© 2003 Jerry Fred Salamena Posted 13
May 2003
Makalah
Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Dosen: Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng
STRATEGI PEMULIAAN TERNAK DOMBA
PEDAGING DI INDONESIA
D 061 020 121 / PTK
jerrysalamena@yahoo.com
Ternak lokal atau asli Indonesia merupakan salah satu kekayaan nasional yang tidak kecil artinya, baik dilihat dari segi sumber pendapatan, sumber protein hewani yang murah dan mudah, maupun sebagai sumber tenaga kerja. Banyak diantara ternak lokal atau asli Indonesia yang perkembangannya tidak terlalu menggembirakan, bahkan bila tidak segera ditangani dikhawatirkan mengalami kepunahan. Upaya untuk mempertahankan kelestarian dan kemurnian ternak asli perlu ditangani, karena dalam jenis ternak asli mungkin terkandung gen-gen yang belum tentu dimiliki oleh jenis-jenis ternak impor.
Salah satu di antara plasma nutfah hewani yang perlu dipertahankan eksistensinya adalah ternak domba. Disamping sebagai penghasil daging, kulit, susu, wol, dapat juga dipakai sebagai bahan penelitian atau sebagai bahan rakitan untuk menciptakan kultivar-kultivar (bangsa-bangsa) unggul baru. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan rumusan kebijaksanaan dan program yang dapat mendorong partisipasi masyarakat yang terlibat dalam pembangunan peternakan baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan memperhatikan kendala yang dihadapi.
Domba
yang kini dipelihara mempunyai taksonomi sebagai berikut (Piper dan Ruvinsky,
1997) :
Famili
: Bovidae
Sub-famili
:
Caprinae
Genera :
Ovis
Grup : Tipe ekor, tipe penutup tubuh.
Pada awal sebelum terjadinya proses domestikasi, domba masih hidup liar di pegunungan. Perburuan hanya dilakukan untuk mendapatkan daging guna pemenuhan hidup sesaat. Pemeliharaan ternak dimulai ketika manusia merasa perlu mempunyai cadangan daging setiap saat diperlukan, sehingga dimulailah pemeliharaan ternak domba yang merupakan awal dari proses domestikasi. Bangsa domba yang dipelihara sekarang ini adalah domba tipe perah, pedaging, dan penghasil wol.
Tidak diketahui secara pasti, kapan domba mulai dipelihara di Indonesia, akan tetapi dengan adanya relief domba di Candi Borobudur (circa 800 SM), menandakan bahwa domba sudah dikenal masyarakat sekitarnya pada saat itu (Ryder, 1983). Domba yang sekarang menyebar di seluruh dunia ini sesungguhnya berasal dari daerah pegunungan Asia Tengah, dimana sebagian menyebar ke arah Barat dan Selatan sehingga dikenal sebagai kelompok urial dan yang lainnya menyebar ke Timur dan Utara yang dikenal sebagai kelompok argali. Terdapat tiga macam domba berdasarkan asalnya (bagian Barat dan Selatan Asia), yaitu Ovis musimon, Ovis ammon, dan Ovis orientalis. Sebelum terjadinya pemisahan daratan antara kepulauan Indonesia dan jazirah Melayu, maka domba yang ada di kawasan tersebut boleh jadi menyebar dari kawasan Asia Tengah (sekarang daerah Tibet, Mongolia), kemudian ke daerah Kamboja, Thailand, Malaysia dan kawasan Barat Indonesia seperti Sumatera yang pada saat itu masih bersatu dengan Malaysia. Hal tersebut terbukti dari jenis domba yang dijumpai di kawasan tersebut adalah dari jenis ekor tipis dengan penutup tubuh berupa rambut.
Pada masa kolonial Belanda, berbagai importasi ternak dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda, diantaranya adalah kambing dan domba, terutama ke pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan pada saat itu dan Sumatera Barat dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas domba lokal yang ada (Merkens dan Soemirat, 1926). Selain itu, kedatangan pedagang Arab ke Wilayah Nusantara memberikan kontribusi pada keragaman jenis ternak domba yang ada, yaitu dengan membawa domba ekor gemuk ke propinsi Sulawesi Selatan dan Pulau Madura. Demikian pula setelah masa kemerdekaan, dapat dilihat dari banyaknya importasi jenis domba pada masa Orde Baru dengan tujuan utama meningkatkan produktivitas ternak domba lokal. Bisa disebut antara lain domba yang berasal dari daerah bermusim empat seperti Merino, Suffolk, Dorset, Texel (Natasasmita dkk., 1979), maupun domba dari daerah tropis dengan penutup tubuh berupa rambut, seperti domba St. Croix dan Barbados Blackbelly (Subandryo dkk., 1998).
Domba
merupakan ternak yang pertama kali didomestikasi, dimulai dari daerah Kaspia,
Iran, India, Asia Barat, Asia Tenggara, dan Eropa samapai ke Afrika. Di Indonesia, domba terkelompok menjadi (1)
domba ekor tipis (Javanese thin tailed), (2) domba ekor gemuk (Javanese fat
tailed), dan (3) domba Priangan atau dikenal juga sebagai domba garut. Secara umum ketiga jenis domba tersebut
dibedakan dengan ciri-ciri sebagai berikut :
Domba ekor tipis. Domba ini merupakan domba yang banyak terdapat di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Domba ini termasuk golongan domba kecil, dengan berat potong sekitar 20 – 30 kg. Warna bulu putih dan biasanya memiliki bercak hitam di sekeliling matanya. Ekornya tidak menunjukkan adanya desposisi lemak. Domba jantan memiliki tanduk melingkar, sedangkan yang betina biasanya tidak bertanduk. Bulunya berupa wol yang kasar.
Domba ekor gemuk.
Domba ini banyak terdapat di Jawa Timur dan Madura, serta pulau-pulau di
Nusa Tenggara. Di Sulawesi Selatan
dikenal sebagai domba Donggala. Tanda-tanda
yang merupakan karakteristik khas domba ekor gemuk adalah ekor yang besar,
lebar dan panjang. Bagian
pangkal ekor membesar merupakan timbunan lemak, sedangkan bagian ujung ekor
kecil tidak berlemak. Warna bulu putih,
tidak bertanduk. Bulu wolnya kasar. Domba ini dikenal sebagai domba yang tahan
terhadap panas dan kering. Domba ini
diduga berasal dari Asia Barat Daya yang dibawa oleh pedagang bangsa Arab pada
abad ke-18. Pada sekitar tahun 1731 sampai 1779 pemerintah
Hindia Belanda telah mengimpor domba Kirmani, yaitu domba ekor gemuk dari
Persia. Apakah domba ekor gemuk
merupakan keturunan dari domba-domba ini, belum diketahui. Bentuk tubuh domba ekor gemuk lebih besar
dari pada domba ekor tipis. Domba ini
merupakan domba tipe pedaging, berat jantan dewasa antara 40 – 60 kg, sedangkan
berat badan betina dewasa 25 – 35 kg. Tinggi
badan pada jantan dewasa antara 60 – 65 cm, sedangkan pada betina dewasa 52 –
60 cm.
Domba Priangan.
Terdapat di Priangan, yaitu di Bandung, Garut, Sumedang, Ciamis, dan
Tasikmalaya. Domba ini dipelihara
khusus untuk diadu. Domba priangan
bertubuh besar, dahi konveks, tanduk yang jantan besar dan kuat, melingkar
seperti spiral. Domba ini diduga
diciptakan dari persilangan antara domba Merino dan domba Cape dengan domba
lokal sekitar tahun 1864. Namun
sekarang sudah tidak ada bekas-bekas dari karakteristik wol domba Merino. Pada domba Priangan, kadang-kadang dijumpai
adanya domba tanpa daun telinga. Domba
ini sudah terkenal sebagai salah satu domba yang mempunyai angka reproduktivitas
tinggi di dunia.
Beberapa
faktor penyebab kepunahan ternak antara lain :
1.
Pengrusakan
habitat dalam bentuk mengurangi/memusnahkan sumber pakan, perubahan fungsi
habitat alaminya.
2. Eksploitasi yang berlebihan dalam bentuk pemotongan/pengeluaran ternak yang tidak terkendali.
3. Introduksi jenis asing dalam bentuk persilangan antar bangsa yang berbeda tanpa adanya pengendalian, sehingga terjadi erosi sumberdaya genetik ternak.
Ternak domba saat ini telah memiliki pangsa pasar tersendiri, dan permintaan di dalam negeri masih dapat dicukupi oleh produk domestik. Akan tetapi peluang ekspor ke kawasan Asean atau Timur Tengah masih terbuka, dan kemungkinan terjadinya lonjakan permintaan untuk keperluan qur’ban juga sangat besar. Di lain pihak peluang ini juga mendapat ancaman dari serbuan produk dari negara tetangga, maupun kemungkinan “banjir” daging beku dari kawasan bebas penyakit berbahaya. Oleh karena itu perlu terus diupayakan untuk meningkatkan daya saing produk domba, antara lain dengan memperbaiki mutu genetik ternak lokal.
Langkah ini juga harus memperhatikan kondisi peternak kecil yang saat ini mendominasi usaha breeding dan penggemukan domba. Sebagaian besar peternak masih mengandalkan keramahan alam dan lingkungan, sehingga usahanya masih jauh dari sentuhan teknologi. Secara alami beberapa galur lokal mempunyai keistimewaan dalam hal tingkat reproduksi (beranak 3 kali dalam 2 tahun; litter size besar), daya tahan terhadap serangan cacing, serta mempunyai kualitas kulit dan karkas yang memadai. Konsumen, dalam hal ini jagal atau penjual sate, menginginkan ternak dengan ukuran dan kualitas tertentu (kecil, gemuk dengan marbling cukup dan berdaging empuk), dan di setiap daerah ada sedikit perbedaan preferensi (Kombit TN, 2002).
Di samping itu dalam pengelolaan sumberdaya genetik (SDG) ternak, khususnya upaya meningkatkan mutu genetik melalui seleksi maupun persilangan terdapat beberapa masalah yang dihadapi, yaitu :
1. Belum adanya program breeding yang jelas.
2. Kegiatan IB diduga telah mengakibatkan peningkatan inbreeding karena penggunaan pejantan dalam kurun waktu yang lama.
3. Perda atau kebijakan yang dijalankan di beberapa daerah sumber bibit, dikhawatirkan telah mengakibatkan terjadinya seleksi negatif (ternak yang mempunyai ukuran besar terjual yang sisa hanya yang ukuran kecil).
Semula konservasi hewan hanya diartikan sebagai upaya pelestarian hewan liar, dan hanya ditangani oleh Departemen Kehutanan karena habitat hewan yang akan dikonservasi berada di hutan. Namun dalam perkembangan selanjutnya, konservasi dikaitkan dengan ekosistem dan upaya-upaya mempertahankan keberadaan hewan dan ternak yang ada. Kebijaksanaan pemerintah yang berlandaskan pada konsep-konsep konservasi, yang telah dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Peternakan adalah : (1) adanya kebijakan pewilayahan ternak, dan (2) telah diaturnya teknik pelestarian ternak rakyat melalui metode pola PIR. Program pewilayahan ternak berfungsi untuk relokasi dan penyebaran ternak sehingga mencegah terjadinya penghancuran materi genetik. Pembagian wilayah dibagi atas wilayah sumber bibit, wilayah produksi, dan wilayah konservasi.
Wilayah sumber bibit merupakan wilayah pengembangan ternak domba secara murni. Pada wilayah sumber bibit dilakukan pelestarian secara in-situ dengan menutup wilayah tersebut terhadap pemasukan bangsa domba lain maupun bangsa yang sama dari wilayah lain. Pelestarian ex-situ dapat dilakukan dengan menetapkan pulau atau wilayah tertentu diluar habitat aslinya menjadi sumber bibit bangsa murni.
Upaya perbaikan mutu genetik untuk peningkatan produktivitas domba dilakukan melalui program seleksi dalam bangsa. Dalam upaya mempertahankan mutu genetik di berbagai daerah sumber bibit perlu dilakukan :
a. Perhitungan secara tepat jumlah serta mutu bibit yang dapat dikeluarkan, seimbang dengan jumlah mutu bibit yang perlu dipertahankan sebagai ternak pengganti.
b. Penentuan standart mutu bibit lokal maupun nasional yang sesuai dengan karakteristik bangsa domba lokal dengan melibatkan asosiasi-asosiasi peternakan rakyat.
c. Pelestarian dengan teknologi mutakhir, misalnya dengan pengawetan semen dan embrio melalui proses pembekuan dan penyimpanannya pada bank plasma nutfah, didukung oleh program inseminasi buatan (IB) dan embrio transfer (ET) yang terencana dan dianggap layak, merupakan kemungkinan lain yang perlu mendapat perhatian pemerintah dan swasta.
Wilayah produksi berfungsi sebagai wilayah pengembangbiakan untuk tujuan komersil, yang memungkinkan menggunakan teknik-teknik perkawinan silang dan penggemukan. Persilangan (Crossbreeding) merupakan salah satu cara untuk peningkatan mutu genetik domba yang pada akhirnya meningkatkan produktivitas. Usaha “ranch” dan penggemukan dapat dilakukan terhadap bangsa murni maupun hasil persilangan. Umumnya usaha penggemukan menguntungkan bila didukung oleh kebijaksanaan harga bibit yang menarik.
Melalui pola PIR, diharapkan program seleksi dapat dijalankan dengan penegndalian pada pemilikan pejantan unggul, yaitu dengan penggunaan Uji Performa dan Uji Zuriat. Untuk pemilikan induk ditekankan pada kemurniaan bangsanya dan performa reproduksinya. Konsep pelestarian domba lokal dengan pola PIR dapat dijelaskan melalui bagan Gambar 1.
Gambar 1. Bagan Konsep Pelestarian Domba Pedaging dengan Pola PIR
Pemuliaan ternak harus diawali dengan perbaikan kondisi lingkungan kemudian dilanjutkan dengan perbaikan potensi genetik. Sebelum menentukan program pemuliaan, perlu ditentukan aspek produksi dan reproduksi yang diharapkan. Perbaikan genetik dapat dilakukan dengan cara seleksi dan persilangan (cross breeding).
Seleksi adalah pemilihan secara sistematis induk dan pejantan sebagai tetua untuk generasi selanjutnya. Persilangan adalah perkawinan antar ternak yang memiliki hubungan kekerabatan lebih jauh dari rataan hubungan kekerabatan kelompok asal ternak. Keuntungan utama persilangan adalah hybrid vigor atau heterosis, yaitu jika seekor induk dikawinkan dengan pejantan dari bangsa yang berbeda, turunannya akan lebih baik performanya untuk sifat-sifat tertentu daripada tetuanya. Keuntungan yang diperoleh dari hasil persilangan adalah :
1. Heterosis yang memungkinkan diperolehnya rataan produksi yang lebih baik dari tetuanya seperti pada bobot lahir, produksi susu induk, laju pertumbuhan, bobot sapih, dan bobot potong.
2. Memperbaiki salah satu sifat yang kurang baik dari salah satu bangsa.
3. Meningkatkan daya hidup dengan diperolehnya daya adaptasi yang lebih baik dan tahan terhadap penyakit.
4.
Menurunkan
mortalitas, terutama pada periode pra-sapih dengan bobot lahir dan produksi
susu yang lebih tinggi.
5.
Meningkatkan
daya reproduksi seperti dalam pencapaian dewasa kelamin dan dewasa tubuh yang
lebih cepat.
6. Menghilangkan atau mengurangi sifat lethal.
Pada periode pra-sapih pada domba, heterosis akan meningkatkan bobot lahir 3,2%; bobot sapih 5,0%; dan pertambahan bobot badan 5,3% (Rae, 1982). Perlu diingat bahwa dalam persilangan yang telah stabil, ketika crossbreed dikawinkan dengan crossbreed, hybrid vigor akan hilang. Kemajuan potensi genetik akan lebih cepat tercapai jika program pemuliaan dilakukan dengan persilangan yang diiringi dengan seleksi (Gatenby, 1991).
Persilangan dapat dilakukan dengan perkawinan dua bangsa domba atau lebih (Noor, 1996). Sebagai contoh, program persilangan tiga bangsa domba antara betina lokal dengan pejantan St. Croix dan Barbados yang dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Contoh Pola Persilangan Tiga Bangsa
Dalam program persilangan, perlu
diperhatikan pengendalian terhadap penyebaran domba hasil persilangan. Penyebaran yang tidak terkendali dapat
mengakibatkan hilangnya kemurniaan seluruh populasi bangsa domba yang
disilangkan.
Menurut
Mason dan Buvanendran (1982) ada tiga cara untuk memperbaiki produksi dan
kualitas daging domba di daerah tropis, tergantung pada lingkungan dan
manajemennya, yaitu :
1.
Pada
daerah tropis basah panas, seleksi domba lokal tipe rambut, atau menyilangkan
dengan domba tipe rambut tropis lainnya, terutama yang prolifik untuk
menghasilkan bangsa baru.
2.
Pada
daerah tropis kering, seleksi dari bangsa domba tipe wol kasar, atau
menyilangkan dengan tipe wol kasar lainnya dari daerah yang mempunyai iklim
serupa.
3.
Pada
daerah tropis basah atau sub tropis, grading domba lokal dengan bangsa pejantan
persilangan (unggul x lokal) atau dengan bangsa baru dari komposisi genetik
tersebut.
Di Indonesia, khususnya Sumatera yang daerahnya termasuk beriklim tropis basah panas, dengan potensi domba lokalnya bertipe wol kasar, cara yang dianggap paling baik adalah persilangan dengan bangsa tipe rambut tropis lainnya. Menurut Subandryo dkk. (1996) dasar pertimbangan persilangan ini adalah :
1. Sebagai cara terbaik untuk menghilangkan wol yang dapat menyebabkan cekaman panas dan lambatnya pertumbuhan pada domba lokal.
2. Untuk mencapai bobot potong 40-45 kg.
3. Pembentukan domba komposit untuk mempertahankan heterosis sifat pertumbuhan.
Secara umum strategi breeding pada ternak domba dapat dilakukan dengan memperhatikan hal-hal berikut :
1. Penentuan arah, tujuan dan sasaran dalam mengelola (pelestarian, pemanfaatan, dan penelitian) berbagai jenis bangsa domba. Program breeding maupun pelaksanaannya harus disesuaikan dengan bangsa ternak, lingkungan dan kondisi petani, serta permintaan pasar.
2. Oleh karena sebagian besar ternak domba dikuasai oleh peternak kecil, maka strategi breeding harus diarahkan untuk pemberdayaan peternak domba dalam memanfaatkan sumberdaya lokal secara optimal dan berkesinambungan.
3. Perlu ditetapkan kawasan pelestarian, pengembangan, maupun pembibitan bersama-sama instansi terkait, terutama Pemda, lembaga penelitian dan perguruan tinggi setempat. Perlu mendapat perhatian bahwa otonomi daerah yang hanya mementingkan pendapatan daerah akan membuat kebijakan yang dapat menguras sumberdaya genetik ternak.
4.
Perlu ditetapkan parameter yang akan dipertahankan,
dihilangkan, atau dimanfaatkan dalam program pemuliaan dan pengembangan. Misalnya saja fertilitas, efisiensi penggunaan pakan, daya adaptasi,
kualitas karkas, dll.
5.
Domba
komposit yang telah dihasilkan oleh Balitnak, diharapkan dapat segera
dikembangkan melalui UPT pusat maupun daerah, atau secara langsung dikembangkan
dengan mitra swasta dan kelompok peternak.
Untuk pengembangannya dapat memanfaatkan teknologi IB, karena pejantan
yang dihasilkan jumlahnya terbatas. Sedangkan
perkembangan selanjutnya, sebaiknya dilakukan dengan cara kawin alam, karena
alasan kepraktisan dan efisiensi.
6.
‘Conservation
by management’ yang dianjurkan FAO dapat diadopsi untuk mengelola domba lokal
kita, sehingga petani tidak merasa dirugikan.
Untuk menetapkan wilayah mana saja yang harus dilakukan pemurnian,
seberapa besar skala minimal (ukuran populasi efektif) yang harus
dipertahankan, serta siapa saja yang harus terlibat dan bertanggung jawab,
perlu dibicarakan dengan seksama agar program nasional tidak merugikan
masyarakat dan tidak bertentangan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Rencana perubahan kebijakan pelestarian atau
pemurnian ternak yang sudah berjalan, harus dianalisa secara ilmiah dan
komprehensif serta memposisikan peternak sebagai subjek.
7. Pengelolaan domba sebagai sumberdaya genetik ternak komersial dalam jangka panjang harus dilakukan dengan cara membentuk, mendorong dan memberdayakan asosiasi peternak domba. Dalam hal ini pemerintah hanya sekedar memfasilitasi, memberi bantuan teknis dan dukungan kebijakan. Untuk ternak domba peran pemerintah untuk sementara masih dominan, karena ternak ini sebagian besar dipelihara rakyat kecil dan tidak ada swasta yang tertarik untuk melakukan kegiatan breeding. Perhitungan secara parsial menunjukkan bahwa kegiatan breeding pada ternak kecil dan ternak potong tidak memberikan margin yang cukup merangsang investor.
8. Dalam pelaksanaan pengelolaan domba sebagai bagian dari SDG ternak dalam era desentralisasi sebagian besar menjadi tanggung jawab Pemda. Akan tetapi karena program pemuliaan memerlukan skala yang memadai, maka tetap diperlukan program nasional (program payung) yang pelaksanaannya dikoordinasikan melalui jaringan kerjasama yang baik. Oleh karena itu peran Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan dan Komisi Bibit Nasional masih sangat strategis dalam memberikan dukungan kebijakan, dan bantuan teknis dari lembaga penelitian maupun perguruan tinggi masih sangat diperlukan.
9. Pada waktu yang singkat diharapkan sudah dapat disusun rencana kerja dari masing-masing UPT yang sifatnya integratif dan operasional. Luaran hasil penelitian dari UPT lingkup Puslitbang Peternakan diharapkan dapat ditindak lanjuti oleh UPT lainnya untuk pengembangannya. Demikian pula dalam pelaksanaan penelitian terutama untuk menjaring calon pejantan atau replacement stock, diperlukan kerjasama antara UPT terkait, perguruan tinggi, peternak dan asosiasi.
10. Pemanfaatan bioteknologi modern dalam pengelolaan plasma nutfah ternak domba. Dengan bioteknologi modern dilakukan rekayasa genetik dengan keuntungan yaitu merekayasa ternak baru (dengan sifat baru) dengan menggunakan teknologi DNA rekombinan, dimungkinkan untuk memindahkan gen dari satu organisme ke dalam organisme lain yang bahkan tidak memiliki hubungan kekerabatan sama sekali, dan merupakan terobosan yang sangat luar biasa, yang sebelumnya tidak mungkin dilaksanakan melalui metode persilangan secara konvensional. Diharapkan dengan bioteknologi modern hasil modifikasi ternak dapat diperoleh lebih cepat, transfer gen dapat dilakukan dengan sangat terkendali, dan dapat diperoleh peningkatan produktivitas, mutu, dan perbaikan lingkungan. Pada domba pedaging misalnya, dapat digunakan penanda molekuler untuk mendeteksi adanya gen mayor FecJF yang mengatur sifat beranak banyak (prolifik) pada domba.
Untuk dapat meningkatkan produktivitas ternak dan pelestarian sumberdaya genetik ternak, maka dibutuhkan kebijakan konservasi dan strategi pemuliaan yang tepat. Persoalan ternak bukan hanya persoalan pemerintah belaka, tetapi juga persoalan semua pemangku kepentingan (stakeholder) yang meliputi, pemerintah, peternak, swasta, perguruan tinggi maupun organisasi non-pemerintah lainnya.
Direktorat
Perbibitan. 2002. Kebijaksanaan Perbibitan Nasional. Makalah pada Pertemuan Perbibitan Regional dan Gelar Teknologi Sumatera
Bagian Selatan Di BPTU Sembawa, Tanggal 2 Juli 2002.
Dwiyanto K.
2002. Pemanfaatan Bioteknologi
Dalam Pengelolaan Plasma Nutfah Hewan/Ternak.
Makalah pada Seminar Nasional Pemanfaatan dan Pelestarian Plasma Nutfah,
Tanggal 3-4 September 2002. Kerjasama
Pusat Penelitian Bioteknologi IPB dan Komisi Nasional Plasma Nutfah Departemen
Pertanian.
Gatenby R M. 1991. Sheep. The Tropical Agriculturalist. MacMillan Education LTD London. UK Cooperation with CTA Wageningen. Netherlands.
Gede Sutapa I.
1990. Upaya Pelestarian Plasma
Nutfah Hewani Ternak Kambing Kacang. Plasma Nutfah Hewani Indonesia Disunting
Oleh Soenartono Adisoemarto. Komisi Pelestarian Plasma Nutfah
Nasional.
[Kombit TN] Komisi Bibit Ternak Nasional. 2002. Pengelolaan SDG Ternak Lokal Di Indonesia : Strategi Pemuliaan Ternak Ruminansia. Bahan Diskusi Kombit Ternak Nasional.
Made Pastika I.
1990. Kemungkinan Pengembangan
dan Pelestarian Sapi Bali Di Dalam Menunjang Pembangunan Protein Hewani Di
Indonesia. Plasma Nutfah Hewani
Indonesia Disunting Oleh Soenartono Adisoemarto. Komisi
Pelestarian Plasma Nutfah Nasional.
Mason I L, Buvanendran V. 1982. Breeding Plans For
Ruminant Livestock in The Tropics.
Animal Production and Health Paper.
Food and Agriculture Organization of The United Nation. Roma.
Merkens J, en Soemirat. 1926. Bijdrage tot de kennis van de schapenfokkerrij in Nederlandsch Indie. Ned. Ind. Bladen v. Diergenesk, 38: 395-414.
Mulyaningsih N.
1990. Domba Garut Sebagai Sumber Plasma Nutfah
Ternak. Plasma Nutfah Hewani Indonesia
Disunting Oleh Soenartono Adisoemarto. Komisi
Pelestarian Plasma Nutfah Nasional.
Natasasmita, Sugana A N, dan Duldjaman M. 1979. Pengaruh penggunaan pejantan Suffolk terhadap prestasi produksi domba Priangan betina dan prospeknya bagi pengembangan peternakan domba rakyat. Prosiding Seminar Penelitian dan Penunjang Pengembangan Peternakan. Lembaga Penelitian Peternakan, Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian, Halaman : 246-253.
Noor R R. 1996. Genetika Ternak. PT Penebar Swadaya, Jakarta.
Rae A L. 1982. Breeding. Dalam : Coop I E (Ed). Worl Animal Science (Sheep and Goat Production). Pp. 15-55. Elsevier Scientific Publishing Company. Amsterdam – Oxford – New York.
Ryder. 1983. Sheep and Man. Duckworth & C0. Ltd., London, UK. Pp. 846.
Subandryo, Setiadi B, Rangkuti M, Diwyanto K,
Doloksaribu M, Batubara L P, Romjali E, Eliaser S, Handiwirawan E. 1998. Performa domba Komposit
hasil persilangan antara domba lokal Sumatera dengan domba Rambut generasi
pertama dan kedua. Jurnal Ilmu
Ternak dan Veteriner. Vol. 3, No. 2:
78-86. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Supraptini
Mansjoer S. 1998. Strategi Penelitian Konservasi Plasma
Nutfah. Materi Pelatihan Singkat
Metodologi dan Manajemen Penelitian Bidang Peternakan. Modul VII. Kerjasama Proyek
Pengembangan Sebelas Lembaga Pendidikan Tinggi dengan Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor.
Supraptini Mansjoer S. 1999. Konservasi Plasma Nutfah. Materi Pelatihan Singkat Metodologi dan Manajemen Penelitian Biologi. Kerjasama Proyek Pengembangan Sebelas Lembaga Pendidikan Tinggi – Dikti dengan Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Institut Pertanian Bogor.