ã 2003 Wini Trilaksani Posted
11 June 2003
Term paper
Intoductory Science Philosophy
(PPS702)
Graduate Program / S3
Institut Pertanian Bogor
June 2003
Instructors :
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng
Dr Bambang Purwantara
Oleh:
C 561020051 (TKL)
E-mail: wini_trilaks@plasa.com
Ungkapan “Anda adalah apa yang anda
makan” berlaku untuk beberapa segi kehidupan termasuk kesehatan dan kecantikan.
Kesehatan adalah hal terpenting dan utama dalam kehidupan manusia dibandingkan
yang lainnya seperti kedudukan, kekuasaan, kekayaan, nama baik yang biasanya
menjadi obsesi manusia. Tanpa kesehatan yang baik apapun yang diperoleh menjadi
tidak bermakna dan orang yang tidak sehat tentunya tidak bahagia karena selalu
memikirkan cara untuk bertahan hidup (Chang, 1997). Oleh karena itu sehat dan bugar tanpa mengenal
usia tentunya merupakan suatu dambaan setiap orang. Seperti ungkapan pada awal
tulisan ini, kondisi kesehatan tentunya tidak terlepas dari apa yang dimakan
sehari-hari.
Suatu
studi Epidermiologi menunjukkan ada keterkaitan antara status kesehatan dan
usia harapan hidup masyarakat dengan pola konsumsinya. Masyarakat diwilayah
yang terlalu banyak mengkonsumsi protein, lemak, gula dan garam misalnya,
ternyata lebih banyak ditemukan penderita penyakit-penyakit degeneratif
dibandingkan masyarakat wilayah yang banyak mengkonsumsi karbohidrat, serat dan
vitamin.
Negara
dengan mayoritas penduduk berusia panjang seperti Jepang mempunyai menu
tradisional yang kaya akan kacang-kacangan, sayur dan buah serta kebiasaan
minum teh hijau. Pada masyarakat eskimo yang hidupnya tidak terlepas dari
konsumsi ikan (hasil perikanan baik Shellfish maupun finfish)
tidak ditemukan atau jarang ditemukan penderita penyakit jantung, studi lain
menyatakan bahwa kelompok mayarakat yang terbiasa mengkonsumsi susu fermentasi
ternyata juga mempunyai rata-rata usia lebih panjang.
Pada tulisan ini akan dibahas peran
diet dengan makanan yang mengandung banyak antioksidan terhadap kesehatan,
mengingat prevalensi penyakit degeneratif yang terus meningkat di Indonesia,
sementara bila dilihat biodiversity kita begitu luas dan beragam
tentunya sangat bermanfaat.
Berbagai definisi telah diberikan untuk menggambarkan “Antioksidan”. Secara umum, antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda, memperlambat dan mencegah proses oksidasi lipid. Dalam arti khusus, antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi antioksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid ( Kochhar dan Rossell, 1990) Menurut Cuppert (1997) Disitir Widjaya (2003) antioksidan dinyatakan sebagai senyawa secara nyata dapat memperlambat oksidasi, walaupun dengan konsentrasi yang lebih rendah sekalipun dibandingkan dengan substrat yang dapat dioksidasi.
Antioksidan sangat bermanfaat bagi kesehatan dan berperan penting untuk mempertahankan mutu produk pangan. Berbagai kerusakan seperti ketengikan, perubahan nilai gizi, perubahan warna dan aroma, serta kerusakan fisik lain pada produk pangan karena oksidasi dapat dihambat oleh antioksidan ini.
Antioksidan sangat beragam jenisnya. Berdasarkan sumbernya antioksidan dibagi dalam dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia) dan antioksidan alami ( antioksidan hasil ekstraksi bahan alami)
1.
Antioksidan Sintetik
Diantara beberapa contoh antioksidan sintetik yang diijinkan untuk makanan, ada lima antioksidan yang penggunaannya meluas dan menyebar diseluruh dunia, yaitu Butil Hidroksi Anisol (BHA), Butil Hidroksi Toluen (BHT), propil galat, Tert-Butil Hidoksi Quinon (TBHQ) dan tokoferol. Antioksidan tersebut merupakan antioksidan alami yang telah diproduksi secara sintetis untuk tujuan komersial (Buck, 1991)
BHA memiliki kemampuan antioksidan (carry through, kemampuan antioksidan baik dilihat dari ketahanannya terhadap tahap-tahap pengelolaan maupun stabilitasnya pada produk akhir) yang baik pada lemak hewan dalam sistem makanan panggang, namun relatif tidak efektif pada minyak tanaman. BHA bersifat larut lemak dan tidak larut air, berbentuk padat putih dan dijual dalam bentuk tablet atau serpih, bersifat volatil sehingga berguna untuk penambahan ke materi pengemas (Buck, 1991 ; Coppen, 1983).
