ă 2003 Haeruddin Posted 3
April, 2003
Makalah
Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Program
Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
April 2003
Dosen :
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng
Dr Bambang Purwantara
Sumbangan Peradaban Islam Terhadap Perkembangan Filsafat
dan Ilmu Pengetahuan
Oleh:
IKL/C.66.102.0061
E-mail:
herdian2003@yahoo.com
Pendahuluan
Dalam suatu diskusi dengan topik hujan buatan, yang dihadiri oleh beberapa mahasiswa
aktivis kampus, seorang peserta diskusi melontarkan pandangannya tentang hukum
hujan buatan menurut syariat Islam.
Dalam pandangan sang mahasiswa tadi, yang kebetulan jebolan pesantren
kenamaan di Jawa, hujan buatan itu hukumnya haram, karena mendahului kehendak
Tuhan, yang berkuasa menurunkan hujan.
Pada kesempatan lain,
seorang kyai dalam suatu ceramah menyatakan bahwa mempelajari hukum positif
seperti yang diajarkan di fakultas hukum di perguruan tinggi, haram hukumnya
menurut ajaran Islam. Dalam pandangan
sang kyai, hukum yang boleh dipelajari hanyalah hukum yang terdapat dalam
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Kedua ilustrasi diatas memberi kesan betapa masih kerdilnya pemahaman
sebagian umat Islam, dari golongan terdidik sekalipun, terhadap ilmu
pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang hingga kini. Bahkan seolah memberi kesan bahwa ada
sebagian umat Islam yang masih anti ilmu pengetahuan dan teknologi, dan lebih
menyenangi hidup konservatif seperti zaman dahulu. Walaupun kadang-kadang pandangan dan sikap mereka terhadap ilmu
pengetahuan dan teknologi tidak konsisten.
Sebagai contoh ada beberapa kalangan yang tidak mau menggunakan sendok
dan garpu pada saat makan, karena menurutnya hal itu tidak sesuai dengan sunnah
Rasulullah SAW. Namun anehnya, mereka
kemana-mana tidak berjalan kaki atau naik unta, seperti pada Zaman Rasulullah,
melainkan naik motor atau mobil, yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah.
Jika kita menoleh ke belakang menapaki alur perjalanan sejarah peradaban
umat manusia, maka sikap konservatif ini pernah menghinggapi semua peradaban di
dunia. Dari sejarah diketahui bahwa sikap seperti ini telah menimbulkan korban
pada berbagai kalangan yang memiliki pandangan yang berbeda dengan keyakinan
agama yang berkembang saat itu. Dalam
Sejarah Kristen tercatat banyak ilmuwan menjadi korban, oleh karena memiliki
pandangan yang berbeda dengan pihak gereja, sedang dalam Sejarah Islam
pengajaran filsafat pernah dilarang dipelajari termasuk diajarkan di perguruan
tinggi seperti perguruan tinggi kenamaan Al-Azhar yang ada di Kairo, Mesir.
Sejarah telah membuktikan bahwa adanya sikap konservatif terhadap
pandangan-pandangan baru, telah menghantarkan peradaban ke dalam masa-masa
kegelapan. Sejarah Islam telah mencatat
bahwa masa keemas-an Islam (The Golden Age of Islam) terjadi
pada masa pemerintahan Dinasti Abbas (Abbasiyah), yang sangat terbuka terhadap
perkembangan berbagai pemikiran baru.
Bersamaan dengan dilarangnya belajar-mengajar filsafat, umat Islam mengalami
kemunduran, hingga terpuruk ke dalam belenggu penjajahan Negara-negara
Barat.
Timbulnya kesadaran baru di kalangan umat Islam untuk keluar dari belenggu
penjajahan, tidak lepas dari keberanian beberapa pembaharu dunia Islam seperti
Jamaluddin al Afghani dan Muhammad
Abduh, yang menganjurkan agar umat Islam kembali mempelajari filsafat dan
membuka diri kepada munculnya ide-ide baru.
