat dilakukan antara lain adalah mengintegrasikan efek barier/filter dalam suatu landscape ke dalam
model transportasi dan deposisi sedimen dalam aliran permukaan (overland flow)
agar erosi hasil prediksi model betul-betul merupakan hasil sedimen yang
terukur di sungai. Efek barier tersebut diintegrasikan ke dalam algoritma
proses erosi dan sedimentasi pada overland
flow.
Integrasi efek barier/filter dilakukan melalui serangkaian pengamatan lapang yang
mensimulasikan berbagai efek barier pada berbagai panjang dan konfigurasi
lereng, sehingga diperoleh persamaan fisik empiris yang akan diintegrasikan ke
dalam model. Untuk itu diperlukan
serangkaian penelitian lapang dalam skala plot dan DAS dengan
verifikasinya pada beberapa DAS dengan
karakteristik yang berbeda.
MANFAAT PENGEMBANGAN MODEL
Pengembangan
model erosi skala plot USLE menjadi model penduga erosi skala DAS akan
meningkatkan keakuratan hasil dugaan model tersebut dalam memprediksi erosi
DAS. Model baru yang dihasilkan masih
merupakan model sederhana dengan parameter input yang mudah diperoleh di
Indonesia yang dapat digunakan sebagai landasan pengambilan kebijakan teknis
pengendalian erosi dan aliran permukaan di lahan-lahan pertanian dalam suatu
DAS. Pemanfaatan model baru yang
diperoleh akan sangat besar karena model lama (USLE skala plot) telah digunakan
secara luas di Indonesia sebagai landasan pengambilan kebijakan konservasi
tanah dan air di departemen teknis terkait seperti Departemen Pertanian dan
Departemen Kehutanan.
Karena penggunaan model ANSWERS dan
AGNPS di Indonesia masih relatif terbatas, maka manfaat pengembangan model ini
masih terbatas pada skala penelitian. Akan
tetapi, jika instrumenstasi pengukur debit aliran sungai dan debit sedimen
telah dilakukan pada sebagian besar sungai yang ada di Indonesia, manfaat
pengembangan model tersebut terhadap pemeliharaan kualitas sumber daya lahan
dan linkungan menjadi signifikan.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F., A. NG. Ginting, U. Kurnia, A. Abdurachman and P. Van Der Poel. 1997. Soil Erosion Research in Indonesia. Past Experience and Future Direction. Workshop Assessing the Causes and Impacts of Soil erosion at Multiple Scales. Bogor, 17 – 20 November 1997.
Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.
Garrity, D.P. 1991.
Sustainable Land Use Systems for The Slopping Upland of Southeast
Asia. In Technologies for Sustainable
Agriculture in the Tropics. Am. Soc.
Agron.
Ginting, A.N., dan M. A.
Ilyas. 1997. Pendugaan Erosi pada Sub DAS Siulak di Kabupaten Kerinci dengan
Menggunakan Model ANSWERS. Makalah
Lokakarya Penetapan Model Erosi Tanah. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor. 7
Maret 1997.
Hairsine, P.B. and C. W. Rose. 1992. Modelling water erosion due to overland flow using physical principles : Uniform flow. Water Resources Research 28 : 237 – 243.
Hidayat, Y. 2001. Aplikasi Model ANSWERS dalam Mempredikasi
Erosi dan Aliran Permukaan di DTA Bodong
Jaya dan DAS Way Besay Hulu, Lampung Barat.
Tesis Magister. Program Pascasarjana, IPB. Bogor.
Kurnia, U. 1997. Pendugaan Erosi dengan Metoda USLE :
Kelemahan dan Keunggulan. Lokakarya
Penetapan Model Pendugaan Erosi Tanah, Bogor, 7 Maret.
Kurnia, U., T. Sudharto, and T. Vadari. 1991. Penelitian Pengkajian Metoda Prediksi Erosi pada Tanah Mergel di Sub DAS Ciseel. Pp. 107-122. In H. suhardjo (ed.). Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah Bidang Konservasi Tanah dan Air . Bogor 22-24 Agustus 1989. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Lal, R. 1988. Soil Erosion by Wind and Water : Problems and Prospects. Pp 1 –6. In R. Lal (ed). Soil Erosion Research Methods. Soil and Water Conservation Society, Ankeny. Iowa.
Priyono, C.N.S dan D.
Mulyadi. 2000.
Penyempurnaan Perencanaan Pengelolaan DAS di Indonesia. Disampaikan pada Seminar Hasil-Hasil
Penelitian BTPDAS, 15 Januari 2000.
Surakarta.
Rachman, A. Suwardjo dan U. Kurnia. 1991. Studi Pembandingan Metoda Prediksi Erosi Menurut USLE dan Metoda Pengukuran Erosi Lapangan di Sub DAS Cimuntur, DAS Citanduy. Pp 123 – 131. In H. suhardjo (ed.). Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah Bidang Konservasi Tanah dan Air . Bogor 22-24 Agustus 1989. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Ramadhan, H. 1998. Penggunaan Model ANSWERS untuk Mempredikasi Aliran Permukaan dan Sedimen di DAS Cikutumuk, Jawa Barat. Tesis Magister. Program Pascasarjana, IPB. Bogor.
Risse, L.M., M.A. Nearing, A.D. Nicks, and J.M. Laflen. 1993. Error Assessment in the Universal Soil Loss Equation. Soil. Sci. Soc. Am. J. Vol. 57 : 825-833.
Sinukaban, N., S.D. Tarigan, W. Purwakusuma, D.P.T. Bakoro dan E. D. wahyunie. 2000. Analysis of watershed Function (Sediment Transfer Across Various Type of Filter Strips). Lab. of Soil Physics and Soil & Water Conservation, Dept. of Soil Science, IPB-ICRAF. Bogor.
Susswein, P. M., M. V. Noordwijk,
and B. Verbist. 2001. Forest Watershed Function and Tropical Land
Use Change. ASB Lecture Note 7. International Centre for Research in
Agroforestry. Bogor.
Tikno, S. 1996. Penggunaan Model ANSWERS untuk Mempredikasi Aliran Permukaan dan Sedimen di Sub DAS Cibarengkok-Cimuntur, Jawa Barat. Tesis Magister. Program Pascasarjana, IPB. Bogor.
Wishmeier, W.H. 1976.
Use and Misuse of the Universal Soil Loss Equation. Journal of Soil and Water Conservation. Vol. 31(1) : 5 – 9.