Menurut Sherwin (1990), antioksidan sintetik BHT memiliki sifat serupa BHA, akan memberi efek sinergis bila dimanfaatkan bersama BHA, berbentuk kristal padat putih dan digunakan secara luas karena relatif murah. Propil galat mempunyai karakteristik sensitif terhadap panas, terdekomposisi pada titik cairnya 148 0C, dapat membentuk komplek warna dengan ion metal, sehingga kemampuan antioksidannya rendah. Selain itu, propil galat memiliki sifat berbentuk kristal padat putih, sedikit tidak larut lemak tetapi larut air, serta memberi efek sinergis dengan BHA dan BHT (Buck, 1991).
TBHQ dikenal sebagai antioksidan paling efektif untuk lemak dan minyak, khususnya minyak tanaman karena memiliki kemampuan antioksidan yang baik pada penggorengan tetapi rendah pada pembakaran. Bila TBHQ direkomendasikan dengan BHA yang memiliki kemampuan antioksidan yang baik pada pemanggangan akan memberikan kegunaan yang lebih luas . TBHQ dikenal berbentuk bubuk putih sampai coklat terang, mempunyai kelarutan cukup pada lemak dan minyak, tidak membentuk kompleks warna dengan Fe dan Cu tetapi dapat berubah pink dengan adanya basa (Buck,1991).
Tokoferol merupakan antioksidan alami yang dapat ditemukan hampir disetiap minyak tanaman, tetapi saat ini telah dapat diproduksi secara kimia. Tokoferol memiliki karakteristik berwarna kuning terang, cukup larut dalam lipida karena rantai C panjang. Pengaruh nutrisi secara lengkap dari tokoferol belum diketahui, tetapi a-tokoferol dikenal sebagai sumber vitamin E. Didalam jaringan hidup, aktivitas antioksidan tokoferol cenderung a->b->g->d-tokoferol, tetapi dalam makanan aktivitas tokoferol terbalik d->g->b->a-tokoferol (Belitz dan Grosch, 1987). Menurut Sherwin (1990), urutan tersebut kadang bervariasi tergantung pada substrat dan kondisi-kondisi lain seperti suhu.
Tabel 1. Contoh antioksidan untuk produk
pangan di beberapa negara*
Amerika Serikat |
Kanada |
EEC** |
Senyawa fenolik
|
|
|
Butil Hidroksi Anisol (BHA) |
BHA |
BHA |
Butil Hidroksi Toluen (BHT) |
BHT |
BHT |
Tert Butil Hidroksi Quinon
(TBHQ) |
Propil galat |
Propil galat |
Trihidroksibutiropenon |
Tokoferol |
Dodesil galat |
Propil galat |
|
Oktil galat |
Tokoferol |
|
Tokoferol |
4-hidroksimetil-2,6-ditertier
butilfenol |
|
|
Asam dan ester |
|
|
Diauril tiopropionat |
Asam askorbat |
Asam askorbat |
Asam tiodipropionat |
Askorbil palmitat |
Askorbil palmitat |
|
Askorbil stearat |
Kasium askorbat |
|
Asam sitrat |
Sodium askorbat |
|
Lesitin sitrat |
|
|
Monogliserida
sitrat |
|
|
Monoisopropil
sitrat |
|
|
Asam tartarat |
|
Lain-lain |
|
|
Glisin |
Gum guaiac |
|
Gum
guaiac |
Lesistin |
|
Lecithin |
|
|
*Buck (1991) |
|
|
**European Economic Community |
Sedangkan pada tabel 2 dapat
dilihat penggolongan penghambat seluler oksidasi lemak.
Inhibitor yang
larut air |
Inhibitor yang larut lemak |
Superoksida disimutase |
Tocopherols |
Katalase |
Ubiquinal |
Peroksidase, contoh
glutatione peroxidase |
Carotenoids |
Chelators of iron |
|
Reducing agents and free radical
scavengers contoh askorbat |
|
Hydroxy scavengers |
|
Ferroxidases |
|
Pospolipases, proteases |
|
Sumber
Hultin (1994)
2. Antioksidan Alami
Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari (a) senyawa antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, (b) senyawa antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan, (c) senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke makanan sebagai bahan tambahan pangan (Pratt,1992).
