© 2003 Program Pasca Sarjana IPB Posted:
19 April 2003
Makalah
Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Dosen:
Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng
Dr Bambang Purwantara
Pemeliharaan Sungai Sebagai Salah Satu
Upaya Mengatasi
Problema Banjir di DAS Ciliwung Hilir
Kelompok V
Yayat Hidayat A262020011/DAS
Hari Siswoyo A262020021/DAS
Agus Zaenal A262020031/DAS
Trihono Kadri A262020041/DAS
Rajulaini A262020051/DAS
Andi Masnang A262020061/DAS
Sejalan dengan
perkembangan masyarakat di wilayah daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung, maka
berbagai tatanan kehidupan berubah dengan cepat mengikuti berbagai kebutuhan
masyarakat. Salah satu dampak dari perubahan tersebut ialah pola pemanfaatan sumber daya alam yang berada disekitar
masyarakat. Keinginan untuk memanfaatkan sumber daya alam semaksimal mungkin,
umumnya kurang memperhatikan dampak yang akan muncul dikemudian hari. Selain
itu perkembangan penduduk dan pemukiman akan mendesak pola penggunaan lahan di
wilayah hulu berubah yang biasanya dikonversi dari penggunaan lahan pertanian
ke non-pertanian.
Hariyadi (1988)
mengemukakan tingkat pertambahan penduduk yang begitu pesat, sebaliknya luas
DAS relatif tetap tidak mengalami perubahan, ditambah lagi dengan faktor
kemiskinan penduduk yang mengakibatkan semakin meningkatnya perubahan
penggunaan lahan yang pada umumnya kurang memperhatikan faktor konservasi tanah
dan air dalam pengelolaannya. Pemanfaatan potensi DAS baik sumber daya lahan
maupun sumberdaya air yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi akan
mengakibatkan degradasi terhadap kondisi DAS.
Pesatnya pembangunan membutuhkan sumber daya
alam yang sangat besar. Sering pula terlihat bahwa dalam pembangunan terjadi
pengelolaan terhadap penggunaan sumber daya alam yang berlebihan, hal tersebut
dapat mengakibatkan terganggunya keseimbangan tata air dan turunnya kemampuan
tanah produksi lahan yang tergambar dengan menurunnya aliran rendah, naiknya aliran maksimal, dan naiknya hasil
air tahunan, selain itu juga akan meningkatkan tingkat erosi dan sedimentasi (
Ilyas dan Effendy, 1993).
Berbagai dampak akan
terjadi sebagai akibat pemanfaatan sumber daya alam yang kurang seimbang, salah
satu dampak yang terjadi di wilayah DAS Ciliwung ialah terjadinya banjir
sebagai akibat air hujan yang melimpah memasuki wilayah Jakarta dari arah hulu
sedangkan bagian utara adalah daerah pantai yang kemiringannya tidak cukup
untuk mengalirkan air laut dengan lancar sehingga menimbulkan genangan.
Secara
hidrologis DAS didefinisikan sebagai daerah yang dibatasi oleh punggung
topografi, sehingga air yang jatuh akan
mengalir melalui satu titik pengamatan. Dalam suatu sistem hidrologi DAS berlaku sistem masukan dan keluaran. DAS
berfungsi “processor” dimana masukannya adalah curah hujan dan energi,
sedangkan keluarannya adalah debit aliran sungai, sedimen, dan lain-lain. DAS
juga merupakan salah satu bentuk ekosistem yang terbagi ke dalam wilayah hulu,
tengah dan hilir. Wilayah hulu
didominasi oleh kegiatan pertanian lahan kering dan hutan, sedangkan di wilayah
hilir didominasi oleh lahan sawah dan pemukiman.
Sementara itu pengelolaan DAS merupakan suatu kegiatan yang menggunakan dan atau memanfaatkan semua sumber daya alam/ biofisik untuk memberikan hasil yang optimal bagi kesejahteraan masyarakat yang tinggal dalam DAS tersebut ( stake holder ) dalam waktu yang tidak terbatas ( sustainable ) dengan menekan seminimal mungkin kemungkinan terjadi kerusakan atau degradasi fungsi hidrologi DAS tersebut.
Suatu
kegiatan pengelolaan DAS dipantau dan dievaluasi, untuk mengetahui sejauh mana
dampak positif dari kegiatan tersebut. Secara hidrologis, suatu pengelolaan DAS
dapat dikatakan telah memberikan dampak positif apabila parameter-parameter
hidrologi yang diamati pada keluaran dari suatu DAS menunjukkan kecenderungan
sebagai berikut ( Asdak, 2002, Hariyadi, 1988; Purwanto, 1992):
1.
Perbandingan
antara debit maksimum bulan dan debit minimum bulan dalam satu tahun,
menunjukkan kecenderungan menurun.
2.
Unsur utama
hidrograf aliran sungai menunjukkan :
a.
Waktu mencapai
puncak semakin lama,
b.
Waktu dasar
semakin panjang,
c.
Debit puncak
menurun.
3.
Volume aliran
dasar dan koefisien resesi semakin meningkat .
4.
Koefisien
limpasan sesaat dan tahunan menurun.
5.
Muatan sedimen
yang merupakan jumlah seluruh muatan yang terdiri dari muatan dasar, muatan
suspensi, dan padatan terlarut menunjukkan kecenderungan menurun.
6.
Kandungan unsur
kimia dan hara di dalam perairan sungai yang merupakan hasil proses biogeokimia
di dalam DAS menunjukkan kecendurungan menurun.
Dari beberapa laporan dan evaluasi di Indonesia banyak ditemui DAS yang dalam kondisi kritis atau mengalami degradasi. Beberapa indikator terjadi proses degradasi DAS secara menyeluruh dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Penurunan produksi dari DAS yang sifatnya menurunkan kesejahteraan masyarakat yang mengantungkan hidupnya pada DAS tersebut, seperti petani, peternak, dan lain sebagainya;
2. Perubahan terhadap fungsi hidrologi DAS seperti besarnya fluktuasi aliran sungai atau perbedaan antara debit maksimal dan minimal;
3. Peningkatan laju erosi lapisan tanah yang diikuti dengan perubahan terhadap biofisik dan biokimia tanah;
4. Perubahan terhadap keseimbangan ekosistem di dalam DAS dan juga di daerah keluaran yang dipergaruhi DAS tersebut.
Konsep dasar pengelolaan DAS yang baik bertujuan untuk mempertahan kan keberadaan sumber daya yang ada termasuk sumber daya air di DAS tersebut secara berkelanjutan. Tujuan tersebut pada umumnya di Indonesia belum dapat dicapai secara optimal mengingat berbagai masalah yang komplek dalam pengelolaan DAS antara lain :
2.
Pertambahan
penduduk yang meningkat tajam sehingga menurunkan daya tampung DAS tersebut;
3.
Kemiskinan atau
pendapatan rendah yang mengakibatkan tidak terkontrolnya aktivitas masyarakat
pengelolaan DAS yang umumnya lebih berorientasi pada tujuan jangka pendek;
4.
Perencanaan dan
pengaturan tata ruang DAS yang kurang mempertimbangkan fungsi hidrologis DAS;
5.
Pengelolaan DAS
yang bersifat manajerial maupun implementasi oleh masyarakat pengguna belum
mengikuti pola pengelolaan DAS yang berkesinambungan;
6.
Koordinasi
antar kelembagaan yang ada belum optimal untuk pengelolaan DAS secara terpadu;
7. Perangkat hukum belum sepenuhnya memadai untuk menjaga kelestarian DAS.
Degradasi DAS Ciliwung
DAS Ciliwung
merupakan salah satu DAS erbesar yang berada dicakupan wilayah Jabodetabek. DAS
tersebut yang secara langsung akan mempengaruhi kesetimbangan air di wilayah
Jabodetabek. Secara keseluruhan bentuk DAS Ciliwung menyerupai bulu burung.
Karakteristik bentuk tersebut menyebabkan DAS seperti ini mempunyai debit
banjir relatif kecil karena waktu konsentrasi dari masing-masing anak sungai di
kiri–kanannya berbeda-beda. Akan
tetapi apabila terjadi banjir, maka kejadian banjir tersebut akan berlangsung
lama. Keadaan ini akan diperburuk
apabila kemampuan resapan daerah tangkapan airnya telah menurun drastis.
Sebagai satu kesatuan sistem tata
air, pembahasan DAS Ciliwung tidak dapat dipisahkan dengan DAS Cidasane dan
beberapa DAS kecil lain yang mempengaruhi wilayah Jabodetabek. Akan tetapi
untuk memfokuskan pembahasan, pada tulisan ini akan lebih banyak dibahas DAS
Ciliwung.
Hulu sungai Ciliwung berasal dari Desa Tugu yang mengalir melalui kota Bogor dan Jakarta dan bermuara di teluk Jakarta. Panjang sungai tersebut sampai ke pintu Manggarai adalah 117 km dengan rata-rata kemiringan dari daerah hulu (2908 mdpl) sampai ke Manggarai (6 mdpl) sebesar 24,8%. Kemiringan sungai Ciliwung tergolong tinggi bila dibandingkan dengan kemiringan sungai lainnya seperti kali Pesanggarahan (0,26%), kali Krukut (0,29%), kali Sunter dan sungai Cipinang. Tingginya kemiringan sungai Ciliwung menyebabkan percepatan aliran permukaan dan aliran sungai yang tinggi dari daerah hulu ke hilir.
Secara garis besar penggunaan lahan DAS Ciliwung hulu dan tengah dibedakan menjadi 3 tipe penggunaan yaitu hutan, pertanian, dan non pertanian (pemukiman industri, perdagangan dan lain-lain). Di wilayah hulu komposisi penggunaan lahan tersebut terdiri dari hutan (29%), pertanian (64%) dan non-pertanian (7%). Sedangkan di wilayah tengah hanya terdiri dari penggunaan pertanian sebesar 73% dan non-pertanian sebesar 27%. Dengan demikian di wilayah tengah sudah tidak dijumpai hutan.
DAS Ciliwung hulu dan tengah mempunyai curah
hujan yang sangat tinggi dengan
rata-rata tahunan (1987-1996) masing-masing sebesar 4058 mm untuk wilayah hulu
dan 3286 mm untuk wilayah tengah.
Curah hujan tersebut terdistribusi merata sepanjang tahun sehingga tidak
ditemukan bulan kering (curah hujan bulanan < 100 mm). Sebaliknya di wilayah hilir curah hujannya
relatif rendah sebesar 1669 mm dan dijumpai 6 bulan kering dari Mei sampai
September. Mengacu pada indikator di atas, DAS Ciliwung Hulu tergolong DAS yang
mendekati kritis dengan nisbah debit maksimum-minimum bulanan mendekati 30.
Sedangkan DAS Ciliwung Tengah sejak tahun 1992 telah tergolong sangat kritis,
karena fluktuasi debit alirannya sangat fluktuatif.
Indikator lain ialah besarnya laju erosi yang terbawa ke hilir yang mengakibatkan terjadi sedimentasi di saluran drainase di hilir. Besarnya laju erosi ditunjukkan pada hasil beberapa penelitian yang mengatakan bahwa laju erosi di DAS ciliwung hulu telah mendekati ambang Toleransi erosi sebesar 1,12 – 13,45 ton/ha/tahun (Arsyad, 2000). Ambang toleransi ini ditentukan berdasarkan berbagai faktor pada sistem pengelolaan tanah.
Permasalah sedimentasi di saluran drainase ini diperparah dengan adanya tambahan limbah padat ( sampah ) yang masuk di badan air yang menurut data Dinas Kebersihan DKI tahun 2002 diperkirakan 2 % limbah padat yang berada di DKI Jakarta terbuang ke badan air.
Untuk mencegah terjadi degradasi DAS perlu dilakukan upaya terpadu di daerah hulu maupun hilir. Penanganan konservasi lahan di daerah hulu merupakan prioritas utama agar dapat mencegah terjadi degradasi DAS lebih lanjut. Teknologi konservasi lahan yang dapat diterapkan menurut WOCAT (World Overview of Conservation Approach & Technology ) dibedakan menjadi empat jenis teknologi yaitu agronomi, vegetasi, struktur dan manajemen. Keempat metoda ini dapat dilaksanakan secara terpisah akan tetapi dapat di lakukan kombinasi.
Melihat indikator degradasi DAS Ciliwung di
atas metoda konservasi haruslah mencakup berbagai metoda untuk masing-masing
unit sub wilayah peruntukan dalam DAS seperti di daerah hutan, petanian,
perkebunan, pemukiman, dan lain-lain.
Setiap unit sub wilayah peruntukan membutuhkan penanganan dengan
teknologi khusus agar dapat mereduksi
terjadi erosi dan sekaligus meningkatkan fungsi hidrologi DAS.
Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam
pendekatan penanganan DAS ialah aspek sosial masyarakat dengan melibatkan
masyarakat sebagai stake holder
mengunakan pendekatan partisipatif. Pendekatan ini dimaksudkan agar
masyarakat dapat menerima, menerapkan, mengelola, dan mengembangkan sendiri
teknologi tersebut atau dengan kata lain meningkatkan akseptibilitas masyarakat
terhadap teknologi konservasi yang diterapkan.
Disisi lain aspek ekonomis juga perlu
mendapat perhatian khusus seperti perlunya tidaknya “downstream-upstream
sharing” untuk mendukung kesinambungan dari pelaksanaan konservasi sumber daya
air.
Berbagai dampak yang terjadi sebagai akibat
degradasi DAS Ciliwung telah diuraikan secara umum di atas, salah satu dampak
yang dirasakan masyarakat hilir secara
langsung dan merupakan bencana akhir-akhir ini ialah banjir dan kekeringan.
Degradasi DAS menjadi salah satu pemicu terjadi banjir karena secara langsung
akan mempengaruhi, salah satu sebab ialah menurunnya kapasitas alir dan tampung
saluran drainase di daerah hilir.
Salah satu indikasi awal makin menurunnya
kemampuan sungai-sungai dan sistem drainase di wilayah Jabodetabek ialah jika
membandingkan banjir yang terjadi pada tahun 1996 dan tahun 2002. Dengan
mengabaikan sementara data hujan yang terjadi di DKI Jakarta, berdasarkan
analisa hidrologi di bendung Katulampa pada tahun 1996 tercatat terjadi debit
614 m3/dt sementara itu pada tahun 2002 tercatat debit 525,5 m3/dt,
akan tetapi dampak banjir yang terjadi pada tahun 2002 lebih besar dibandingkan
tahun 1996.
Pertimbangan tersebut di atas yang mendorong perlunya dilakukan pemeliharan sungai-sungai di wilayah DAS Ciliwung sejalan penanganan konservasi di daerah hulu. Pemeliharaan sungai-sungai dilaksanakan secara berkala seiring dengan penanganan konservasi tanah dan air di hulu sungai. Secara rinci pemeliharaan sungai-sungai dijabarkan pada bagian berikutnya.
Pemeliharaan sungai-sungai pada dasarnya bertujuan untuk mempertahankan kapasitas alir dan kapasitas tampung dari semua sistem tata air sungai yang berada di daerah pengaliran sungai seperti sungai, situ, waduk, saluran drainase beserta semua bangunan air yang terdapat pada sistem tersebut. Di wilayah Jabodetabek mengalir 13 sungai utama yang masing-masing mempunyai DAS masing-masing.
Perubahan terhadap pola pengaliran dari sungai alam menjadi bagian drainase ini dan berinterkoneksi antar sungai lain akan mengubah pola perilaku aliran dan sekaligus juga merubah pola transportasi sedimen dalam sungai tersebut. Mengingat sebagian besar saluran drainase berada di daerah cekungan, maka secara tidak langsung akan meningkatkan proses sedimentasi pada saluran-saluran drainase dan sungai-sungai yang telah berubah fungsi kedalam sistem drainase kota Jakarta.
Penurunan terhadap penampang basah sungai akibat proses sedimentasi di dasar sungai ditambah dengan permasalahan pemukiman liar yang berdiri di bantaran sungai yang secara langsung akan mengurangi kapasitas alir dari sungai. Besarnya sedimentasi yang terjadi di saluran dapat ditunjukkan hasil pengamat sementara Andreanov dan Trihono (2003) bahwa laju suspensi sedimen harian rata-rata pada bulan November, Desember 2002 dan Januari 2003 di pintu air Manggarai sebesar 46.796 ton/ hari pada debit aliran rata 11,642 m3/dt. Hasil pengamatan menunjukkan laju sedimen layang mempunyai korelasi yang kuat dengan debit aliran. Penelitian lain yang didasarkan pada pengambilan sedimen layang sungai Batubeulah Cisadane tahun 1986 (Joesron Lubis, 1993) menunjukkan laju sedimen layang harian rata-rata sebesar 290.272 ton/hari pada debit aliran rata-rata 89,86 m3/dt. Walaupun belum dilakukan penelitian secara rinci berapa persen sedimen yang akan mengendap di badan air, namun dari data di atas mengambarkan betapa besar problema sedimentasi yang akan terjadi dikemudian hari.