Berangkat dari uraian diatas, maka dalam tulisan berikut ini akan
dipa-parkan bagaimana sumbangan peradaban Islam pada masa keemasannya dahulu
terhadap perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan, dengan maksud untuk
meluruskan pandangan bahwa Umat Islam itu seolah-olah anti ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Filsafat dan ilmu pengetahuan.
Istilah filsafat mulai dikenal pada
zaman Yunani kuno, berasal dari kata philo
yang berarti cinta dan sophia yang
berarti kebenaran. Jadi orang yang
mempelajari filsafat adalah orang yang cinta kebenaran. Untuk mencapai kebenaran seseorang harus
mempunyai pengetahuan. Sese-orang yang
mengetahui sesuatu, dapat dikatakan telah mencapai kebenaran tentang sesuatu
tersebut menurut dirinya sendiri, meskipun apa yang dianggapnya benar itu belum
tentu benar menurut orang lain.
Pengetahuan tidak sama dengan ilmu, karena ilmu adalah bagian dari
pengetahuan. Seseorang yang mengetahui
cara memainkan berbagai alat musik atau cara menggunakan berbagai alat untuk
melukis, tidak dapat dikatakan memiliki ilmu bermain musik atau ilmu melukis. Oleh karena bermain musik dan melukis
bukanlah ilmu melainkan seni. Demikian
pula orang yang memiliki pengetahuan tentang adanya kebangkitan/kehidupan
setelah kematian, tidak dapat dikatakan memiliki ilmu tentang kehidupan setelah
kematian, oleh karena hal tersebut telah berada di luar batas pengalaman
manusia dan hal demikian itu telah menjadi urusan agama.
Filsafat adalah dasar pijakan ilmu. Berbagai disiplin ilmu yang berkembang
dewasa ini, pada mulanya adalah filsafat.
Ilmu fisika berasal dari filsafat alam (natural philosophy) dan ilmu ekonomi pada mulanya bernama filsafat
moral (moral philosophy). Durant (1933) mengibaratkan filsafat sebagai
pasukan marinir yang bertugas merebut pantai, untuk mendaratkan pasukan
infanteri. Pasukan infanteri adalah
pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu.
Imulah yang membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan
kemenangan filsafat menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan.
Dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu, terdapat taraf
peralihan. Dalam taraf peralihan ini
ruang kajian filsafat menjadi lebih sempit dan sektoral. Pada masa transisi ini ilmu tidak
mempermasalahkan lagi unsur etika secara keseluruhan, namun terbatas pada
unsur-unsur praktis guna memenuhi hajat hidup manusia. Meskipun demikian secara konseptual, ilmu
masih menyandarkan dirinya pada norma filsafat.
Pada tahap perkembangan lebih lanjut, ilmu menyatakan
dirinya bebas dari filsafat dan berkembang berdasarkan penemuan ilmiah, sesuai
dengan tabiat alam apa adanya. Pada
tahap ini perkembangan ilmu tidak lagi berdasarkan metode normatif dan deduktif,
tetapi menggunakan kombinasi dari metode deduktif dan induktif, yang
dihubungkan oleh pengujian hipotesis, yang dikenal sebagai metode logico-hypothetico-verificative.
Auguste Comte (1798 – 1857) membagi perkembangan
pengetahuan ke dalam 3 tahap, yaitu : tahap religius, metafisik dan
positif. Pada tahap pertama postulat
ilmiah menggunakan azas religi, sehingga ilmu merupakan penjabaran (deduksi)
dari ajaran agama. Pada tahap kedua
postulat ilmiah didasarkan pada azas metafisika, yaitu keraguan mengenai
eksistenis obyek yang ditelaah. Pada
tahap ketiga perkembangan ilmu, dilakukan pengujian positif terhadap semua yang
digunakan dalam proses verifikasi yang obyektif.
Sumbangan Peradaban Islam Terhadap Perkembangan Filsafat
dan Ilmu Pengetahuan
Terdapat 2 pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam
terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat
ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa
orang Eropah belajar filsafat dari filosof Yunani seperti Aristoteles, melalui
kitab-kitab yang disalin oleh St. Agustine (354 – 430 M), yang kemudian
diteruskan oleh Anicius Manlius Boethius (480 – 524 M) dan John Scotus.
