©2003
Pantas Freddy Sianturi Posted
June 29, 2003
Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Juni 2003
Dosen :
Prof. Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng
PEMANFAATAN LAHAN TIDUR (LAHAN
ALANG-ALANG)
UNTUK PENGEMBANGAN
PROGRAM TRANSMIGRASI
Oleh:
Pantas
Freddy Sianturi
P. 062024164/PSL
I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pembangunan transmigrasi adalah pembangunan yang
berbasis lahan. Ciri dari pembangunan transmigrasi adalah memindahkan orang
(SDM) untuk menetap yang difasilitasi oleh negara untuk memanfaatkan sumberdaya
alam (lahan) dan memberdayakan masyarakat. Tujuannya adalah meningkatkan
kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitarnya, memperkukuh persatuan dan
kesatuan bangsa (Anonim, 1997).
Permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah dalam lima
tahun terakhir ini adalah sangat sulit mendapatkan lahan yang mempunyai
hamparan yang luas guna mendukung program transmigrasi. Disisi lain pemerintah
juga diperhadapkan dengan persoalan penduduk yang perlu segera ditangani.
Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2000 sebesar 210
juta jiwa dan diperkirakan mencapai 250 juta jiwa pada tahun 2002. (Pertumbuhan 1,9 % per tahun). Dari jumlah
ini sekitar 70 % hidup di Pulau Jawa.
Dengan demikian terjadi peningkatan kebutuhan terhadap lahan. Kebutuhan akan
lahan meliputi kebutuhan lahan untuk industri, permukiman, usaha, pertanian dan
sebagainya. Akibat dari konflik kepentingan ini biasanya terjadi konversi
lahan. Lahan pertanian yang subur diubah menjadi lahan permukiman sehingga
terjadi penyusutan lahan pertanian subur. FAO (dalam Tjokro Kusumo dan
Sudaryono, 2002) mencatat bahwa diwilayah tropis pemilikan lahan per kepala
turun dari 0,28 Ha (1971) menjadi 0,22 Ha (1986).
Menurunnya luas
kepemilikan lahan pertanian padahal sebagian besar masyarakat pedesaan hidup
dari usaha pertanian, sehingga diharapkan melalui program transmigrasi masalah
mereka dapat dipecahkan.
Hal lain yang
diperhadapkan dalam pengembangan program transmigrasi adalah semakin
terbatasnya hutan yang dapat dimanfaatkan. Kebijakan pengembangan transmigrasi
dengan memanfaatkan kawasan hutan seperti yang lalu sudah sangat sulit.
Disamping kawasan hutan yang semakin sempit, Indonesia juga terikat dengan
kesepakatan IMF yang dituangkan dalam Letter of Intent (LOI) pada tahun 1999.
Isi kesepakatan ini adalah menghentikan sementara (batas waktu tidak
ditentukan) konversi hutan alam melalui pelepasan kawasan hutan (moratorium)
(Sunaryo, 2002), mengingat hutan tropis Indonesia merupakan paru-paru dunia,
sumber kekayaan bio diversity dan pengaruhnya terhadap iklim global.
Dengan adanya
moratorium hutan alam, kegiatan pembangunan yang memerlukan kawasan hutan
termasuk program transmigrasi untuk sementara tidak dapat dilaksanakan.
Oleh karena itu
perlu dicari terobosan tanpa mengganggu hutan yang ada tapi program pemerintah
melalui transmigrasi dalam upaya memecahkan masalah pembangunan nasional yaitu
kemiskinan penggangguran, kesenjangan antar daerah dapat diselesaikan. Dewasa
ini ketersediaan lahan produktif untuk pertanian sudah mencapai titik jenuh
(Darwis 1993).
Alternatif
pengembangan transmigrasi adalah memanfaatkan lahan alang-alang. Dalam usaha
perluasan lahan pertanian, pemanfaatan lahan alang-alang merupakan pilihan yang
tepat dari pada membuka hutan primer. Tentu diperlukan input yang lebih tinggi
untuk memanfaatkan lahan alang-alang karena lahan alang-alang merupakan lahan
tidur, kurang produktif dan lahan marjinal.
Luas lahan
alang-alang di Indonesia menurut berbagai sumber sangat bervariasi. Menurut
Retno Esti Rahayu (1993) luas lahan alang-alang di Indonesia sekitar 10,56 juta
hektar. Koestesman et.al (1987 dalam Sitorus 2002) memperkirakan luas
alang-alang sekitar 30 juta hektar.
1.2
Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui
potensi lahan alang-alang di Indonesia untuk pengembangan perluasan areal
pertanian melalui program transmigrasi.
Sedangkan sasarannya adalah terwujudnya program
transmigrasi dalam rangka menyelesaikan masalah nasional dan meningkatnya
produktivitas lahan alang-alang guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
II.
TINJAUAN
TEORITIS
2.1
Karektiristik alang-alang
Alang-alang
(Imperata cylindrica) Merupakan tanaman yang tidak memerlukan
persyaratan tumbuh yang tinggi. Alang-alang dapat tumbuh baik ditanah subur
maupun ditanah kurang subur. Tumbuhan ini sangat menyukai penyinaran matahari
secara penuh dan berkembang melalui rizome yang terdapat dalam tanah. Tanaman alang-alang termasuk jenis tanaman
penutup tanah yang baik dilihat dari segi pengendalian erosi dan lapisan
permukaan, akan tetapi jika ditinjau dari segi produktivitas lahan termasuk
lahan tidur yang tidak produktif. Biasanya alang-alang merupakan tanaman yang
mengindikasikan lahan-lahan tempat tumbuhnya merupakan lahan kritis atau sangat
marjinal ( Soekardi et al, 1993). Karena alang-alang yang cepat tumbuh, maka alang-alang merupakan tanaman pionir pada lahan-lahan yang
terbuka akibat penebangan, kebakran hutan atau cara pengelolaan tanah dan
tanaman yang kurang baik (Subagyo dan Mangku Soehardjo, 1993 ).
Sifat
biologi alang-alang mampu berkembang biak sangat cepat dan berkemampuan tinggi
untuk mempertahankan hidup dalam kondisi lingkungan yang minimal. Alang-alang sulit diberantas tumbuhan ini
mempunyai sistim perakaran yang bercabang-cabang dan cepat menjalasr dibawah
tanah ( Sumardiyono et al, 2002). Tinggi tumbuhan alang-alang di Indonesia
berkisar anatara 20-50 cm dengan panjang helai daun antara 18-20 cm. Daun alang alang sangat kasar dan tajam
oleh karena itu jenis rumput ini sering disebut rumput pengiris ( Van Stunis et
al 1981).
Alang-alang termasuk dalam salah satu
gulma terpenting di Indonesia dan termasuk 10 gulma yang paling bermasalah di
dunia (Soeryani 1970 dalam Zaini dan Zainal hamid, 2002). Melalui biji (3.000 biji/tanaman) dan rimpang, gulma
tersebut dapat tumbuh dan menyebarluas pada hampir semua kondisi lahan sampai
ketinggian 3.000 m dari permukaan laut dengan curah hujan 500-5000 mm/tahun
(Koetesman et al, 1987).
Dari aspek ekonomi, alang-alang kurang
menguntungkan karena hanya memberi manfaat minimal, yaitu berupa biomassa
sebagai penutup tanah yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan, seperti
bahan atap rumah, pakan ternak dan bahan baku industri kerkas. Selain itu, kekurangan alang-alang adalah qpabila kering
alang-alang mudah terbakar dan dapat menjadi sumber kebakaran hutan
(Tjirosemito dan Sastroutomo, 1986 dalam Sitorus, 2002) serta merupakan
gulma yang dapat mengeluarkan zat alelopati yang dapat menghambat pertumbuhan
tanaman budidaya. Oleh karena itu dalam
rangka peningkatan pemanfaatan lahan alang-alang perlu dikendalikan
pertumbuhannya, sehingga produktivitas lahan dapat di tingkatkan.
2.2 Terjadinya lahan alang-alang
Fokus dari tulisan ini adalah pada lahan
alang-alang. Sebenarnya dalam taxonomi tanah tidak dikenal istilah lahan
alang-alang. Istilah lahan alang-alang digunakan karena alang-alang merupakan
tumbuhan dominan dilahan tersebut. Jadi lahan alang-alang yang dimaksud adalah
lahan yang murni ditumbuhi alang-alang atau bercampur atau bersosiasi dengan
vegetasi lain dan atau rumput-rumputan.
Vegetasi alang-alang tumbuh dan berkembang
biasanya terdapat pada lahan yang diterlantarkan sebagai akibat dari penebangan
hutan, perladangan berpindah, kebakaran
hutan dalam (Sumardiyono, 2002) Adiningsih dan Mulyadi (2002) mengemukakan
bahwa lahan alang-alang umumnya terjadi sebagai akibat perladangan berpindah
atau karena penurunan produktivitas tanahnya sehingga ditinggalkan petani.
Petani peladang berpindah yang dalam kegiatan usaha taninya tidak memperhatikan
prinsip konservasi tanah akan mengakibatkan penurunan kesuburan tanahnya
sehingga lahan menjadi tidak produktif.
Lahan yang demikian biasanya ditinggalkan
menjadi lahan tidur, kemudian petani membuka lahan baru. Lahan yang
ditinggalkan tersebut biasanya ditumbuhi alang-alang menjadi lahan alang-alang
(Sitorus, 2002).
Di Indonesia dikenal tiga sistem peladang
berpindah, yaitu : (1) Peladang berpindah perambah hutan dan bermukim di hutan,
(2) Peladang berpindah perambah hutan tetapi bermukim di luar hutan, (3)
peladang berpindah diluar kawasan hutan dan bermukim diluar Sudharto et al (1992).
Diperkirakan jumlah peladang berpindah di Indonesia lebih dari 20 juta orang
pada luas lahan + 30 juta hektar dan diperkirakan setiap tahun meningkat
2 %. Menurut Dent (1987 dalam Sudharto et al, 1992) diantara negara di kawasan
Asia Pasifik, Indonesia menduduki peringkat pertama dalam perladangan dan
kerusakan hutan, hal tersebut kare4na (1) keadaan sosial ekonomi yang rendah,
(2) kesadaran yang rendah dan (3) adat yang masih memungkinkan untuk merambah
hutan.
Akibat dari peladang berpindah adalah
terjadinya degradasi tanah dan lahan yang ditinggalkan selama masa bera,
ditumbuhi alang-alang atau semak belukar (Sukmana, 1995).
III.
LUAS DAN PENYEBARAN LAHAN ALANG-ALANG
Pertanyaan yang
sering muncul berapa luas lahan alang-alang ?
pertanyaan ini sederhana tapi sulit memperoleh jawaban yang pasti,
karena alang-alang terdapat dalam areal yang kecil pada suatu mosaik vegetasi atau dalam suatu areal
yang luas menutupi tanah.
Garrity et al
(1997 dalam ICRAF, 2000) memperkirakan total lahan alang-alang didaerah asia
tropik sekitar 35 juta Ha atau 4 % dari total lahan. Ini merupakan perkiraan
yang tidak pasti. Angka perkiraan konservatif dihitung sekitar 21 juta Ha.
Angka luas lahan
alang-alang di Indonesia juga tidak ada yang pasti . Ada yang menyebut angka
10,56 juta Ha (Retno Esti Rahayu, 1993). Koesterman menyebutkan et al (1987
dalam Sitorus, 2002) luas lahan alang-alang sekitar 30 juta hektar.
Hasil penelitian
Soekardi et al (1993) dengan menggunakan peta land use/penyebaran alang-alang
dan peta iklim disajikan pada skala 1:2.500.000, dalam setiap satuan fisiografi
dan satuan tanah pada tingkat ordo tertera pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1
Luas Lahan Alang-alang dalam satuan
fisiografi
Satuan Fisiografi Luas
(Ha)
Dataran
gambut 31.250
Dataran
marin 465.375
Dataran aluvial 214.375
Dataran 1.083.750
Volkan 754.250
Karst
541.875
Perbukitan 1.574.275
Pegunungan 2.539.225
Jumlah 7.204.265
Tabel
2
Luas
Lahan Alang-alang dalam satuan tanah (tingkat ordo)
Satuan Tanah
Luas (Ha)
Histosols 31.250
Entisols 528.375
Vertisols 71.150
Inceptisols 5.945.925
Andisols 325.625
Alfisols 100.525
Moltisols 209.375
Ultisols 1.289.375
Oxisols 251.250
Jumlah 9.832.550
Dari Tabel 1 luas lahan alang-alang pada
satuan fisiografi penyebaran terluas pada daerah pegunungan seluas 2.539.225 Ha
(+ 2,5 juta Ha) dan pada dataran
gambut seluas + 31.250 Ha merupakan daratan penyebaran alang-alang
tersempit. Hal ini menggambarkan bahwa usaha pembukaan atau pemanfaatan lahan
pegunungan lebih cenderung dibiarkan setelah dilakukan pembukaan lahan. Sedangkan
dilahan gambut karena suasana selalu basah kurang disukai oleh alang-alang.
Dari Tabel 2 menggambarkan bahwa
alang-alang dapat tumbuh pada semua ordo tanah, karena alang-alang tidak memerlukan
persyaratan khusus untuk tumbuh. Ordo tanah inceptisols, ordo yang paling luas
ditumbuhi alang-alang yaitu 5.945.925
Ha kemudian diikuti ultisols seluas 1.289.375 Ha.
Inceptisols mempunyai sifat sangat beragam
dari segi morfologi, fisika, kimia maupun susunan mineraloginya. Demikian pula
tingkat kesesuaiannya. Penyebarannya terdapat diberbagai satuan fisiografi dan
iklim, kecuali dataran gambut dan rawa-rawa yang jenuh air. Ordo ultisols
tergolong tanah yang miskin hara, masam (KB<35%) dan memiliki bahaya
keracunan almunium serta miskin bahan organik. Kesuburan tanah ini merosot
secara dratis, apabila lapisan kaya bahan organik tersebut tereosi.
Dilihat dari aspek iklim, tumbuhan
alang-alang dapat tumbuh pada berbagai type iklim Schmidt dan Ferguson, yakni
A, B, C, D, E dan F. Penyebarannya terdapat di dataran rendah dengan rejim suhu
tanah panas atau isohipetermik (800 m dpl), maupun dibagian pegunungan dengan
rejim suhu tanah dingin atau isotermik (700-1.800 m dpl) dan ada kecenderungan
tidak terdapat pada rejim suku tanah isotermik. Demikian juga lahan alang-alang
tidak terdapat pada rejim kelembaban sangat basah atau perakuik, dan mungkin
juga pada daerah yang sangat kering atau aridik. Jadi di daerah tropis seperti
di Indonesia alang-alang mempunyai penyuburan dalam kisaran iklim sangat lebar
(Soekardi et al, 1993).
Pada
umumnya alang-alang tumbuh terluas di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali,
NTB, NTT dan Papua. Dengan persyaratan tumbuh alang-alang yang relatif mudah,
alang-alang dapat tumbuh pada berbagai ordo tanah, berbagai bentuk landskap,
ketinggian dari permukaan laut, dan tipe iklim (Sitorus, 2002).
Menurut Loumonier (1992 dalam Soekardi et
al, 1993) membedakan penyebaran lahan alang-alang untuk pulau Sumatera
berdasarkan perbedaan ketinggian tempat dan masing-masing dikelompokan sebagai
berikut :
1.
Padang
rumput ;
2.
Padang
rumput atau paku-pakuan di dataran dan pegunungan ;
3.
Padang
rumput atau semak savana di daratan dan perbukitan ;
4.
Padang
rumput atau semak belukar di dataran dan perbukitan ;
5.
Padang
rumput atau paku-pakuan di daerah gambut.
Jelas bahwa berdasarkan asosiasi tumbuhan
yang berbeda, yang mencerminkan keadaan kelembaban dan suhu serta intensitas
hujan, akan membawa pula perbedaan dalam teknologi penanggulangan dan pemanfaatan
lahan tersebut. Jenis tumbuhan asosiasinya dapat memberikan gambaran atau
indikator untuk jenis usaha tanaman di masing-masing wilayahnya.
IV. POTENSI PEMANFAATAN UNTUK PENGEMBANGAN
TRANSMIGRAN
Berbagai penelitian yang dilakukan terhadap
luas alang-alang yang dapat dimanfaatkan untuk pertanian dan dapat digunakan
untuk pengembangan transmigrasi menghasilkan data yang berbeda. Menurut Satari
et al ( 1977 dalam Sitorus, 2002), dari hasil pengukuran luas
berdasarkan peta tata guna lahan menunjukkan padang alang-alang tersebar luas
di berbagai provinsi Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya seperti
tercantum pada Tabel 3.
Tabel 3
Penyebaran Lahan Alang-alang di Empat Pulau Besar di
Indoensia.
Pulau |
Provinsi |
Luas ( x 1000 Ha ) |
Sumatera |
Nanggroe
Aceh Darussalam Sumatera
Utara Sumatera
Selatan Lampung |
510 1.710 2.310 350 |
Kalimantan |
Kalimantan
Barat Kalimantan
Selatan Kalimantan
Timur |
2.000 380 760 |
Sulawesi |
Sulawesi
Utara Sulawesi
Tengah Sulwesi
Selatan Sulatera
Tenggara |
880 630 930 2.000 |
Papua |
Papua |
2.000 |
|
Jumlah |
14.530 |
Satari, Sadjad dan Soemantri ( 1977 dalam Sitorus, 2002 )
Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Sumardiyono et al ( 1992 ) penyebaran lahan
alang-alang murni ( pure alang-alang ) dan lahan semak belukar dan alang-alang
( Mixture of alang-alang and shrub ), dengan hasil seperti tertera pada Tabel
4.
Tabel 4
Penyebaran
Lahan Alang-alang menurut Kelompok Lahan Alang-alang murni dan Lahan
Alang-alang campuran.
Provinsi |
Lahan Alang-alang Murni (Ha) |
Lahan Semak Belukar dan Alang- Alang ( Ha ) |
Riau Jambi Sumatera Selatan |
64.231 32.525 184.725 |
106.212 22.100 152.400 |
Sub Total |
281.481 |
280.712 |
Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Kalimantan Barat |
435.847 130.400 172.402 361.950 |
100.303 6.950 67.041 - |
Sub Total |
1.100.599 |
174.294 |
Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara |
4.639 26.023 196.875 |
17.319 136.773 70.853 |
Sub Total |
227.537 |
224.945 |
Bali N T B N T T |
1.750 8.650 - |
- - 137.856 |
Sub Total |
10.410 |
137.856 |
Total |
1.620.027 |
817.807 |
Sumber :
Bakosurtanal ( 1998 dalam Sumardiyono et al, 1992 )
Sedangkan luas lahan alang-alang
berdasarkan tiga kelompok kemiringan lereng di empat pulau terbesar tertera
pada tabel 5
Tabel 5
Luas lahan Alang-alang pada tiga
kemiringan lereng di Empat Pulau terbesar di Indonesia
Pulau |
Kemiringan ( % ) |
Jumlah (x 1000 Ha) |
||||
0-3 |
3-8 |
8-15 |
||||
(x 1.000 Ha ) |
||||||
Sumatera Kalimantan Sulawesi Papua |
919 1.552 76 6,25 |
445 994 92 31,35 |
343 939 165 *) |
1.712 3.535 338 37 |
||
JUMLAH |
5,620,5 |
|||||
Sumber : Mulyadi ( 1997 dalam Sitorus, 2002 )
* data tidak
diketahui
Dari data
di atas potensi lahan alang-alang cukup luas untuk digunakan dalam pengembangan
ekstensifikasi (perluasan) areal pertanian dan perkebunan. Program transmigrasi
dapat memanfaatkan lahan alang-alang tersebut yang dari lahan tidak produktif (
lahan tidur ) menjadi lahan produktif.
V. PERMASALAHAN PENGEMBANGAN LAHAN
ALANG-ALANG
Luas lahan alang-alang yang mencapai 9,8
juta hektar dan cenderung dibiarkan tentu ada penyebabnya. Selama ini lahan alng-alng kurang mendapat
perhatian, baik dalam usaha perluasan areal pertanian maupun dalam program
transmigrasi. Satu hal yang tidak dapat
dipungkiri bahwa lahan-alang-alang adalah merupakan lahan tidur tidak produktif
dan luasnya terus bertambah. Lahan
alang-alang merupakan lahan marjinal, oleh karena itu tanpa adanya input
teknologi yang tinggi akan menghasilkan produksi yang rendah dan pendapatan
yang rendah.
Sebelum mengembangkan lahan alng-alang
menjadi lahan yang lebih produktif perlu mengenali permasalahan yang ada di
lahan alang-alang. Tiga aspek yang
menonjol yang ada pada lahan alang-alang yaitu aspek fisik-kimia tanah, aspek
sosial budaya dan aspek kebijakan.
5.1.
Aspek
Fisik-Kimia Tanah
Jenis tanah yang mendominasi di lahan
alang-alang adalah tanah Podsolik Merah Kuning (PMK), seperti Inceptisol, Ultisol
dan Oxisol (Lihat Tabel 2). PMK yang mempunyai akumulasi liat (argilik) atau
kandik pada horizon B sepadan dengan Ultisol.
Tanah ini mempunyai horizon bawah yang padat sehingga mempunyai sifat
fisika tanah yang buruk. Permasalahan
pada Ultisol adalah kasarnya tekstur tanah lapisan atas, sedangkan lapisan
bawah lebih padat.
Selain itu, dengan adanya akumulasi liat
(horizon argilik) di lapisan bawah menyebabkan bobot isi tanah tinggi. Tingginya bobot isi Ultisol menunjukkan
bahwa tanah tersebut padat dan mempunyai aerasi yang buruk yang mengakibatkan
lambatnya gerakan air masuk ke dalam tanah yang dapat memperlambat proses
pengisian air tanah pada daerah perakaran tanaman, sehingga air yang tersedia
bagi tanaman rendah. Walaupun curah
hujan tinggi, apabila daya pegang air tanah rendah, maka pada musim kemarau
tanah akan cepat sekali mengalami kekeringan sehingga air tidak tersedia bagi
tanaman (Sitorus, 2002).
Sifat kimia Ultisol pada umumnya kurang baik,
kesuburan tanahnya rendah dan kandungan Al tinggi. Menurut Adiningsih dan Mulyadi (1992), sifat Ultisol pada lahan
alang-alang mempunyai tingkat kendala sifat kimia yang buruk sehingga kesuburan
tanah rendah. Hal ini dicirikan dengan
sangat miskinnya hara terutama fosfat dan kation-kation dapat ditukar seperti
Ca, Mg dan K. reaksi tanah masam dan
sebagian disertai kadar Al tinggi sehingga dapat meracuni tanaman. Kadar bahan organik rendah, KTK tanah rendah
dan peka terhadap erosi.