Seperti yang diuraikan di atas, sampah menjadi salah satu penyebab atau mempercepat terjadi pendangkalan sungai-sungai. Dari hasil pengamatan pengerukan di Sungai Sunter dan Banjir Kanal Barat di muka pintu air Manggarai ternyata komposisi sampah hampir mencapai 40-60 % dari hasil pengerukan, bahkan ditemui sejumlah puing yang sengaja dibuang oleh masyarakat kedalam sungai. Hal ini menunjukkan selain dari sedimentasi akibat erosi tanah dihulu, masalah sampah perlu mendapat perhatian secara khusus, karena jumlah volumenya sangat besar.
Pemeliharaan Sungai-Sungai
Pemeliharaan sungai dibagi dalam dua bagian besar, yang pertama ialah pemeliharaan terhadap bangunan pengendali banjir yaitu bangunan yang berfungsi untuk pengaturan aliran air. Pemeliharaan terhadap bangunan pengatur aliran seperti bendung, pintu air, pengarah arus, dan lain-lain dimaksudkan agar bangunan tersebut dapat berfungsi dengan baik pada saat diperlukan. Sebagai contoh kasus terjadinya banjir akibat kerusakan pintu air dari pemukiman yang telah diproteksi dengan tanggul. Semula tanggul dimaksudkan untuk menghindari limpasan air sungai akan tetapi pada saat banjir justru pintu air tersebut menjadi jalan masuknya air dari sungai karena tidak dapat berfungsi dengan baik akibat kurangnya pemeliharaan. Pemeliharaan terhadap bangunan pengaturan air perlu dilaksanakan secara rutin agar dapat siap berfungsi pada saat diperlukan. Pemeliharaan bangunan pengendali banjir dapat dilakukan oleh Dinas yang terkait atau melibatkan partisipasi masyarakat yang berada di daerah permukiman.
Kedua, pemeliharaan saluran pengendali banjir atau saluran drainase untuk mempertahankan kapasitas alir dan tampung sungai-sungai dan atau saluran drainase sebagai satu kesatuan sistem dengan bangunan pengendali banjir. Seperti yang diuraikan di atas berkurangnya kapasitas alur dan tampung disebabkan oleh tumbuhnya pemukiman liar di bantaran sungai, pengendapan sampah, dan sedimen hasil erosi di hilir.
Penyelesaian masalah pemukiman liar di bantaran merupakan problema khusus dan membutuhkan pendekatan sosial masyarakat, untuk itu diperlukan waktu serta anggaran biaya yang memadai. Masalah ini tidak dapat secara langsung dimasukan kedalam pemeliharaan rutin akan tetapi harus ditangani secara khusus dengan melibatkan berbagai instansi yang terkait.
Penyempitan kapasitas sungai akibat adanya endapan sampah dan sedimen dapat dilakukan dengan dua hal yaitu pengelontoran secara rutin dan pengerukan. Pengelontoran dapat dilakukan apabila sistem drainase mempunyai kemiringan yang memadai sehingga air dapat mengalir secara grafitasi, sehingga endapan dapat terbawa aliran ke arah muara. Sebagian besar sistem drainase di Jakarta berada di daerah cekungan, sehingga prinsip pengelontoran kurang efektif secara efektif bekerja untuk membersihkan sungai-sungai dan sistem drainase di kota Jakarta. Selain itu perlu diperhatikan ekosistem daerah muara yang akan menerima berbagai limbah padat di sepanjang sungai.
Pengerukan merupakan pekerjaan yang bertujuan mengeluarkan material padat dari sungai atau saluran drainase. Pengeluaran material ini dimaksudkan untuk mengembalikan penampang sungai sesuai dengan kapasitas rencana sungai atau bahkan memperbesar kapasitas alir apabila memungkinkan. Mempelajari jumlah sedimentasi yang terjadi setiap tahunnya di sungai-sungai sebagai akibat erosi di daerah hulu dan juga sampah yang masuk ke badan air, maka pekerjaan pengerukan harus dilakukan secara berkala pada jangka waktu tertentu berdasarkan hasil survey di lapangan.
