ã 2003  Shobirin Muchlis                                                                                Posted   4 April, 2003

Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

April 2003

 

Dosen :

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng

 

 

Strategi pembangunan ekonomi BERBasis agrobisnis khususnya perkebunan dengan memberdayakan petani kecil

 

Oleh:

Shobirin Muchlis

E-mail: shobirinmuchlis@yahoo.com

Program PSL Khusus

PENDAHULUAN

 

Latar Belakang

        

Lompatan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia dari sebuah negara agraris menjadi negara Industri, ternyata telah habis disapu bersih oleh badai krisis yang telah berjalan dalam dua tahun terakhir menjelang tahun 2000. Menurut para pakar penyebabnya adalah rentannya proses industrialisasi, karena terbuai dengan prestasi semu pertumbuhan ekonomi 7 % - 15 % pada 10 tahun yang lalu, Sehingga pada saat krisis moneter yang berkepanjangan, dan  terjadi penurunan nilai rupiah terhadap mata uang asing pada posisi yang sangat rendah ekonomi Indonesia sungguh memprihatinkan karena semua bahan baku untuk keperluan industri di import dan dibayar dengan mata uang asing.

Dalam proses industrialisasi yang semu itu, disebabkan karena perekonomian nasional selama ini tidak dibangun diatas fundamental perekonomian dengan mengetengahkan keunggulan komperatip yang dimiliki Indonesia, yaitu negara dibelahan iklim tropis yang banyak memiliki keanekaragaman hayati (biodeversity) yang secara khusus adalah negara      berbasis agraris oleh karena itu sebenarnya Indonesia sebelum masuk ke era industrialisasi memang terlebih dahulu harus masuk pada suatu ekonomi yang berbasis pertanian total dengan pemanfaatan teknologi industri yang sesuai, yang dapat dikembangkan menjadi komoditas agroindustri dan mampu bersaing dipasar dunia. Dalam konsep ini sektor kehidupan ekonomi yang lain akan terdorong maju, seiring dengan meningkatnya kemampuan untuk berkembang secara aman dan dinamis, karena basis ekonomi nasional sudah kuat dan berakar di masyarakat.

Sektor pertanian telah membuktikan paling survivel pada krisis ekonomi yang terjadi pada era tahun 1997 sampai dengan sekarang, sektor ini yang paling tahan terkena badai krisis moneter yang terjadi di Indonesia. Hal ini telah membuka kesadaran dan cakrawala baru bahwa sektor pertanian khususnya perkebunan harus terus diupayakan sebagai basis untuk mengatasi krisis dan tercapainya pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi, melalui pemberdayaan ekonomi rakyat dengan perangkat peraturan-peraturan yang memudahkan untuk mewujudkan pembangunan ekonomi melalui sektor perkebunan dan agribisnis yang sepenuhnya Pemerintah harus mendukung.

 

Pengembangan usaha perkebunan di Indonesia sudah dimulai sejak zaman VOC, pada saat Pemerintahan Hindia Belanda dibawah Gubernur Jenderal Van Diem pada tahun 1602 - 1799 dengan komoditas tebu, yang kemudian dilanjutkan oleh Gubernur Jenderal Van Den Bosch pada tahun 1870 dengan menetapkan tanam paksa budidaya tanaman ekspor untuk kepentingan Belanda. Dengan cara ini Pemerintah Hindia Belanda berhasil meningkatkan devisa dan keuntungan yang besar. Begitu juga pada era sekarang peran sektor pertanian dalam perekonomian nasional menyumbang devisa negara melalui export dalam perode lima tahunan naik dari 43,38 % pada tahun 1990 menjadi 49,22 % di tahun 1995, selanjutnya saat badai krisis menerpa hanya sektor pertanian (bagian dari sistem agribisnis) yang mampu tumbuh positif yakni sekitar 0,22 %, sektor lain justru mengalami degradasi yang cukup dalam dan negatif yakni industri manahfaktur (-12,88 %). Dengan gambaran seperti tersebut diatas, pembangunan sistem agribisnis merupakan jawaban untuk dijadikan strategic pembangunan ekonomi nasional, dengan basis agrobiznis khususnya pada sektor perkebunan.

 

TINJAUAN TEORI

 

Pengujian Teori

Dengan cara mendapatkan pengetahuan yang benar (secara epistemologik), rasionalisme yang kritis mengetengahkan sejarah perkembangan perkebunan di Indonesia diutarakan pada alinea sebelum terakhir dari latar belakang, adalah memang bersifat mitos, tetapi menurut Popper tahapan ini adalah penting sekali dalam sejarah berfikir manusia.

Popper mengetengahkan dengan ditinggalkannya tradisi yang bersifat dogmatik yang hanya memperkenankan hidupnya dalam satu doktrin menuju ke doktrin yang bersifat majemuk (pluralistik), maka dalam kajian ini perlu di uji asumsi-asumsi dari teori kekuatan dan peluang, perlu juga dicari akar masalah pada kelemahan dan ancaman serta pengujian teori empirik.

 

1.     Kekuatan dan Peluang ( Strength and Opportunity )

 

Analisis perkembangan pola perkebunan dengan metoda strength weakness, opportunity dan threat (SWOT) memperlihatkan bahwa dari segi kekuatan (strength), kondisi alam yang subur dan sesuai untuk jenis-jenis tanaman perkebunan tersebut sangat mendukung peningkatan produk-produknya. Selain itu, dari segi sumberdaya manusia negara kita tidak kekurangan tenaga kerja. Dari segi peraturan/kebijakan penanaman modal, telah diciptakan situasi yang cukup kondusif untuk menarik investasi termasuk modal asing pada berbagai sektor usaha, yaitu dengan menghapuskan/menyederhanakan berbagai peraturan yang selama ini dapat merupakan kendala penanaman modal. Misalnya, penghapusan kewajiban, memiliki rekomendasi instansi teknis dalam permohonan persetujuan penanaman modal (Inpres No. 23/1998), pelimpahan kewenangan pemberian persetujuan dan fasilitas serta perijinan penanaman modal dari Kepala BKPM kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I (Keppres No. 113/1998). Dengan kemudahan pelayanan investasi tersebut diharapkan akan lebih menarik minat investor domestik maupun asing dalam penanaman modal di seluruh daerah di Indonesia. Dari segi peluang (opportunity), Indonesia mempunyai posisi yang baik di pasar dunia sebagai produsen komoditas perkebunan seperti kelapa sawit, yang salahsatu produk hilirnya adalah minyak goreng.

Proyeksi minyak goreng didalam negeri baik yang menggunakan bahan CPO ataupun minyak kelapa selama 6 tahun terakhir mengalami kenaikan rata-rata 10,6 % per tahun. Khusus minyak goreng kelapa sawit mengalami kenaikan meningkat 11,72 % per tahun, dan minyak kelapa meningkat rata-rata 8,34 %. Kenaikan produksi ini tampaknya masih akan terjadi pada tahun-tahun mendatang, karena disamping adanya kenaikan penduduk 1,8 % per tahun, juga adanya kenaikan konsumsi riel akibat perbaikan kondisi ekonomi serta faktor-faktor lainnya, berikut kenaikan produksi minyak goreng dalam situasi krisis moneter sampai dengan dua tahun terachir.

Tabel – 1

Produksi Minyak Goreng Sawit (Indonesia) 1997-2001

Tahun

Ton

1997

1.637.786

1998

1.834.320

1999

2.054.438

2000

2.300.971

2001

2.577.088

Sumber BPS

 

Dan menurut data BPS sumbangan export dari sektor ini rata-rata naik 4,09 % per tahun.

Perkembangan perkebunan kelapa sawit ini menujukkan gejala yang menggembirakan sejak tahun 1989 sampai sekarang, data luasan yang diperoleh 42 % dari total areal perkebunan kelapa sawit ini dikelola oleh perusahaan negara, 26 % oleh perusahaan swasta dan sisanya 32 % dikelola oleh rakyat. Tetapi pada tahun 1996 lalu perkebunan besar swasta menjadi terbesar yaitu 955.326 Ha atau merupakan 46 %. Sedangkan perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh perkebunan besar rakyat pada tahun 1996 mencapai 722.533 Ha dan mulai menurun sejak krisis terjadi sekitar tahun 1998.

 

Komoditas lainnya misalnya kopi, kelapa hibrida, kakao teh dan lada semuanya masih terbuka pasarnya untuk ditingkatkan dan itu semuanya dapat dengan mudah secara terakhir di usahakan di Indonesia.