Menurut
Pratt dan Hudson (1990), kebanyakan senyawa antioksidan yang diisolasi dari
sumber alami adalah berasal dari tumbuhan. Kingdom tumbuhan, Angiosperm
memiliki kira-kira 250.000 sampai 300.000 spesies dan dari jumlah ini kurang
lebih 400 spesies yang telah dikenal dapat menjadi bahan pangan manusia.
Isolasi antioksidan alami telah dilakukan dari tumbuhan yang dapat dimakan,
tetapi tidak selalu dari bagian yang dapat dimakan. Antioksidan alami tersebar
di beberapa bagian tanaman, seperti pada kayu, kulit kayu, akar, daun, buah,
bunga, biji, dan serbuk sari (Pratt,1992).
Menurut
Pratt dan Hudson (1990) serta Shahidi dan Naczk (1950, senyawa antioksidan
alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat
berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan
asam-asam organic polifungsional. Ditambahkan oleh Pratt (1992), golongan
flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon,flavonol,
isoflavon, kateksin, flavonol dan kalkon. Sementara turunan asam sinamat
meliputi asam kafeat, asam ferulat, asam klorogenat, dan lain-lain. Senyawa
antioksidan alami polifenolik ini adalah multifungsional dan dapat beraksi
sebagai (a) pereduksi, (b) penangkap radikal bebas, (c) pengkelat logam, (d)
peredam terbentuknya singlet oksigen.
Menurut
Markham (1988), kira-kira 2 % dari seluruh karbon yang difotosintesis oleh
tumbuhan diubah menjadi flavonoid atau senyawa yang berkaitan erat dengannya,
sehingga flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam terbesar. Lebih
lanjut disebutkan bahwa sebenarnya flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan
hijau, sehingga pastilah ditemukan pula pada setiap telaah ekstrak tumbuhan.
Ditulis oleh Pratt dan Hudson (1990) kebanyakan dari golongan flavonoid dan
senyawa yang berkaitan erat dengannya memiliki sifat-sifat antioksidan baik
didalam lipida cair maupun dalam makanan berlipida.
Ada
banyak bahan pangan yang dapat menjadi sumber antioksidan alami, seperti
rempah-rempah, dedaunan, teh, kokoa, biji-bijian, serealia, buah-buahan,
sayur-sayuran dan tumbuhan/alga laut. Bahan pangan ini mengandung jenis senyawa
yang memiliki aktivitas antioksidan, seperti asam-asam amino, asam askorbat,
golongan flavonoid, tokoferol, karotenoid, tannin, peptida, melanoidin,
produk-produk reduksi, dan asam-asam organik lain (Pratt,1992).
Tumbuhan
rempah-rempah sudah sejak lama dikenal kegunaannya untuk manusia, misalnya
untuk memberi aroma, rasa pada makanan, untuk obat-obatan, atau memiliki sifat
antiseptik. Nakatani (1992) telah merangkum hasil penelitian dari beberapa
peneliti dunia dan menyebutkan bahwa tumbuhan rosemary dan sage memiliki
antioksidan efektif untuk memperlambat kerusakan oksidatif pada lemak babi,
begitu pula antioksidan dari tumbuhan thyme, oregano, pala, bunga pala dan
kunyit. Sementara cengkeh memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi didalam
emulsi minyak dalam air dibanding kunyit, bunga pala, rosemary, pala, jahe,
oregano, dan sage. Tumbuhan laut yang diketahui mempunyai senyawa antioksidan
adalah Gelidiopsis sp.
Keefektifan
antioksidan dari rempah-rempah kemudian menarik untuk dicobakan pada berbagai
jenis makanan, dan hasil-hasil penelitian tersebut merangsang para peneliti
untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengisolasi komponen-komponen
aktif dari berbagai jenis rempah. Senyawa-senyawa fenolik volatile seperti
eugenol, isoeugenol, thymol dan lain-lain memiliki aktivitas antioksidan
menonjol, namun mereka memiliki odor yang terlalu kuat sehingga membatasi
kegunaannya sebagai bahan tambahan pangan. Curcumin adalah antioksidan berwarna kuning pekat yang diisolasi dari kunyit, sementara Capsaicin
yang diisolasi dari cabe berasa
sangat pedas, warna dan rasa tersebut menyebabkan kurang praktisnya dalam
penggunaan. Oleh karena itu, para peneliti kemudian mengalihkan perhatian pada
isolasi komponen aktif antioksidan dari fraksi-fraksi non volatile yang
memiliki sifat-sifat antioksidan lebih menyenangkan, tidak berbau, berasa dan
tidak berwarna. Kemudian lebih lanjut penelitian ditekankan pada
senyawa-senyawa fenolik non volatil yang memiliki aktivitas antioksidan
(Nakatani,1992).