Rendahnya bahan organik tanah dan unsur
hara antara lain disebaqbkan seringnya pembukaan lahan dengan cara pembakaran
oleh petani sehingga bahan organik dan unsur hara lainnya cepat hilang karena
tercuci oleh aliran oermukaan (Sitorus, 2002).
Pada umumnya juga lahan alang-alang
terdapat pada lahan kering. Faktor
pembatas utama pada lahan kering untuk pertanian adalah ketersediaan air. Oleh sebab itu, lahan kering merupakan lahan
yang dapat digunakan untuk usaha pertanian dengan mengunakan air terbatas dan
biasanya mengharapkan dari curah hujan.
Lahan alang-alang memiliki kondisi agroekosistem yang beragam, umumnya
berlereng dengan kondisi kemantapan lahan labil (peka erosi) terutama bila
pengelolaannya tidak memperhatikan kaedah konservasi tanah. Pemanfaatan lahan kering untuk pertanian
sering menemui banyak kendala yang berhubungan dengan sifat tanahnya yang
buruk. Menurut Hakim et al
(1994 dalam Tjokrokusumo dan Sudaryono, 2002) kendala uatama dalam pemanfaatan
lahan kering untuk kegiatan pertanian adalah rendahnya kandungan bahan organik
tanah dengan daya pegang air yang rendah, sehingga air tanah tidak tersedia
bagi tanaman.
5.2.
Aspek
Sosial-Budaya
Lahan alang-alang merupakan lahan yang
sebelumnya merupakan lahan hutan. Lahan ini dibuka dan digunakan untuk usaha pertanian
kemudian lahan tersebut ditinggalkan. Petani yang mengusahakan lahan tersebut
merupakan peladang berpindah. Para peladang berpindah ini guna menghasilkan
bahan pangan, mereka menebang hutan membakar sisanya, menyiapkan lahan tersebut
untuk ditanamai dengan berbagai tanaman yang mereka kehendaki. Cara pertanian
seperti ini sangat sederhana, biasanya mereka melakukan pembukaan hutan
ditempat yang telah dibuka pertama kali,dalamsatu periode, dapat mencapai puluhan
tahun.
Selama lahan tersebut ditinggalkan umumnya
kondisi tanah mengalami penurunan (degradasi), erosi meningkat dan
produktivitas tanah menurun. Akibatnya gulma yang terdiri alang-alang dan
tanaman semak lainnya mulai tumbuh. Karena tumbuhan alang-alang sangat cepat
tumbuh, tumbuhan ini mendominasi lahan tersebut dan tanaman lain sulit tumbuh.
Walaupun lahan alang-alang tidak digunakan
lagi, pada umumnya secara hukum adat ada pemiliknya. Setiap orang, yang sebagai
orang pertama menjamah hutan belantara kemudian membukanya, maka secara hukum
adat menjadi pemilik lahan tersebut. Lama kelamaan lahan semacam itu meluas dan
sekarang terdapat berjuta-juta hektar lahan alang-alang yang menyebar dihampir
semua pulau di Indonesia.
Kebanyakan lahan alang-alang telah
digunakan dan dikuasai oleh masyarakat setempat. Kadang-kadang timbul konflik antara petani lokal yang sudah
menggunakan lahan tersebut dengan orang lain yang akan meubahnya. Oleh karena itu harus jelas dan dipertegas
masalah status lahan alang-alang.
Menurut Friday et al (2000), kelompok masyarakat yang harus diajak
berbicara dalam masalah lahan alang-alang antara lain adalah kelompok laki-laki
dan perempuan, kelom[pok etnik, kelompok kaya dan miskin, kelompok tua dan
muda, kelompok pribumi dan pendatang baru serta kelompok pemilik lahan dan yang
tidak memiliki lahan. Selai itu harus
disadari sepenuhnya oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, bahwa upaya
untuk memanfaatkan lahan alang-alang yang telah meluas tersebut banyak
mengalami hambatan. Hal ini sangat
membutuhkan dukungan dan perhatian pemerintah maupun lembaga-lembaga
internasional yang sangat perhatian terhadap pelestarian fungsi hutan. Permasalahan yang dihadapi untuk
merehabilitasi lahan alang-alang menjadi areal pertanian yang produktif adalah
pendanaan dan pembuktian kepada masyarakat lokal bahwa secara ekonomis alih
guna lahan alang-alang menjadi areal pertanian yang sangat menguntungkan.
Oleh karena itu, untuk mengembangkan lahan
alang-alang agar aspek sosial budaya perlu diperhatikan karena masalah tanah
merupakan isu yang sangat sensitif.
5.3.
Aspek
Kebijakan
Mengingat luas lahan alang-alang mencapai
9,8 juta hektar dan tersebar di seluruh provinsi, sudah saatnya pemerintah
memanfaatkan lahan alang-alang ini menjadi lahan yang lebih produktif. Bila dibanding dengan pembukaan areal baru
pemanfaatan lahan alang-alang jauh lebih murah.
Dihadapkan dengan permasalahan jumlah dan
laju pertumbuhan penduduk, maka kebutuhan pangan terus meningkat, seperti
kebutuhan padi, jagung, kacang tanah, kedelei dan kacang hijau.
Import
beras Indonesia rata-rata 2 juta ton setiap tahun, terbesar nomor satu di
dunia. Import gula rata-rata 1,4 juta
ton setiap tahun, terbesar nomor dua di dunia.
Import jagung rata-rata 1,5 juta ton setiap tahun dan import kedelei telah
mencapai 1,35 juta ton pada tahun 2001 (Yodohusodo, 2002). Jumlah impor pangan yang sangat besar
tersebut telah menguras devisa negara yangsangat besar. Sebagai ilustrasi nilai import bahan pangan
Indonesia pada tahun 2000 telah menghabiskan devisa negara sebesar 1.475 juta
US $ (Harian Kompas, 11 Juni 2002 dalam Yodohusodo, 2002).
Oleh
karena itu sudah waktunya pemerintah menetapkan kebijakan peningkatan
produktivitas pemanfaatan lahan alang-alang yang sangat luas menjadi isu
kebijakan strategis dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian sehingga
pengadaan pangan nasional lebih terjamin.
Pemanfaatan
lahan alang-alang tidak membuka areal hutan karena akan memberi dampak negatif
terhadap kualitas lingkungan. Menurut kesepakatan pemerintah RI dengan
IMF dalam Letter of Intent tahun 2001 tidak ada lagi konversi kawasan hutan
menjadi penggunaan lain.
Pengembagan lahan alang-alang bisa lebih
cepat karena di daerah lahan alang-alang fasilitas dan infrastruktur dasar pada
umumnya telah tersedia.
VI.
PENGELOLAAN LAHAN ALANG-ALANG
Bila hendak
memanfaatkan lahan alang-alang maka tahap pertama yang dilakukan adalah
pemberantasan tumbuhan alang-alang.
Pemberantasan yang disarankan adalah dengan cara biologik, yaitu
penanaman tanaman penutup tanah seperti Calopogium muconoides (toleran
terhadap tanah-tanah miskin) dan atau Centrosema pubescens (kurang baik
untuk tanah rawa dan tanah miskin; memerlukan pemupukan).
Pemberantasan
dengan cara pembakaran tidak disarankan, karena abu hasil pembakaran mudah
tererosi bila turun hujan (Sitorus, 2002).
Demikian juga pemberantasan alang-alang dengan cara mekanik kurang
disarankan. Karena biaya yang
dikeluarkan lenih mahal. Namun dalam
hal-hal yang mendesak metoda pemberantasan dengan cara pembakaran dan mekanik
dapat dilakukan asalkan memperhatikan kondisi linkungannya.
Meskipun
pembukaan lahan melalui pembakaran mempunyai banyak kerugian, cara ini banyak
dilakukan oleh masyarakat karena lebih murah, cepat dan mudah.
Lahan alang-alang
bukanlah lahan yang tidak berguna sama sekali.
Seringkali lahan alang-alang adalah milik masyarakat setempat yang
merupakan bagian dari sistem penggunaan lahan, misalnya padang pengembalaan
atau peladang berpindah. Penggunaan
lahan semacam ini sangat penting bagi petani yang kehidupannya tergantung pada
lahan tersebut, meskipun tidak bisa memberikan penghasilan yang cukup..
Rehabilitasi lahan alang-alang akan menarik masyarakat setempat apabila mereka
yakin bahwa perubahan sistem penggunaan lahan dapat meningkatkan produksi dan
penghasilan mereka.
Rehabilitasi
lahan alang-alang akan berhasil dan diterima baik oleh masyarakat setempat bila
memenuhi beberapa langkah-langkah antara lain petani yang akan melakukan
rehabilitasi alang-alang harus memiliki kejelasan dan kepastian akan tanaman
yang akan dikembangkan dan lahannya, transportasi dan jalan menuju pasar harus
memadai, masyarakat setempat harus bekerjasama dalam pencegahan kebakaran. Dengan demikian rehabilitasi lahan
alang-alang yang mengikutsertakan masyarakat setempat lebih menjamin mereka
bahwa perubahan sistem penggunaan lahan dapat meningkatkan produksi dan
penghasilan mereka.
Keberhasilan
pembangunan pertanian di lahan-lahan alang-alang memerlukan adanya masukan
teknologi produksi melalui: (1) pemberian bahan amelioran untuk memperbaiki
kondisi tanah seperti kapur, pupuk N,P,K dan bahan organik, (2) pengaturan pola
tanam, penggunaan komoditi yang paling menguntungkan, penggunaan teknologi
tepat guna yang sesuai dengan kondisi fisik, sosial dan ekonomi daerah, (3)
penggunaan sistem usahatani terpadu dengan memadukan tanaman pangan, tanaman
tahunan dengan usaha peternakan.
VII.
KESIMPULAN
Beberapa
kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian terdahulu adalah sebagai berikut :
1.
Lahan
alang-alang yang mencapai luas 9,8 juta hektar merupakan alternatif dalam
pengembangan perluasan areal pertanian dan program transmigrasi. Bila 30% saja dari luas tersebut maka seluas
2,96 juta hektar yang dapat dimanfaatkan untuk program transmigrasi.
2.
Lahan ini
merupakan lahan marjinal memiliki sifat fisik, kimia dan biologik yaang jelek,
untuk memanfaatkannya diperlukan perbaikan kondisi tanah melalui pemberian
amelioran.
3.
Walaupun
lahan alang-alang sebagai lahan tidur, namun secara sosial sudah ada pemiliknya
oleh karena itu bila akan memanfaatkan lahan tersebut aspek sosial harus
diperhatikan.
4.
Pemerintah
melalui Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi agar mengarahkan kebijakannya
untuk memanfaatkan lahan alang-alang untuk pengembangan program transmigrasi
tanpa harus menggunakan areal hutan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
1997. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian, Direktorat Jenderal
Pemberdayaan Sumberdaya Kawasan Transmigrasi Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi.
Adiningsih, J.S.
dan M. Mulyadi. 1992. Alternatif teknik rehabilitasi dan pemanfaatan lahan
alang-alang. Dalam PPT (ed). Pemanfaatan lahan alang-alang untuk usahatani
berkelanjutan. Bogor.Prosiding.Seminar lahan alang-alang. Bogor, 1 Desember 1992.
ICRAF. 1999.
Rehabilitasi Padang Alang-alang menggunakan agroforisteri dan Pemeliharaan
pemudaan alam. ICRSF. Bogor.
ICRAF. 2000. Reclamation of Imperata Gres Land
using Agroforesty. ICRAF. Bogor.
Koestermans,
A.J.G.H, S. Wirjaharja, and R.J. Dekker. 1987. The Weeds : description, acology
and control. In M. Soerjani.(ed) Weeds of rice in Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. p.24-565.
Tjokrokusumo, S.W. dan Sudaryono. 2002. Penerapan teknologi tanah lingkungan dalam
pengembangan transmigrasi berbasis pertanian di lahan alang-alang. Pertemuan
jejaring kelembagaan tingkat komunitas pusat, Provinsi dan Kabupaten di
Direktorat Bina Cipta Keserasian Lingkungan, Ditjen PSKT. Jakarta. 2002.
Sitorus, S.R.P.2002. Pemanfaatan
lahan alang-alang untuk penggunaan pertanian dan transmigrasi. Makalah pada Pertemuan Koordinasi Lintas Sektor
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2002. Jakarta.
Sudharto,
T., H. Suwardjo, D. Erfandi dan T. Budyastro. 1993. Permasalahan dan penanggulangan lahan alang-alang. Dalam PPT (ed).
Pemanfaatan lahan alang-alang untuk usahatani berkelanjutan. Prosiding. Seminar lahan alang-alang. Bogor,
1 Desember. 1992.
Sukardi,
M., Retno dan Hikmatullah. 1993. Inventarisasi dan karakteristik lahan
alang-alang dalam PPT (ed). Pemanfaatan lahan alang-alang untuk usaha tani
berkelanjutan Prosiding. Seminar lahan alang-alang. Bogor, 1 Desember 1992.
Sukmana, S. 1995. Dampak pertanian tebas
bakar terhadap sumberdaya tanah. Dalam
ASB (Ed). Metodologi participatory rural appraisal (PRA). ASB Bogor.
Yudohosodo, S. 2002. Paradigma baru transmigrasi di
era otonomi daerah. Serasehan nasional
transmigrasi. 2002. Jakarta.