© 2003 Program Pasca Sarjana IPB                                                       Posted: 29 April 2003

Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
April 2003

 

Dosen: Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng
 Dr Bambang Purwantara

 

 

 

 

POTENSI BIOTEKNOLOGI:

DILEMA TANAMAN TRANSGENIK DALAM UPAYA PEMENUHAN PANGAN DUNIA

 

 

 

 

 

 

KELOMPOK III

                   1.  AISYAH                                      A261020021

                   2.  ANY FITRIANI                          G361020021

                   3.  AMIN RETNONINGSIH           G361020031

 

 

 

Pendahuluan

 

            Di masa yang akan datang pertumbuhan penduduk dunia semakin meningkat.  Proyeksi pada tahun 2030 yang dilaporkan Brown dan Kane (1994) memperlihatkan peningkatan jumlah penduduk  cukup fantastis, kurang lebih 160% dari jumlah penduduk tahun 1990.  Prediksi di Asia, India menempati rangking pertama (590 juta), disusul Cina (490 juta), Pakistan (197 juta), Bangladesh (129 juta) dan Indonesia (118 juta). Saat ini diduga 900 juta dari 5,8 miliar penduduk dunia terutama di negara-negara Asia dan Afrika pada saat ini sedang mengalami kelaparan akibat penurunan produksi pertanian per kapita. (Suranto 1999).  Penyebab utama penurunan produksi adalah gangguan hama dan penyakit tanaman. Laju peningkatan jumlah penduduk yang tidak terkendali secara tidak langsung juga ikut andil memperburuk situasi ini.  Upaya peningkatan produktivitas yang telah dilakukan belum dapat mencukupi kebutuhan karena selalu tidak mampu mengimbangi kecepatan peningkatan jumlah penduduk.

            Beberapa dasawarsa yang lalu upaya meningkatkan dan memperbaiki kualitas produksi pertanian masih signifikan karena ketersediaan sumber daya alam dan teknologi pertanian cukup memadai dan berimbang dengan laju pertumbuhan penduduk. Keadaan ini sulit untuk dicapai atau dipertahankan di masa yang akan datang, kecuali jika ada pendekatan baru yang menawarkan ide dan teknik untuk meningkatkan produktivitas secara dramatis. Pencegahan serangan hama dan penyakit tanaman yang telah dilakukan dengan menggunakan pestisida tidak memberikan hasil yang memuaskan, mahal (hampir ¼ biaya produksi) dan terbukti berdampak negatif bagi lingkungan dan kehidupan.  Aplikasi pestisida ini telah menyebabkan polusi air, tanah maupun udara. Oleh karena itu adopsi suatu teknologi baru tampaknya sangat diperlukan untuk meningkatkan efisiensi produksi, memperbaiki kualitas produk dan meminimalkan pencemaran lingkungan.  Teknologi baru tersebut  bukan hanya membantu meningkatkan hasil pertanian untuk saat ini tetapi juga untuk masa-masa yang akan datang  (Zohrah 1999).

Kemajuan di bidang ilmu hayati seperti biologi molekuler, genetika molekuler dan rekayasa genetika pada abad ke-20 telah dikemas menjadi suatu teknologi canggih yang disebut dengan bioteknologi.  Salah satu keunggulan bioteknologi adalah kemampuannya mengubah suatu sifat organisme menjadi sifat baru seperti yang dikehendaki.  Perkembangan bioteknologi terkini telah memasuki tahap pemasaran GEP (Genetically Engeneered Plants) yang lebih dikenal dengan tanaman transgenik (Hartiko 1995). Perakitan tanaman transgenik dapat diarahkan untuk memperoleh kultivar tanaman yang memiliki produksi tinggi, nutrisi dan penampilan berkualitas tinggi, maupun resistensi terhadap hama, penyakit dan cekaman lingkungan. Fragmen DNA organisme manapun melalui teknik rekayasa genetika dapat disisipkan ke genom jenis lain bahkan yang jauh hubungan kekerabatannya.  Pemindahan gen ke dalam genom lain tidak mengenal batas jenis maupun golongan organisme.  Melihat potensi manfaat yang dapat disumbangkan, pendekatan bioteknologi dipandang mampu menyelesaikan problematika pangan dunia  terutama di negara-negara yang sedang berkembang seperti yang telah berhasil dilakukan di negara-negara maju (Zohrah 2001;  Suranto 1999).