 

2.         Kelemahan dan Ancaman (Weakness and Threat).

 

Perlu diakui bahwa krisis ekonomi, moneter dan politik yang terjadi di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 dampaknya masih berlanjut hingga saat ini, dan tidak seorang pakarpun dapat meramalkan secara tepat kapan berakhir sesungguhnya. Adanya krisis yang berkepanjangan tersebut sangat mempengaruhi kemampuan pembiayaan (financing) negara terhadap program-program pembangunan. Demikian pula, kemampuan masyarakat sebagai mitra pemerintah dalam pembiayaan pembangunan sangat lemah. Lembaga Keuangan Bank maupun Non Bank mendadak kehilangan kemampuan, sehingga pembiayaan proyek-proyek dibatalkan/dihapus dan segenap konsentrasi diarahkan kepada upaya recovey dan rehabilitasi. Hal-hal tersebut diatas yang merupakan kelemahan (weaknees) yang terjadi di negara Indonesia saat ini masih di tambah lagi dengan belum pulihnya keamanan di beberapa daerah dan masih lemahnya pemahaman UU. No. 22 RI tentang Otonomi Daerah, sehingga itu semua merupakan situasi yang belum kondusif untuk berusaha atau menanamkan modal. Banyaknya penjarahan terhadap hasil-hasil tanaman/perkebunan yang siap panen, serta faktor-faktor gangguan keamanan lainnya telah menjadi salah satu alasan bagi Lembaga Ekonomi International Standard dan Poor’s serta Moody’s untuk menempatkan Indonesia dalam kategori/rating yang sangat rendah (risiko sangat tinggi) sebagai negara tujuan investasi. Hal-hal lain yang dapat digolongkan sebagai kelemahan dalam pengembangan perkebunan di Indonesia adalah kemampuan manajemen yang lemah, serta kelemahan dalam penguasaan teknologi baik dalam pembibitan, produksi maupun pengolahan pasca panen. Sedangkan hal-hal yangdapat digolongkan sebagai ancaman (threat) adalah belum pulihnya kepercayaan internasional terhadap Indonesia, belum pulihnya perekonomian regional, fluktuasi yang cukup besar dari harga komoditas perkebunan di pasaran internasional, serta adanya perkembangan teknologi di negara-negara maju sehingga memungkinkan dibuatnya bahan-bahan pengganti/substitusi dari komoditas perkebunan tertentu.

 

3.     Uji Pembenaran Empirik

 

Menurut Bungaran Saragih, suatu sektor atau gugus industri layak menjadi strategi besar pembangunan perekonomian bila konstribusinya dalam perekonomian agregat relatif besar sehingga bila sektor yang bersangkutan berkembang akan menarik keseluruh sektor-sektor ekonomi.

 

Secara numerik angka-angka sumbangan sektor pertanian dalam sistem agribisnis dalam jangka waktu lima tahun yaitu, pada tahun 1990 sampai dengan 1995 naik 5,84 %, konstribusi sistem agrobiznis dalam pembentukkan nilai tambah ekonomi juga mengalami kenaikan dari Rp. 97.787.596,- Milyard pada tahun 1990 naik menjadi Rp. 254.821.256,- Milyard dan konstribusi terhadap tenaga kerja pada saat yang sama naik dari 74,61 % menjadi 77,34 %, begitu juga sumbangannya terhadap devisa negara pada saat yang sama dari 43,38 % naik menjadi 49,22 %. (1)

 

Data tersebut diatas mengindikasikan bahwa sektor ekonomi yang berbasis pada sektor pertanian membawa dampak yang positif secara luas terhadap ketahanan ekonomi artinya juga sektor kehidupan ekonomi yang lain akan terdorong maju, sebagai salahsatu contoh kongkrit dibidang jasa dapat juga sebagai jasa transportasi atau berdirinya manufaktur di bagian hilir yang dapat menyerap tenaga kerja dan kemungkinan manufaktur hilir tersebut dapat menggantikan komponen-komponen import yang di butuhkan oleh industri lainnya.

 

Data yang menunjukkan penurunan import masih pada kurun waktu yang sama (Bungaran Saragih) mencatat sekitar 7,99 %. Untuk sektor agribisnis adalah angka penurunan yang signifikan, karena kurangnya nilai import adalah berarti sumbangan devisa dan penurunan nilai import tadi adalah subsitusi komponen industri dari luar negeri sedang bergeser atau digantikan oleh produk-produk dalam negeri yang dihasilkan oleh sistem agribisnis.

Dari uraian tersebut pembangunan sistem agrobisnis sebagai strategic pembangunan ekonomi memperoleh pembenaran secara empiris.

