© 2002Program Pasca Sarjana IPB                                                                      Posted  10 March, 2003

Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

March  2003

 

 

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng                                                                                      

 

 

KETAHANAN PANGAN DAN UPAYA PENCAPAIANNYA

 

Oleh

 

Kelompok I:

 

Amelia Nani Siregar           A 156010161

Iin Ichwandi                        E 061020211

Reni Kustiani                     A 546010091

Siti Maryam                         A 561020031

Wini Trilaksani                    C 561020051

Yuliana                                 A 561024011

 

 

PENDAHULUAN

 

Ketahanan pangan merupakan salah satu isu strategis dalam konteks pembangunan negara sebagai negara berkembang, karena memiliki fungsi ganda yaitu: (a) salah satu sasaran utama pembangunan, dan (b) salah satu instrumen utama pembangunan ekonomi (simatupang, 1999).  Fungsi pertama merupakan fungsi ketahanan pangan sebagai prasyarat untuk terjaminnya akses pangan bagi semua penduduk.  Akses terhadap pangan dalam jumlah yang memadai merupakan hak azasi manusia yang harus selalu dijamin oleh negara bersama masyarakat.  Fungsi kedua, merupakan implikasi dari fungsi ketahanan pangan sebagai syarat keharusan dalam pembangunan sumberdaya manusia yang kreatif dan produktif dan sebagai determinan penting dalam mendukung lingkungan perekonomian yang stabil dan kondusif bagi pembangunan nasional.  Sasaran ketahanan pangan dapat dibangun dengan mengacu kepada potensi sumberdaya alam, pengembangan komoditas unggulan daerah dan dukungan institusi perdagangan untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas dan mampu menjamin keberlanjutan pembangunan ekonomi.

Dalam tatanan kebijakan meski masih bersifat parsial dan timpang, arah pembangunan ketahanan pangan di Indonesia cenderung semakin membaik.  Dalam arti kebijakan nasional, kebijakan ketahanan pangan sudah dimulai sejak pertengahan tahun 70-an dengan disusunnya Bab Pangan dan Gizi dalam Buku Repelita II.  Istilah ketahanan pangan secara formal dicantumkan dalam dokumen kebijakan dan program pembangunan nasional dimulai sejak tahun 1992 (Repelita VI) yang definisi formalnya dicantumkan pada UU Pangan tahun 1996, yaitu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, merata dan terjangkau.  Selanjutnya dalam GBHN 1999 dinyatakan bahwa salah satu kebijakan pembangunan ekonomi nasional (butir 14) adalah mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis lokal untuk menjamin tersedianya pangan dan gizi yang dibutuhkan. Simatupang (1999) mengemukakan agar tujuan dari kebijakan ketahanan pangan dalam negeri diarahkan untuk menjamin agar seluruh anggota masyarakat memiliki akses yang kontinyu terhadap pangan dalam jumlah dan kualitas yang memenuhi kebutuhan gizi.

Meski Kementrian Negara Urusan Pangan ditiadakan, keberadaan Badan Bimbingan Massal Ketahanan Pangan, Deptan (yang sebelumnya Badan Urusan Ketahanan Pangan) selama dua tahun terakhir (bahkan juga pada beberapa propinsi) menunjukkan bahwa komitmen pemerintah untuk mendukung kelembagaan ketahanan pangan semakin baik.  Sementara itu Inmendagri no.4/1999 tentang pelaksanaan otonomi daerah menggariskan bahwa ketahanan pangan sebagai salah satu strategi pembangunan pertanian daerah diarahkan pada “upaya menjamin tersedianya pangan yang cukup dan terjangkau oleh masyarakat baik melalui diversifikasi pangan, intensifikasi, pembudayaan pertanian rakyat, dan kinerja lain yang dapat meningkatkan kenerja produksi pangan di daerah, serta mengakhiri ketergantungan pangan rakyat pada beras”.  Masalahnya pelaksanaan kebijakan tersebut belum sebaik rumusan kebijakannya.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka tujuan dari penulisan paper ini adalah menjelaskan: 1) persepsi dan konsepsi ketahanan pangan; 2) ruang lingkup, visi dan misi ketahanan pangan; 3) keragaan dan ketahanan pangan di Indonesia dan 4) upaya pencapaian ketahanan pangan.

 

 

PERSEPSI DAN KONSEPSI KETAHANAN PANGAN

 

Istilah ketahanan pangan (food security) mulai populer sejak krisis pangan dan kelaparan pada awal dekade 70-an (Maxwell and Frankerberger, 1997).  Dalam kebijakan pangan dunia, istilah ketahanan pangan pertama kali digunakan oleh PBB pada tahun 1971 untuk membangun komitmen internasional dalam mengatasi masalah pangan dan kelaparan terutama di kawasan Afrika dan Asia.

Pada mulanya pengertian ketahanan pangan terfokus pada kondisi pemenuhan kebutuhan pangan pokok. Konsep swasembada berbeda dengan konsep ketahanan pangan, meskipun dalam beberpa hal mungkin berkaitan.United Nation (1975) mendefinisikan ketahanan pangan adalah ketersediaan cukup makanan utama pada setiap saat dan mengembangkan konsumsi pangan secara konsisten dan dapat mengimbangi flukuasi produksi dan harga. World Bank (1994) menyatakan bahwa ketahanan pangan dapat dicapai hanya jika semua rumah tangga mempunyai kemampuan untuk membeli pangan.  Kemudian pada tahun 1986 World Bank mendefinisikan ketahanan pangan adalah akses terhadap cukup pangan oleh penduduk agar dapat melakukan aktivitas dan kehidupan yang sehat.

Selanjutnya berdasarkan kesepakatan pada International Food Submit dan International Conference of Nutrition 1992 (FAO, 1997) pengertian ketahanan pangan diperluas menjadi kondisi tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan setiap orang setiap saat untuk hidup sehat, aktif dan produktif.  Pengertian ketahanan pangan yang terakhir ini mengandung makna yang selaras dengan paradigma baru kesehatan (yang di Indonesia disebut Indonesia Sehat 2010).

Makna yang terkandung dalam pengertian ketahanan pangan tersebut mencakup dimensi fisik pangan (ketersediaan), dimensi ekonomi (daya beli), dimensi pemenuhan kebutuhan gizi individu (dimensi gizi) dan dimensi nilai-nilai budaya dan religi (pola pangan yang sesuai untuk hidup sehat, aktif dan produktif serta halal), dimensi keamanan pangan (kesehatan), dan dimensi waktu (tersedia secara berkesinambungan) (Hardinsyah dan Martianto, 2001).

 

 

RUANG LINGKUP, VISI DAN MISI KETAHANAN PANGAN

 

Ketahanan pangan dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga sub sistem yang saling berinteraksi, yaitu sub sistem ketersediaan, sub sistem distribusi dan sub sistem konsumsi.  Pembangunan ketahanan pangan memerlukan harmonisasi dari pembangunan ketiga sub sistem tersebut.  Pembangunan sub sistem ketersediaan pangan diarahkan untuk mengatur kestabilan dan keseimbangan penyediaan pangan yang berasal dari produksi, cadangan dan impor.  Pembangunan sub sistem distribusi bertujuan untuk menjamin aksesibilitas pangan dan menjamin stabilitas harga pangan strategis.  Dan pembangunan sub sistem konsumsi bertujuan untuk menjamin agar setiap warga mengkonsumsi pangan dalam jumlah dan gizi yang cukup, aman dan beragam.  Pembangunan ketiga sub sistem tersebut dilaksanakan secara simultan dan harmonis dengan menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat secara partisipatif, pendekatan sistem usaha agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan, berkerakyatan dan desentralistis, dan melalui pendekatan koordinasi.

Suryana (2001) mengemukakan bahwa keberhasilan pembangunan ketiga sub sistem ketahanan pangan tersebut perlu didukung oleh faktor-faktor input berupa sarana, prasarana dan kelembagaan produksi, distribusi, pemasaran, pengolahan dan sebagainya.  Disamping itu perlu juga didukung oleh faktor-faktor penunjang seperti kebijakan, peraturan, pembinaan dan pengawasan pangan.  Ketahanan pangan dilaksanakan oleh banyak pelaku (stakeholder) seperti produsen, pengolah, pemasar dan konsumen yang dibina oleh berbagai institusi sektoral, sub sektoral serta dipengaruhi interaksi antar wilayah.  Output yang diharapkan dari pembangunan ketahanan pangan adalah terpenuhinya hak azazi manusia akan pangan, meningkatnya kualitas sumberdaya manusia, meningkatnya ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional. Sistem ketahanan pangan yang kompleks tersebut digambarkan dalam Kerangka  Sistem Ketahanan Pangan sebagai berikut (Gambar 1).

Untuk mewujudkan suatu kondisi ketahanan pangan nasional yang mantap, ketiga sub sistem dalam sistem ketahanan pangan diharapkan dapat berfungsi secara sinergis, melalui kerjasama antar komponen-komponannya yang digerakkan oleh masyarakat dan pemerintah.  Dalam komunitas masyarakat yang dinamis ini, sistem tersebut dituntut untuk terus berevolusi mengikuti aspirasi masyarakat yang terus berkembang.  Dalam kondisi demikian, upaya pemantapan dan peningkatan ketahanan pangan masih menghadapi berbagai masalah dan tantangan yang kompleks. Berbagai substansi yang menjadi komponen ketahanan pangan, mulai dari sub sistem penunjang yang meliputi prasarana, sarana dan kelembagaan, kebijakan, pelayanan dan fasilitasi pemerintah; sub sistem ketersediaan pangan yang meliputi produksi, impor dan cadangan pangan; sub sistem distribusi yang menjamin keterjangkauan masyarakat atas pangan; hingga sub sistem konsumsi yang mendorong tercapainya keseimbangan gizi masyarakat; merupakan bidang kerja berbagai sektor.  Sektor pertanian diharapkan berperan sentral dalam memantapkan ketahanan pangan dalam situasi dan kondisi perdagangan domestik dan global, bekerjasama dengan sektor-sektor mitranya, khususnya industri dan perdagangan, prasarana fisik, serta perhubungan.  Dengan memahami hal tersebut, program peningkatan ketahanan pangan ini harus memperhatikan seluruh komponen dalam sistem ketahanan pangan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 1.  Kerangka Sistem Ketahanan Pangan (Suryana, 2001)

 

Sesuai dengan GBHN 1999 – 2004, pengembangan pangan diarahkan untuk mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keberagaman sumberdaya bahan pangan, kelembagaan dan budaya lokal dalam rangka menjamin tersedianya pangan dan nutrisi dalam jumlah yang dibutuhkan, pada tingkat harga yang terjangkau dengan memperhatikan peningkatan pendapatan petani.  Berdasarkan arahan GBHN 1999 – 2004 tersebut, maka visi pembangunan ketahanan pangan dirumuskan sebagai terwujudnya ketahanan pangan yang berbasis sumberdaya nasional secara efisien dan berkelanjutan, menuju masyarakat yang sejahtera.  Adapun misi yang akan dilaksanakan adalah:  meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat/petani untuk membangun ketahanan pangan berbasis sumberdaya lokal, melalui pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan, berkerakyatan dan terdesentralisasi.

 

 

KERAGAAN DAN  KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN

 

Kondisi tidak tahan pangan (food insecurity) secara sederhana berarti kondisi pangan yang tidak terpenuhi untuk hidup sehat, aktif dan produktif.  Dalam wujud nyata di masyarakat tercermin dari ketersediaan dan konsumsi pangan yang tidak memadai, harga-harga pangan yang tidak terjangkau, gizi kurang dan pada tingkat yang parah berupa kelaparan dan kematian (Robinson, 1999).  Konsumsi energi yang dianjurkan adalah 2500 Kkal/orang/hari (Widya Karya Pangan dan Gizi, 2000).

Berdasarkan Declaration of Human Right 1998 (Brundland, 1999), yang disepakati pemerintah Indonesia, pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah satu Hak Azazi Manusia.  Artinya negara (pemerintah dan masyarakat) harus bertanggungjawab memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya.  Kondisi pangan yang sulit diperoleh penduduk dan rendahnya daya beli masyarakat (baik karena pendapatan rendah atau kebijakan harga-harga pangan), apalagi kalau sampai terjadi kelaparan dan gizi buruk dapat dikategorikan/merupakan indikasi pelanggaran HAM dan dampak akhirnya adalah “lost generation”.

Tanpa menutup mata akan berbagai sukses yang telah dilakukan di bidang ketahanan pangan, sampai saat ini masih banyak sisi-sisi gelap pembangunan ketahanan pangan di Tanah Air.  Sisi-sisi gelap tersebut dapat kita cermati dari fakta-fakta berikut:  Sekitar 40 % rumahtangga tergolong tidak cukup pangan (Hardinsyah, 2000) dan sekitar 18 % rumah tangga tergolong miskin (BPS, 1999).  Sekitar 2,4 juta anak balita menderita gizi buruk, 5 juta balita menderita gizi kurang, 7,5 juta wanita usia 15 – 45 tahun menderita gizi kurang.  Sekitar 55 persen ibu hamil dan 30 persen anak sekolah menderita anemi karena kurang gizi (SUSENAS, 1998) dan sekitar 305.000 bayi dan anak balita meninggal setiap tahun (SDKI, 1997).  Menurut WHO (1998) sekitar 50 persen penyebab utama kematian bayi dan anak adalah karena kurang gizi. Fakta tersebut juga memberikan indikasi bahwa pelanggaran HAM dalam hal pangan ini cukup meluas di Tanah Air.  Apabila keadaan ini tidak ditangani secara cepat maka dapat mengakibatkan “lost generation”.

Sisi gelap tersebut muncul karena adanya beberapa titik lemah dalam kebijakan dan implementasi program pembangunan pangan di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi (termasuk pertanian) dan kesejahteraan sosial (termasuk pemberdayaan masyarakat).  Beberapa titik lemah dimaksud adalah:

1.                Ketimpangan kebijakan makro dan mikro ekonomi.  Perhatian pada kepentingan non-pertanian khususnya industri (pangan dan pertanian menjadi residual) jauh lebih besar dan melecehkan pemenuhan kebutuhan pangan penduduk serta kesejahteraan petani sering kali terabaikan.  Sehingga potensi produksi pangan dan pertanian belum dikelola secara optimal dan impor pangan cenderung meningkat.

2.                Dengan pembangunan ekonomi dianggap urusan pangan akan beres. Sebagian besar policy makers baik di tingkat nasional maupun daerah beranggapan bahwa dengan mengejar pertumbuhan ekonomi masalah-masalah pemenuhan kebutuhan pangan dengan sendirinya teratasi sehingga kebijakan pangan tidak bisa berjalan dengan baik.

3.                Pembangunan pertanian bias perkotaan.  Selama ini pembangunan pertanian cenderung lebih bias perkotaan (menguntungkan penduduk kota dan nilai tambahnya lebih banyak dinikmati penduduk kota) dan nyaris mengabaikan tujuan gizi dan kesejahteraan petani.

4.                Lemahnya sinergi agribisnis dan ketahanan pangan.  Pada awalnya kebijakan di bidang agribisnis tampak saling konflik dengan kebijakan ketahanan pangan.  Sebagai contoh, peningkatan ekspor produk perikanan peningkatan devisa dan ekonomi pelaku agribisnis skala besar di bidang ini, akan tetapi di sisi lain meningkatkan harga produk perikanan untuk konsumsi dalam negeri.  Berbagai studi menunjukkan kondisi ekonomi dan status gizi keluarga nelayan lebih parah dibanding kelompok lainnya.  Akhir-akhir ini kedua kebijakan ini tampak mulai sejalan namun pada progam atau implementasi masih belum sejalan dengan hakekat dan tujuan ketahanan pangan.

5.                Lemahnya sistem informasi ketahanan pangan.  Informasi ketahanan pangan mencakup dimensi yang luas seperti produksi, ketersediaan, konsumsi dan harga pangan serta status gizi antar waktu dan wilayah.  Informasi ini berguna bagi pemerintah sebagai basis perencanaan, perkiraan dan evaluasi serta intervensi program pangan.  Sistem informasi ketahanan pangan secara menyeluruh mustahil dibangun sendiri oleh masyarakat (Hardinsyah dkk, 1998).  Seharusnya pemerintah yang menguasai teknologi informasi sejak dulu mengembangkan sistem informasi ketahanan pangan nasional secara berkala.

6.                Bias pembangunan pada beras.  Pembangunan pertanian masa lalu amat bias pada padi dan beras.  Sebagian besar upaya inovasi dan pembangunan teknologi program pertanian masa lalu difokuskan pada padi dan beras, sehingga inovasi dan pengembangan teknologi bagi pangan lainnya berjalan sangat lamban bahkan tertinggal.  Akibatnya ketika kebijakan diversifikasi konsumsi pangan digalakkan untuk mengurangi ketergantungan pada beras, kemampuan untuk menyediakan produk pangan non-beras Indonesia tidak memadai sehingga kesempatan ini diisi oleh aneka pangan impor.

7.                Degradasi nilai kepedulian sosial.  Peran pemerintah yang sentralistik dan cenderung mengambil peran masyarakat di masa lalu serta tumbuhnya kehidupan ekonomi yang cenderung kapitalis telah menimbulkan degradasi nilai-nilai peduli sesama di masyarakat.  Perilaku saling membantu, tolong-menolong dan yang mampu memberi bantuan kepada yang tidak mampu (informal social safety nets) semakin pudar di masyarakat.  Hanya dengan ikatan religi dan budaya yang kuat nilai-nilai ini masih bertahan di masyarakat.  Hancurnya nilai-nilai kepedulian pangan pada kelompok masyarakat tertentu merupakan salah satu penyebab merebaknya masalah gizi buruk pada masa lalu.  Di samping itu, adanya kelembagaan yang mengatur pengadaan beras secara nasional juga menjadi salah satu penyebab melemahnya sistem cadangan pangan masyarakat yang telah ratusan tahun dikembangkan masyarakat (lumbung dsb) terutama masyarakat pedesaan.

8.                Lemahnya kelompok pendukung kebijakan.  Kebijakan lahir antara lain karena desakan masyarakat kepada policy makers.  Kebijakan akan berjalan dengan baik bila didukung oleh pemerintah yang memahami tentang makna dan tujuan kebijakan tersebut disertai kelompok pendukung kebijakan tersebut baik kelompok formal (Partai dan Ormas) maupun non-formal di masyarakat.  Lemahnya peran kelompok pendukung kebijakan ketahanan pangan untuk mengingatkan ‘penguasa’ menyebabkan kebijakan diresidualkan bahkan disimpangkan implementasinya.

 

Suryana (2001) mengemukakan bahwa kebijakan yang akan dilakukan dalam peningkatan ketahanan pangan adalah :

1.                Membangun sistem ketahanan pangan nasional yang tangguh melalui penciptaan iklim yang kondusif bagi berfungsinya sub-sub sistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi secara sinergis.

2.                Membangun kerja sama kelembagaan untuk meningkatkan ketahanan pangan di pusat, propinsi dan kabupaten/kota.

3.                Meningkatkan kemampuan membangun ketersediaan dan cadangan pangan dalam jumlah, mutu dan keragaman yang cukup diseluruh wilayah.

4.                Meningkatkan kemampuan membangun sistem distribusi pangan untuk menunjang penyebaran dan tingkat harga pangan yang terjangkau oleh daya beli masyarakat.

5.                Meningkatkan penganekaragaman pangan dan produk-produk pangan olahan sesuai potensi sumberdaya lokal, sehingga mendorong penurunan konsumsi beras per kapita.

6.                Meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat dalam mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan dan bertumpu pada sumber daya kelembagaan dan budaya lokal.

7.                Meningkatkan kewaspadaan pangan masyarakat agar dapat mengenali dan mengantisipasi secara dini masalah kerawanan pangan di daerah.

8.                 

 

UPAYA PENCAPAIAN KETAHANAN PANGAN

 

1.                Pembangunan Agribisnis

Agribisnis merupakan rangkaian kegiatan atau bisnis berbasis pertanian yang saling berkaitan dalam suatu sistem produksi, pengolahan, distrubusi, pemasaran dan berbagai kegiatan atau jasa penunjangnya.  Keterkaitan dan akselerasi antar sub-sistem amat vital dalam membangun agribisnis yang tangguh.  Kegiatan agribisnis dapat menghasilkan produk pangan dan/atau produk non-pangan.  Bahkan hampir semua jenis pangan yang dipasarkan dan dikonsumsi berasal dari kegiatan agribisnis baik yang berbasis di dalam negeri maupun di luar negeri.  Bagi Indonesia, sebagian besar produk pangan yang dikonsumsi penduduk berasal dari agribisnis dalam negeri.  Oleh karena itu ketahanan pangan yang tangguh tidak mungkin terwujud tanpa agribisnis yang tangguh.

Pentingnya peran agribisnis dalam membangun ketahanan pangan dapat dilihat dari berbagai aspek atau dimensi yang terkandung dalam pengertian ketahanan pangan yang telah diuraikan pada awal tulisan ini, yaitu dimensi fisik (ketersediaan pangan), dimensi ekonomi (pendapatan dan daya beli), dimensi gizi dan kesehatan serta dimensi waktu.

Kegiatan agribisnis menghasilkan produk pangan dan juga non-pangan.  Kemampuan pelaku agribisnis dalam negeri dalam menyediakan pangan untuk pemenuhan kebutuhan domestik dan ekspor tidak saja akan menjamin ketahanan pangan nasional serta mendukung terbentuknya ketahanan pangan rumahtangga dan individu melalui penyediaan pangan yang cukup untuk setiap anggota masyarakat, tetapi juga lebih jauh diharapkan mampu menjadi penghasil devisa serta menekan impor/menghemat devisa (kedua hal ini diharapkan mampu memperbaiki neraca pembayaran yang semakin buruk).

Disamping sebagai penyedia utama pangan, agribisnis di Indonesia juga sangat berperan dalam menyediakan kesempatan kerja dan kesempatan usaha serta peningkatan nilai tambah yang semuanya bermuara pada peningkatan pendapatan atau daya beli penduduk baik untk pangan maupun non-pangan.  Upaya peningkatan nilai tambah melalui kegiatan agro-industri yang merupakan salah satu sub system agribisnis selain meningkatkan pendapatan juga dapat berperan penting dalam penyediaan pangan bermutu dan beragam (unsur penting dalam dimensi gizi dan kesehatan) serta tersedia sepanjang waktu sehingga mampu mengatasi kelangkaan pangan pada saat produksi rendah dan membantu menstabilkan harga pada saat hasil produksi tinggi.  Seperti diketahui, agro-industri dapat berperan dalam peningkatan nilai tambah (nilai tambah ekonomi dan gizi) melalui empat kategori ogro-indistri (Saefuddin, 1999) dari yang paling sederhana (pembersihan dan pengelompokan hasil atau grading); pemisahan (ginning) penyosohan, pemotongan dan pencampuran hingga ke pengolahan (pemasakan, pengalengan, pengeringan, dsb) dan upa ya merubah kandungan kimia (termasuk pengkayaan kandungan gizi).

Pertanyaan yang cukup penting untuk dilontarkan adalah bidang agribisnis pangan apa yang perlu dikembangkan agar pembangunan agribisnis mempunyai sinergi yang kuat dengan pembangunan ketahanan pangan, khususnya dalam penyediaan pangan yang cukup, beragam dan bermutu?  Tabel 1 tentang konsumsi aneka pangan  berikut ini sedikit banyak dapat memberikan ilustrasi tentang komoditas apa yang perlu dikembangkan lebih lanjut melalui kegiatan agribisnis.  Aneka umbi mempunyai prospek yang cukup luas untuk dikembangkan baik sebagai substitusi beras (meski konsumsi beras cenderung menurun tetapi kontribusinya terhadap total energi masih diatas 60%, sedangkan umbi-umbian sebagai pangan potensial sumber energi menyumbang hanya sekitar 3%.  Sayuran dan buah sebagai sumber vitamin dan mineral masih harus ditingkatkan konsumsinya.  Dari kontek gizi dan kesehatan, konsumsi ideal kedua komoditas ini adalah sekitar 250 g/hr, sehingga masih ada peluang untuk meningkatkan konsumsi dalam negeri sekitar 25%.  Produk pangan hewani baru terpenuhi sepertiganya.  Bidang lain yang cukup potensial dikembangkan adalah agribisnis  pangan olahan (mulai industri rumah tangga hingga industri yang padat modal) (Hardinsyah dan Martianto, 2001).

 

 

 

Tabel 1.  Konsumsi Aneka Pangan dan Pola Konsumsi (g/kap/hr)

 

Kelompok Pangan

1987

1990

1996

1999

1.                Beras

2.                Jagung

3.                Umbi-umbian

4.                Ikan

5.                Daging

6.                Telur

7.                Susu

8.                tahu dan Tempe

9.                Sayur

10.            Buah

11.            Minyak goreng

12.            Gula

320,0

24,8

65,7

34,2

7,1

8,9

3,0

24,9

123,4

74,3

18,9

24,0

323,3

19,8

61,9

39,2

7,3

8,6

3,6

24,8

124,0

81,4

21,5

25,8

305,4

7,4

61,4

42,0

11,7

13,9

5,5

32,3

121,5

68,6

27,8

27,9

284,4

10,1

35,0

35,7

6,1

9,1

2,5

35,3

105,9

51,1

23,9

25,3

Jumlah

729,2

741,2

725,4

624,4

Persentase pengeluaran untuk makanan dan minuman jadi, bumbu dan konsumsi lainnya

 

12,0

 

 

13,5

 

14,2

 

15,5

Sumber : SUSENAS 1987, 1990, 1996 dan 1999

 

2.                Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat merupakan perwujudan pengembangan kapasitas masyarakat yang bernuasa pada pemberdayaan sumber daya manusia agar dapat memahami hak dan kewajibannya sesuai dengan status dan perannya di masyarakat.  Realitanya mencakup interaksi aktif dua pelaku, yaitu pihak pemberdaya dan diberdaya.  Pihak pemberdaya dapat dapat berasal dari dalam dari luar sitem sosial masyarakat yang diperdaya.  Akan tetapi, dalam kenyataan di lapangan yang sering ditemui adalah pihak pemberdaya selalu berasal dari luar sistem sosial.  Hal ini terjadi sebagai akibat lemahnya posisi pihak yang diberdaya, karena ketidakmampuan memberdayakan diri sendiri.  Tetapi kejadian ini tidak selalu disebabkan oleh faktor internal sistem sosial yang bersangkutan, tetapi sering disebabkan oleh supra infra struktur yang kurang memihak kepada mereka.  Karena itu sangat penting dilaksanakan di tingkat lapangan untuk menempatkan pihak yang diberdaya sebagai mitra kerja pemberdaya (Vitalaya, 2001)

Hardinsyah dan Martianto (2001) mengemukakan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses mengajak atau membawa masyarakat agar mampu melakukan sesuatu.  Paradigma pemberdayaan masyarakat dalam konteks kemasyarakatan adalah mengembangkan kapasitas masyarakat yang dilakukan melalui pemihakan kepada yang tertinggal (Sumodiningrat, 2000).  Dari sisi sasaran pemberdayaan masyarakat bisa mencakup para keluarga petani, buruh, pedagang kecil atau kelompok  lain yang selama ini dikenal sebagai kelompok tertinggal yang perlu dikembangkan kapasitasnya, atau bahkan pemerintah itu sendiri.  Pemberdayaan pemerintah daerah melalui otonomi daerah juga relevan disebut sebagai pemberdayaan masyarakat.  Dengan demikian dalam konteks ketahanan pangan, sasaran (dalam hal ini termasuk pemerintah daerah) agar mampu mewujudkan ketahan pangan masing-masing keluarga dan masyarakat secara luas.

Fakta menunjukkan bahwa sebesar 60.7 persen dari 210 juta penduduk tinggal di daerah persedaan.  Dua per tiga penduduk tinggal di pulau Jawa, Bali dan Madura yang luas keseluruhannya hanya mencakup 7 persen dari total wilayah republik ini.  Data ini mengindikasikan bahwa mau tidak mau dan suka atau tidak suka maka program pemberdayaan masyarakat desa harus merupakan prioritas pembangunan bangsa dalam rangka pemulihan ekonomi bangsa.  Akan tetapi, sampai saat ini upaya dan keberpihakan pemerintah dalam membangkitkan perekonomian Indonesia, sejak dilanda krisis, 1997 – 2000, belum juga menunjukkan kondisi membaik terutama dalam konteks kebijakan yang konsisten memihak pada tumbuh kembangnya perekonomian rakyat (kecil).  Situasi ini sangat berbeda dengan kondisi di beberapa negara tetangga yang sebenarnya telah lebih awal mengalami krisis ekonomi, misalnya Thailand, Malaysia dan Korea.  Perekonomian di Thailand kini telah bangkit dan begitu juga Malaysia (walau tanpa bantuan IMF sekalipun) dan bahkan korea selatan telah memiliki pertumbuhan yang dapat dikategorikan telah benar-benar bangkit (Vitalaya, 2001).

Sektor pertanian di Indonesia melibatkan lebih dari 50 persen tenaga kerja dan 60 juta keluarga petani.  Secara politis pemberdayaan sektor pertanian dengan demikian dapat dijadikan acuan untuk lebih mengukuhkan posisi sektor pertanian sebagai leading sector.  Secara empiris juga telah terbukti bahwa dimana pun di dunia ini tidak ada sektor pertnian yang maju atau tumbuhkembang  tanpa intervensi Pemerintah (langsung atau tidak langsung).  Jawaban sederhana terhadap fenomena ini adalah karena sektor pertanian secara ekonomi selalu terbukti memiliki peran strategis yang ditampilkan dengan besaran peran keterkaitan antar-sektor dan secara politias merupakan bemper penyejuk sosial.  Sebagai contoh, pencapaian Swasembada beras pada tahun 1984 telah menjadikan Indonesia mempunyai posisi yang baik di mata dunia selain mempertahankan ketahanan pangan nasional.  Akan tetapi, prestasi ini tidak pernah diikuti dengan tumbuhnya ketahanan keluarga petani (kesejahteraan masyarakattani).  Petani tetap saja bertahan hidup hanya sebatas hari ini dan besok, dan tidak ada masa depan (NO FUTURE), kesejahteraan mereka selalu dinomor duakan.

Fakta juga menunjukkan bahwa pada saat krisis ekonomi terjadi justru hanya sektor pertanian yang mampu bertahan tumbuh (walaupun kecil pertumbuhannya) dibanding bisnis besar konglomerasi yang justru terpuruk tak mampu bangkit.  Hal ini terutama berpulang pada bahan baku pertanian yang bersumber dari sumberdaya lokal dibanding bisnis besar konglomerasi yang berbahan baku impor.  Berarti, pendayagunaan bahan baku pertanian yang sistematis diikuti pemberdayaan terhadap masyarakattani dapat diharapkan dan seharusnya memacu kebangkitan sektor pertanian, dan sekaligus pemulihan ekonomi nasional.

Lebih lanjut Vitalaya (2001) mengemukakan bahwa untuk mencapai ketahanan pangan masyarakat tani dilakukan dengan mensinergiskan semua unsur yang terkait dengan pembangunan pertanian.  Untuk itu diperlukan jurus-jurus pemberdayan yang disebut “enam jurus pemberdayaan masyarakattani” yaitu:

1.                Revitalisasi kelembagaan penyuluhan pertanian

2.                Sietem distribusi saprodi dan produk pertanian

3.                Pengembangan lembaga keuangan alternatif

4.                Pemberdayaan koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat

5.                Ketahanan keluargatani

6.                Komoditas unggulan dan agroindustri

7.                 

 

KESIMPULAN

 

1.                Makna yang terkandung dalam pengertian ketahanan pangan adalah mencakup dimensi fisik pangan (ketersediaan), dimensi ekonomi (daya beli), dimensi pemenuhan kebutuhan gizi individu (dimensi gizi) dan dimensi nilai-nilai budaya dan religi (pola pangan yang sesuai untuk hidup sehat, aktif dan produktif serta halal), dimensi keamanan pangan (kesehatan), dan dimensi waktu (tersedia secara berkesinambungan). Visi ketahanan pangan dirumuskan sebagai terwujudnya ketahanan pangan yang berbasis sumberdaya nasional secara efisien dan berkelanjutan, menuju masyarakat yang sejahtera.  Adapun misi yang akan dilaksanakan adalah:  meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat/petani untuk membangun ketahanan pangan berbasis sumberdaya lokal, melalui pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan, berkerakyatan dan terdesentralisasi.

2.                Upaya pencapaian ketahanan masyarakat dapat dilakukan antara lain dengan cara pembangunan agribisnis dan pemberdayaan masyarakat, khususnya masyarakat tani.

 

DAFTAR BACAAN

 

 

Brundtland, G.H. 1999.  Nutrition, Health and Human Right.  SCN-News.  July (18).

FAO.  1997.  Report of the World Summit. Rome.

Hardinsyah dan Martianto, 2001.  Pembangunan Ketahanan Pangan yang Berbasis Agribisnis dan Pemberdayaan Masyarakat.  Makalah pada Seminar Nasional Ketahanan Pangan.  Jakarta, 29 Maret 2001.

Hardinsyah, D. Briawan, S. Madanijah, CM. Dwiriani, SM. Atmodjo dan Y. Haryanto.  1998.  Kajian Kelembagaan untuk Pemantauan Ketahanan Pangan.  Kerjasama Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG) IPB, UNICEF dan Biro Perencanaan Deptan.  Bogor.

Hardinsyah, D. Martianto, Hartoyo, D. Briawan, CM. Dwiriani dan B. Setiawan.  1999.  Membangun Ketahanan Pangan yang Tangguh.  Prosiding Seminar Pembanguan Gizi dan Pangan dari Perspektif Kemandirian Lokal.  PERGIZI PANGAN Indonesia dan CRESCENT.  Bogor.

Hardinsyah. 2000.  Arah Pembangunan Tanaman Pangan dan Hortikultura Menuju Ketahanan Pangan.  Dalam Pertanian dan Pangan.  Rudi Wibowo (ed).  Sinar Harapan.  Jakarta.

Maxwell, S. and T. Frenkenberger.  1997.  Household Food Security:  Concepts, Indicators, Measurements.  UNICEF and IFAD.  New York.

Robinson, M.  1999.  The Human Right to Food and Nutrition.  SCN-News.  July (18).

Saefuddin, A.M.  1999.  Dukungan Politik dan Kebijakan Ekonomi untuk Pembanguan Pertanian.  Makalah disampaikan pada Seminar Rekonseptualisasi Pembangunan Pertanian sebagai Basis Ekonomi Bangsa.  Jakarta, 23 – 24 Juli 1999.

SDKI.  1997.  Suvei Demigrafi dan Kesehatan.  Biro Pusat Statistik.  Jakarta.  Kantor Menteri Negara Kependudukan / Bidang Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Jakarta.  Departemen Kesehatan Jakarta dan Macro International Inc.  Calverton, Maryland USA.

Simatupang, P.  1999.  Kebijaksanaan Produksi dan Penyediaan Pangan dalam Rangka Pemantapan Sistem Ketahanan Pangan pada Masa Pemulihan Perekonomian Nasional.  Bahan diskusi “Round Table” Kebijakan Pangan dan Gizi di Masa Mendatang.  Kantor Menpangan dan Holtikultura, 23 Juni 1999,  Jakarta.

Suryana, A.  2001.  Critical Review on Food Security in Indonesia.  Makalah pada Seminar Nasional Ketahanan Pangan.  Jakarta, 29 Maret 2001.

Vitalaya, A. S.H.  2001.  Pemberdayaan Masyarakattani untuk Ketahanan Pangan dan Pemulihan Ekonomi.  Maklah pada Seminar Nasional Ketahanan Pangan.  Jakarta, 29 Maret 2001.

WKNPG.  2000.  Widya KArya Nasional Pangan dan Gizi. LIPI.  Jakarta.