Pendapat kedua menyatakan bahwa orang Eropah belajar filsafat
orang-orang Yunani dari buku-buku filasafat Yunani yang telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi. Terhadap pendapat pertama Hoesin (1961)
dengan tegas menolaknya, karena menurutnya salinan buku filsafat Aristoteles
seperti Isagoge, Categories dan Porphyry
telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi mati
terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang oleh
negara. Selanjutnya dikatakan bahwa
seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat
dan ilmu pengetahuan di Eropah,, maka John Salisbury, seorang guru besar
filsafat di Universitas Paris, tidak
akan menyalin kembali buku Organon
karangan Aristoteles dari terjemahan-terjemahan berbahasa Arab, yang telah
dikerjakan oleh filosof Islam.
Sebagaimana telah diketahui, orang yang pertama kali belajar dan
mengajarkan filsafat dari orang-orang sophia atau sophists (500 – 400 SM) adalah Socrates (469 – 399 SM), kemudian
diteruskan oleh Plato (427 – 457 SM).
Setelah itu diteruskan oleh muridnya yang bernama Aristoteles (384 – 322
SM). Setelah zaman Aristoteles, sejarah
tidak mencatat lagi generasi penerus hingga munculnya Al-Kindi pada tahun 801
M. Al-Kindi banyak belajar dari
kitab-kitab filsafat karangan Plato dan Aristoteles. Oleh Raja Al-Makmun dan Raja Harun Al-Rasyid pada Zaman
Abbasiyah, Al-Kindi diperintahkan untuk menyalin karya Plato dan Aristoteles
tersebut ke dalam Bahasa Arab.
Sejarawan
menempatkan Al-Kindi sebagai filosof Arab pertama yang mempelajari
filsafat. Ibnu Al-Nadhim mendudukkan
Al-Kindi sebagai salah satu orang termasyhur dalam filsafat alam (natural
philosophy). Buku-buku Al-Kindi
membahas mengenai berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti geometri,
aritmatika, astronomi, musik, logika dan filsafat. Ibnu Abi Usai’bia menganggap Al-Kindi sebagai penterjemah terbaik
kitab-kitab ilmu kedokteran dari Bahasa Yunani ke dalam Bahasa Arab. Disamping sebagai penterjemah, Al-Kindi
menulis juga berbagai makalah. Ibnu
Al-Nadhim memperkirakan ada 200 judul makalah yang ditulis Al-Kindi dan
sebagian diantaranya tidak dapat dijumpai lagi, karena raib entah kemana. Nama Al-Kindi sangat masyhur di Eropah pada
abad pertengahan. Bukunya yang telah
disalin kedalam bahasa Latin di Eropah berjudul De Aspectibus berisi uraian tentang geometri dan ilmu optik,
mengacu pada pendapat Euclides, Heron dan Ptolemeus. Salah satu orang yang sangat kagum pada berbagai tulisannya
adalag filosof kenamaan Roger Bacon.
Beberapa kalangan beranggapan bahwa Al-Kindi bukanlah
seorang filosof sejati. Dr. Ibrahim
Madzkour, seorang sarjana filsafat
lulusan Peran-cis yang berasal dari Mesir, beranggapan bahwa Al-Kindi lebih
tepat dika-tegorikan sebagai seorang ilmuwan (terutama ilmu kedokteran, farmasi
dan astronomi) daripada seorang filosof.
Hanya saja karena Al-Kindi yang pertama kali menyalin kitab Plato dan
Aristoteles kedalam Bahasa Arab, maka ia dianggap sebagai orang yang pertama
kali memperkenalkan filsafat pada Dunia Islam dan kaum Muslimin.
Meskipun pada beberapa hal Al-Kindi sependapat dengan Aristoteles
dan Plato, namun dalam hal-hal tertentu Al-Kindi memiliki pandangan
tersendiri. Al-Kindi tidak sependapat
dengan Aristoteles yang menyatakan bahwa
waktu dan benda adalah kekal.
Dan untuk membuktikan hal tersebut Al-Kindi telah menggunakan pendekatan
matematika. Al-Kindi tidak sepaham pula
dengan Plato dan Aristoteles yang menyatakan bahwa bentuk merupakan sebab dari
wujud, serta pendapat Plato yang
menyatakan bahwa cita bersifat membiakkan.
Menurut Al-Kindi alam semesta ini merupakan sari dari sesuatu yang wujud
(ada). Semesta alam ini merupakan
kesatuan dari sesuatu yang berbilang, ia juga bukan merupakan sebab wujud.
Sepeninggal Al-Kindi, muncul filosof-filosof Islam
kenamaan yang terus mengembangkan filsafat.
Filosof-filosof itu diantaranya adalah : Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu
Rushd, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Muhamad Iqbal.
Al-Farabi sangat berjasa dalam mengenalkan dan
mengembangkan cara berpikir logis (logika) kepada dunia Islam. Berbagai karangan Aristoteles seperti Categories, Hermeneutics, First dan Second Analysis telah diterjemahkan
Al-Farabi kedalam Bahasa Arab.
Al-Farabi telah membicarakan berbagai sistem logika dan cara berpikir
deduktif maupun induktif. Disamping itu
beliau dianggap sebagai peletak dasar pertama ilmu musik dan menyempurnakan
ilmu musik yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Phytagoras. Oleh karena jasanya ini, maka Al-Farabi
diberi gelar Guru Kedua, sedang gelar guru pertama diberikan kepada Aristoteles.
Kontribusi lain dari Al-Farabi yang dianggap cukup
bernilai adalah usahanya mengklassifikasi ilmu pengetahuan. Al-Farabi telah memberikan definisi dan
batasan setiap ilmu pengetahuan yang berkembang pada zamannya. Al-Farabi mengklassifikasi ilmu kedalam
tujuh cabang yaitu : logika, percakapan, matematika, fisika, metafisika,
politik dan ilmu fiqhi (hukum).
Ilmu percakapan dibagi lagi kedalam tujuh bagian yaitu : bahasa, gramatika,
sintaksis, syair, menulis dan membaca.
Bahasa dalam ilmu percakapan dibagi dalam : ilmu kalimat mufrad, preposisi,
aturan penulisan yang benar, aturan membaca dengan benar dan aturan mengenai
syair yang baik. Ilmu logika dibagi
dalam 8 bagian, dimulai dengan kategori dan diakhiri dengan syair (puisi).
Matematika dibagi dalam tujuh bagian yaitu : aritmetika, geometri,
astronomi, musik, hizab baqi (arte ponderum) dan mekanika.
Metafisika dibagi dalam dua bahasan, bahasan pertama mengenai pengetahuan
tentang makhluk dan bahasan kedua mengenai filsafat ilmu.
Politik dikatakan sebagai bagian dari ilmu sipil dan menjurus pada etika
dan politika. Perkataan politieia yang berasal dari bahasa
Yunani diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab menjadi madani, yang berarti sipil dan berhubungan dengan tata cara
mengurus suatu kota. Kata ini kemudian
sangat populer digunakan untuk menyepadankan istilah masyarakat sipil menjadi
masyarakat madani.
Ilmu agama dibagi dalam ilmu fiqh dan imu ketuhanan/kalam (teologi).
Buku Al-Farabi mengenai pembagian ilmu ini
telah diterjemahkan kedalam Bahasa Latin untuk konsumsi Bangsa Eropah dengan
judul De Divisione Philosophae. Karya lainnya yang telah diterjemahkan
kedalam Bahasa Latin berjudul De
Scientiis atau De Ortu Scientearum. Buku ini mengulas berbagai jenis ilmu
seperti ilmu kimia, optik dan geologi.