 (1).         Prof. Bungaran Saragih : Pengembangan Agribisnis di daerah Transmigrasi, Jakarta September 1997 dan Seminar-seminar agrobiznis di PPS – UPDM ( B ) Jakarta

 

FAKTA, PEMBAHASAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERKEBUNAN

 

A.   Fakta dan Pembahasan

                  Kurang lebih seratus tahun sejak tanaman paksa dinyatakan formal berakhir, era pembangunan perkebunan pasca kolonialisme dimulai. Sampai saat ini era pembangunan perkebunan dapat dibagi kedalam 3 generasi yaitu :

 

1.     Generasi Perkebunan Inti Rakyat

pada generasi ini mulai diterapkan sistem Inti-Plasma, generasi ini terbagi kedalam 2 periode yaitu periode PIR-Bun dengan :

·             Pola Nucleus Smallholder Estate (NES) yang sumber dana bantuannya dari negara asing melalui Word Bank, ADP dan lain-lain. Komoditi-komoditi yang akan dikembangkan antara lain karet, kelapa sawit, kelapa hibrida dan tebu.

·             PIR-Bun lokal dan PIR-Bun khusus yang sumber dananya dari Pemerintah.

 

Generasi PIR-Bun ini dilaksanakan mulai tahun 1975 sampai 1986. Pada generasi ini diantaranya diterapkannya program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) melalui Inpres No. 9 tahun 1975. Untuk lebih lanjut meningkatkan kesejahteraan rakyat khusunya para petani perkebunan dilkeluarkan Inpres No. 5 tahun 1977 Jo Inpres No. 5 tahun 1978.

 

2.     Generasi PIR-Trans

Generasi ini muncul sebagai akibat semakin menurunnya pendapatan devisa pemerintah dari minyak, sehingga pemerintah berupaya untuk meningkatkan devisa no migas dengan cara menarik para investor/privativasi untuk berpartisipasi dalam mengembangkan perkebunan melalui pemberian pinjaman kredit investasi dengan tingkat bunga rendah baik untuk inti maupun plasma yaitu sebesar 16 %. Pemberian kredit investasi dengan bunga rendah ini ternyata lebih banyak menguntungkan para investor saja, para petani tetap merupakan golongan yang dirugikan.

 

3.     Generasi PIR – KKPA.

 

Adanya peraturan Bank yang dikenal paket 1 Januari 1990 yang memberhentikan kredit investasi untuk PIR-Trans, melahirkan kredit KKPA sebagai upaya pemerintah untuk lebih banyak melibatkan rakyat kecil. Kredit PIR-KKPA terdiri dari 2 jenis yaitu kredit PIR-KKPA murni dan kredit KKPA PIR-Trans di wilayah KTI. Kredit PIR-KKPA murni sudah dimulai berjalan, sedangkan kredit KKPA PIR-Trans di wilayah KTI sebetulnya sudah 8 perusahaan disetujui untuk dikucurkan kreditnya akan tetapi sampai sekarang belum terlaksana karena terjadi krisis moneter, kredit ini bebas untuk komoditi apa saja.

 

Dengan adanya program-program diatas kinerja perkebunan di tanah air kita secara kuantitatif tampak berkembang, luas areal perkebunan total pada tahun 1968 hanya 0,5 Ha menjadi 14,2 juta Ha pada tahun 1998. Yang paling mengesankan adalah pertumbuhan luas areal perkebunan rakyat bertambah dari 4,1 Ha dari tahun 1968 menjadi 11,2 juta Ha pada tahun 1998. Didalam periode yang sama luas areal perkebunan besarpun berkembang, untuk BUMN dari 0,4 juta Ha menjadi 1,0 juta Ha dan untuk PBSN dari 0,4 juta Ha menjadi 2,2 juta Ha. Sampai saat ini dapat di gambarkan untuk masing-masing jenis komoditas adalah sebagai berikut :

 

a.     Karet

Produksi karet Indonesia mempunyai luas lahan terbesar di dunia yaitu 1,5 juta Ha tetapi hanya mampu memasok 20.23 % kebutuhan dunia. Sementara Malaysia mampu mensuplai 45 % kebutuhan dunia dengan luas lahan separuhnya. Padahal kalau produksi karet bisa ditingkatkan dan Indonesia bisa memasok ban mobil sebanyak 5 % dari kebutuhan mobil seluruh dunia, akan memberikan konstribusi yang signifikan terhadap pemasukan devisa negara. Sampai saat ini kebutuhan di dunia diperlukan setidaknya 50 juta ban untuk mobil baru. Sementara untuk jumlah mobil yang ada diperlukan setidaknya 1 milliar ban mobil untuk semua mobil di muka bumi. Data terakhir menunjukkan tingkat konsumsi ban dunia tidak pernah terpenuhi oleh produksi ban dunia. Sebuah pabrik di Indonesia rata-rata setahunnya hanya mampu menghasilkan 40.000 ban mobil. Total produksi ban Indonesia saat ini sekitar 100.000 ban. Maka tersedia peluang untuk mengisi 50 juta per tahun dengan devisa mendekati 7,5 – 10 Milliar US $ per tahun.