Daun
Rosemary (Rosmarinus officinalis L)
merupakan salah satu rempah-rempah efektif yang telah luas digunakan
dalam pengolahan makanan. Oleh beberapa peneliti ditemukan bahwa dari daun
rosemary ini telah berhasil diisolasi beberapa senyawa antioksidan yaitu
karnosol, rosmanol, isorosmanol, epirosmanol, rosmaridifenol dan rosmariquinon.
Akar
jahe (Zingiber officinale Roscoe) biasa digunakan sebagai bumbu atau
obat tradisional. Komponen-komponen pedas dari jahe seperti 6 gingerol dan 6-shogaol dikenal memiliki
aktivitas antioksidan cukup. Dari ekstrak jahe yang telah dibuang komponen
volatilnya dengan destilasi uap, maka dari fraksi non volatilnya setelah
pemurnian ditemukan empat senyawa turunan gingerol dan empat macam
diarilheptanoid yang memiliki aktivitas antioksidan kuat. Cabe (Capsicum
frutescens L) memiliki senyawa antioksidan yang disebut Capsaicin
dan Capsaicinol, sementara dari lada dapat diisolasi lima macam senyawa
antioksidan fenolik amida yang tidak berasa pedas serta memiliki struktur kimia
yang serupa dengan senyawa piperin yang berasa pedas (Nakatani,1992).
Ada
beberapa senyawa fenolik yang memiliki aktivitas antioksidan telah berhasil
diisolasi dari kedelai (Glycine max L.), salah satunya adalah flavonoid.
Flavonoid kedelai adalah unik dimana dari semua flavonoid yang terisolasi dan
teridentifikasi adalah isoflavon. Isoflavon kedelai terutama berupa
7-O-monoglukosida-isoflavon, dimana bagian glikosidanya 100 kali bagian
aglikonnya. Senyawa antioksidan alami isoflavon dari kedelai tersebut adalah
5,7,5’-trihidroksiisoflavon-7-0-monoglukosida (genistein) 7,4’-dihidroksiisoflavon-7-0monoglukosida
(daidzein), dan 7,4;-dihidroksi6-metoksi-isoflavon-7-0-monoglukosida (glycitein).
Isoflavon lain dari kedelai adalah 6,7,4’-trihidroksiisoflavon yang hanya
terdapat pada produk-produk kedelai terfermentasi (Pratt,1992).
Menurut
Shahidi dan Naczk (1995), selain isoflavon, kedelai dan produk-produk kedelai
merupakan sumber berbagai macam senyawa antioksidan yang merupakan golongan
dari turunan asam sinamat, fosfolipida, tokoferol, asam amino dan peptida.
Dirangkum
oleh Pratt (1992), dari biji kapas dapat diisolasi beberapa antioksidan alami
dari golongan flavonoid, yaitu dari jenis aglikon flavonol, dan dari jenis
flavonol glikosida. Jenis aglikon flavonol dari biji kapas meliputi quersetin,
kaemferol, gosipetin, dan herasetin. Antioksidan flavanonol adalah
dihidroquersetin, sedangkan jenis flavonol glikosida meliputi rutin
(quersetin-3-ramnoglukosida), quersetrin (quersetin-3-ramnoglukosida), dan
isoquersitrin (quersetin-3-glukosida).
Pada
kacang (Arachis hypogea) ditemukan senyawa antioksidan alami taxifolin,
dan pada wijen (Sesamum indicum) memiliki antioksidan sesamin,
sesamolin, dan sesamol (Sherwin,1990). Sementara dari biji bunga matahari dapat
diperoleh antioksidan alami turunan asam sinamat, yaitu asam klorogenat dan asam
kafeat (Shahidi dan Naczk,1995).
3. Sifat-sifat Antioksidan
Secara
umum, menurut Coppen (1983), antioksidan diharapkan memiliki ciri-ciri sebagai
berikut (a) aman dalam penggunaan, (b) tidak memberi flavor, odor, warna pada
produk, (c) efektif pada konsentrasi rendah, (d) tahan terhadap proses
pengolahan produk (berkemampuan antioksidan yang baik), (e) tersedia dengan
harga yang murah. Ciri keempat merupakan hal yang sangat penting karena
sebagian proses pengolahan menggunakan suhu tinggi. Suhu tinggi akan merusak
lipida dan stabilitas antioksidan yang
ditambahkan sebagai bahan tambahan pangan. Kemampuan bertahan antioksidan
terhadap proses pengolahan sangat diperlukan untuk dapat melindungi produk
akhir.
