© 2003 Program Pasca Sarjana IPB Posted:
4 April 2003
Makalah Pengantar Falsafah Sains
(PPS702)
Dosen: Prof. Dr. Ir. Rudy C.
Tarumingkeng
Dr Bambang Purwantara
PEMBERDAYAAN INDUSTRI PERIKANAN NASIONAL MELALUI
PENGEMBANGAN BUDIDAYA LAUT DAN PANTAI
Oleh :
Dhani Dianthani (C661024011)
Haerudin (C661020061)
Nurbambang PU (B661020011)
Pujiono Wahyu Purnomo (C661020071)
Suradi Wijaya Saputra (C061020061)
Yulfiperius (B661020031)
Permintaan dan kebutuhan ikan dunia terus meningkat dari tahun ke tahun,
sebagai akibat pertambahan penduduk dan perubahan konsumi masyarakat ke arah
protein hewani yang lebih sehat.
Sementara itu pasokan ikan dari hasil penangkapan cenderung semakin
berkurang, dengan adanya kecenderungan semakin meningkatnya gejala kelebihan
tangkap dan menurunnya kualitas lingkungan, terutama wilayah perairan tempat
ikan memijah, mengasuh dan membesarkan anak.
Di Indonesia gejala overfishing terjadi pada hampir seluruh perairan
Barat Indonesia, kecuali bagian barat Sumatera dan selatan Jawa.
Guna mengatasi keadaan ini, maka pengembangan
budidaya laut merupakan alternatif yang cukup memberikan harapan. Hal ini didukung oleh potensi alam Indonesia
yang memiliki 81.000 km garis pantai dan penduduk yang telah terbiasa dengan
budaya pantai dengan segala pernik-perniknya.
Kegiatan budidaya laut dan pantai berpeluang besar menjadi tumpuan bagi
sumber pangan hewani di masa depan, karena peluang produksi perikanan tangkap
yang terus menurun. Di beberapa daerah,
kegiatan budidaya laut berkembang dengan sistem Karamba Jaring Apung atau
Karamba Sistem Jaring Tancap. Pada
Lampiran 1 disajikan potensi budidaya
laut dan pantai yang ada di Indonesia.
Meskipun demikian pengembangan budidaya laut hingga saat ini belum
menunjukkan kemajuan yang berarti oleh karena dihadapkan pada berbagai masalah
seperti penurunan mutu lingkungan, sosial ekonomi, kelembagaan dan sumberdaya
manusia.
Diantara berbagai jenis kultivan telah diteliti dan dibudidayakan dalam
skala percobaan atau uji coba sejak tahun 70-an, hanya beberapa jenis saja yang
berhasil dikembangkan secara komersial seperti rumput laut, udang windu,
kekerangan, bandeng, kakap putih, kerapu lumpur dan beronang. Beberapa jenis kultivan lainnya diantaranya
: berbagai jenis kerapu, kakap merah, napoleon, kepiting, ikan hias, teripang
dan lobster, masih dalam taraf penelitian dan pengembangan.
Honma (1993) mengklassifikasikan budidaya laut dan pantai menjadi tiga
bagian, yaitu : budidaya di tambak atau bak beton, budidaya dalam karamba
jaring apung dan budidaya di dalam teluk atau perairan semi tertutup. Budidaya ikan dalam karamba dibagi lagi atas
budidaya ikan dengan pemberian pakan dan tanpa pemberian pakan. Diantara ketiga jenis budidaya laut dan
pantai tersebut, budidaya yang telah berkembang dengan baik adalah budidaya
ikan di tambak dan jaring. Budidaya ikan
yang dilakukan di teluk atau perairan semi tertutup belum dapat dilakukan, dan
masih dalam tahap penelitian dan pengembangan, antara lain karena terhambat
oleh konflik kepemilikan lahan dan penguasaan teknologinya, disamping terkait
dengan kebutuhan investasi yang sangat besar.
Tulisan ini bertujuan mengungkap berbagai permasalahan yang berkaitan
dengan pengembangan budidaya laut di Indonesia selama ini serta berbagai
upaya-upaya yang dapat dilaksanakan untuk mengatasi hambatan dan tantangan,
sehingga dapat dilakukan percepatan pengembangan budidaya laut guna
memberdayakan industri perikanan nasional.
II. PERMASALAHAN PENGEMBANGAN BUDIDAYA LAUT.
Sebagaimana
diuraikan pada awal tulisan, pengembangan budidaya laut dan pantai di Indonesia
berjalan sangat lamban dikarenakan adanya berbagai permasalahan yang
dihadapi. Jika disarikan permasalahan
tersebut dapat dibagi atas 4 bagian yaitu masalah yang berkaitan dengan
alam/lingkungan, sosial ekonomi, kelembagaan dan teknologi. Lee (1997) menyatakan bahwa untuk
pengembangan budidaya (termasuk perikanan), harus didukung oleh lingkungan, kondisi
sosial ekonomi dan kelembagaan. Clark
dan Beveridge (1989) mengatakan bahwa tantangan pengembangan budidaya ikan
terletak pada kurangnya teknologi. Budidaya
laut belum berkembang dengan baik di Indonesia, dikarenakan tingkat penguasaan
teknologi budidaya masih lemah. Teknologi
budidaya laut yang telah dikuasai meliputi teknologi kakap putih, beronang dan
kerapu. Namun teknologi yang
betul-betul telah mantap dikuasai adalah teknologi budidaya kakap putih dan
kerapu.