 

b.     Kopi

Menurut data yang tersedia volume ekspor kopi dari tahun 1970 – 1994 rata-rata meningkat sebesar 1.21 % per tahun dan nilai ekspornya meningkat 29,29 %. Meskipun dipasaran Internasional pangsa pasar komoditas kopi hanya mencakup 7 % akan tetapi posisinya sebagai penghasil kopi nomor 3. Dengan kondisi seperti diatas komoditas kopi masih mempunyai peluang untuk pengembangan pasar yang ada atau memperluas ke negara-negara yang belum dimasuki.

c.     Kelapa Sawit

Data yang sama diperoleh volume ekspor kelapa sawit dengan bentuk CPO meningkat sebesar 14.75 % dan nilai ekspornya meningkat 25.81 %. Dengan pangsa pasar sebesar  25 % posisi Indonesia merupakan penghasil CPO ke 2 didunia setelah Malaysia. Hal ini menunjukkan pula bahwa pengembangan kelapa sawit masih berpeluang untuk ditingkatkan. Akan tetapi meskipun Indonesia mencapai keberhasilan dalam pengembangan komoditi kelapa sawit, tetapi sebetulnya Indonesia dinilai terlambat mengembangkan produksi hilir karena tenggelam dengan ekspor CPO dan bukan produk lain seperti Fatti Acid, Glyserin, Steame Acid dan Fatti Alkohol yang kesemua mempunyai nilai tambah mana kala di ekspor. Bahkan sekarang terjebak dengan produk CPO sepenuhnya untuk minyak goreng, padahal di ekspor inipun Indonesia kalah dari Malaysia dan sedang terancam oleh Thailand.

 

d.     Kakao

Dari tahun 1970 – 1994 volume ekspor kakao meningkat sebesar 71.07 % dan nilai ekspornya meningkat 155.63 %. Dengan pangsa pasar hanya 9.79 % Indonesia termasuk kedalam 8 negara penghasil terbesar kakao. Hal ini menunjukkan pula bahwa pengembangan kakao masih berpeluang untuk ditingkatkan.

 

e.     Kelapa (Kelapa dalam dan Kelapa Hibrida).

Dari keseluruhan produksi dunia pangsa produksi kelapa sekitar 30 %, yang merupakan produsen ke 2 (dua) setelah Philipina. Sekitar 98 % berasal dari perkebunan rakyat, hal ini menunjukkan bahwa perekonomian kelapa nasional akan tergantung dari petani kelapa.

Komoditi kelapa sebagai bahan baku industri makanan dan industri non makanan. Beragam produknya dan beragam pula nilai produknya. Hal ini yang menyebabkan kelapa dikenal sebagai The Tree of Life atau tanaman serbaguna. Menurut informasi menyebutkan bahwa dari produksi kelapa dapat dihasilkan 28 % daging kelapa, 35 % sabut, 12 % tempurung dan 25 % air kelapa. Selain itu dihasilkan pula bungkil kelapa dan ampas kelapa, nira untuk gula semut, daun kelapa untuk bahan kerajinan dan batangnya untuk bahan bangunan.

 

 

f.      Jambu Mente

jambu mente merupakan komoditi ekspor dengan peningkatan ekspor 9.8 % dengan harga di pasaran internasional cukup tinggi.

g.     Cengkeh

Zaman dahulu cengkeh merupakan salah satu komoditi andalan Indonesia dengan harga jual yang cukup tinggi. Akan tetapi karena pernah mengalami Over Supplai dan harga dipasar terus menurun komoditas ini oleh Pemerintah disarankan untuk tidak di produksi lagi. Informasi terakhir menyebutkan bahwa harga cengkeh mulai tinggi lagi, hal ini merupakan peluang bagi Indonesia untuk berproduksi kembali.

