© 2003 Reni Kustiari
Posted: 14 May 2003
Makalah
Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Program
Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Mei 2003
Dosen: Prof. Dr. Ir. Rudy C.
Tarumingkeng
Dr Bambang Purwantara
ANALISIS KETERPADUAN
PASAR GULA PASIR
Oleh:
Reni Kustiari
EPN 546010091
e-mail: renikustiari@yahoo.com
1. PENDAHULUAN
Peran gula dalam perekonomian nasional dipandang penting,
mengingat laju permintan gula
yang semakin meningkat dengan semakin meningkatnya pendapatan masyarakat serta
meningkatnya pertumbuhan industri makanan dan minuman. Untuk memenuhi permintaan tersebut khususnya
dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia harus melakukan impor gula. Di pasar
internasional, Indonesia merupakan salah satu negara importer terbesar. Selama
lima tahun terakhir (1998–2002) produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi sekitar 67 persen dari total permintaan.
Gula juga merupakan
salah satu bahan baku bagi industri makanan dan minuman. Sebagai penyerap
tenaga kerja, industri gula dewasa ini memberikan lapangan kerja bagi sekitar
1,4 juta orang (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2000). Dari sisi produksi, gula juga
menjadi sumber penghidupan bagi petani kecil.
Kontribusi perkebunan rakyat terhadap total produksi tebu pada tahun
2001 mencapai sekitar 49 persen.
Mengingat pentingnya peran komoditas gula, pemerintah sering melakukan
intervensi terhadap industri dan pasar gula. Seperti penetapan INPRES No. 9
tahun 1975 yang semula bertujuan untuk mencapai swa sembada gula melalui
pengusahaan Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI),
namun kemudian membebaskan kembali petani dari kewajiban untuk menanam
tebu melalui Inpres No. 5 tahun 1998, sekaligus menghapuskan subsidi yang
diberikan kepada industri gula di Indonesia.
Dalam waktu yang sama, pemerintah juga menghapuskan peran Bulog dalam
monopoli pengadaan dan distribusi gula dan membebaskan impor gula kepada peran
swasta. Kebijakan pembebasan impor gula
kepada pihak swasta berakibat membanjirnya gula impor di pasar domestik Sementara itu, ketika produksi tebu
mengalami penurunan sebesar 9,81 persen
per tahun pada periode 1996-2000, impor gula pada tahun 1999 sebesar 57,6
persen dari penyediaan dalam negeri (BPS, 2000).
Dengan demikian , perekonomian gula Indonesia amat dipengaruhi oleh
dunia luar sehingga pemahaman tentang pemasaran gula menjadi hal penting untuk
dikaji . Tulisan ini bertujuan mengkaji marjin pemasaran dan integrasi pasar
gula di Indonesia. Karena walaupun harga dasar (floor price=provenue) berada
dalam pengawasan pemerintah, penulis percaya bahwa keragaman dalam harga di
pasar (harga konsumen) cukup besar karena masih dipengaruhi oleh mekanisme
pasar dan peranan intervensi pemerintah ini tidak mempengaruhi keterpaduan
pasar.
2.
Marjin Tataniaga
Margin pemasaran atau margin tataniaga menunjukkan
selisih harga dari dua tingkat rantai pemasaran. Margin tataniaga adalah
perubahan antara harga petani dan harga eceran (retail). Perbedaan nilai ini
juga direpresentasikan sebagai jarak vertikal dan jarak antara kurva permintaan
atau antara kurva penawaran (Gambar 1). Sr menunjukkan supply turunan, Sf
menunjukkan supply dasar, Dr menunjukkan demand turunan, Df menunjukkan demand
dasar, Pr menunjukkan harga retail, dan Pf menunjukkan harga petani. Margin
tataniaga hanya merepresentasikan perbedaan harga yang dibayarkan konsumen
dengan harga yang diterima petani, tetapi tidak menunjukkan jumlah quantitas
produk yang dipasarkan. Margin tataniaga merupakan penjumlahan antara biaya
tataniaga dan margin keuntungan.
Nilai margin pemasaran adalah perbedaan harga
di kedua tingkat sistim pemasaran dikalikan dengan quantitas produk yang
dipasarkan. Cara perhitungan ini sama dengan konsep nilai tambah (value
added). Pengertian ekonomi nilai margin pemasaran adalah harga dari
sekumpulan jasa pemasaran /tataniaga
yang merupakan hasil dari interaksi antara permintaan dan penawaran
produk–produk tersebut. Oleh karena itu nilai margin pemasaran dibedakan menjadi dua yaitu marketing
costs dan marketing charges (Dahl, 1977).
Harga
Sr
Pr Sf
Pf
Dr
Df
Qr,
f Quantity
Gambar 1. Margin Pemasaran
Biaya pemasaran terkait dengan
tingkat pengembalian dari faktor produksi, sementara marketing charges
berkaitan dengan berapa yang diterima oleh pengolah, pengumpul dan lembaga
tataniaga. Margin tataniaga terdiri dari tiga jenis yaitu absolut, persentase dan
kombinasi. Margin pemasaran absolut dan
persentase dapat menurun, konstan dan meningkat dengan bertambahnya quantitas
yang dipasarkan. Hubungan antara elastisitas permintaan di tingkat rantai tataniaga yang berbeda memberikan beberapa kegunaan
analisis. Hubungan bergantung pada perilaku dari margin pemasaran.
3.
Integrasi Pasar
Pembuat kebijakan dan
konsumen mengharapkan sistim pemasaran yang efisien dan responsif. Konsep umum
dari permintaan dan harga umumnya membicarakan tentang efisiensi operasional
dan efisiensi harga. Efisiensi
operasional merupakan upaya untuk menekankan biaya yang dikeluarkan untuk
melakukan semua fungsi pokok tataniaga
itu sendiri. Sementara efisiensi harga adalah kemampuan harga dan
isyarat harga dalam mengalokasikan komoditas diantara berbagai macam pembeli
dan pengembalian kepada berbagai macam penjual yang pada hakekatnya dipandu
oleh perubahan preferensi dan selera konsumen. Dalam pengukuran efisiensi ini
dikenal istilah pasar penampung/grosir dan pasar pengecer.
Integrasi dari beberapa pasar
dapat diuji dari hubungan antara harga–harga yang terbentuk pada pasar–pasar
tersebut. Dua buah pasar yang
terintegrasi akan membentuk harga kesetimbangan yang berkaitan secara langsung.
Untuk
menguji integrasi pasar dapat digunakan 4 metode di bawah ini: