ã 2003
Program Pasca Sarjana IPB Posted 4 April, 2003
Makalah
Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Program
Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
April 2003
Dosen :
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng
KEBIJAKAN PROGRAM TRANSMIGRASI DI ERA OTONOMI DAERAH
Oleh :
Shobirin
Muchlis P.
062024144
Ruchyat Deni Djakapermana P. 062024244
Nurita Sinaga P.
062024324
I. PENDAHULUAN
Sejak
dikeluarkannya Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, paradigma atau cara pandang pembangunan nasional menjadi merubah.
Kalau dulu lebih bersifat top-down kini
menjadi bottom-up, dari sentralistik menjadi desentralistik, dari pendekatan
sektor menjadi wilayah. Demikian halnya dalam kebijaksanaan program
transmigrasi pelaksanaannya harus disesuaikan dengan lingkungan stratejik yang
telah berubah.
Pembangunan
nasional Indonesia sebagai suatu sistem, termasuk didalamnya pembangunan
transmigrasi sebagai sub system, selama ini proses pembangunannya telah
dominasi oleh pendekatan pembangunan ekonomi jangka pendek, dengan terfokus
pada objek yang dapat di moneterasasi
sistem ekonomi produksi lebih besar dari pada respirasi sehingga mengakibatkan entropi tinggi, dan energi
mengalir menurut perbedaan kepentingan golongan dan kelompok.
Apabila kondisi
tersebut terus berlanjut akan berakibat terhadap melemahnya wawasan nusantara
dan ketahanan nasional bangsa Indonesia. Untuk menanggulangi segala permasalahn
tersebut maka diperlukan pembangunan holistik yang yang bercirikan kepada : (1) kepentingan jangka panjang; (2)
sebagian besar objek pembangunan tidak dapat di moneterisasi; (3) sistem ekonomi produksi sama dengan respirasi;
(4) entropi rendah dan; (5) energi mengalir tanpa mengenal perbedaan jenis (
Capra, 1999).
Sebagai
konsekuensi ditetapkannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah, timbul pertanyaan apakah program transmigrasi masih dapat berperan
sebagai alat percepatan pembangunan daerah, terutama daerah-daerah yang masih
jarang penduduknya tetapi luas daerahnya. Sampai sejauhmana
peran pemerintah Pusat. Apakah Daerah masih memerlukan program transmigrasi
guna mendukung pembangunan Daerah.
Secara empirik
belum ada penelitian yang menyangkut evaluasi program transmigrasi di era
otonomi dan kebijakan apa yang
diperlukan guna mendukung program ini. Oleh karena itu
perlu dilakukan analisis kebijakan terhadap program transmigrasi di era otonomi
daerah.
Tujuan
dari penulisan ini untuk melihat dari perpektif ilmiah terhadap kebijakan
program transmigrasi. Apakah program ini masih relevan sebagai salah satu alat
dalam memecahkan masalah pembangunan seperti masalah kemiskinan, kesenjangan
pembangunan antara daerah dan masalah pembangunan lainnya.
Kegunaan
dari penulisan ini adalah untuk memberikan masalah kepada Pemerintah Pusat dan
Daerah Asal serta stakeholder lainnya dalam menetapkan program transmigrasi
sebagai salah satu alternatif dalam pembangunan nasional.
Kata transmigrasi berasal dari bahasa latin “transmigrates”. Dalam bahasa Inggris menjadi “transmigration”. Menurut Wold Book Dictionary (1977) pengertian transmigration ada dua :
a)
The passing a soul at death into another body ; metanpsychosis ;
b)
The doctrine of reincarnation of the soul in a human or an animal body
after death.
Istilah
transmigrasi sengaja dipilih oleh Bung Hatta dalam rangka memberi pengertian
terhadap program pemerintah dalam memindahkan penduduk yang melewati laut dari
daerah padat ke daerah yang jarang penduduknya, untuk meraih kesejahteraan,
yang bersangkutan, dalam hal ini adalah perpindahan penduduk dari Jawa ke luar
Jawa. Bung Hatta bukan tidak tahu tentang pengertian transmigration tersebut
(Balitbang, 2002).
Bung Karno pernah
melontarkan istilah transmigrasi pada saat memindahkan penduduk Jawa (Kedu)
yang telah padat keluar jawa (Ramadhan et al 1993). Egbert de Vries,
menyebut istilah transmigrasi pada saat beliau melakukan tugas-tugas pencarian
tanah untuk permukiman transmigrasi di Kalimantan Timur dan Sulawesi Utara oleh
Departemen Urusan Ekonomi Belanda pada tahun 1938 ( Swasono dan Singarimbun,
1985).
Transmigrasi
sebagai salah satu bentuk atau metode pembangunan sudah berjalan sejak lama. Berbagai
fenomena tentang transmigrasi terus bergulir sejalan dengan perkembangan pola
pikir para pakar tentang perpindahan penduduk.
Sejak
lahirnya konsep pemindahan penduduk melalui transmigrasi, telah mengalami perkembangan dan
penyesuaian, Namun konsep dasarnya tetap yaitu memindahkan penduduk yang
difasilitasi oleh negara, guna mengoptimalkan pemanfaatan ruang dan
sumberdaya alam serta memberdayakan
masyarakat, dengan berbagai tujuan seperti sosial, ekonomi, budaya, politik
bahkan dalam rangka pertahanan nasional.
Sebagaimana
diketahui bahwa perpindahan penduduk dari satu tempat ketempat lain didalam
negeri maupun diluar negeri merupakan hak setiap warga negara yang dijamin oleh
Universal Declaration of Human Right.
Filosofi
penyelenggaraan ketransmigrasian adalah melihat manusia sebagai mahluk
universal. Pada diri setiap manusia terdapat potensi dan martabat (human
Dignity) yang tidak boleh dihambat ataupun dirusak oleh keadaan-keadaan
tertentu yang melingkupi dirinya, baik itu kemiskinan, ketidak berdayaan,
maupun ketidak adilan dalam sejarah sosial-politik masyarakatnya. Oleh karena
itu, berbagai upaya untuk menghargai dan melindungi martabat manusia pada
dasarnya juga merupakan kewajiban setiap manusia, baik secara individual maupun
kolektif.
Kemiskinan
dan ketidakberdayaan merupakan kondisi dehumanis yang menghambat perkembangan
potensialitas manusia sebagai mahluk yang bermartabat mulia. Proses politik dan
sejarah kehidupan sosial belum sepenuhnya mampu melahirkan struktur-struktur
sosial yang emansipasif sehingga mampu mengangkat martabat kemanusian. Banyak
segmen masyarakat yang terpaksa harus menghadapi kondisi struktural yang tidak
menguntungkan, sehingga secara sosial terbelenggu dalam lumpur kemiskinan dan
ketidak berdayaan.
Kemiskinan
dan ketidak berdayaan manusia bukanlah sesuatu yang given, atau tidak dapat dipecahkan melalui prakarsa manusia secara
sadar. Fenomena kemiskinan haruslah dipandang sebagai produk sejarah sosial,
yang muncul dari proses politik dan mekanisme pemanfaatan sumber daya. Oleh
karena itu, upaya pembebasan manusia dari belenggu kemiskinan dan segala bentuk
kekuatan yang menghambat perkembangan potensialitasnya, harus terus dilakukan
melalui berbagai pendekatan.
Salah
satu pendekatan yang realistik dalam rangka pembebasan manusia dari kondisi
dehumanis yang mencekamnya, adalah melalui pindah, atau hijrah. Perpindahan
adalah suatu cara sekaligus peluang bagi individu untuk dapat mengembangkan
potensi diri dari martabatnya. Perpindahan juga merupakan ciri dinamik dan
universal dalam kehidupan manusia untuk memperoleh peluang memanfaatkan
kelimpahan alam.
Gerak
keruangan manusia haruslah didukung sepenuhnya, bukan saja demi perbaikan
kondisi kehidupan, tetapi sekaligus juga dalam kerangka pengenalan terhadap
perbedaan cirri eksistensi dirinya sebagai mahluk yang beragam. Manusia hadir
dan diciptakan dalam keragaman dan perbedaan, baik warna kulit (ras), perilaku
budaya (etnik), dan system kepercayaannya (agama), yang harus disadari dengan
penuh pengertian.
Pembangunan
nasional, sebagai upaya pembebasan manusia Indonesia dari segala bentuk dan
proses dehumanisasi, haruslah mencakup di dalamnya penyediaan kesempatan bagi
masyarakat untuk melakukan perpindahan (hijrah) sebagai salah satu pendekatan. Dalam
konteks inilah maka transmigrasi sebagai konsep pembangunan, sangat diperlukan.
Di era
reformasi, banyak kalangan yang mempertanyakan transmigrasi bahkan cenderung
menghendaki agar program transmigrasi tidak digunakan dalam pembangunan
nasional. Munculnya pendapat ini tentu
suatu yang wajar di era demokrasi ini. Namun faktanya
pemerintah masih menghendaki program ini dilanjutkan. Pemerintah tentu mempunyai alasan tersendiri mengapa
program transmigrasi masih dibutuhkan. Walaupun
demikian polemik ini perlu segera diselesaikan agar transmigrasi yang kini
telah berusia hampir seratus tahun dapat menjelma secara lebih terhormat dalam
wacana akademik.
Sekarang
ini pemerintah masih menghadapi persoalan-persoalan bangsa yang mendasar dan
perlu diselesaikan. Secara umum
persoalan nasional diidentifikasi sebagaimana diuraikan pada berikut ini.
A. Identifikasi Masalah Nasional
Permasalahan
pembangunan nasional yang masih merupakan pekerjaan rumah untuk ditanggulangi
di masa depan antara lain:
1.
Pengangguran
Pengangguran di Indonesia sangat tinggi dan ini merupakan bom waktu bila tidak diselesaikan segera. Jumlah angkatan kerja di Indonesia pada tahun 2000 diperkiranakan mencapai 96 juta orang. Pada tahun 2001 jumlah penganggur mencapai 40,2 juta orang terdiri atas pengangguran terbuka dan setengah penganggur. Angka ini akan terus membengkak sampai tahun 2004. Kondisi ini diperparah dengan meningkatnya angka putus sekolah yang mencapai 1.7 juta orang. Dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi 3.3% tahun 2002 dan 3% pada tahun 2003 sampai 2004, maka diperkirakan total pengangguran akan mencapai 42 juta orang (40.1%) pada tahun 2002 kemudian meningkat menjadi 43.6 juta (43.6% pada tahun 2003 dan akan mencapai 45.2 juta orang (42.5%) pada tahun 2004 (Ditjen Mobduk, Dep. Nakertrans dan LPM. Padjadjaran, 2002)
2.
Kemiskinan
Angka penduduk miskin tidak kalah besarnya dengan angka pengangguran. Sejak dilaksanakannya pembangunan nasional, jumlah penduduk miskin periode 1976 – 1996 turun secara nyata (signifikan). Pada tahun 1976 jumlah penduduk miskin sekitar 54.2 juta orang atau (42.1%) berkurang menjadi 40.6 juta orang (26.9%) pada tahun 1981. Pada tahun 1990 jumlah penduduk miskin berkurang lagi menjadi 27.2 juta orang (15.1%) dan menjadi sejumlah 22.5 juta orang (11.3%) pada tahun 1996. Karena adanya krisis multi dimensi sejak pertengahan tahun 1997, mengakibatkan jumlah penduduk miskin meningkat kembali menjadi 49.5 juta orang (24.23%) dari seluruh penduduk Indonesia. Persebaran penduduk miskin tersebut, yaitu 17.6 juta orang (21.92%) berada di perkotaan dan sejumlah 31.9 juta orang (24.23%) berada di pedesaan.
Persebaran penduduk miskin menurut wilayah menunjukkan bahwa lebih dari 59% berada di P. Jawa dan Bali, 16% di P. Sumatera dan 25% berada di P. Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. (Sekretariat Komite Penanggulangan Kemiskinan, 2002)
3.
Ketahanan Pangan Nasional.
Adalah
suatu ironi negara Indonesia yang kaya
dengan sumber daya alam dan mempunyai keunggulan komperatif di bidang
agraris, tetapi harus menjadi negara pengimport pangan terbesar di dunia. Import
beras kita rata-rata 2 juta ton setiap tahun, terbesar nomor satu di dunia. Import
gula rata-rata 1,4 juta ton setiap tahun, terbesar nomor dua di dunia. Import
jagung rata-rata 1,5 juta ton setiap tahun, dan import kedelai telah mencapai
1,35 juta ton pada tahun 2001 sertaimport sai rata-rata 450 ribu ekor setiap
tahun (Yudohusodo, 2002). Jumlah import
pangan yang sangat besar tersebut, telah menguras devisa negara yang sangat
besar, sebagai ilustrasi nilai import bahan pangan Indonesia pada tahun 2000
telah menghabiskan devisa negara sebesar 1.475 juta US $ (Harian Kompas, 11
Juni 2002).
4.
Ketimpangan Persebaran Penduduk.
Wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari 17.506 pulau besar dan
kecil, diperkirakan baru dihuni 992 pulau saja. Kalau tidak ada kebijakan yang
mendasar dalam perebaran penduduk, maka tidak akan mengalami persebaran dan
perpindahan penduduk yang berarti.Perpindahan penduduk dari daerah pedesaan
kedaerah perkotaan yang dikenal dengan istilah urbanisasi diseluruh wilayah
Indonesia akan terus berkelanjutan. Begitu pula perpindahan penduduk dari luar
P.Jawa ke Jakarta dan kota-kota besar lainnya di P. Jawa akan terus berlanjut
sebagagi akibat dari pembangunan yang Jawa sentries. Padadewasa ini tingkat
kepadatan penduduk di P. Jawa, Madura, Bali dan Lombok telah mencapai tingkat
kepadatan 814 orang per Km2 ( Sensus Penduduk, 1990 ). Sedangkan tingkat
kepadatan penduduk di P. Sumatera 86 jiwa orang per km2, Kalimantan 19 jiwa per
km2, Sulawesi 73 per km2, Papua 5 jiwa per km2dan pulau-pulau lainnya 80 jiwa
per km2.
Masalah utama yang dihadapi bangsa Indonesia adalah persebaran penduduk yang tidak merata karena sekitar 60 % dari jumlah penduduk Indonesia tinggal di P. Jawa yang luasnya hanya 6,7 % dari luas daratan Indonesia. Sementara Kalimantan, pulau terluas di Indonesia yaitu 28,1 % dari seluruh daratan Indonesia, hanya dihuni oleh sebesar 5,1 % dari jumlah penduduk Indonesia. Papua, provinsi terluas di Indonesia, yang luasnya 22 % dari luas daratan Indonesia, hanya dihuni oleh sekitar 1 % penduduk Indonesia. Ketimpangan persebaran penduduk terjadi pula antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI ). Kawasan Barat Indonesia yang terdiri dari P.Sumatera, P.Jawa, P.Bali, dan P. Madura yang luasnya hanya 32,1 %dari total luas wilayah Indonesia dihuni oleh 168,46 juta jiwa atau sebesar 82,79 % dari total penduduk Indonesia. Sebaliknya Kawasan Timur Indonesia yang luasnya 67,9 % dari total wilayah Indonesia hanya di huni oleh 35 juta jiwa atau sebesar17,21 % dari total penduduk Indonesia .
5. Kesenjangan Pembangunan Antar Daerah,
Antar Sektor dan Antar Penduduk.
Distribusi Produk
Domistik Regional Broto (PDRB) atas dasar harga konstan 1993 di 26 provinsi
yang diamati menunjukan kesenjangan yang cukup tinggi. Pada tahun 1996 PDRB di 26 provinsi sebesar Rp.
407.314,9 milyar, terdistribusi tidak merata. PDRB pada 6 provinsi di Pulau
Jawa dan Bali mencapai 61,43%, sementara di 20 provinsi sisanya hanya mencapai
38,57%. Sebagai dampak krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997,
PDRB tahun 2000 hanya sebesar Rp. 399.635,2,- atau menurun sebesar 1,88 % dari
PDRB tahun 1996. Namun kesenjangan antara Pulau Jawa dan Bali dengan
pulau-pulau lainnya tetap tinggi meskipun sedikit berkurang. Pada tahun 2000,
distribusi PDRB pada 6 provinsi di Pulau Jawa dan Bali sebesar 58,48 %,
sedangkan 20 % terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Bali, maka konsekwensinya
adalah pembangunan sarana dan prasarana menjadi terpusat di Pulau Jawa dan
Bali, sehingga minat menanamkan investasi juga menjadi tidak berimbang. Dampak
dari ketidakseimbangan tersebut, juga adalah ketidakseimbangan kegiatan ekonomi
dan peningkatan kemakmuran antar daerah.
Kesenjangan
terjadi pula dalam pembangunan antar sektor/lapangan usaha. Pada tahun 1997,
distribusi PDRB atas dasar harga konstan 1993 menunjukan persentasi tertinggi
pada sector/lapangan usaha industri pengolahan mencapai 24,84 % dan terendah
pada angkutan, penggudangan dan komunikasi sebesar 7,34 %.
Pada
tahun 2001, distribusi PDRB tertinggi tetap pada sektor lapangan usaha industri
pengolahan sebesar 26,67 % dan terendah pada sektor lapangan usaha bangunan
5,88 %. Sementara itu PDRB sektor lapangan usaha pertanian, kehutanan,
perkebunan dan perikanan selalu berada pada posisi ketiga teratas dari 8 sektor
lapangan usaha, berturut-turut tahun 1997 sebesar 14,88 % dan tahun 2001
sebesar 16,18 %. Padahal sektor lapangan usaha ini menyediakan lapangan
pekerjaan sekitar 43,8 % dari jumlah penduduk berumur 15 tahun keatas yang
bekerja tahun 2001. Dibandingkan dengan sektor lapangan usaha industri
pengolahan dengan distribusi PDRB sebesar 26,67 % hanya mampu menyerap
sekitar 13,3 % pekerja pada tahun yang sama, maka disamping telah terjadi
kesenjangan pembangunan antar sektor juga telah terjadi kesenjangan kesejahteraan
antar penduduk.
B.
Masalah Penyelenggaraan Transmigrasi
Citra
penyelenggaraan program transmigrasi sangat ditentukan oleh kualitas
perencanaan dan pelaksanaannya. Dalam pelaksanaannya telah banyak keberhasilan
yang dilakukan, namun demikian disana-sini masih ada kekurang berhasilannya.
Keberhasilan
pembangunan transmigrasi, selama kurun waktu 50 tahun telah berhasil membangun
2,587 desa baru eks Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) yang telah diserahkan
kepada Pemerintah Daerah, dan masih ada 467 UPT yang masih dalam pembinaan
(Balitbang,2002). Sejumlah desa
transmigrasi mampu berkembang pesat dan berubah menjadi kota. Hingga saat ini
terdapat 44 kota kecamatan yang tersalur di 15 propinsi yang dahulunya
merupakan desa transmigrasi. Lebih jauh lagi, ada 23 desa transmigrasi di 13
propinsi telah berubah menjadi ibukota kabupaten atau kotamadya. Disamping itu
juga memberikan kontribusi pembangunan areal pertanian, perkebunan, prasarana
dan sarana fisik serta fasilitas umum.
Diakui
dalam penyelenggaraan transmigrasi masih ada kelemahan antara lain adanya
kecemburuan sosial dari penduduk lokal akibat perlakuan yang tidak adil
terhadap penduduk lokal, eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan tanpa
memperhatikan kepentingan masyarakat lokal, lokasi transmigrasi yang relatif
terisolir, rusaknya sarana dan prasarana mendorong transmigran kembali kedaerah
asal, pemanfaatan lahan yang kurang effisien dan kurang memperhatikan aspek
lingkungan menyebabkan terjadinya proses degradasi lahan.
Kelemahan-kelemahan
ini secara langsung atau tidak langsung menutupi keberhasilan yang telah
dicapai. Oleh karena itu perlu pencermatan yang mendalam berbagai aspek
munculnya kelemahan tersebut mulai dari perencanaan, pembangunan permukiman,
rekruitmen dan seleksi calon transmigran, pemberdayaan masyarakatnya.
C.
Rumusan Masalah
Kompleksnya
masalah pembangunan yang dihadapi oleh pemerintah dan adanya kondisi politik
yang berubah dan pelaksanaan otonomi daerah, serta perubahan organisasi mulai
dari tingkat pusat hingga daerah membuat para pejabat sulit melaksanakan
program pembangunan yang telah direncanakan.
Di era
reformasi dan otonomi daerah berbagai dampak politik telah mengecilkan konsep
transmigrasi, yang selama kurang lebih lima puluh tahun berjalan dan telah
terbukti dukungannya terhadap pembangunan daerah.
Dihadapkan dengan
kondisi tersebut sehingga muncul pertanyaan sebagai berikut :
1)
Apakah transmigrasi sebagai sektor atau program
pembangunan masih dapat dapat diteruskan ?
2)
Apakah transmigrasi dapat mendukung/mempercepat pembangunan daerah ?
3)
Apakah transmigrasi masih dapat dilaksanakan di era reformasi dan apakah
sudah sesuai dengan pelaksanaan otonomi daerah ?
4)
Apakah transmigrasi sebagai upaya mempersatukan bangsa dan meningkatkan
ketahanan dan pertahanan masih dapat dipakai ?
Berdasarkan
pertanyaan-pertanyaan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan pokok yaitu :
apakah transmigrasi dapat dijadikan salah satu alat ( tool ) pembangunan daerah
di era otonomi.
Diadakannya program transmigrasi adalah suatu kebijakan pemerintah yang sudah berlangsung sejak zaman kolonosasi Belanda hingga saat ini. Di era ekonomi ini kebijakan ini mendapat sorotan dari masyarakat sehingga timbul pro dan kontra apakah program transmigrasi masih dibutuhkan. Pengkajian secara ilmiah menjadi sangat penting tentang pengkajian dari program ini. Pendekatan yang digunakan dalam pengkajian ini adalah memberi analisis kebijakan. Analisis kebijakan (Policy Analysis) adalah suatu aktivitas intelektual dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan, secara kritis, menilai dan mengkomunikasikan pengetahuan dari hasil analisis tersebut (Dunn, 1999).
Dalam analisis
kebijakan prosedur yang dilalui adalah
sebagai berikut:
(1) Perumumusan masalah (defenisi) menghasilkan kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan
(2) Peramalan (prediksi) menyediakan informasi mengenai konsekwensi di masa mendatang dari perubahan alternatif kebijakan termasuk tidak melakukan sesuatu.
(3) Rekomendasi (preskripsi) menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan relatif dari konsekuensi dimasa depan dari suatu pemecahan masalah.
(4) Pemantauan (deskripsi) menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan.
(5) Evaluasi menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari hasil koreksi pemecahan masalah.
Diagram alir analisis kebijakan program pembangunan
transmigrasi tertera pada Gambar 1.
Kinerja
Kebijakan Masalah Kebijakan Hasil Kebijakan Masa
depan Kebijakan Aksi
Kebijakan
V. ARAHAN KEBIJAKAN
Program transmigrasi harus meresposisi
kebijakannya sesuai dengan tuntutan perubahan. Pendekatan pengelolaan
transmigrasi yang selama ini sangat kental ke dimensi fisik, kuantitatif dan
ekonomistik semata, harus digeser ke arah pendekatan budaya, kualitatif dan
holistik dimana kepuasan masyarakat menjadi tolok ukur keberhasilan. Implikasinya
adalah pengelolaan transmigrasi sebagai
proses perpindahan sumberdaya sosial budaya (social cultural resources),
yang diharapkan dapat mengelola sumberdaya alam yang berkelanjutan dan
terciptanya pembauran dengan masyarakat lokal.
Adanya
ketimpangan pembangunan antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur
Indonesia (KTI), maka perlu dipertimbangkan agar kebijakan program transmigrasi
di KTI lebih mendapat prioritas.
Dalam
menyusun perencanaan permukiman harus melihat dalam satu kawasan yang utuh
(integrated area), sehingga permukiman transmigrasi dengan desa sekitar
merupakan suatu kawasan pembangunan. Hal ini guna menghindari munculnya
kecemburuan sosial.
Pengelolaan
transmigrasi dipandang sebagai bagian integral dari pengelolaan pembangunan
nasional yang secara makro menjadi kewenangan pemerintah pusat, akan tetapi
tidak lepas dari kewenangan daerah untuk mengurus dan mengatur kepentingan
masyarakatnya atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakatnya, oleh
karena itu, kelembagaan yang mengelola
transmigrasi kedepan harus berfungsi sebagai steering di tingkat pusat dan
provinsi dan berfungsi rowing di tingkat kabupaten/kota sampai di lapangan.
V.
KESIMPULAN
Beberapa
kesimpulan sementara yang dapat diambil adalah sebagai berikut :
1.
Pro-kontra keberadaan program transmigrasi adalah hal yang wajar diera reformasi ini. Namun penetapan kebijakannya perlu dilakukan dengan
pendekatan analisis kebijakan.
2.
Program
transmigrasi merupakan spesifik negara Indonesia dan sudah berlangsung lama.
Program ini merupakan salah satu alat (toul) dalam pemecahan masalah nasional
yang dihadapi Pemerintah Indonesia.
3.
Transmigrasi adalah upaya memindahkan penduduk yang difasilitasi oleh
negara, guna mengoptimalkan pemanfaatan orang dan sumberdaya dan memberdayakan
masyarakat.
4.
DAFTAR PUSTAKA
Carpa, Fritjot,
1999. Titik Balik Peradapan, Terjemahan The Turning Point: Science, Society and
The Rising Culture. Yayasan Bentang Budaya.
Ditjen.
Mobilitas Penduduk, Dep. Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan LPM. Universitas
Padjadjaran, 2002. Penyusunan Masterplan Kebijakan dan Strategi Mobilitas
Penduduk.
Dunn, William N,
1999. Pengantar Analisis Kebijakan Publik edisi kedua, Terjemahan Public Policy
Analysis: An Introduction second edition, Gadjah Mada University Press.
Ramadhan, KH,
Rofiq Ahmad dan Hamid Jabbar, 1993. Transmigrasi Harapan dan Tantangan. Departemen
Transmigrasi.
Sekretariat
Komite Penanggulangan Kemiskinan, 2002.
Buku Pedoman Komite Penanggulangan Kemiskinan, Jakarta.
Swasono,
Sri-Edi dan Masri Singarimbun, 1985. Sepuluh Windu Transmigrasi di Indonesia
1905-1985. UI Press, Jakarta.
Yudohusodo,
S. 2002. Paradigma Baru Transmigrasi di Era Otonomi Daerah. Serasehan Nasional
Transmigrasi, Jakarta.