 

Penanganan komoditas perkebunan secara bersungguh-sungguh untuk meraih pangsa pasar yang tinggi akan menghasilkan peningkatan devisa non migas. Oleh karena itu dukungan dari segi peraturan untuk mengantisipasi perkembangan ekonomi global dan untuk lebih meningkatkan arus penanaman modal juga sudah dipersiapkan. Namun apabila dilihat secara kualitatif perkebunan nasional masih tertinggal dari perkebunan negara tetangga, khususnya Malaysia dan Thailand. Misalnya produktivitas kelapa sawit di Malaysia dapat mencapai 30 – 40 ton TBS/Ha sedangkan di Indonesia baru mencapai 15 – 25 ton/Ha. Produktivitas karet di Thailand mencapai 1 – 2 Ton/Ha sementara di Indonesia berkisar antara 0,6 – 1 Ton/Ha. Dengan kemajuan/kondisi perkebunan seperti itu, sampai saat ini pangsa pasar dan posisi di pasar dunia beberapa jenis komoditas perkebunan Indonesia di pasaran internasional adalah sebagai berikut :

1.         Pangsa pasar komoditas kopi baru mencapai 7 % dengan posisi nomor 3.

2.         Pangsa pasar kelapa sawit 25 % dengan posisi nomor 2 setelah Malaysia.

3.         Pangsa pasar kakao 9,79 % dengan posisi nomor 8.

4.         Pangsa pasar kelapa 30 % dengan posisi nomor 2 setelah Philipina.

5.         Pangsa pasar karet 34 %.

6.         Pangsa pasar lada 26 %.

7.         Pangsa pasar minyak kelapa 22 % dan

8.         Pangsa pasar teh 9 %.

 

Melihat pangsa pasar dan posisi komoditas ekspor di pasar dunia, masih besar peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan produksi komoditas perkebunan. Tetapi di lain pihak banyak kendala dan permasalahan yang sekarang dihadapi para petani antara lain sebagai berikut :

1.         Kondisi yang paling memprihatinkan adalah kondisi dimana kebun plasma belum ditanami, bibit belum tersedia dan bahkan untuk beberapa daerah/lokasi keprihatinan itu semakin parahlagi dengan tidak adanya informasi tentang kepastain kapan kebun-kebun akan dapat dimulai kegiatannya.

2.         Berkaitan dengan masalah perbankan, Investor tidak mampu lagi mengembangkan perkebunannya dan tersangkut kredit macet dan masuk ke BPPN.

3.         Lahan perkebunan masih bermasalah legal aspeknya.

 

Dari tiga permasalahan diatas, masalah butir 1 dan 2 merupakan masalah yang paling prioritas untuk diselesaikan, karena berdampak langsung terhadap eksistensi pengembangan usaha para petani plasma. Sampai saat ada lima buah perusahaan yang masuk ke BPPN dan menterlantarkan sejumlah 12.348 KK petani plasma. Masalah yang dihadapi oleh setiap perusahaan yang termasuk kedalam kategori butir satu diatas beraneka ragam yaitu :

1.         Karena bencana alam (kebakaran dan kebanjiran) yang menyebabkan investor tidak mampu lagi mengembangkan, sementara para petani plasmanya sebagian ada yang sudah mengahasilkan TBS dan tidak ada yang menampung hasilnya sehingga harus mencari pasar sendiri, sebagian lagi para petani kehilangan plasmanya karena terkena bencana alam dan sebagian lagi remdemannya masih rendah.

2.         Karena Investor yang tidak tanggung jawab, plasmanya dibangun tetapi tidak membangun inti dan tidak membayarkan pengembalian kredit para petani plasma ke Bank pemberi kredit. Jadi pada kondisi ini lokasi-lokasi kebun plasmanya sudah ada tetapi biaya operasional dan pemeliharaan (O dan M) terkendala sehingga kebun plasmanya di khawatirkan terlantar menyebabkan performancedari waktu ke waktu akan semakin jelek dan pada akhirnya bila dibiarkan terus menerus akhirnya keseluruhan usaha perkebunan menjadi terhenti/mengalami “ dead lock”.

3.         Adanya perkebunan yang diambil alih oleh perusahaan lain karena ditinggalkan oleh perusahaan lama, yang menyebabkan biaya operasional dan pemeliharaannyapun ( O dan M ) terkendala, yang berdampak rendahnya kualitas perkebunan plasma para petani yang harus segera ditangani. Disamping itu pertanggung jawaban atas progres pengembalian kredit petani plasmanya juga tidak jelas dan berdampak tidak jelasnya posis hutang para petani ke Bank.

4.         Lokasi-lokasi yang kebun plasmanya sudah mendekati keluarnya tandan buah segar (TBS), akan tetapi kendala dihadapinya bervariasi, diantaranya :

·             Kendala biaya O dan M pada berapa lokasi juga terkedala,

·             Tidak tersedianya unit pengolah kelapa sawit (PKS) dan bahkan beberapa kebun ada yang tidak dapat memberikan jawaban kapan PKS ini akan tersedia sementara keluarnya buah sawit dari kebun-kebun TBS ini tidak dapat dicegah lagi.

Keadaan dimana PKS ini tidak tersedia akan memberikan dampak negatif yang besar sekali karena sifat dari buah kelapa sawit yang sangat tidak tahan (resistensi tinggi) setelah dipanen. Buah sawit ini begitu dipanen harus segera diangkut ke pabrik untuk diolah karena jika tidak buah-buah tersebut tidak bernilai sama sekali atau dengan kata lain jadi tidak feasible untuk diolah.

 

Adanya permasalahan tersebut dimana para petani plasma tidak dapat mengusahakan perkebunannya secara maksimal, pada disisi lain harapan pemerintah terhadap peningkatan produksi pertanian/perkebunan sangat tinggi, karena sektor ini merupakan salah satu andalan dalam peningkatan devisa negara. Maka harus ada upaya untuk segera melakukan strategi pembangunan ekonomi di bidang agrobiznis khususnya perkebunan.

 

B.    Strategi Pembangunan Perkebunan

 

Strategi pembangunan perkebunan ke depan merupakan refleksi dari strategi pembangunan perkebunan yang selama ini dilaksanakan yang dinilai belum mengintegrasikan secara harmonis aspek ekonomi, ekologi dan sosial budaya masyarakat.

 

1).   Strategi Pengembangan Perusahaan

Dalam pengembangan perkebunan ini strategi yang akan dilaksanakan meningkatkan peran BUMN perkebunan agar dapat diandalkan sebagai sumber penerimaan negara melalui kebijakan restrukturisasi, profitisasi dan privatisasi BUMN perkebunan dengan membangun BUMN sebagai kelas dunia. Dalam strategi ini perkebunan besar diperlakukan terpisah dari perkebunan rakyat, artinya perkebunan besar mempunyai tugas, mencetak pasar dunia untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya untuk devisa negara, tugas berikutnya sebagai bapak angkat dari perkebunan-perkebunan rakyat.

 

2).   Strategi Balik Arus dan Dorong Gelombang (Energi Sosial)

Strategi ini ditujukan untuk jangka menengah dan jangka panjang dimana usaha perkebunan bagian hulu berkelanjutan yang merupakan suatu langkah restrukturisasi yang diharapkan mampu mengembangkan institusi, SDM dan Iptek serta mengembangkan tata nilai yang mampu mensinergiskan ketiga unsur diatas secara positif dan dinamis. Untuk strategi yang perlu dikembangkan adalah :

?           Penumbuh kembangan nilai yang melandasi berkembangnya hubungan yang harmonis antar manusia dengan alam (ekosistem). Nilai ini sebagai landasan untuk terbinanya harmonis antara manusia dengan lingkungannya (nilai ekologi).

?           Pemanfaatan Social Capital seperti, institusi lokal dan sejenisnya sebagai pintu masuk dalam setiap proses pengembangan perkebunan.

?           Pengembangan SDM dan Iptek yang terkait langsung dengan setiap upaya pengembangan usaha perkebunan.

?           Penerapan prinsip-prinsip efisiensi dan kreasi nilai tambah dalam setiap keputusan dan tindakan.

?           Pengembangan kelembagaan/institusi yang mampu meminimalkan ongkos transaksi, membangun kebersamaan dan menghidupkan cara kerja yang dinamis dan efisien melalui pengembangan jaringan (network) yang handal.

?           Perwilayahan pengembangan komoditas perkebunan sesuai dengan Agro Ekosistem dan pembatas ekologis sebagai landasan pengembangan perkebunan yang berkelanjutan.

?           Pengembangan kawasan industri masyarakat perkebunan (KIMBUN) sebagai media (wadah) trasnformasi masyarakat dari waktu ke waktu melalui pemanfaatan usaha perkebunan.