Sebagaimana suatu benda pada
umumnya, antioksidan juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Keterbatasan
tersebut meliputi (a) antioksidan tidak dapat memperbaiki flavor lipida yang
berkualitas rendah, (b) antioksidan tidak dapat memperbaiki lipida yang sudah
tengik, (c) antioksidan tidak dapat mencegah kerusakan hidrolisis, maupun
kerusakan mikroba (Coppen, 1983).
Menurut Meyer (1973) dan Hamilton
(1983), autooksidasi lipida berjalan dengan dua tahap. Selama tahap pertama, oksidasi berjalan lambat
dengan laju kecepatan seragam. Tahap pertama ini sering disebut periode
induksi. Oksidasi pada periode induksi ini berlangsung beberapa waktu sampai
pada waktu titik tetentu dimana reaksi memasuki tahap kedua yang mempunyai laju
oksidasi dipercepat. Laju pada oksidasi tahap kedua beberapa kali lebih cepat
dari laju oksidasi tahap pertama. Umumnya lemak dan miyak mulai terasa tengik
pada awal tahap kedua. Asam lemak yang memiliki ikatan rangkap lebih banyak
(misal asam linoleat) bereaksi lebih cepat dibanding yang berikatan rangkap
lebih sedikit (metil oleat) sehingga periode induksinya lebih pendek.
Mekanisme oksidasi lipida tidak jenuh diawali dengan
tahap inisiasi, yaitu berbentuknya radikal bebas (R*) bila lipida kontak dengan
panas, cahaya, ion metal dan oksigen. Reaksi ini terjadi pada group metilen
yang berdekatan dengan ikatan rangkap –C=C-
(buck, 1991). Ditambahkan oleh Gordon (1990), tahap inisiasi terjadi
karena bantuan sumber energi ekstenal seperti panas, cahaya atau energi tinggi
dari radiasi, inisiasi kimia dengan terlarutnya ion logam atau metaoprotein
seperti haem.
Tahap selanjutnya adalah tahap propagasi dimana autooksidasi berawal ketika radikal lipida (R*) hasil tahap inisiasi bertemu dengan oksigen membentuk radikal peroksida (ROO*). Reaksi oksigenasi ini terjadi sangat cepat dengan energi aktivitas hampir nol sehingga konsentrasi ROO* yang terbentuk jauh lebih besar dari konsentrasi R* dalam sistem makanan dimana oksigen berada (Gordon, 1990). Radikal peroksida yang terbentuk akan mengekstrak ion hidrogen dari lipida lain (R1H) membentuk hidroperoksida (ROOH) dan molekul radikal lipida baru (R1*). Selanjutnya reaksi autooksidasi ini akan berulang sehingga merupakan reaksi berantai.
Tahap terakhir oksidasi lipida adalah tahap terminasi, dimana hidroperoksida yang sangat tidak stabil terpecah menjadi senyawa organik berantai pendek seperti aldehit, keton, alkohol dan asam.
Faktor-faktor dan kondisi yang dapat ikut berperan pada oksidasi lipida adalah (a) panas, setiap peningkatan suhu sebesar 10 oC laju kecepatan meningkat dua kali, (b) cahaya, terutama ultraviolet yang merupakan inisiator dan katalisator kuat, (c) logam berat, logam terlarut seperti Fe,Cu merupakan katalisator kuat meski dalam jumlah kecil, (d) kondisi alkali, kondisi basa, ion alkali merangsang radikal bebas, (e) tingkat ketidak jenuhan, jumlah dan posisi ikatan rangkap pada molekul lipida berhubungan langsung dengan kerentanan terhadap oksidasi, sebagai contoh asam linoleat lebih rentan dibanding asam oleat (+) ketersediaan oksigen (Buch, 1991).
Sesuai
mekanisme kerjanya, antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi pertama merupakan fungsi utama dari
antioksidan yaitu sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut
sebagai antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara
cepat ke radikal lipida (R*, ROO*) atau mengubahnya ke
bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A*)
tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal lipida. Fungsi kedua
merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu memperlambat laju autooksidasi
dengan berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan
pengubahan radikal lipida ke bentuk lebih stabil (Gordon,1990).
Penambahan
antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada lipida dapat menghambat
atau mencegah reaksi autooksidasi lemak dan minyak. Penambahan tersebut dapat
menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi maupun propagasi (Gambar 1).
Radikal-radikal antioksidan (A*) yang terbentuk pada reaksi tersebut
relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi dengan
molekul lipida lain membentuk radikal lipida baru (Gordon, 1990). Menurut
Hamilton (1983), radikal-radikal antioksidan dapat saling bereaksi membentuk
produk non radikal.