 

Prinsip Pembuatan Tanaman Transgenik

Salah satu cara memanipulasi (merekayasa) bahan genetik dapat dilakukan dengan transfer gen (Suharsono 2001).  Gen dapat dipindahkan dari satu individu ke dalam individu lainnya melalui 1) persilangan seksual baik secara alamiah maupun buatan, 2) hibridisasi somatik, dan 3) teknologi DNA rekombinan.  Teknik transfer gen yang terakhir berkembang sangat pesat sejak ditemukan model struktur helix ganda DNA pada tahun 1953.

Persilangan  seksual antara dua individu akan menghasilkan individu baru yang memiliki genotipe kombinasi baru berupa kombinasi alel yang berasal dari tetuanya.  Untuk memperoleh organisme baru dengan sifat-sifat yang dikehendaki  akan sulit dan membutuhkan waktu lama, karena yang dipindahkan dalam proses persilangan bukan gen-gen spesifik yang diinginkan saja melainkan sekumpulan gen (kromosom). Bentuk transfer gen yang lain adalah hibridisasi somatik. Teknik ini sangat berguna untuk merakit kultivar baru terutama dari tanaman yang tidak atau sulit menghasilkan bunga. Fusi sel akan mengatasi kendala ketidakcocokkan yang sering terjadi dalam proses persilangan.

Teknologi rekombinan mampu membuat kombinasi bahan genetik baru melalui penyisipan DNA ke dalam genom suatu inang, dengan harapan gen yang disisipkan dapat diekspresikan di dalam inang.  Gen yang akan diintroduksi diidentifikasi sesuai yang dikehendaki, kemudian diisolasi dan dimasukkan ke dalam sel inang.  Pada tanaman transgenik, transgen (gen yang disisipkan) harus terintegrasi ke dalam genom inang, ditranskripsikan ke dalam mRNA dan dapat ditranslasikan menjadi protein. Kestabilan produk organisme transgenik ditunjukkan dengan pewarisan transgen dari generasi ke generasi.

Transgen dapat dimasukkan ke dalam sel inang melalui transformasi (menggunakan vektor plasmid), atau transfeksi (menggunakan vektor virus).  Transformasi dapat dilakukan melalui perantara Agrobacterium, atau particle gun. Pemilihan metode bergantung kepada tujuan, bahan yang digunakan, peralatan dan tenaga trampil yang tersedia.

            Tanaman transgenik merupakan tanaman yang mempunyai gen asing di dalam genomnya. Gen asing pada umumnya berasal dari bakteri atau tanaman lain yang membawa sifat tertentu. Sifat yang dibawa oleh gen asing ini merupakan sifat unggul yang tidak dimiliki tanaman inang. Secara sederhana Brown (1990) menguraikan perakitan tanaman transgenik sbb: 1) isolasi gen atau DNA target yang membawa sifat tertentu dari bakteri tertentu atau tanaman lain yang mempunyai sifat yang diinginkan, 2) ligasi DNA target ke dalam vektor sehingga terbentuk DNA rekombinan, 3) transformasi vektor (DNA rekombinan) pada bakteri tertentu dengan tujuan untuk memperbanyak kopi DNA rekombinan, dan 4) penyisipan vektor dan DNA target ke dalam sel tanaman yang dikehendaki yang tidak mempunyai sifat tersebut. Alur perakitan tanaman transgenik diperlihatkan pada Gambar 1.

Transformasi gen yang paling umum adalah melalui A. tumefaciens terutama untuk dikotil, dan melalui particle gun untuk monokotil. Metode pemeliharaan sel transgen dilakukan melalui teknik kultur jaringan (in vitro) untuk memudahkan organogenesis atau embriogenesis tanaman transgenik sehingga diperoleh tanaman utuh yang membawa sifat baru yang awalnya tidak dimiliki.

 

 

 

 

 

 

 


                                                                                                    +    

 

        Sel bakteri/tanaman yang memp                                          vector                      DNA target

        Sifat yang diinginkan

 

 


                                                                                      

                                                                                                             DNA rekombinan                                                                                                    

                                                                    

                                                                                             

                                             

 

 

 

 

 

 


                                                                                                              sel A. tumefaciens

                                                                                                                  

 

 

 

 

 

 

 


                                                                                                             Sel tanaman

 

 


                                                                                                     

 

                                                                                                           Tanaman transgenik

 

Gambar 1. Alur perakitan tanaman transgenik (Brown 1990)

 

 

Beberapa Produk dan Manfaat Tanaman Transgenik yang Telah Dihasilkan

            Penanggulangan krisis pangan dunia dilakukan antara lain melalui upaya perakitan kultivar tanaman yang tahan terhadap serangan hama dan penyakit atau menghasilkan bahan makanan berkualitas.  Defisiensi vitamin A yang mengganggu kesehatan mata merupakan masalah gizi utama di negara-negara Asia yang sedang berkembang.  Karena beras merupakan makanan popok mereka maka keberadaan provitamin A dalam beras sangat diperlukan untuk mencegah dan menanggulangi defisiensi vitamin A.  Salah satu padi transgenik yang dihasilkan adalah hasil pemuliaan tanaman yang tidak mampu menghasilkan provitamin A menjadi tanaman yang menghasilkan provitamin A (Suwanto 2000a).

            Perkembangan menggembirakan lain terjadi pada pemuliaan ketela pohon yang merupakan bahan pangan penting bagi negera-negara di benua Afrika.  Klon “Brintje” yang mengandung gen thionin dari daun barley (DB4) dapat mengekspresikan gen tersebut sehingga perkembangan P. infestans dapat ditekan (Suranto 1999).  Perusahaan Ciba-Geigy (sekarang Navartis) telah berhasil mengkrontruksi jagung transgenik (jagung Bt) yang kebal terhadap hama penggerek jagung.  Jagung Bt mengandung gen cry dari Bacillus thuringensis yang dapat menghasilkan protein yang mampu membunuh serangga Lepidotera (Suwanto 2000a).

            Salah satu produk pertanian penting lain yang menjadi perhatian dunia pertanian adalah kedelai. Tanaman ini telah berhasil dimodifikasi secara genetik menjadi toleran terhadap glyphosate (suatu senyawa aktif dalam herbisida), demikian juga dengan tanaman penting lain seperti jagung. Saat ini di Indonesia sedang gencar dilakukan penelitian  mengarah kepada penyeleksian dan perakitan kedelai tahan aluminium (Anwar 1999). Tomat sebagai komoditi penting telah dirancang agar proses pematangannya terhambat sehingga masa simpannya lebih lama. Beberapa GEP yang telah dikomersialkan diperlihatkan pada Tabel 1 (Muchtadi 2002).

            Tanaman transgenik yang sudah berhasil dilepas di lapangan mempunyai banyak manfaat terutama di bidang pertanian. Tanaman transgenik yang tahan terhadap insekta, herbisida, dan toleran terhadap lingkungan secara langsung berperan dalam meningkatkan produktifitas. Hal ini dapat dipahami karena tanaman dapat sintas menghadapi tekanan lingkungan, sehingga semua fase kehidupannya dapat dilalui dengan baik. Tanaman transgenik yang tahan terhadap insekta akan menurunkan frekuensi aplikasi pestisida. Pengurangan pemakaian pestisida sama artinya dengan tidak memasukkan bahan-bahan kimia berbahaya ke dalam lingkungan, sehingga dampak pencemaran lingkungan dapat dikurangi. Dalam kasus ini tanaman transgenik mampu meningkatkan keramahan terhadap lingkungan

            Keberhasilan perakitan tanaman transgenik yang mempunyai kadar zat gizi tinggi, masa simpan produk lebih lama, dan penampilan produk lebih baik menyebabkan mutu produk secara keseluruhan lebih baik. Mutu produk yang baik memberikan kepuasan terhadap konsumen.

Dalam hal pelestarian hayati sudah ada contoh nyata bahwa organisme transgenic justru menjadi penyelamat terhadap kepunahan suatu spesies. Pohon chesnut (Castanea dentata) pada mulanya merupakan tanaman dominan yang tersebar luas di Amerika Utara. Serangan cendawan Cryphonectria parasitica telah menghancurkan tanaman hingga ambang kepunahan. Saat ini telah dilakukan rekayasa genetika sehingga kromosom C. parasitica mengandung gen dari mycovirus sehingga keganasannya berkurang (hypovirulent). C. parasitica transgenik tersebut sangat membantu dalam menangkal serangan C. parasitica liar di alam, sehingga dapat menyelamatkan tanaman chesnut dari kepunahan (Suwanto 2000a).

            Mikrob alami yang direkayasa genetikanya memberikan harapan baru dalam bidang kesehatan. Salmonella typhimurium, suatu bakteri yang berasosiasi dengan keracunan pangan, memberikan harapan baru untuk melawan tumor dan kanker secara sistematis. Bakteri ini direkayasa secara genetika agar secara spesifik tetap dapat membunuh sel-sel kanker, tetapi tidak merusak atau menjadi patogen pada jaringan tubuh manusia (Halim 2000 dalam Suwanto 2000b)

 

Tabel 1. Tanaman transgenik yang telah dikomersilkan (Muchtadi 2002)

Tujuan Rekayasa Genetika

Contoh Tanaman

Menghambat pematangan dan pelunakan buah

Tomat

Tahan terhadap serangan insektisida

Tomat, kentang, jagung

Tahan terhadap serangan ulat

Kapas

Tahan terhadap serangan insekta dan virus

Kentang

Tahan terhadap virus

Squash, Pepaya

Tahan terhadap insekta dan herbisida

Jagung, Padi, Kapas, Canola

Toleran thd terhadap herbisida

Kedelai, Canola, Kapas, Jagung, Bit gula

Perbaikan komposisi dan nilai gizi

Canola (high laurate oli), Kedelai (high oleic acid oil), Canola (phytase, degradasi fitat), Padi (high beta-carotene)

 

 

Kekhawatiran Dampak Organisme atau Pangan Produk Transgenik

            Penerapan bioteknologi seperti manipulasi gen pada tanaman budidaya telah memberikan manfaat yang tidak terbatas. Secara alamiah tumbuhan mengalami perubahan secara lambat sesuai dengan keberhasilan adaptasi sebagai hasil interaksi antara tekanan lingkungan dengan variabilitas genetika.  Campur tangan manusia melalui rekayasa genetik telah mengakibatkan “revolusi” dalam tatanan gen.  Perubahan drastis ini telah menimbulkan kekhawatiran akan munculnya dampak produk transgenik baik terhadap lingkungan, kesehatan maupun keselamatan keanekaragaman hayati.

            Dalam banyak hal bahaya produk transgenik yang diduga akan muncul terlalu dibesar-besarkan. Tidak ada teknologi yang tanpa resiko, demikian pula dengan produk rekayasa genetik.  Resiko dari produk transgenik tidak akan lebih besar dari produk hasil persilangan alamiah.   Beberapa resiko pangan transgenik yang mungkin terjadi antara lain resiko alergi, keracunan dan tahan antibiotik (Fagan 1997).  Pangan transgenik berpotensi menimbulkan alergi pada konsumen yang memiliki sensitivitas alergi tinggi.  Keadaan itu dipengaruhi sumber gen yang ditransformasikan.  Kasus ini pernah terjadi pada kedelai transgenik dengan kandungan methionin tinggi, sehingga produknya tidak diedarkan setelah penelitian menunjukkan adanya unsur alergi.  Kekhawatiran keracunan didasarkan pada sifat racun dari gen Bt terhadap serangga.  Kecemasan tersebut tidak beralasan karena gen Bt hanya aktif bekerja dan bersifat racun bila bertemu sinyal penerima dalam usus serangga yang sesuai dengan kelas virulensinya.  Gen tersebut tidak stabil dan tidak aktif lagi pada pH di bawah 5 dan suhu 65° C , artinya manusia tidak akan keracunan gen Bt terutama untuk bahan yang harus dimasak terlebih dahulu.   Kemungkinan lain adalah resistensi  mikroorganisme dalam tubuh menjadi lebih “kuat”.  Kejadian ini peluangnya kecil karena gen yang ditranfer melalui rekayasa genetik akan terinkorporasi ke dalam genom tanaman.

            Kekhawatiran bahaya terhadap keselamatan sumber daya hayati diduga terjadi melalui beberapa cara seperti 1) terlepasnya organisme transgenik ke alam bebas, dan 2) tranfer gen asing dari produk transgenik ke  tanaman lain sehingga terbentuk gulma yang dapat merusak ekosistem yang ada sehingga mengancam keberadaan sumber daya hayati. Perubahan tatanan gen dapat mengakibatkan perubahan perimbangan  ekosistem hayati dengan perubahan yang tidak dapat diramalkan (Hartiko 1995). Prinsip dasar biologi molekuler menunjukkan 2 sumber utama resiko yang mungkin  timbul. Pertama, perubahan fungsi gen melalui proses rekayasa genetik. Penyisipan gen berlangsung secara acak sehingga sulit untuk dikontrol dan diprediksikan apakah gen tersebut akan rusak atau berubah fungsi.  Kedua transgen dapat berinteraksi dengan komponen seluler. Kompleksitas  kehidupan organisme mengakibatkan kisaran interaksi tersebut tidak dapat di ramalkan atau dikontrol (Fagan 1997). 

Secara teoritis tanaman transgenik merupakan bagian dari masa depan karena sampai saat ini bukti-bukti ilmiah menunjukkan tidak ada alasan “kuat” untuk mempercayai adanya resiko “unik“ yang berkaitan dengan produk transgenik. Produk bioteknologi modern sama aman atau berbahayanya dengan makanan yang dihasilkan melalui teknik-teknik tradisional (Chassy 1997). Bagaimanapun di masa yang akan datang, bioteknologi modern berpotensi sebagai alat untuk menjawab tantangan dan membuka kesempatan dalam mengembangkan bidang pertanian terutama untuk memperoleh bahan makanan yang lebih banyak (Moeljopawiro 2002) dengan kualitas yang lebih baik.

 

Sikap terhadap Produk Transgenik

 

Pentingnya pengetahuan tentang ilmu rekayasa genetika.  Pemberi informasi yang tidak dibekali dasar pengetahuan tentang rekayasa genetika biasanya cenderung menelan mentah-mentah ulasan pers asing sehingga objektifitas permasalahan dan validitas data sulit diperoleh.  Sebagai contoh adalah penolakan negara barat terhadap padi transgenik yang menghasilkan provitamin A.  Penolakan ini terjadi karena mereka bisa memperoleh vitamin A dari sumber lain. Bagi negara-negara berkembang yang rawan pangan bahan pangan yang kaya vitamin A sangat dibutuhkan.  Oleh sebab itu penting untuk memahami terlebih dahulu latar belakang penolakan produk transgenik di suatu negara (Suwanto 2000a)

            Preferensi pribadi. Preferensi pribadi lebih baik tidak ditanggapi secara umum. Diperlukan informasi yang seimbang dan kebijakan yang hati-hati dari pemerintah dan pihak terkait yang dapat dijadikan acuan bagi orang awan untuk menentukan sikap dalam mengambil keputusan terhadap produk transgenik. Penilaian terhadap tanaman transgenik dapat mengandung persaingan bisnis yang terselubung (Suwanto 2000a). Pestisida kimiawi tidak terlalu diperlukan lagi dalam budidaya tanaman transgenik yang tahan serangan hama dan penyakit, sehingga pihak-pihak berkepentingan akan berusaha menuntun masyarakat dalam menentukan sikap sesuai tujuan mereka masing-masing.

            Bukti ilmiah diperlukan untuk menghilangkan keraguan.  Salah satu kekhawatiran yang paling menonjol adalah terjadinya transfer gen dari organisme transgenik ke mikroorganisme.  Secara alamiah transfer gen sangat jarang terjadi. Frekuensi pengambilan DNA linier oleh permukaan sel 10-5 atau lebih kecil, untuk terintegrasi ke dalam genom resipien memerlukan illegitimate recombination dengan frekuensi 10-8 atau lebih kecil dan kemudian untuk ekspresinya dibutuhkan aktivasi oleh elemen loncat dengan frekuensi 10-5 atau lebih kecil sehingga total frekuensi suatu gen ditransformasikn di alam adalah 10-18.  Bakteri dalam usus besar manusia tidak lebih dari 1015 dan dalam satu gram tanah hanya sekitar 1010, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kejadian transformasi gen di alam tadi probabilitasnya mendekati nol.  Dalam kondisi tanpa tekanan seleksi, frekuensi gen sebesar 10-6 sulit terjadi karena jumlah bakteri yang mendapat transfer gen tidak sebanding dengan bakteri yang tidak mendapatkannya (Suwanto 2000b).

Tekanan seleksi yang menguntungkan bakteri penerima gen, maka transfer gen tersebut akan memberikan akibat yang nyata. Dalam melakukan penilaian terhadap produk transgenik pertimbangan ada tidaknya tekanan seleksi pada suatu kejadian yang jarang terjadi perlu mendapat perhatian serius. Perkembangan pengetahuan saat ini belum memungkinkan untuk menghitung semua probabilitas kejadian transfer gen secara tepat. Pada dasarnya belum tersedia informasi untuk membuat perhitungan kemungkinan suatu tahapan transfer gen.  Data seperti itu diperkirakan belum dapat tersedia dalam waktu dekat karena variasi prokariota yang luar biasa (Suwanto 2002) atau mungkin terdapat mekanisme tranfer gen yang baru.  Analisis resiko yang fair dapat dilakukan dengan membandingkan produk yang akan dianalisis dengan aplikasi yang secara umum telah dierima. Misalnya bila pemberian antibiotik untuk hewan dalam waktu yang lama dan terus menerus dianggap aman maka pemberian produk transgenik sebagai pakan dianggap lebih aman.  Kedua kejadian itu mengambil resiko teoritis yang sama  yaitu pengambilan DNA oleh bakteri usus melalui transformasi alamiah dan integrasi DNA ke dalam genom resipien.  Pendekatan evaluasi seperti ini tidak diskrimanatif dalam menilai produk yang berbeda (Suwanto 2000b). 

            Penggunaan bioteknologi telah diakui sebagai teknologi yang memberi manfaat (Hartiko 1995; Suwanto 2000a) terutama dalam aktivitas pertanian (Zohrah 2001).  Meskipun demikian aplikasi tersebut harus tetap diiringi dengan langkah –langkah yang perlu diambil untuk memastikan produk tersebut tidak membahayakan kehidupan manusia.  Protokol keamanan hayati Cartagena adalah salah satu upaya global yang dapat dipakai masyarakat dunia untuk mematuhi peraturan yang berkaitan dengan produk transgenik. Keberadaan peraturan-peraturan ini diharapkan tidak menghalangi pertumbuhan dan perkembangan bioteknologi (Zohrah 2001).

            Issue bioteroris.  Setahun terakhir ini issue bioteroris menjadi fenomena baru yang muncul akibat banyaknya aksi teror yang terjadi pada saat teknik rekayasa genetika berkembang sangat pesat. Prestasi gemilang rekayasa genetika yang telah dicapai dibayangi penyalahgunaan oleh teroris.  Kebebasan mengakses data genetika pada genbank dikhawatirkan akan dimanfaatkan para teroris sebagai sarana menciptakan senjata yang berbahaya bagi keselamatan manusia. Presiden Amerika pada pertengahan tahun lalu telah menandatangani UU bioterorisme yang mencakup kesanggupan Amerika terhadap kontrol zat biologi berbahaya dan racun, keselamatan dan keamanan pasokan makanan, obat-obatan dan air minum.  Kekhawatiran penyalahgunaan data genetika ini diragukan karena tidak ada pakar yang mumpuni untuk mengubah informasi tersebut menjadi senjata berbahaya.  Database yang ada tidak dapat digunakan sebagai sarana untuk menciptakan bakteri atau virus pembunuh. Upaya menyembunyikan data genetika justru akan mendorong kepada sains yang membahayakan.  Sebagai tindakan kewaspadaan, data akan diklasifikasikan khususnya data dari sejumlah organisme yang dikenal berbahaya.   Membuka akses publik terhadap data tersebut dianggap lebih banyak manfaat karena akan merangsang berbagai penelitian untuk mencapai kemajuan dari pada kerugiannya, seperti yang dikemukakan oleh Baber dalam Suriasoemantri (1988) bahwa seorang ilmuwan tidak boleh menyembunyikan hasil penemuan apapun bentuknya dari masyarakat luas dan apapun yang menjadi konsekuensinya.

Dalam menyikapi masalah bioteroris masyarakat diharapkan memahami setiap tahap perkembangan ilmu dan teknologi yang selalu memiliki nilai positif maupun negatif. Ilmu pengetahuan yang tidak dipergunakan sebagaimana mestinya tidak akan membawa berkah bagi kemanusiaan, bahkan dapat menjadi malapetaka dimuka bumi karena pada dasarnya pengetahuan ditujukan untuk kemakmuran manusia dan kemanusiaan (Suriasoemantri 1988).

 

Bioetika dalam Penelitian Bioteknologi

          Menurut Moeljopawiro (2002), bioetika adalah etika yang terkait dengan kehidupan yang pertanggungjawabannya dua arah yaitu vertikal dan horizontal, kepada Yang Maha Pencipta dan kepada sesama manusia. Sukara (2002) menambahkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat seakan-akan berlangsung secara otomatis dan tidak tergantung kepada kemauan manusia, sehingga seolah-olah kemajuan ilmu pengetahuan tadi tidak memperhatikan aspek etika.  Akibatnya pada saat teknologi akan diterapkan sering mendapatkan reaksi negatif dari kalangan masyarakat.   

          Perkembangan revolusi genetika yang begitu pesat memberi peluang sangat besar terjadinya perubahan-perubahan di masa mendatang yang akan berpengaruh besar terhadap peradaban manusia.  Ilmu berfungsi sebagai pengetahuan yang membantu manusia untuk mencapai tujuan hidup yang berhubungan dengan hakekat kemanusiaan itu sendiri (Nasoetion 1999).  Posisi pakar ilmu menurut Sukara (2002) sangat penting karena hanya mereka yang mampu menganalisis potensi risiko dan keuntungan serta memiliki kewajiban etis untuk menganalisis secara fair, terbuka dan tidak berat sebelah.  Keputusan akhir tidak boleh diserahkan sepenuhnya kepada ilmuwan karena monopoli ilmu tidak berarti memonopoli etika dan kearifan. Dari standar etika dan kaidah berperilaku yang diberlakukan kelompok keilmuwan lain terutama dari etika kelompok ilmuwan biologi (Rifai 2002), dapat diperkirakan etika dan kaidah perilaku ilmuwan bioteknologi adalah pertama ilmuwan bioteknologi harus menghormati standar etika tertinggi, mengemban kewajiban moral dan tanggung jawab profesional terhadap masyarakat umum artinya secara aktif dan proaktif melayani dan memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Pernyataan ilmiah untuk umum harus dijaga ketepatannya jauh dari sensasi tanpa membesar-besarkan kelebihannya ataupun menutupi kekurangannya.  Kedua, pakar bioteknologi berkewajiban memajukan, memanfaatkan, mengembangkan dan menguasainya bidangnya untuk didarmabaktikan bagi kepentingan umum dan kesejahteraan umat manusia serta dapat memahami keterbatasan pengetahuan dan ilmunya serta menghormati makna kebenaran ilmiah.  Ketiga, pakar bioteknologi  senantiasa berusaha memajukan profesinya dengan meningkatkan kemampuan dan kompetensinya sehingga selalu dapat mengikuti perkembangan mutakhir bidangnya, mendukung perhimpunan ilmiahnya, menelorkan berbagai gagasan dan informasi guna menyuburkan kemitraan dalam bersinergi sesamanya.  Keempat, pakar bioteknologi dituntut untuk memahami dan mengantisipasi dampak kegiatannya pada lingkungan, disamping berperikemanusiaan mereka perlu pula berperikebinatangan dan berperiketumbuhan.  Nasoetion (1999) menambahkan bahwa kewajiban seorang ilmuwan secara batiniah adalah memberikan sumbangan pengetahuan baru yang benar kepada kumpulan pengetahuan yang benar yang sudah ada,  walaupun ada tekanan ekonomi, atau sosial yang memintanya untuk tidak melakukan hal itu, karena tanggung jawab para ilmuwan adalah memerangi ketidaktahuan, prasangka dan takhayul di kalangan manusia mengenai alam semesta ini.

 

Simpulan

          Rekayasa genetika merupakan salah satu teknologi yang potensial sebagai alternatif pemecahan masalah pangan dunia untuk menghasilkan tanaman transgenik. Tanaman transgenik telah banyak dilepas sebagai tanaman pangan dengan tujuan seperti tahan insekta, tahan herbisida, mengandung vitamin dan gizi tinggi, tahan penyimpanan jangka panjang, dsb. Sampai saat ini fakta menunjukkan bahwa kelompok tanaman ini telah memberi banyak manfaat khususnya dalam dunia pertanian karena memiliki produktivitas dan kualitas tinggi serta lebih ramah lingkungan.

            Tidak ada teknologi tanpa resiko, begitu juga dengan tanaman transgenik. Adanya resiko ini menimbulkan kekhawatiran pada kelompok tertentu. Kekhawatiran yang muncul disebabkan kurangnya pengetahuan dasar dan proses perakitan tanaman transgenik. Para ilmuwan tidak perlu menutupi resiko yang akan timbul jika ada, karena resiko tersebut sebenarnya merupakan awal dari penelitian berikutnya yang menjadi solusi dari probematika  tersebut. sehingga tetap bermanfaat bagi masyarakat umum.

            Sikap masyarakat terhadap tanaman transgenik sangat bergantung kepada fakta yang muncul dari manfaat dan resiko tanaman transgenik. Sejauh ini manfaat sudah dirasakan tetapi resiko yang banyak muncul sebagai issu masyarakat masih merupakan dugaan dan belum ada bukti.  Kelak jika resiko ini terbukti, para pakar yang kompeten di bidang ini perlu menginformasikannya kepada masyarakat sehingga masyarakat mendapatkan kebenaran yang hakiki.

            Bioetika dalam pengembangan tanaman transgenik sangat diperlukan agar itikad baik ilmuwan terkait selalu terjaga untuk selalu mengarah kepada kemaslahatan bagi masyarakat banyak  dan bukan  sebaliknya.

           

Pustaka

 

Anwar, S. Jusuf, M. Suharsono. 1999. cDNA Sequence of Plasma Membrane Protone-ATPase (GeneBank accession number AF091303) aand Aminoacyl Peptidase (GeneBank accession number AF091304) That Are Induced by Aluminium. Hayati IPB. Makalah Seminar Hasil-Hasil Penelitian PAU Bioteknologi IPB.

 

Brown, T.A. 1990. Gene Cloning. Chapman and Hall. London.

 

Brown, L.R. & Kane, H. 1994. Reassesing the Earth’s Population Carrying Capacity. S.Linda (ed.) The Worldwatch Environmental Alert Series. W.W. Northon&Company. London.

 

Chassy, B.M. 1997. The Safety of Dairy Product Prepared with Genetically Modified Starter Cultures, abs. hlm 12. Abstrak International Seminar and Exhibition : Release and Biosafety of Genetically Modified Foods. Bogor. Indonesia.

 

Fagan, J.B. 1997. Assesing Rhe Health and Environmental Risks and Benefits of Genetically Engineered Foods, abst. hlm. 7. Abstrak International Seminar and Exhibition : Release and Biosafety of Genetically Modified Foods. Bogor. Indonesia.

 

Hartiko, H. 1995. Dampak Pemanfaatan Bioteknologi terhadap Keanekaragaman Hayati. Program Pelatihan Persiapan Perkuliahan Tingkat Lanjut PMIPA LPTK. Jurusan Biologi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

 

Moeljopawiro, S.2002.  Bioetika Penelitian Pertanian.  Pusat Perlindungan Varietas Tanaman. Jakarta.

 

Muchtadi, D. 2002. Manfaat Tanaman Transgenik Ditinjau dari Aspek Kesehatan. SeminarBioteknologi Peran Tanaman Transgenik di Masa Depan. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Bogor. 30-31 Oktober 2002.

 

Muladno, 2002. Seputar Teknologi Rekayasa Genetika. Pustaka Wirausaha Muda. Bogor

 

Nasoetion, A.H. 1999. Pengantar ke Filsafat Sains. Litera Antarnusa. Jakarta.

 

Rifai, A.M. 2002.  Bioetika dan Kode Etika Biologiwan. Dalam Diskusi Panel Bioetika : Bagian Keseharian Ilmuwan. Dewan Riset Nasional, d.a.  Kementrian Riset dan Teknologi, Jakarta & Herbarium Bogoriense Puslit Biologi – LIPI. Bogor

 

Suharsono, S. 2000. Prinsip Rekayasa Genetika. Pelatihan Teknik Pengklonan Gen dan Pengurutan DNA. Bogor.

 

Sukara, E. 2002. Pentingnya Bioetika Sebagai Kendali dan Arah Bagi Kemajuan Biosains : Beberapa Studi Kasus Yang Harus Dicermati.  Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.

 

Suranto, S. 1999. Krisis Pangan Dunia dan Prospek Pendekatan Biologi Molekul untuk Mengatasinya. Hayati. 6(2): 47-50.

 

Suriasumantri, J.S. 1988.  Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

 

Suwanto A, 2000a. Tanaman Transgenik : Bagaimana Kita Menyikapinya ?.Hayati. 7(1):26-30.

 

Suwanto A, 2000b. Produk Transgenik dan Risiko Transfer Gen pada Mikroorganisme. Hayati. 7(2) :. 56-60

 

Suwanto A, 2002.  Keanekaan Hayati dan Potensi Bioteknologi Mikroorganisme : Seberapa Jauh Kita Mengenalnya ? Seminar Nasional Pemanfaatan dan Pelestarian Plasma Nutfah. Kampus IPB Darmaga, Bogor, 3-4 September 2002.

 

Zohrah. 2001. Bioteknologi dan Biosefti. Dalam Rampak Serantau. Sariyan, A (Ed.). Pusat Fotostat. Hulu Kelang. Brunei Darussalam.

 

Zohrah. 1999. Gennetically Modified Organism:What’s the Fuss All About?. Science Bulletin I. 11-15.