Pemeliharaan
sungai akan lebih optimal jika didukung suatu sistem informasi sungai yang
terpadu, sistem ini berbasis GIS dan
memberikan informasi kondisi setiap
segmen/ potongan sungai sebagai fungsi dari waktu. Melalui sistem informasi ini
dapat secara rutin dipantau kondisi sungai dengan kapasitas alirnya, sehingga
dapat diketahui waktu yang tepat melakukan pengerukan sungai. Untuk mendukung
sistem ini perlu dilakukan inventarisi awal terhadap seluruh kondisi sungai
yang ada.
Beberapa
hal lain yang perlu diperhatikan pada pekerjaan pengerukan sungai dan saluran ialah hasil buangan/
kerukan diletakan atau dibuang di tempat (disposal area) tepat agar tidak
merusak ekosistem dan tidak kembali ke
badan air akibat hujan atau aktivitas manusia lain. Selain itu juga pada
pelaksanaannya pengerukan sebaiknya dilakukan secara menyeluruh dari hilir ke
hulu atau tidak dilakukan dalam segmen-segmen sungai pendek-pendek untuk
menghindari terjadinya perataan sedimen dan back water curve akibat belum
tuntasnya keseluruhan sistem sungai tersebut. Pengaturan waktu dan urutan
pengerukan setiap segmen dalam satu sungai perlu memperhatikan pola perilaku
aliran dan sedimentasi sungai tersebut.
Degradasi DAS akan mengakibatkan
ketidakseimbangan fungsi hidrologi suatu DAS dan terjadi proses erosi yang
cukup tinggi. Kedua dampak tersebut
akan memberikan permasalahan terhadap sistem pengendali banjir yang ada
di daerah hilirnya yaitu dengan terjadinya proses sedimentasi di sungai-sungai
dan saluran drainase yang akan menurunkan kapasitas alir dan tampung.
Untuk mengembalikan kapasitas alir sungai
dapat dilakukan pengelontoran dan pengerukan secara rutin seiring dengan
penangganan masalah sampah serta mengatasi sumber permasalahan sedimen di hulu
dengan melakukan konservasi tanah dan air.
Andreanov
dan Trihono. 2003. Pengamatan Debit Sedimen Suspensi pada Aliran di Pintu
Air Manggarai Jakarta, Laporan penelitian Jurusan Teknik Sipil Universitas
Trisakti.
Asdak,
C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Arsyad S. 2000.
Konservasi Tanah dan Air.
Bogor, Intitut Pertanian Bogor.
Hariyadi,
R. 1988. Model Pengukuran
Keberhasilan Pengelolaan DAS Ditinjau dari Pendekatan Hydro Ekologis.
Makalah Simposium Model Hidrologi Rekayasa dan Lingkungan Untuk Perencanaan
Regional dan Perancangan. Bandung, 17-18 Maret 1988.
Hariyadi,
R. 1988. Model Pengukuran
Keberhasilan Pengelolaan DAS Ditinjau dari Pendekatan Hydro Ekologis.
Makalah Simposium Model Hidrologi Rekayasa dan Lingkungan Untuk Perencanaan
Regional dan Perancangan. Bandung, 17-18 Maret 1988.
Ilyas,
M.A. dan R. Effendi. 1993. Banjir di Jambi dan Kaitannya Dengan Kerusakan
DAS Batanghari. (Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pengairan, No. 27 Th
8-Kw I 1993, ISSN 0215-1111). Bandung: Puslitbang Pengairan.
Purwanto,
E. 1992. Pemanfaatan dan Evaluasi
Daerah Aliran Sungai Dengan Menggunakan Parameter Hidrologi. (Majalah
Kehutanan Indonesia, Edisi No. 10 th 1991/1992, Diterbitkan oleh Departemen
Kehutanan RI, STT. No. 1162/SK/DITJEN PPG/SST/1987). Jakarta: Departemen
Kehutanan RI.
Lubis
J., Soewarno, Suprihadi. 1987. Hidrologi
Sungai, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta.