ã 2003 Suradi Wijaya Saputra                                                              Posted  13 March, 2003

Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

March 2003

 

Dosen :

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng

 

 

KONDISI PERAIRAN SEGARA ANAKAN

DITINJAU DARI INDIKATOR BIOTIK

 

 

Oleh :

 

Suradi Wijaya Saputra

C061020061 /AIR

E-mail: suradiws@yahoo.com

 

A.   LATAR BELAKANG

Segara Anakan merupakan suatu ekosistem rawa bakau dengan Laguna yang unik dan langka di Pantai Selatan Pulau Jawa. Laguna ini berada diantara pantai selatan Jawa dan Pulau Nusakambangan, dihubungkan dengan Samudera Hindia oleh dua buah selat (alur barat dan alur timur). Segara Anakan merupakan tempat bermuara beberapa sungai besar maupun kecil. Oleh karenanya maka Segara Anakan menerima endapan yang sangat besar yang dibawa bersama air sungai tersebut. Setiap tahun sekitar  3.000.000 m3 endapan dari sungai-sungai tersebut diendapkan di Segara Anakan (ECI,1995). Akibat dari pengendapan tersebut luasan perairan Segara Anakan terus berkurang. Ekosistem perairan Segara Anakan yang terdiri dari perairan payau dan hutan bakau disertai endapan yang berasal dari sungai-sungai tersebut merupakan perairan yang kaya akan nutrien, sehingga Laguna Segara Anakan kaya akan sumberdaya perikanan seperti ikan, udang, kepiting dan kekerangan. Nutrien dan larva dari berbagai jenis organisme air yang terdapat di Segara Anakan  merupakan mata rantai pangan (food chain) bagi sumberdaya perikanan  yang ada di Samudera Hindia.

B. FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PERUBAHAN KUALITAS AIR

1.              Sedimentasi

Sedimentasi di laguna Segara Anakan terutama berasal dari sungai Citanduy, Sungai Cibeureum dan Sungai Cikonde, dan sebagian kecil lainnya berasal dari sedimentasi pantai. Menurut DITJEN BANGDA dan PKSPL IPB (1999) jumlah bahan-bahan sedimentasi yang diangkut oleh Sungai Citanduy dan sungai lainya diperkirakan antara 5 hingga 10 juta m3  per tahun. Berdasarkan studi ECI-ADB (1994), Sungai Citanduy mengangkut sedimen 5 juta m3  per tahun dan yang diendapkan   di Segara Anakan 740 ribu m3 per tahun. Sedangkan Sungai Cikonde mengangkut sebesar 770 ribu m3  per tahun dan yang diendapkan di Segara Anakan sebesar 260 ribu m3 per tahun. Apabila hal ini terus berlanjut maka pada akhirnya hanya tinggal alur-alur sungai saja. Pada tahun 1997 jumlah lumpur yang masuk ke Segara Anakan diperkirakan kurang lebih 7 juta m3 per tahun.  Jumlah endapan yang masuk ke Segara Anakan tersebut sejalan dengan tingkat pengrusakan di DAS sungai-sungai yang bermuara ke Segara Anakan tersebut.  Laju sedimentasi yang cepat tersebut berakibat pada semakin berkurangnya luasan badan air Segara Anakan. Pada tahun 1986 luas Segara Anakan adalah 6.450 ha, namun yang tertutup air saat pasang hanya 2.700 ha atau hanya 42% dari luas Segara Anakan. Gambaran tentang laju penyempitan luas laguna Segara Anakan disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Penurunan Luasan Ekosistem Perairan Laguna Segara Anakan

Tahun

Luas Perairan

1903

6.400

1944

6.060

1959

5.460

1971

4.290

1984

3.270

1986

2700

1992

1800

Sumber : ECI-ADB (1994).

Penurunan luasan badan air tersebut jelas akan berpengaruh terhadap daya dukung dan keberadaan sumberdaya perikanan. Pada kondisi yang demikian, akan terjadi kompetisi antara sumberdaya hayati, baik dalam kerangka persaingan ruang maupun makanan. Bagi sumberdaya perikanan yang tidak mampu bersaing akan tersingkir, yang berarti akan menghilang/atau paling sedikit berkurang kelimpahannya. Hilang atau berkurangnya kelimpahan sumberdaya tersebut dapat karena  mati atau bermigrasi bagi spesies yang dapat aktif bergerak seperti ikan.

 

 

2.   Pencemaran

Sumber pencemar di laguna Segara Anakan antara lain bersumber dari industri, pertanian, dan domestik.

a. Pencemaran Limbah Domestik

Pemcemaran sampah domestik diperkirakan berasal dari sekitar 90 % dari 3 juta penduduk yang tinggal di sekitar DAS  sungai yang bermuara ke laguna dan penduduk di sekitar laguna, secara langsung maupun tidak langsung. Disamping sampah, daerah laguna yang dekat pemukiman juga  akan tercemar oleh bakteri coli. Hasil Analisis Tim DITJEN BANGDA dan PKSPL IPB (1999) menunjukkan bahwa kandungan bakteri coli pada perairan dekat pemukiman sebesar 110 MPN/100 ml, diatas bakumutu yang ditetapkan untuk perairan peruntukan perikanan.

DAS Segara Anakan meliputi luas 96.000 hektar, dengan pola penggunaan lahan hutan dan  perkebunan 27.000 ha, dataran tinggi 11.000 ha, pemukiman dan pekarangan 11.000 ha, sawah 23.000 hektar dan laguna (termasuk hutan mangrove) 24.000 hektar (Napitupulu, 1980 dalam Atmawidjaja, 1995).

Sungai Citanduy merupakan sungai terbesar, dengan masa air pembawa bahan sedimen yang terbanyak. Bahan sedimen tersebut berasal dari debu Gunung Galunggung, tanah pertanian andosol dan latosol yang mengandung liat, pasir kuarsa, senyawa kimia pestisida dan pupuk serta limbah industri dan rumah tangga (Atmawidjaja, 1995). Kesemuanya itu disamping merupakan penyebab tingginya laju sedimentasi, juga merupakan sumber pencemar bagi perairan laguna.

b. Pestisida dan Pupuk

Berdasarkan hasil penelitian ET (1984) di laguna Segara Anakan pada tahun 1982 terdeteksi berbagai jenis pestisida organoklorin seperti Aldrin (0,002 - 0,109 mg/l), Dieldrin (0,222 mg/l), Endrin (0,044 mg/l), Lindane (0,044 – 0,162 mg/l) dan BHC (0,054 mg/l). Walaupun masih dalam kadar rendah, namun pestisida ini bersifat nonbiodegradable. Keberadaan pestisida ini diduga merupakan limbah yang bersumber dari kegiatan pertanian. Pada masa lalu pestisida jenis ini banyak digunakan petani sebelum dilarang penggunaannya. Penggunaan pupuk pada kegiatan pertanian juga menimbulkan pencemaran pada perairan Segara Anakan. Kadar nitrat, nitrit  dan phosphat di laguna Segara Anakan cenderung tinggi khususnya selama terjadi angin moonson timur dan barat (Winata dan Muchtar, 1984 dalam ET dan Tatang Sujastani, 1989). Namun kadar yang ada masih dibawah ambang batas dan belum menimbulkan terjadinya eutrifikasi.

3.  Penebangan Hutan Mangrove

Penebangan bakau oleh penduduk sekitar terus berlangsung, bahkan cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan desakan kebutuhan hidup. Hutan mangrove di Kabupaten Cilacap meliputi 24.000 hektar (ET dan Tatang Sujastani, 1989). Sebagian terbesar  (21.185 hektar) berada di pantai sekitar Segara Anakan, dengan hutan payau intertidal 14.100 hektar (Sunaryo, 1982 dalam ET dan Tatang Sujastani, 1989). Sedangkan ET dan Tatang Sujastani (1989) melaporkan luas hutan mangrove adalah 21.750 hektar, dan 12.610 hektar dipengaruhi oleh pasang surut.  Ekosistem hutan mangrove dipengaruhi oleh   air laut yang masuk melalui pelawangan barat  dan timur, serta dipengaruhi oleh air tawar yang berasal dari masa air sungai, yang menjadikan kondisi ekosistem mendukung bagi pertumbuhan mangrove. ET (1984) mencatat 26 spesies vegetasi mangrove, dengan 3 diantaranya dominan, yaitu Rhizophora apiculata, R. mucronata, dan  Bruguiera gynorrhiza.

Gambaran interaksi antara ekosistem mangrove dan sumberdaya perikanan dikemukakan oleh Odum and Heald (1972) dalam ET (1984). Bahan organik yang dihasilkan oleh mangrove, terutama berupa dedaunan yang jatuh, akan dirubah menjadi partikel detritus oleh bakteri, mikroalgae, protozoa, dan jamur, yang kemudian terdistribusi ke perairan oleh masa air pasang. Partikel detritus tersebut (termasuk berbagai bentuk kehidupan yang ada didalamnya)  akan menjadi makanan bagi organisme konsumner, seperti makrozoobentos, ikan, udang dan kepiting.  Gambaran tentang arus energi secara sederhana di perairan segara Anakan disajikan pada Gambar 1.

 

Text Box: ekosistem perairan (lagun dan intertidal)
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 1.  Penyederhanaan perpindahan energi di Segara Anakan (ET, 1984)

 

C.  PRODUKTIFITAS PRIMER PERAIRAN SEGARA ANAKAN

          Produktifitas primer Segara Anakan ditandai dengan kelimpahan Bacillariophyiceae  atau diatom yang tinggi. Chlorophyceae, Cyanophyceae dan Dinophyceae keragaman spesiesnya  rendah, tetapi kelimpahan individunya tinggi. Genus-genus dari Bacillariophyiceae yang sering diketemukan dengan frekuensi tinggi antara lain Cyclotella, Nitzchia, Navicula, Gyrosigma  dan Skeletonema ( S.costatum). Kepadatan fitoplankton rata-rata di perairan Majingklak-Muara Dua-Motean adalah berkisar antara 5.000-5.500 ind/liter. Sedangkan di perairan sekitar Cibeureum dan Klaces sekitar 2.000-3.500 ind/liter. Kepadatan fitoplankton yang tinggi dicatat di perairan Muara Dua-Montean yang berkaitan dengan daerah perairan yang subur.  Hasil penelitian fitoplankton menunjukkan bahwa komunitasnya lebih padat  selama bulan Juli dan Agustus daripada September dan Desember 1987 (ET dan Tatang Sujastani, 1989). Kedapatan rata-rata fitoplankton di Segara Anakan sekitar 3.900 ind/liter. Kepadatan fitoplankton bervariasi menurut lapisan perairan dan daerah (zona), berkisar antara 2.350  ind/l sampai dengan 5.450 ind./l. Berdasarkan hasil observasi, pada perairan yang mempunyai kepadatan tinggi dan berhubungan dengan kesuburan perairan, ditandai dengan tingginya kepadatan Skleletonema sp.(ET dan Tatang Sujastani,1989).

Diatom menunjukkan kontribusi terbesar terhadap produktifitas primer perairan Segara Anakan, yaitu terdiri dari lebih 90%. Produktifitas primer bervariasi menurut waktu sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Selama musim kemarau dan awal musim hujan produktifitas primer tinggi (Juli dan Agustus). Pada musim hujan (November) produktifitas primer turun, terutama pada bagian perairan yang terkena  pengaruh masuknya air dari sungai.

Tabel 2.  Produktifitas Primer (MgC/m3/3 jam) di Segara Anakan

Zona

Juli

Agustus

September

November

I

212

151

256

218

II

227

258

225

249

III

265

241

293

233

IV

315

191

296

248

Sumber : ET dan Tatang Sujastani, 1989.

         Catatan :    I  =  Sekitar Majingklak

                    II  =  Sekitar Cibeureum/Bugel

                   III  =  Sekitar Muara Dua-Motean

                   IV  =  Sekitar  Klaces

 

D.  KOMPOSISI DAN KEANEKARAGAMAN ZOOPLANKTON

Zooplankton  yang paling umum diketemukan berdasarkan studi ECI (1983) dalam ET dan Tatang Sujastani (1989) adalah copepoda (8 genera) rotifera (5 genera), ostracoda ( 1 genera), rhizopoda (4 genera) dan penaid (2 genera) (Tabel 2). Copepoda dan rotifera masing-masing ditemukan dalam jumlah besar dengan kisaran 9.000 – 66.000 ind./l.

Berdasarkan tabel tersebut terlihat  bahwa dengan menggunakan indikator  indeks keanekaragaman Shannon-Wiener kondisi perairan pada bulan Juli  lebih baik dibanding pada bulan Agustus dan  September 1983, walaupun jumlah genus yang menyusunnya dalam bulan Juli paling sedikit. Pada bulan Juli (musim kemarau) kondisi perairan relatif stabil, sehingga jumah individu setiap jenis lebih banyak, walaupun jumlah jenisnya relatif lebih sedikit. Dengan kata lain, organisme yang ada berkembang biak lebih baik. Sebaliknya pada bulan Agustus (awal musim hujan) dan September (musim hujan) fluktuasi perairan akan tinggi, sehingga perkembangan setiap jenis relatif  terhambat, walaupun jumlah jenisnya lebih banyak.

Rendahnya indeks diversitas pada bulan Agustus dan September karena terjadi dominasi genus, terutama dari nauplius larvae dan spesies Calanus (copepoda) dan dari kelompok tak teridentifikasi, sehingga nilai kesamaan (E) pada kedua bulan tersebut libih kecil.  Dengan perkataan lain bahwa pada bulan Agustus dan September tekanan terhadap perairan lebih besar dibanding pada bulan Juli.

Berdasarkan data yang sama kemudian dianalisis dengan pendekatan diagram Frontier sebagaimana disajikan pada gambar 2.

Apabila memperhatikan gambar grafik tersebut di atas terlihat bahwa pada bulan Juli kondisi perairan di laguna Segara Anakan lebih baik, dibanding bulan Agustus dan September. Grafik pada bulan Juli tersebut mengesankan suatu kondisi perairan yang mendekati pada kondisi tahap maximum maturity (tahap II). Sedangkan pada bulan Agustus dan September kondisi perairan mengalami suksesi atau berubah dari tahap III (climax maturity) kembali ke tahap I (juvenil). Pada kondisi ini terjadi penurunan nilai indeks diversitas. Hal ini diduga karena terjadinya interaksi antara tekanan faktor eksternal yang semakin kuat dan kemampuan adaptasi berbagai organisme zooplankton tersebut yang semakin menurun. Faktor eksternal yang paling berpengaruh terutama faktor salinitas dan kekeruhan.

Tabel 3. Kelimpahan dan Keragaman Zooplankton di Laguna Segara Anakan

 

No

Genus

Kelimpahan (ind/m3)

Juli

Agustus

September

A. Copepoda

1

(Nauplius/larvae)

12.997

13.850

59.94

2

Scaphocalanus

196

-

-

3

Microstella

313

47

154

4

Oithona

2651

945

2.428

5

Cyclops

-

77

1.063

7

Calanus

-

2.369

5.873

8

Euterpina

-

612

1.545

9

Acartia

-

418

297

B

Rotifera

13.256

42

1.033

C

Ostracoda

-

-

238

D

Rhizopoda

11.788

463

297

E

Penaeidae

 

 

 

10

Lucifer

-

89

315

F

Larvae undet

-

-

59

G

Lainnya

-

1.669

4.824

Jumlah individu

41.201

20.579

77.182

Indeks H Shannon-Wiener

2.369

1.425

1.664

Indeks kesamaan (E)

0,640

0,366

0,399

Sumber : ET, 1984.

E. KOMPOSISI DAN KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS

Disamping menggunakan indikator produktifitas primer dan zooplankton, peneraan kondisi perairan juga dikaji menggunakan makrozoobentos. Data yang digunakan bersumber dari ET (1984) berdasarkan pengukuran pada bulan Juli – September 1983., sebagaimana disajikan pada Tabel 4.

Makrozoobentik invertebrata yang diketemukan berjumlah 16 genera. Kepadatan tertinggi ditemukan di daerah Cibeureum-Bugel dengan kepadatan 650 – 1.500 ind./l. Komunitas didominasi oleh gastropoda dari spesies Thiara yang toleran terhadap salinitas rendah. Larva krustasea dari spesies Gammarus juga umum ditemukan.


 


Gambar 2. Diagram Frontier  berdasarkan data zooplankton di laguna Segara Anakan ( A = bulan Juli, B = bulan Agustus, C = bulan September). Digambar berdasarkan data ET, 1984 (Tabel 3).

 

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa indek diversitas Shannon-Wiener tergolong rendah, yang menunjukkan bahwa perairan dalam kondisi tertekan berat, khususnya pada bulan Juli dan September (< 1). Jika dilihat dari nilai indeks kesamaannya terlihat bahwa pada bulan Juli menunjukkan kondisi yang lebih baik dibanding dua bulan lainnya, terutama bulan September. Terlihat bahwa pada bulan September kecenderungan adanya dominasi oleh suatu genus lebih besar.

Selanjutnya data tersebut dikaji dengan pendekatan diagram Frontier (1985) seperti disajikan pada gambar 3.

Tabel 4. Kelimpahan dan Keragaman Makrozoobentos di laguna Segara Anakan

 

No

Genus

Kelimpahan (ind/m3)

Juli

Agustus

September

A. GASTROPODA

 

 

 

1

Fairbankia

7

12

5

2

Thiara

704

512

362

3

Assiminea

2

21

22

4

Salinator

5

5

3

5

Stenothyra

-

13

3

7

Laemonodonta

-

4

4

B. LAMELIBRANCHIATA

 

 

 

8

Barbaia

-

3

3

C. POLYCHAETA

 

 

 

9

Platynereis

20

4

24

10

Cirratulus

-

3

2

D. DIPTERA

 

 

 

11

Hydrophorus (larvae)

2

7

2

E. CRUSTACEA

 

 

 

12

Gammarus

678

1.554

1.361

13

Gammaropsis

-

9

5

14

Sesarma

51

177

173

15

Chionocetes

8

2

-

16

Asellus

-

2

-

F. NEMATODA

5

8

8

Jumlah genus

10

17

15

Jumlah individu

1.483

2.336

1.931

Indeks H Shannon-Wiener

0.997

1,020

0,760

Indeks kesamaan (E)

0,997

0,829

0,646

Sumber : ET, 1984.

Berdasarkan gambar grafik tersebut terlihat bahwa kondisi perairan DI Segara Anakan berdasarkan struktur komunitas makrozoobentos cenderung berada pada tahap 1 (tahap juvenile). Diagram tersebut menunjukkan adanya tekanan yang berat terhadap perairan di laguna Segara Anakan. Hal ini diduga terkait dengan proses sedimentasi yang terus menerus terjadi, yang bersumber dari endapan yang terbawa air sungai. Hal ini berakibat pada proses suksesi bagi komunitas bentik yang ada di dasar laguna Segara Anakan. Dari tabel di atas terlihat adanya dominasi genus, terutama dari genus gammarus dan Thiara.


 


Gambar 3. Diagram Frontier Berdasarkan Data Macrozoobentik di Laguna Segara Anakan ( A = Juli, B = Agustus, C = September 1983). Digambar berdasarkan data ET, 1984 (Tabel 3).

 

Hal tersebut menunjukkan bahwa dua genus tersebut diduga merupakan genus yang mampu beradaptasi dan bertahan pada dasar perairan dengan laju sedimentasi yang tinggi. Dengan perkataan lain bahwa kedua genus ini merupakan genus pionir pada perairan dengan laju sedimentasi tinggi.

Berdasarkan uraian di atas maka terlihat bahwa kontribusi yang paling utama terhadap tekanan kualitas air Laguna Segara Anakan bersuber dari tingginya lahu sedimentasi. Tingginya laju sedimentasi berakibat pada tingginya kekeruhan perairan pada saat bahan0bahan sedimen tersebut belum mengendap. Hal ini berakibat pada gangguan fotosintesis fitoplankton, gangguan pada zooplankton dan makrozoobentos. Gangguan yang paling nyata dirasakan oleh organisme yang hidupnya di dasar perairan (bentos), karena akan tertutup oleh sedimen/endapan. Oleh karenanya maka dapat dimengerti apabila struktur komunitas makrozoobentos berdasarkan analisis diagram Frontier masuk dalam kategori stadia I (Juvenil) pada semua waktu pengamatan.

Sedangkan pada komunitas zooplankton hal yang sama terutama terjadi pada bulan-bulan musim penghujan atau awal musim penghujan (Agustus dan September). Pada musim kemarau (Juli) material sedimen yang melayang-layang relatif berkurang, sehingga pengaruhnya terhadap zooplankton yang hidupnya melayan di perairan juga berkurang.

 

F.  KESIMPULAN

Berdasarkan uraian terdahulu maka dapat dikemukakan bahwa berdasarkan parameter zooplankton dan makrozoobentos, menunjukkan bahwa kondisi ekologi perairan laguna dapat dikategorikan dalam keadaan tertekan sedang sampai berat, serta menunjukkan kecenderungan ke arah penurunan daya dukung lingkungan  bagi sumberdaya perikanan. Sumber utama tekanan bagi komunitas zooplankton dan zoobentos terutama adalah tingginya laju sedimentasi.

 

G.  DAFTAR PUSTAKA

Atmawidjaja, E., 1995.  Perubahan lingkungan fisik Segara Anakan pp. 101-113 dalam Proceeding Lokakarya Penanganan Segara Anakan dan Lingkungannya Secara Berkelanjutan. Departemen Pekerjaan Umum bekerjasama dengan Kantor Menteri Lingkungan Hidup RI.

Brahmana, S.S., 1995.  Kualitas Air Lagoon Segara Anakan dari Aspek Perikanan. Dalam Proceeding Lokakarya Penanganan Segara Anakan dan Lingkungannya Secara Berkelanjutan. Departemen Pekerjaan Umum bekerjasama dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup Jakarta.

DIRJEN BANGDA DEPDAGRI  dan PKSPL IPB, 1999. Penyempurnaan Penyusunan Management Plan Kawasan Segara Anakan. Buku I. Kerjasama Direktorat Jenderal Pembangnan Daerah Departemen Dalam Negeri dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor.

ECI-ADB., 1994. Segara Anakan Conservation and Development. Project Final Report, Asian Development Band, Jakarta.

ET (Ecology Team) Bogor Agricultural University, 1984.  Ecological Aspecs of Segara Anakan  in relation to its future management. Institute of Hydraulic Engineering and Faculty of Fisheries, Bogor Agriculture University Indonesia.

ET and Tatang Sujastani, 1989. Natural Resources. In Alan T.White, Purwito Martosubroto and Marie Sol M. Sadorra, 1989. The Coastal Environmental profile of Segara Anakan Cilacap South Java Indonesia. ICLARM. Philippines.

Frontier, Serge.,1985. Diversity and Structure in Aquatic Ecosystems. Aberdeen University Press. France.