?           Pengembangan iklim usaha yang kondusif untuk invetasi di bidang perkebunan, khususnya berupa kebijaksanaan yang diterapkan secara konsisten dan berkesinambungan.

?           Jaminan keamanan usaha terhadap segala bentuk penjarahan, perambahan atau aktivitas serupa lainnya.

 

Oleh karenanya, perlu ditempuh langkah-langkah sebagai berikut :

i.      Membagi kegiatan usaha perkebunan kedalam 3 (tiga) kelompok utama :

1.         Kelompok usaha hulu yang menhasilkan produk primer.

2.         Kelompok usaha tengah yang menhasilkan produk antara (Intermediate Product).

3.         Kelompok usaha hilir yang menghasilkan produk akhir (Final Product).

         ii.     Memberi peluang yang seluas-luasnya kepada petani atau koperasi tani (pekebun) untuk menjalankan usaha pada kegiatan hulu, agar manajemen caring dapat dilakukan secara intensif, serta unsur ongkos transaksi dan ongkos-ongkos eksternal dapat tertanggulangi.

         iii.   Restrukturisasi koordinasi horizontal dan vertikal antara petani, koperasi dan perusahaan besar perkebunan.

 

KESIMPULAN DAN SARAN

 

Kesimpulan

1.     adanya krisis moneter yang berkepanjangan telah membuka kesadaran bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang paling bertahan terhadap badai krisis yang menimpa di Indonesia.

2.     Sub sektor perkebunan merupakan sektor perkebunan merupakan sektor yang dapat diandalkan untuk memperkuat perekonomian Indonesia.

3.     Pengembangan perkebunan yang selama ini sangat tergantung kepada para investor bermodal kuat, tidak memberdayakan rakyat secara maksimal ternyata merupakan salah satu penyebab terjadinya krisis moneter di Indonesia yang berkepanjangan ini.

4.     para petani yang terken dampak dari ketidak mampuan para investor dalam pengembangan usaha perkebunannya, perlu segera mendapat uluran tangan. Hal ini karena tidak mungkin menunggu sampai kondisi ekonomi nasional.

5.     Untuk mengatasi permasalahan diatas sekaligus memperkokoh basis pertanian di Indonesia, maka pengembangan perkebunan melalui pemberdayaan rakyat merupakan langkah yang paling strategis untuk dilaksanakan.

6.     Disamping itu, dengan kondisi keuangan Indonesia saat ini menarik investor asing untuk mengembangkan perkebunan di Indonesia adalah langkah yang terus diupayakan.

 

Saran

1.     Harus ada akses kemudahan-kemudahan untuk penanaman modal asing di Indonesia, dengan menyederhanakan peraturan dibidang penanaman modal khususnya pada sektor pertanian dan perkebunan.

2.     Harus ada perlindungan hukum terhadap investor yang masuk untuk menghindari adanya tindakan yang semena-mena terhadap investor asing.

4.         Menjaga stabilitas politik dalam negeri agar para investor merasa aman dalam menanamkan modalnya di Indonesia.

5.          

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Bungaran Saragih, Prof. Dr. Ir.                                                Pengembangan Agrobiznis di Daerah Transmigrasi, Jakarta September 1997.

                                                                                                                          Seminar-seminar Agrobiznis di PPS – UPDM ( B ) Jakarta.

Jhon, Kenneth Galbraith                                                               Pembangunan Ekonomi dalam Perspektif (di terjemahkan oleh NJK Mochtar) PT. Pembangunan Djakarta, 1964.

Jurnal                                                                                                           Industri dan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia tahun 1977 sampai dengan 1997 oleh The CIC Consulting Group.

Jujun S. Surya Sumantri                                                                 Falsafat Ilmu Pustaka Sinar Harapan 2001

Pearce II, Jhon A. and Robinson, Richard B.               Strategic Management, Strategy Formulation and Implementation, Third Edition, Irwin, Home Wood, Illinois 1998.

Keegan, Waren, J.                                                                             Management Pemasaran Global Edisi Bahasa Jilid 2, Prenhallinda 1997.

Siswono Yudo Husodo, Ir.                                                          Kebijakan Pembangunan Pertanian Dalam Paradigma. Baru Globalisasi dan Otonomi Daerah. Universitas Prof. DR. Moestopo (Beragama) Jakarta, 02 Maret 2001.

Syariffudin Baharsyah, Prof. Dr. Ir.                                     Kebijakan Pembangunan Pertanian di Indonesia Menjelang abad 21, Jakarta November 1997.