Inisiasi ;
R* + AH
--------------------------RH
+ A*
Radikal lipida
Propagasi :
ROO* + AH
------------------------- ROOH
+ A*
Gambar 1. Reaksi
Penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipida (Gordon
1990).
Besar konsentrasi antioksidan yang ditambahkan dapat
berpengaruh pada laju oksidasi. Pada konsentrasi tinggi, aktivitas antioksidan
grup fenolik sering lenyap bahkan antioksidan tersebut menjadi prooksidan
(Gambar 2). Pengaruh jumlah konsentrasi pada laju oksidasi tergantung pada
struktur antioksidan, kondisi dan sample yang akan diuji.
AH +
O2
----------------------------- A* + HOO*
AH +
ROOH
-----------------------------
RO* + H2O +
A*
Gambar 2. Antioksidan
bertindak sebagai prooksidan pada konsentrasi tinggi (Gordon
1990).
Stuckey (1972) berpendapat bahwa penghambatan oksidasi
lipida oleh antioksidan melalui lebih dari satu mekanisme tergantung pada
kondisi reaksi dan sistem makanan. Ada empat kemungkinan mekanisme penghambatan
tersebut yaitu (a) pemberian hidrogen, (b) pemberian elektron, (c) penambahan
lipida pada cincin aromatik antioksidan, (d) pembentukan kompleks antara lipida
dan cincin aromatik antioksidan. Studi lebih lanjut mengamati bahwa ketika atom
hidrogen labil pada suatu antioksidan tertentu diganti dengan deuterium,
antioksidan tersebut menjadi tidak efektif. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme penghambatan dengan pemberian
hidrogen lebih baik dibanding pemberian elektron. Beberapa peneliti percaya
bahwa pemberian hidrogen atau elektron merupakan mekanisme utama, sementara
pembentukan kompleks antara antioksidan dengan rantai lipida adalah reaksi
sekunder.
Antioksidan
sekunder, seperti asam sitrat, asam askorbat, dan esternya, sering ditambahkan
pada lemak dan minyak sebagai kombinasi dengan antioksidan primer. Kombinasi
tersebut dapat memberi efek sinergis sehingga menambah keefektifan kerja
antioksidan primer. Antioksidan sekunder ini bekerja dengan satu atau lebih
mekanisme berikut (a) memberikan suasana asam pada medium (sistem
makanan), (b) meregenerasi antioksidan
utama, (c) mengkelat atau mendeaktifkan kontaminan logam prooksidan, (d)
menangkap oksigen. (e) mengikat singlet oksigen dan mengubahnya ke bentuk
triplet oksigen (Gordon, 1990).
Antioksidan
sebaiknya ditambahkan ke lipida seawal mungkin untuk menghasilkan efek maksimum.
Menurut Coppen (1983), antioksidan hanya akan benar-benar efektif bila
ditambahkan seawal mungkin selama periode induksi, yaitu suasana periode awal
oksidasi lipida terjadi dimana oksidasi masih berjalan secara lambat dengan
kecepatan seragam.
Proses
penuaan dan penyakit degeneratif seperti kanker kardiovaskuler, penyumbatan
pembuluh darah yang meliputi hiperlipidemik, aterosklerosis, dan trombosis
(penyebab stroke dan darah tinggi) serta terganggunya sistem imun tubuh dapat
disebabkan oleh stress oksidatif.
Stress
oksidatif sendiri berarti keadaan tidak
seimbangnya jumlah oksidan dan prooksidan dalam tubuh, Pada kondisi ini,
aktivitas molekul radikal bebas atau
spesies oksigen reaktif (SOR) dapat menimbulkan kerusakan seluler dan genetika.
Kekurangan zat gizi dan adanya senyawa xenobiotik dari makanan atau lingkungan
yang terpolusi akan memperparah keadaan tersebut.
Bila
umumnya masyarakat Jepang atau beberapa masyarakat Asia jarang mempunyai
masalah dengan berbagai penyakit degeneratif, hal ini disebabkan oleh menu
sehat tradisionalnya yang kaya zat gizi dan komponen bioaktif, Zat-zat ini
mempunyai kemampuan sebagai antioksidan, yang berperan penting dalam menghambat
reaksi kimia oksidasi, yang dapat merusak makromolekul dan dapat menimbulkan
berbagai masalah kesehatan.
Peran
antioksidan bagi kesehatan tubuh telah banyak mendapat perhatian dari banyak
kalangan ilmuwan sejak beberapa dasawarsa lalu. Ratusan penelitian antioksidan
telah dilaporkan pada forum - forum publik. Di lain pihak, keinginan masyarakat
awam untuk memperoleh khasiat antioksidan pun tak kalah serunya.”Demam
Antioksidan “ini selain terlihat jelas oleh munculnya produk antioksidan
komersial mulai dari pangan fungsional hingga suplemen dalam waktu singkat,
juga terlihat jelas pada keinginan orang untuk berkunjung ke negeri sakura
dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Saat ini tersedia beragam jenis
minuman dan makanan kaya antioksidan. Ada yang sekedar memfortifikasi
(memperkaya) produk dengan komponen-komponen aktif antioksidan dan bahkan ada pula yang langsung
memanfaatkan bahan baku yang kaya akan antioksidan.
Secara
terus-menerus, tubuh kita mengalami proses oksidasi setiap hari yang akan
menghasilkan radikal bebas. Namun demikian, pembawa radikal bebas dan SOR yang dominan berasal dari makanan
dan minuman yang kita konsumsi.
Contoh
sederhana sumber makanan pembawa radikal bebas adalah makanan yang
digoreng dengan minyak goreng yang
telah digunakan berulang, seperti makanan jajanan tahu, pisang, tempe, bakwan
goreng, dan lain-lain.
Tubuh
kita memiliki kemampuan menetralkan dengan dihasilkannya zat-zat yang bersifat
antioksidan dalam berbagai system metabolisme tubuh. Selain itu, seperti yang
dilaporkan Nabet (1996), Disitir Widjaya (2003) bahwa zat antioksidan alami
yang bersifat gizi dan non gizi telah banyak ditemukan pada bahan pangan.
Antioksidan ini akan sangat membantu dalam menekan pembentukan radikal bebas
dan SOR yang mungkin terbentuk selama proses pencernaan, serta mengurangi
keaktifan zat-zat yang merugikan tubuh.
Peran antioksidan juga terlihat jelas pada
penyakit-penyakit gastro-enterologi. Pasien kholestatik yang meningkat level
MDA eritrosit dan rendah konsentrasi vitamin E dalam serumnya, memerlukan
vitamin E dalam dosis tinggi.
Penyakit
maag (ulcero-necrotic enterocolitis) dilaporkan juga terkait dengan
radikal bebas dan defisiensi pertahanan antioksidan. Timbulnya atau tumbuh
kembalinya polip pada usus pun diduga terkait dengan radikal pengoksidasi.
2. Antioksidan Vs Kardiovaskular
dan Kanker
Peran positif antioksidan terhadap penyakit
kanker dan kardiovaskuler (terutama yang diakibatkan oleh aterosklerosis /
penyumbatan dan penyempitan pembuluh darah) juga banyak disoroti. Antioksidan
berperan dalam melindungi lipoprotein densitas rendah (LDL) dan sangat rendah
(VLDL) dari reaksi oksidasi. Lemak jenuh merupakan bagian terbesar dari
lipoprotein densitas rendah (LDL, lipoprotein pembawa kolesterol utama dalam
plasma) dan oksidasi pada lemak inilah yang akan menyebabkan terjadinya
aterosklerosis.
Pencegahan
aterosklerosis ini dapat dilakukan dengan menghambat oksidasi LDL menggunakan
antioksidan yang banyak ditemukan pada bahan pangan.
Adapun
untuk kanker dan tumor banyak ilmuwan spesialis setuju bahwa penyakit ini
berawal dari mutasi gen atau DNA sel. Perubahan pada mutasi gen dapat terjadi
melalui mekanisme kesalahan replikasi dan kesalahan genetika yang berkisar
antara 10-15 %, atau faktor dari luar yang merubah struktur DNA seperti virus,
polusi, radiasi, dan senyawa xenobiotik dari konsumsi pangan sebesar 80-85 %.
Radikal bebas dan reaksi oksidasi berantai yang dihasilkan jelas berperan pada
proses mutasi ini. Dan resiko ini sebenarnya dapat dikurangi dengan
mengkonsumsi antioksidan dalam jumlah yang cukup.
Hasil
penelitian pada pertengahan tahun 80-an yang menunjukkan bahwa beta karoten
mampu mengurangi resiko kanker paru-paru, merupakan ide awal perhatian terhadap
keterkaitan antioksidan dalam menghambat penyakit ini. Mekanisme aktivitas
antitumor atau kanker dengan senyawa kimia dapat melalui 3 cara yaitu :
menghambat bioktifikasi karsinogenesis, menutup jalur pembentukan sel ganas
(blocking agent) oleh antioksidan,
serta menekan dan memanipulasi hormon (Okey dkk,1998 dan Disitir
Widjaya, 2003). Jadi aktivitas antioksidan, selain dapat mencegah autooksidasi
yang menghasilkan radikal bebas dan SOR, juga dapat menekan proliferasi
(perbanyakan) sel kanker.
Hasil oksidasi lemak pada makanan ternyata mempunyai dampak yang signifikan terhadap kesehatan manusia yang mengkonsumsinya. Sehingga mengetahui dan mengerti tentang pencegahan proses oksidasi ini sangat diperlukan yang pada gilirannya sangat bermanfaat pada pemeliharaan kesehatan setiap individu. Begitu pula dengan mengetahui berbagai macam jenis antioksidan yang ada di alam serta manfaatnya bagi kesehatan tubuh sangat membantu kita dalam mengatur pola makan untuk mendapatkan tubuh sehat dan bugar serta cantik alami.
Berbagai telaah tentang antioksidan masih perlu dilakukan mengingat manfaatnya yang besar bagi kesehatan dan kecantikan. Bahan-bahan alam dari laut seperti tumbuhan mikro alga dan hewan laut perlu di eksplorasi karena kandungan bio aktifnya terutama antioksidan belum secara tuntas dieksplorasi.
DAFTAR PUSTAKA
Andarwulan, N dan D. Fardiaz. 1994.
Isolasi dan karakterisasi Antioksidan Alami dari Jinten ( Curcumin Cyrumin
Linn )
Belitz , H.D. dan W. Grosch.1978. Food Chemistry. Springer Verlag, Berlin
Buck , D.F. 1991. Antioxidants. Didalam: J. Smith, editor. Food Additive User’s
Handbook. Blackie Academic & Profesional, Glasgow-UK.
Hultin. H.O. 1994. Oxidation of Lipids in Seafoods. Di dalam Busta ; J. R and Shalidi. F. (editor) Seafood : Chemistry. Processing Technology and Quality. Blackie Academic and Professional.
Christie, W.W. 1982. Extraction And Hydrolysis of lipids and some
reaction of their fatty acid components. Di dalam: H.K. Mangold, G. Zweig, dan
J. Sherma, editor. Hand Book of Chromatography Lipids. Vol. I. CRC Press. Inc., Boca Raton-Florida.
Coppen, P.P 1983. The use of antioxidant. Di dalam: J.C. Allen dan R.J Hamilton, editor. Rancidity in Foods. Applied Science Publishers, London.
Gordon, M.H 1990. The mechanism of antioxidants action in vitro. Di dalam: B.J.F. Hudson, editor. Food Antioxidants. Elsivier Applied Science, London.
Hamilton, R.J. 1983. The chemistry of rancidity in foods. Di dalam: J.C. Allen dan R.J. Hamilton, editor. Rancidity in Foods. Applied science Publishers, London.
Kochar, S.P. dan B. Rossell. 1990. Detection estimation and evaluation of antioxidants in food system. Di dalam : B.J.F. Hudson, editor. Food Antioxidants. Elvisier Applied Science. London.
Loliger, J. 1983. natural antioxidants. Di dalam: J.C. Allen dan R.J. Hamilton, editor. Rancidity in Foods. Applied Science Publishers. London.
Meyer, L.H. 1973. Food Chemistry. Affiliated East-West Press PVT Ltd., New Delhi
Naczk dan Shahidi (1991). Critical Evaluation of Quantification Methods of Rapeseed Tannins. Di dalam : Rapeseed in a Changing world. Proceedings of The 8th International Rapeseed Congress. Volume 5. McGregor, D.I.Ed., Saskatoon, Canada.
Nakatani, N. 1992. Natural Antioxidants From Spices. Di dalam : M.T. Huang, C.T. Ho, dan C.Y. Lee, editor. Phenolic Compounds in Food and Their Effects on Health H. American Society, Washington DC.
Pratt, D.E. 1992. Natural Antioxidants From Plant Material. Di dalam : M.T. Huang, C.T. Ho, dan C.Y. Lee, editor. Phenolic Compounds in Food and Their Effects on Health H. American Society, Washington DC.
Pratt, D.E. dan B.J.F. Hudson. 1990. Natural Antioxidants not Exploited Comercially. Di dalam : B.J.F. Hudson, editor. Food Antioxidants. Elsevier Applied Science, London.
Shahidi, F. dan M. Naczk. 1995. Food Phenolics. Technomic pub. Co. Inc. Lancester-Basel.
Widjaya, C.H. 2003. Peran Antioksidan Terhadap Kesehatan Tubuh. Healthy Choice. Edisi IV.