2.1. Lingkungan/alam
Kendala lingkungan yang dimaksud disini meliputi : (1) sumberdaya lahan
yang terbatas atau sulit dikembangkan untuk budidaya, (2) terbatasnya jumlah
serta kualitas air yang tersedia dan (3) bencana alam seperti banjir dan
tsunami. Tidak semua lahan yang terdapat di laut dan pantai dapat dimanfaatkan
untuk budidaya laut dan pantai. Hanya
lahan-lahan tertentu yang sesuai yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya. Lokasi yang dapat digunakan/dipilih sebagai
lokasi budidaya laut harus memenuhi beberapa persyaratan berikut :
o
Perairan tenang terlindung dari arus dan gelombang yang cukup kuat, karena
dapat merusak konstruksi jaring apung.
o
Kedalaman perairan 5
-15 meter. Kedalaman perairan , 5 meter
akan menimbulkan masalah lingkungan
(kualitas air dari sisa pakan dan kotoran ikan). Kedalaman perairan > 15 meter akan membutuhkan tali jangkar
yang panjang.
o
Dasar perairan
sebaiknya sesuai dengan habitat asal ikan yang akan dibudidayakan. Ikan kerapu menyukai dasar perairan berpasir.
o
Bebas dari bahan cemaran, sehingga lokasi budidaya harus jauh dari
kawasan industri maupun pemukiman yang padat.
o
Tidak menimbulkan
gangguan terhadap alur pelayaran
o
Mudah dicapai dari darat dan dari tempat pemasok sarana produksi
budidaya
o
Lokasi budidaya aman dari tindak pencurian dan penjarahan
o
Memenuhi syarat dari segi fisik-kimia kualitas air yaitu ;
§
Kecepatan arus 15 –
20 cm/detik
§
Kecerahan > 1
meter dan untuk kerapu > 2 meter
§
Salinitas : 30 – 33 ppt
§
Suhu : 27 – 29 derajat Celcius
§
Keasaman air > 7
(basa)
§
Oksigen terlarut .
> 5 ppm
Sementara itu untuk
pengembangan budidaya pantai perlu memper-hatikan daya dukung lahan. Pengembangan tambak yang melampaui daya
dukung lingkungan akan menimbulkan berbagai dampak ikutan, yang mungkin semakin
sulit diatasi. Daya dukung lahan pantai
untuk pertambakan ditentukan oleh :
mutu tanah, mutu air sumber (asin dan tawar), hidrooseanografi (arus dan
pasang surut), topografi dan klimatologi daerah pesisir dan daerah aliran
sungai di daerah hulu (Poernomo, 1992).
Pada tabel berikut disajikan tolok ukur dan kategori daya dukung lahan
pantai untuk pertambakan.
Tabel 1. Tolok ukur
dan kategori daya dukung lahan pantai untuk pertambakan.
Tolok ukur |
Kategori
daya dukung |
||
Tinggi |
Sedang |
Rendah |
|
1. Tipe dasar pantai |
Terjal, karang
ber-pasir, terbuka |
Terjal, karang ber-pasir
atau sedikit berlumpur |
Sangat landai,
berlumpur tebal berupa teluk/laguna |
2. Tipe garis pantai |
Konsistensi tanah stabil |
Sama dengan ka-tegori tinggi |
Konsistensi tanah sangat labi |
3. Arus perairan |
Kuat |
Sedang |
Lemah |
4. Amplitudo pasang surut rataan |
11 – 21 dm |
8 – 11 dm dan 21 –
29 dm |
< 8 dan > 29 dm |
5. Elevasi |
Dapat diairi cukup
pada saat pasang tinggi rataan.
Da-pat dikeringkan to-tal pada saat surut rendah rataan |
Sama dengan ka-tegori tinggi |
Dibawah rataan
surut rendah |
6. Mutu tanah |
Tekstur : sandy
clay, sandy clay – loam, tidak ber-gambut, tidak ber-pirit. |
Tekstur : sandy
clay - sandy clay – loam, tidak ber-gambut, kandungan pirit rendah |
Tekstur Lumpur atau
Lumpur ber-pasir. Bergambut,
kandungan pirit tinggi |
7. Air tawar |
Dekat sungai de-ngan
mutu air dan jumlah memadai |
Sama dengan ka-tegori tinggi |
Dekat sungai
de-ngan tingkat siltasi tinggi atau air gambut |
8. Permukaan air tanah |
Dibawah LLWL |
Diantara MLWL dan LLWL |
Diatas MLWL |
9. Jalur hijau |
Memadai |
Memadai |
Tipis/tanpa jalur hijau |
10. Curah hujan |
< 2000 mm |
2.000 – 2.500 mm |
> 2500 mm |
Sumber : Poernomo,
1992.
Terjadinya
pencemaran merupakan salah satu kendala yang menyebabkan terjadinya penurunan
kualitas air, sehingga air tidak dapat dimanfaatkan sebagai media
budidaya. Sering kali terjadi kematian
massal hewan kultivan sebagai akibat keracunan bahan-bahan kimia, yang berasal
dari kegiatan industri maupun pemukiman penduduk. Kegagalan kegiatan budidaya dapat pula disebabkan oleh terjadinya
bencana alam seperti kegagalan usaha budidaya rumput laut yang telah dirintis
oleh nelayan di Kabupaten Sikka, NTT, sebagai akibat terjadinya tsunami di
daerah itu.
2.2. Sosial
Ekonomi dan Budaya
Kendala yang tergolong dalam masalah sosial ekonomi dan budaya meliputi (1)
terbatasnya sarana dan prasarana produksi, (2) fluktuasi harga produk perikanan yang dihasilkan,
sehingga menyulitkan perencanaan bisnis, khususnya dalam membuat prediksi biaya
hasil (out put) produksi serta (3)
masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia perikanan.
Seringkali terjadi lahan yang sesuai untuk budidaya komoditas tertentu
terdapat pada lokasi terpencil, yang belum memiliki sarana dan prasarana
pendukung seperti penerangan, sarana telekomunikasi, air bersih dan
perhubungan, sehingga investor harus berinvestsi pula untuk memenuhi kebutuhan
sarana dan prasarana tersebut. Dengan
demikian biaya investasi menjadi sangat tinggi.
2.3. Kelembagaan
Permasalahan kelembagaan meliputi (1) keterbatasan pelayanan penyuluhan
oleh pemerintah, (2) organisasi petani ikan
belum berkembang dengan baik oleh karena kualitas SDM masih sangat
rendah dan (3) masih lemahnya dukungan dari lembaga keuangan bank dan non-bank
dalam hal dukungan permodalan dan pengeblaan usaha.
Dalam bidang pelayanan penyuluhan,
permasalahan terjadi sebagai akibat terjadinya kesenjangan antara jumlah
petani yang membutuhkan penyuluhan dengan jumlah tenaga penyuluh dan
sarana/prasarana penunjang penyuluhan seperti balai penyuluh dan kolam
percobaan/demonstrasi. Disamping itu
kualifikasi penyuluh pada tingkat PPS maupun PPL terutama dalam bidang budidaya
laut masih perlu ditingkatkan. Kinerja
penyuluhan perlu diperbaiki melalui peningkatan intensitas keterkaitan dengan
unit-unit percobaan di tingkat propinsi sampai dengan tingkat kabupaten. Kegiatan ini akan mendorong kinerja PPS dan
PPL serta meningkat-kan fungsi penyuluhan yang ada di BIPP.
Di Jepang kebijakan pengembangan perikanan secara nasional diformulasikan
oleh suatu badan (komisi) yang terdiri atas wakil-wakil pemerintah (Fisheries
Agency), wakil-wakil dari kelompok petani yang diutus oleh Federasi Koperasi
Perikanan Nasional dan tenaga ahli.
Sedangkan di Indonesia peranan kelompok tani masih sangat kecil, sehingga kebijakan pengembangan
perikanan masih sangat didominasi oleh pemerintah dan belum mencerminkan
kebutuhan petani seutuhnya.
Pemupukan dan pengembangan modal usaha petani ikan kurang sejalan dengan
sistem perbankan yang berlaku. Dalam
pengajuan kredit, seringkali petani ikan dihadapkan kepada kesulitan untuk
menyediakan agunan dalam jumlah tertentu sebagai jaminan kepada pihak
perbankan. Disamping itu prosedur untuk
mendapatkan kredit dari lembaga keuangan bank maupun non-bank, bagi kalangan
petani ikan dianggap masih sangat berbelit-belit, dibanding dengan cara
memperoleh pinjaman modal dari rentenir.
2.4. Teknologi
Untuk memberdayakan ekonomi petani dan nelayan telah diperkenalkan
teknologi pembenihan baik dalam bentuk hatcheri lengkap (HL) maupun hatcheri
skala rumah tangga (HSRT) yang dapat digunakan untuk membenihkan sebagian besar
jenis ikan laut seperti benih udang windu, udang putih dan bandeng. Sementara pembenihan ikan kakap merah dan
putih, kerapu tikus, macan dan lumpur telah dapat dipasok oleh hatcheri Loka
Situbondo di Jawa Timur dan Loka Gondol di Bali.
Penyediaan teknologi pembenihan masih belum sepenuhnya memadai karena belum
terpecahkannya masalah transportasi benih, penyediaan pakan buatan dan
penguasaan teknik pembasmian penyakit di tingkat petani. Selain itu pengembangan usaha budidaya laut
dalam KJA masih mengalami berbagai kendala antara lain belum adanya tata ruang
pengembangan budidaya, belum dikuasainya teknologi, belum tercukupinya pasok
benih dan sarana produksi lain seperti pakan dan obat-obatan serta belum
terkendalinya masalah lingkungan dan penyakit.
Pakan yang digunakan untuk pembesaran ikan di KJA pada umumnya adalah ikan
rucah yang tertangkap dengan bagan dari sekitar KJA tersebut. Namun uji coba penggunaan pakan buatan
berupa pellet produksi pabrik pakan memperlihatkan hasil yang menggembirakan
terutama untuk ikan kakap.
Beberapa paket teknologi maupun komponen teknologi telah dikuasai antara
lain teknologi kultur pakan alami, teknologi probiotik, teknologi pembenihan
kerapu tikus, kepiting bakau, teripang pasir serta teknologi penanggulangan
penyakit parasiter, bakterial, jamur dan virus.
III. STARATEGI DAN PENDEKATAN PENGEMBANGAN BUDIDAYA PERIKANAN LAUT DAN PANTAI
Pengembangan budidaya laut dan pantai dilakukan dengan menggunakan strategi
yang tidak hanya sekedar memecahkan keempat permasalahan yang telah
dikemukakan diatas, tetapi juga mampu
menimbulkan peluang dan insentif bagi pembangunan yang sedang dilakukan,
terutama untuk mengatasi berbagai permasalahan nasional yang sedang dihadapi
Bangsa Indonesia dewasa ini, seperti masalah devisa dan ketenagakerjaan.
Strategi yang
dapat ditempuh untuk mencapai maksud diatas meliputi berbagai cara dan
pendekatan, baik yang mencakup perubahan struktur budidaya laut dan pantai,
pengelolaan pasar secara lebih baik, perbaikan kelembagaan dan pemanfaatan
teknologi budidaya yang tepat guna sesuai dengan kebutuhan petani maupun yang
terkait dengan strategi pemberdayaan potensi perikanan budidaya secara
kesuluruhan dalam kerangka optimaslisasi pengembangan perikanan budidaya laut
dan pantai.
3.1. Perubahan
Struktur Perikanan Budidaya
Perubahan ini
dilakukan mengacu pada tujuan perubahan struktur. Oleh karena pengembangan budidaya laut dan pantai ditujukan
kepada usaha peningkatan produksi, maka kebijakan harus disusun sedemikian,
sehingga dapat mendukung terjadinya peningkatan produksi melalui peningkatan
produktivitas dan ekstensifikasi lahan budidaya. Kebijakan perubahan struktur merupakan kesengajaan (affimative
action) untuk kelompok sasaran tertentu.
Berbagai kebijakan yang dapat ditempuh untuk merubah struktur produksi
adalah (1) pengadaan sarana dan prasarana penunjang budidaya laut dan pantai,
seperti pembangunan saluran irigasi tambak, pembangunan jalan baru, fasilitas
komunikasi, air dan penerangan. (2) pembangunan kawasan budidaya terpadu, yang
terdiri dari unit pembenihan, pembesaran, pasca panen dan industri pendukung
(terutama pakan), pada suatu kawasan
yang sama sekali tidak akan terganggu oleh aktifitas di sekitarnya, sehingga
tidak akan terjadi lagi kematian massal ikan kultivan oleh limbah industri
maupun rumah tangga, (3) pengembangan sistem pemantauan dini untuk
mengantisipasi terjadinya bencana terhadap usaha budidaya yang dilakukan, baik
yang disebabkan oleh aktifitas alam (banjir, tsunami, angin topan dan
penyebaran penyakit) maupun oleh karena aktifitas manusia (penyebaran limbah
sebagai akibat terjadinya kecelakaan di darat maupun di laut).
3.2. Penciptaan Pasar Yang Bersaing
Pada komoditas
budidaya yang bersifat musiman, pengelolaan pasar sangat penting. Pada saat panen dilakukan produksi biasanya
melimpah, sehingga harga ikan yang dihasilkan turun drastis. Bilamana penurunan harga itu terjadi hingga
dibawah biaya produksi, maka dapat dipastikan bahwa petani ikan mengalami
kerugian. Keadaan ini dapat dicegah dan
diperbaiki dengan melakukan pengelolaan pasar yang lebih baik, dengan tujuan
meningkatkan pendapatan petani, sehingga petani tetap bergairah untuk melakukan
usaha budidaya ikan. Pengelolaan pasar
antara lain dapat dilakukan dengan memperpendek rantai tata niaga dari produsen
ke konsumen, sehingga petani memperoleh keuntungan yang lebih besar.
Pengembangan penelitian harus diarahkan untuk mendapatkan teknologi yang
utuh, efisien dan tepat guna khususnya teknologi pemuliaan, pembenihan,
pembesaran dan manajemen kesehatan ikan.
IPTEK yang digunakan dalam perakitan teknologi diutamakan yang mengarah
kepada teknologi bangsa sendiri dan berbasis sumberdaya lokal.
Pada era mendatang, peran pemerintah dalam pengembangan teknologi akan
semakin berkurang, tetapi karena teknologi perikanan merupakan milik publik,
maka teknologi harus dihasilkan oleh pemerintah. Namun demikian teknologi yang dihasilkan oleh pemerintah ini
perlu dikomersialkan dan ditingkatkan nilai jualnya sesuai dengan HAKI. Dengan demikian diharapkan teknologi akan
cepat berkembang karena terciptanya iklim persaingan dan tersedianya dana bagi
penelitian.
Dalam hal diseminasi, pemerintah masih memegang peranan penting. Untuk itu pemerintah harus proaktif dan
peran utamanya bukan lagi untuk intervensi ekonomi, melainkan untuk pengaturan
dan pelayanan publik termasuk pembinaan dan pengawasan. Upaya diseminasi yang dapat dilakukan adalah
dengan penyediaan informasi sebanyak-banyaknya dengan harga murah dan mudah
dipahami, mendorong petani untuk proaktif mencari teknologi, menata pasar input
dan out put, mendorong partisipasi LSM lokal, serta membangun sistem informasi
teknologi yang berbasis daerah (spesifik lokal).
Penciptaan teknologi bukanlah satu-satunya tujuan
dalam upaya pengembangan budidaya laut.
Pengelolaan merupakan hal yang lebih penting baik yang terkait dengan
sumberdaya manusia, teknologi maupun lingkungan. Budidaya laut dan pantai pada hakekatnya tidak terlepas dari
upaya peneglolaan sumberdaya perikanan laut, pesisir dan pantai secara
keseluruhan.
Kegiatan diseminasi hasil penelitian dan pengkajian hendaknya dilakukan secara berkelanjutan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari program penelitian dan pengembangan. Pengembangan IPTEK dan diseminasinya di daerah perlu didukung oleh peraturan yang memadai. Peraturan yang ada perlu dievaluasi dan kalau perlu membentuk peraturan baru yang disesuaikan dengan UU No. 22 tahun 1999.
Pengembangan kawasan terpadu (KAPET) untuk kegiatan utama budidaya laut, dengan dukungan teknologi yang tersedia dari lembaga penelitian dan pengembangan serta dukungan dana dari lembaga keuangan, hendaknya segera dilaksanakan. Proyek-proyek percontohan perlu lebih dikembangkan di kawasan industri budidaya laut, dengan inisiatif dari pihak pemerintah, bekerjasama dengan swasta ataupun dengan donor. Selain berfungsi dalam diseminasi, proyek-proyek percontohan dapat pula menarik investasi dan menambah keyakinan pengusaha dan petani nelayan. Diseminasi teknologi budidaya laut dan pantai yang selama ini dilakukan di lapangan melalui eksposes hasil penelitian, aplikasi teknologi, demplot, pelatihan, temu lapang, lokakarya dan lain-lain, sendaknya terus digalakkan sesuai dengan kebutuhan setempat.
Kelembagaan yang perlu direvitalisasi untuk menunjang pengembangan budidaya
laut dan pantai meliputi kelembagaan penyuluhan, kelompok tani dan
keuangan. Revitalisasi lembaga
penyuluhan dilakukan untuk meningkatkan kesempatan petani memperoleh layanan
penyuluhan sesuai dengan kebutuhannya.
Revitalisasi kelompok tani dilakukan untuk mendorong petani membentuk
kelompok dan meningkatkan kualitas kelompok melalui pemberdayaan anggota
kelompok. Tindakan ini dilakukan guna
memperkuat posisi tawar menawar petani ikan.
Revitalisasi lembaga keuangan dilakukan guna mempermudah petani
mengakses modal dari perbankan dalam rangka pengembangan usaha.
Penataan kelembagaan dan
koordinasi antar lembaga yang terkait dalam pengembangan IPTEK dan diseminasi
teknologi budidaya laut dan pantai perlu dilakukan. Di tingkat petani dan
nelayan, pembentukan koperasi dan kelompok tani terbukti banyak membantu proses
diseminasi. Adanya suatu sistem informasi perikanan nasional akan sangat
membantu percepatan diseminasi maupun penyampaian umpan balik.
Disamping itu perlu disusun kurikulum dan muatan budidaya laut secara
proporsional di lembaga-lembaga pendidikan formal, DIKLAT dan lembaga
penyuluhan perikanan dan pertanian seperti STP, APP, Akademi Perikanan, SPP
Perikanan, BIPP, BPP dan lain sebagainya.
Lembaga-lembaga yang mempunyai tugas dan fungsi diseminasi seperti
Balai-balai Pengembangan, BPTP, BIPP, BPP maupun penyuluh dan kelompok tani -
nelayan perlu lebih diberdayakan karena selain menjadi pemegang peranan penting
dalam percepatan transfer teknologi dan informasi, mereka juga mengidentifikasi
kebutuhan serta merakit paket teknologi spesifik lokasi berdasar sumberdaya
yang tersedia untuk mendukung pembangunan wilayah.
Sumberdaya manusia merupakan unsur utama pembangunan yang perlu
diperhatikan dalam kegiatan diseminasi budidaya perikanan laut dan pantai,
disamping dua unsur lainnya, yaitu teknologi dan sumberdaya alam. Termasuk
kedalam sumberdaya manusia ini adalah sumberdaya manusia sebagai penghasil
teknologi maupun sumberdaya pengguna
teknologi.
Peningkatan kemampuan sumberdaya manusia, baik
kuantitas maupun kualitasnya, dilakukan terhadap sumberdaya manusia penghasil
teknologi (peneliti/perekayasa,
pengajar, penyuluh) maupun sumberdaya manusia pengguna teknologi (petani
nelayan, pengusaha). Dari sisi pengembangan sumberdaya manusia diseminasi
teknologi budidaya laut dan pantai ini dapat dilihat sebagai suatu sistem alih
informasi yang memiliki unsur sebagai berikut.
1. SDM sebagai
penghasil dan pengembang teknologi
2. Proses
diseminasi teknologi
3. SDM sebagai
penerima pengembangan teknologi.
Sumberdaya manusia yang diharapkan sebagai penghasil teknologi dapat
ditafsirkan sebagai individu atau institusi yang melakukan kegiatan,
penelitian, percobaan, pengembangan suatu teknologi agar bermanfaat secara
nyata bagi kebutuhan manusia atau teknologi itu sendir (Zakaria, 1999). Teknologi
budidaya laut dan pantai merupakan bidang yang memberikan harapan besar bagi
pembangunan perikanan, namun masih banyak tantangan yang dihadapi.
Keanekaragaman
biota tropis yang sangat tinggi dan kompleksnya faktor yang mempengaruhinya
dapat menyebabkan tidak mudahnya teknologi ini diseminasikan. Ditambah lagi
terbatasnya dana dan budaya penelitian pada masyarakat. Beberapa
hal yang perlu mendapat perhatian
terkait dengan sumberdaya manusia penghasil teknologi , antara lain :
a.
Pengusahaan teknologi
terapan budidaya laut dan pantai
b.
Pemahaman secara
mendalam kebutuhan masyarakat dan pasar bisnis komoditas yang dipilih untuk
dikaji, dikembangkan dan didiseminasikan.
c.
Terwujusnya
komunikasi yang akrap, terbuka dan dinamis, segenap unsur pelaku kegiatan
budidaya laut dn pantai.
Sedangkan keberhasilan proses diseminasi teknologi budidaya laut dan pantai dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut :
1.
Tidak terdapat
kesenjangan lokasi yang luas antara penghasil teknologi dan penggunanya.
2.
Tidak terdapat
kesenjangan kognitif yang tinggi antara penghasil teknologi dengan penggunanya.
3.
Terdapat sistem
komunikasi yang baik untuk menghubungkan antara penghasil dan pengguna
teknologi.
Di negara
berkembang seperti Indonesia, pengguna teknologi (petani, nelayan)
pendidikannya pada umumnya relatif rendah. Hal
ini merupakan salah satu penghambat kelancaran diseminasi teknologi budidaya
laut dan pantai. Terlebih lagi jumlah
lembaga penelitian masih sangat kecil disamping dengan penyebaran demografis
petani-nelayan yang sangat luas. Beberapa lembaga pemerintah yang menghasilkan sumberdaya manusia yang dapat
berperan dan berfungsi dalam desiminasi
budidaya laut dan pantai, antara lain :
a)
Sekolah Tinggi
Perikanan
b)
Akademi Perikanan
c)
Sekolah Pertanian
Pembangua
d)
Balai Informasi dan
Penyuluhan Pertanian
e)
Balai Penyuluhan
Pertanian
f)
Penyuluh pertanian
(37.288 orang)
Untuk memperlancar dan mengefektifkan kegiatan penyuluhan, para petani dan neayan dihimpun dalam wadah kelompok tani-nelayan, yang sekaligus merupakan media belajar-mengajar atau unit usaha. Sampai dengan tahun 1999 jumlah kelompok tani-nelayan adalah 354.881 kelompok.
Sumberdaya pengguna dan pelaksana teknologi budidaya laut
dan pantai di Indonesia pada umumnya masih berpendidikan sangat rendah, yakni
79,05 % tidak tamat SD, 17,59%
tamatan SD dan hanya 0,03% yang berpendidikan sarjana. Gambaran tentang
sumberdaya pengguna teknologi budidaya di Indonesia disajikan pada Tabel
berikut.
Tabel 2. Tingkat
Pendidikan SDM Perikanan
No |
Tingkat Pendidikan |
Persentase |
01 |
Diploma dan Sarjana |
0,03 |
02 |
Tamat SLA |
1,37 |
03 |
Tamat SLTP |
1,90 |
04 |
Tamat SD |
17,59 |
05 |
Tidak tamat SD |
79,05 |
Sumber : BPS, 1990
Karena alasan modal, teknologi, akses terhadap sumberdaya alam, sebagian besar kegiatan budidaya perikanan laut dikuasai perusahaan berskala besar atau petani maju. Untuk merangsang pengembangan usaha kecil dan menengah, sekaligus sebagai upaya diseminasi, perlu dikembangkan sistem kemitraan saling menguntungkan dalam budidaya perikanan laut, yaitu dengan menyerahkan sebagian kegiatan usaha kepada pengusaha kecil dan menengah. Pada kenyataannya praktek kemitraan dalam usaha budidaya pantai belum berjalan sebagaimana diharapkan.
Disamping pendekatan tersebut di atas, secara lebih spesifik
Dahuri (2003) mengemukakan beberapa strategi pengembangan perikanan budidaya
laut dan pantai sebagaimana diuraikan sebagai berikut.
Untuk mengantisipasi perubahan paradigma dari orientasi
organisasi berjenjang kepada organisasi
tim kerja, sekaligus untuk menghindari tumpang tindih, kegiatan
penelitian, pengembangan dan diseminasi juga harus dikoordinasikan secara
mantap melalui pengembangan jaringan kerja yang operasional. Pendekatan
partisipasi pengguna teknologi dalam perencanaan serta pelaksanaan pengembangan
budidaya laut dan pantai perlu dikembangkan. Model yang dapat dikembangkan
adalah pengembangan budidaya yang berbasis masyarakat. Pengembangan budidaya
berbasis masyarakat (PBBM) dapat diartikan sebagai suatu proses pemberian
wewenang, tanggung jawab, dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengmbangkan
kegiatan budidaya laut dan pantai dengan terlebih dahulu mendifinisikan
kebutuhan dan keinginan, tujuan serta aspirasinya. PBBM menyangkut pula pemberian tanggung jawab kepada masyarakat
sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang pada akhirnya menentukan dan
berpengaruh pada kesejahteraan mereka.
Di samping pendekatan
PBBM, maka perlu kiranya mempertimbangkan pendekatan budidaya berbasis wilayah
dan komoditas unggulan (PPBBWKU). Keragaman kondisi biofisik wilayah laut dan
pesisir Indonesia yang begitu tinggi berimplikasi kepada kesesuaian untuk
budidaya komoditas perikanan berbeda dari satu wilayah ke wilayah lainnya (Lampiran 1). Oleh karena itu
pembangunan budidaya laut dan pantai di Indonesia tidak mungkin dilakukan
seragam. Akan lebih tepat dan benar bila pembangunan perikanan budidaya ini
berdasarkan kepda pendekatan wilayah sesuai dengan komoditas unggulan yang
dapat dikembangkan di wilayah yang bersangkutan. Lebih dari itu, PPBBWKU juga memudahkan untuk
diterapkannya pendekatan pembanguna wilayah secara terpadu dan total
football oleh segenap sektor yang terkait.
Komoditas perikanan
yang dihasilkan oleh usaha perikanan budidaya ini tidak hanya dimaksudkan untuk
pasar global guna memperoleh devisa, tetapi juga di dalam rangka memenuhi
kebutuhan ikan (ketahanan pangan) dalam negeri, sehingga rakyat menjadi cerdas
dan kuat. Oleh karenanya, komoditas unggulan yang dimaksudkan di sini adalah
komoditas perikanan yang permintaan pasarnya tinggi, baik pasar domestik maupun
eksport, atau harga jualnya tinggi. Komoditas unggulan untuk budidaya tambak
meliputi : udang windu, udang vaname, udang rostris, kerapu lumpur, bandeng,
rajungan dan rumput laut (Gracillaria
Sp). Sedangkan untuk budidaya laut mencakup berbagai macam jenis kerapu,
beronang, kakap, kerang mutiara dan rumput laut (Eucheuma Sp).
Sesuai dengan tuntutan otonomi daerah dan desentralisasi,
maka setiap propinsi dan kabupaten/kota perlu melakukan pemetaan wilayah komoditas
unggulan dimaksud. Atas dasar peta ini disusun rencana pembangunan wilayah
dengan salah satu sektor produktif unggulan (Leading sector) perikanan budidaya laut dan atau payau, yaitu
meliputi tiga langkah sebagai berikut (Dahuri, 2003):
a)
Pertama, setiap PEMDA
melakukan inventarisasi dan pemetaan mengenai karakteristik biofisik, potensi
budidaya, aspek kelembagaan, karakteristik dan dinamika sosio kultural
masyarakat.
b)
Kedua, atas dasar
informasi dari langkah pertama selanjutnya disusun peta tata ruang
berkelanjutan yang terdiri atas : kawasan preservasi, kawasan konservasi dan
kawasan pengembangan budidaya.
c)
Ketiga, Menyusun
rencana investasi dan pembangunan perikanan budidaya atas dasar peta tata ruang
yang dihasilkan pada langkah kedua tadi.
3.9. Penerapan
Teknologi Budidaya sesuai Daya Dukung Lingkungan dan Kesiapan Masyarakat
Setempat dalam Adaptasi Teknologi
Salah satu faktor
penyebab kegagalan budidaya di masa yang lalu tertutama di daerah sentra-sentra
budidaya tambak udang seperti Pantai Utara Jawa dan Sulawesi Selatan, adalah
intensitas budidaya (luas lahan dan tingkat teknologi yang dignakan) melampaui
daya dukung lingkungan. Selain itu kesiapan masyarakat petambak khususnya yang
terkait dengan disiplin, keahlian dan kerjasama kelompok pada saat itu belum
memadai. Oleh sebab itu penerapan
teknologi budidaya pada wilayah-wilayah pengembangan yang telah ditetapkan pada
butir 3.6 di atas harus disesuaikan dengan daya dukung lingkungan setempat dan
kesiapan masyarakatnya di dalam mengadopsi dan menerapkan teknologi termaksud.
3.10. Revitalisasi Sentra Wilayan Produksi Pertambakan
Udang.
Komoditas udang
menempati urutan ke lima terbesar dalam deretan komoditas ekspor non migas, dan
merupakan komoditas perikatan yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia, karena 50% dari total nilai ekspor
perikanan Indonesia (sekitar 2 milyar US$ pada tahun 2002) berasal dari
komoditas udang. Lebih dari itu, permintaan dunia terhadap komoditas ini sangat besar dan
terus meningkat. Pada tahun 2005, diperkirakan akan terjadi penurunan produksi
perikanan, karena beberapa negara produksen perikanan akan menghentikan
kegiatan produksi (penangkapan)-nya, sehingga merupakan peluang yang besar bagi
produksi perikanan nasional. Oleh karenanya program revitalisasi saha budidaya
pantai di daerah – daerah yang pada awal tahun 1980-an sampai awal 1990-an
pernah menjadi sentra produksi udang perlu segera dilakukan. Program ini
meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut (Dahuri, 2003).
Pertama, menentukan
daerah-daerah tambak yang masih dapat direvitalisasi dan yang sudah tidak
mungkin untuk direhabilitasi.
Kedua, bagi tambak yang masih dapat
diselamatkan harus dapat diperbaiki tata letak dan desain perkolamannya serta
diperbaiki kualitas dan daya dukung lingkungannya melalui penanaman kembali
mangrove sesuai kebutuhan dan pengendalian pencemaran, terutama yang berasal
dari sektor-sektor lain di sebelah hulu kawasan pertambakan.
Ketiga, setelah rehabilitasi lingkungan
pertambakan pada butir 2 selesai, maka pembudidayaan jenis udang windu yang
harga jualnya paling tinggi dapat kembali dilakukan dengan prinsip
kehati-hatian sesuai daya dukung lingkungan.
Keempat, perlu perlindungan kawaan industri
budidaya pantai melalui implementasi tata ruang wilayah berbasis Daerah Aliran
Sungai yang harus ditetapkan dalam bentuk Peraturan Daerah. Hal ini sangat
mendasar, karena kegagalan industri tambak udang pada masa yang lalu pada
umumnya disebabkan oleh kualitas perairan yang buruk dan terus menurun akibat
pencemaran dari berbagai kegiatan lain di hulu.
3.11. Penguatan dan Pengembangan Teknologi
Budidaya.
Saat sekarang teknologi yang digunakan untuk usaha budidaya
laut masih sebatas pada jaring apung atau karamba laut, sistem rakit dan rakit
dasar. Dengan banyaknya teluk-teluk dan daerah laut yang bersifat semi tertutup
serta pulau-pulau kecil yang dikelilingi
mangrove dan terumbu karang, maka teknologi sea ranching dan sea
farming seperti yang berhasil diterapkan di beberapa negara, seperti
Jepang, Australia, dan beberapa negara Pasifik Selatan perlu diterapkan dengan
beberapa penyesuaian.
3.12. Penguatan dan Pengembangan
Kapasitas Pasca Usaha Budidaya Perikanan.
Secara bio-teknis
keberhasilan usaha perikanan budidaya laut dan pantai ditentukan oleh penguasan
dan penerapan secara tepat dan benar lima elemen dasar (panca usaha) budidaya
perikanan, yaitu (Dahuri, 2003): (1) perbenihan, (2) pakan atau nutrisi (3)
pengendalian hama dan penyakit (4) manajemen kualitas air dan tanah, (5) pon engineering dan layout perkolaman.
Kemampuan dalam mengusai dan menerapkan panca usaha budidaya perikanan
ini harus senantiasa terus ditingkatkan, jika ingin potensi ekonomi yang sangat
besar ini dapat mewujudkan kemakmuran yang dicita-citakan.
3.13. Pembangunan Prasarana
Potensi ekonomi yang
terdapat pada usaha perikanan budidaya laut dan pantai sangat besar, tetapi realisasinya sangat kecil, disebabkan
antara lain terbatasnya prasarana, seperti saluran irigasi dan drainase
pertambakan, akses jalan dan
sebagainya. Selama ini, saluran irigasi tambak merupakan bagian terhilir dari
sistem irigasi sawah (pertanian), sehingga air yang masuk ke tambak kebanyakan
mengandung sisa-sisa pestisida, herbisida, atau pupuk dari lahan pertanian.
Oleh karena itu perlu membangun prasarana ini khusus untuk kawasan pertambakan
sebagaimana dipraktekkan secara berhasil di Thailand.
3.14. Penerapan Sistem Bisnis Perikanan Budidaya
Secara Terpadu
Pembangunan perikanan
budidaya hendaknya dilakukan berdasarkan pendekatan sistem bisnis perikanan
budidaya secara terpadu, sehingga arah dan kebijakan pembangunan merefleksikan
kegiatan dari seluruh fungsi sub sistem perikanan yang meliputi pembangunan
sub-sistem perbenihan, sub-sistem usaha budidaya, sub-sistem pasca panen dan
pemasaran yang ditunjang oleh pembangunan sub-sistem kesehatan ikan dan lingkungannya serta pembangunan sub-sistem
prasarana budidaya perikanan. Dalam
pembangunan budidaya tambak yang menjadi sorotan adalah berkaitan dengan pembangunan budidaya yang
berkelanjutan sesuai dengan amanat FAO (1995) melalui Code of Conduct for Responsible
Fisheries, sehingga arah pembangunan perikanan budidaya, khususnya budidaya
udang hendaknya dilakukan dengan prinsip-prinsip pembangunan yang
bertanggungjawab dengan memadukan
elemen daya dukung dan pengendalian lingkungan.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1.
Perikanan budidaya
merupakan salah satu potensi ekonomi nasional yang saat sekarang belum dapat
dimanfaatkan secara optimal
2.
Pengembangan
perikanan budidaya laut dan pantai masih mengalami banyak kendala, baik yang
bersifat internal seperti masalah SDM, penguasaan teknologi dan sebagainya
maupun yang terkait dengan persoalan eksternal, seperti masalah lingkungan dan
ketersediaan sarana dan prasarana.
3.
Guna mengatasi
berbagai permasalahan yang timbul berkaitan dengan upaya pengembangan budidaya
laut dan pantai, sekaligus memecahkan berbagai permasalahan Bangsa Indonesia,
maka strategi pengembangan yang dapat ditempuh adalah :
a. Perubahan struktur budidaya laut dan pantai yang
berorientasi pada peningkatan produksi.
Strategi ini ditempuh melalui peningkatan produktivitas dan
ekstensifikasi lahan budidaya
b.
Penciptaan struktur
pasar yang lebih
4. Berbagai upaya sebagaimana diuraikan di atas akan mampu
mempercepat pengembangan perikanan budidaya laut dan pantai jika dilaksanakan
dengan sungguh-sungguh oleh semua pihak yang terkait, dari level Daerah
Kabupaten/Kota sampai dengan level nasional.
Clarke, R. and M. Beveridge. 1989. Off shore fish farming.
Infofish International, 3 (89) : 12 – 15.
Dahuri, R. 2003. Paradigma baru
pembangunan Indonesia berbasis kelautan. Orasi ilmiah : Guru besar tetap bidang
pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor.
Honma, A. 1993.
Aquaculture in Japan. Japan FAO
Association. Baji Chikusan-Kaikan, 1-2
Kanda Surugadai, CVhiyoda-Ku, Japan.
Jusuf, G.D.H. dan V.P.H. Nikijuluw. 1999. Arah kebijaksanaan dan strategi
diseminasi teknologi dan penelitian budidaya laut dan pantai dalam A. Sudrajat, E. S.Heruwati, J.
Widodo dan A. Poernomo (Penyunting).
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Diseminasi Teknologi Budidaya
laut dan Pantai di Jakarta Tanggal 2 Desember 1999. Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Perikanan bekerjasama dengan
JICA
Lee, C.S. 1997. Constraints and government
intervention for the development of aquaculture in developing countries. Aquaculture Economics and Managements, 1(1)
: 65 – 71.
Maan, M., Bachrein dan M.
Rochiyat. 1999. Diseminasi teknologi budidaya laut dan
pantai dalam A. Sudrajat, E.
S.Heruwati, J. Widodo dan A. Poernomo (Penyunting). Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Diseminasi Teknologi
Budidaya laut dan Pantai di Jakarta 2 Desember 1999. Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Perikanan bekerjasama dengan
JICA.
Nikijuluw, Victor P.H., 2002.
Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan
Daerah dan PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta.
Sugama, K. 1999. Inventarisasi dan identifikasi teknologi
budidaya laut dan pantai yang telah dikuasai untuk diseminasi dalam A. Sudrajat, E. S.Heruwati, J.
Widodo dan A. Poernomo (Penyunting). Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Diseminasi
Teknologi Budidaya laut dan Pantai di Jakarta Tanggal 2 Desember 1999. Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Perikanan
bekerjasama dengan JICA
Lampiran 1. Tabel
Potensi Pengembangan Budidaya Laut di Indonesia
No |
Propinsi |
Komoditas |
Potensi Luas Areal (ha) |
1 |
DI Aceh |
Kerapu, Rumput
laut, Kekerangan |
203,35 |
2 |
Sumatera Utara |
Kakap, Tiram, teripang, Rumput laut |
734 |
3 |
Sumatera Barat |
Kerapu bebek,
Kerapu macan, Rumput laut dan mutiara |
128 |
4 |
Bengkulu |
Kakap, tiram dan
rumput laut |
203 |
5 |
Sumatera Selatan |
Kakap dan tiram |
2.785.300 |
6 |
Riau |
Kakap putih dan
rumput laut |
1.595 |
7 |
Jambi |
Kakap putih |
30 |
8 |
Lampung |
Kakap, tiram |
596,8 |
9 |
DKI Jakarta |
Rumput laut, kerang
hijau, kerapu, kakap, beronang dan tiram mutiara |
26,4 |
10 |
Jawa Barat |
Kakap, kerapu,
teripang, rumput laut |
743,7 |
11 |
Jawa Tengah |
Kakap, kerapu,
teripang, rumput laut |
677.700 |
12 |
DI. Yogyakarta |
Kakap, kerapu,
teripang |
18,8 |
13 |
Jawa Timur |
Kakap, kerapu,
teripang, rumput laut dan mutiara |
640,5 |
14 |
Bali |
Kakap, kerapu, tiram, teripang, rumput laut dan
mutiara |
39,2 |
15 |
Nusa Tenggara Barat |
Kerapu, teripang,
rumput laut dan mutiara |
152,8 |
16 |
Nusa Tenggara Timur |
Kakap, kerapu,
tiram, rumput laut dan mutiara |
37,5 |
17 |
Sulawesi Utara |
Kakap, kerapu, tiram, teripang, rumput laut dan mutiara |
143,4 |
18 |
Sulawesi Selatan |
Kakap, kerapu, tiram, teripang, rumput laut dan
mutiara |
600,5 |
19 |
Sulawesi Tengah |
Rumput laut, kerang
hijau, kerang mutiara dan teripang |
18,4 |
20 |
Sulawesi Tenggara |
Kakap, kerapu,
tiram, teripang, rumput laut dan mutiara |
230 |
21 |
Kalimantan Barat |
Kerapu, kakap
putih, lobster, teripang |
15,52 |
22 |
Kalimantan Timur |
Kerapu, kakap,
rumput laut, teripang dan lobster |
6,35 |
23 |
Kalimantan Tengah |
Kakap dan tiram |
3.708.500 |
24 |
Kalimantan Selatan |
Kerapu, tiram,
kerang, teripang, abalone, rumput laut dan kerang putih |
1.962.505 |
25 |
Maluku |
Kakap, kerapu,
tiram, teripang, rumput laut dan mutiara |
1.044.100 |
26 |
Irian jaya |
Kakap, kerapu,
tiram, teripang, rumput laut dan mutiara |
9.938.100 |
TOTAL |
24.528.178 |
Sumber
: Ditjen Perikanan Budidaya, 2002
No |
Propinsi |
Potensi |
Tingkat Pemanfaatan |
||
Luas (ha) |
% |
Luas (ha) |
% |
||
1 |
DI Aceh |
34,8 |
4,02 |
42,847 |
123,12 |
2 |
Sumatera Utara |
71,5 |
8,25 |
6,95 |
9,72 |
3 |
Riau |
54 |
5,91 |
286 |
Dta |
4 |
Jambi |
3,3 |
0,36 |
100 |
Dta |
5 |
Sumatera Selatan |
13 |
1,88 |
100 |
0,61 |
6 |
Bangka Belitung |
Dta |
Dta |
Dta |
Dta |
7 |
Sumatera Barat |
7,7 |
0,89 |
3,613 |
46,92 |
8 |
Lampung |
13,1 |
0,76 |
Dta |
Dta |
9 |
Banten |
Dta |
Dta |
Dta |
Dta |
10 |
Bengkulu |
6,8 |
0,79 |
143 |
2,09 |
11 |
Jawa Barat |
47,2 |
7,23 |
54,308 |
86,68 |
12 |
Jawa Tengah |
26 |
2,31 |
27,955 |
139,78 |
13 |
DI. Yogyakarta |
1,9 |
0,22 |
Dta |
Dta |
14 |
Jawa Timur |
35 |
3,90 |
Dta |
Dta |
15 |
Bali |
4,6 |
0,54 |
678 |
14,58 |
16 |
Nusa Tenggara Barat |
19,2 |
2,22 |
7,051 |
36,72 |
17 |
Nusa Tenggara Timur |
2,5 |
0,29 |
346 |
13,84 |
18 |
Kalimantan Barat |
91,6 |
10,59 |
557 |
0,61 |
19 |
Kalimantan Tengah |
115 |
13,27 |
Dta |
Dta |
20 |
Kalimantan Selatan |
28,6 |
3,30 |
2,363 |
8,26 |
21 |
Kalimantan Timur |
82,9 |
9,26 |
15,428 |
18,50 |
22 |
Sulawesi Selatan |
15,9 |
1,83 |
84,832 |
535,22 |
23 |
Sulawesi Tenggara |
7 |
2,31 |
Dta |
Dta |
24 |
Sulawesi Tengah |
5,5 |
9,63 |
5,85 |
107,34 |
25 |
Gorontalo |
Dta |
Dta |
Dta |
Dta |
26 |
Sulawesi Utara |
16,5 |
0,39 |
689 |
20,26 |
27 |
Maluku |
188,4 |
22,06 |
45 |
0,02 |
28 |
Maluku |
Dta |
Dta |
Dta |
Dta |
29 |
Irian jaya |
21 |
2,42 |
213 |
1,01 |
TOTAL |
913 |
100,00 |
344,759 |
40,00 |
Sumber
: Ditjen Perikanan Budidaya, 2002