Ibnu Sina dikenal di Barat dengan sebutan Avicienna. Selain sebagai
seorang filosof, ia dikenal sebagai seorang dokter dan penyair. Ilmu pengetahuan yang ditulisnya banyak
ditulis dalam bentuk syair. Bukunya
yang termasyhur Canon, telah
diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin oleh Gerard Cremona di Toledo. Buku ini kemudian menjadi buku teks (text
book) dalam Ilmu Kedokteran yang diajarkan pada beberapa perguruan tinggi di
Eropah, seperti Universitas Louvain dan Montpelier. Dalam kitab Canon, Ibnu
Sina telah menekankan betapa pentingnya penelitian eksperimental untuk
menentukan khasiat suatu obat. Ibnu
Sina menyatakan bahwa daya sembuh suatu jenis obat sangat tergantung pada
ketepatan dosis dan ketepatan waktu pemberian.
Pemberian obat hendaknya disesuaikan dengan kekuatan penyakit.
Kitab lainnya berjudul Al-Shifa
diterjemahkan oleh Ibnu Daud (di Barat dikenal dengan nama Avendauth-Ben Daud)
di Toledo. Oleh karena Al-Shifa sangat tebal, maka bagian yang
diterjemahkan oleh Ibnu Daud terbatas pada pendahuluan ilmu logika, fisika
dan De
Anima.
Ibnu Sina membagi filsafat atas bagian yang bersifat teoritis dan bagian
yang bersifat praktis. Bagian yang
bersifat teoritis meliputi :
matematika, fisika dan metafisika, sedang bagian yang bersifat praktis
meliputi : politik dan etika.
Dalam hal logika Ibnu Sina memiliki pandangan serupa dengan para filosof
Islam lainnyanya seperti Al-Farabi, Al-Ghazali dan Ibnu Rushd, yang beranggapan
bahwa logika adalah alat filsafat, sebagaimana di tuliskan dalam syairnya :
Perlulah manusia mempunyai alat
Pelindung akal dari yang palsu
Imu logika namanya alat
Alat pencapai semua ilmu
Berbeda dengan
filosof-filosof Islam pendahulunya yang lahir dan besar di Timur, Ibnu
Rushd dilahirkan di Barat (Spanyol).
Filosof Islam lainnya yang lahir di barat adalah Ibnu Baja (Avempace)
dan Ibnu Tufail (Abubacer).
Ibnu baja dan Ibnu Tufail merupakan pendukung rasionalisme
Aris-toteles. Menurut Ibnu Tufail,
manusia dapat mencapai kebenaran sejati dengan menggunakan petunjuk akal dan
petunjuk wahyu. Pendapat ini dituangkan
dengan baik dalam cerita Hayy-Ibnu
Yakdzhan, yang menceritakan bagaimana Hayy yang tinggal pada suatu pulau
terpencil sendirian tanpa manusia lain dapat menemukan kebenaran sejati melalui
petunjuk akal, kemudian bertemu dengan Absal yang memperoleh kebenaran sejati
dengan petunjuk wahyu. Akhirnya kedua
orang ini bisa menjadi sahabat.
Ibnu Rushd yang lahir dan dibesarkan di Cordova, Spanyol
meskipun seorang dokter dan telah mengarang Buku Ilmu Kedokteran berjudul Colliget, yang dianggap setara dengan
kitab Canon karangan Ibnu Sina, lebih
dikenal sebagai seorang filosof.
Ibnu Rushd telah menyusun 3 komentar mengenai Aristoteles, yaitu : komentar
besar, komentar menengah dan komentar kecil.
Ketiga komentar tersebut dapat dijumpai dalam tiga bahasa : Arab, Latin
dan Yahudi. Dalam komentar besar, Ibnu
Rushd menuliskan setiap kata dalam Stagirite
karya Aristoteles dengan Bahasa Arab dan memberikan komentar pada bagian
akhir. Dalam komentar menengah ia masih menyebut-nyebut Aritoteles sebagai Magister Digit, sedang pada komentar
kecil filsafat yang diulas murni pandangan Ibnu Rushd.
Pandangan Ibnu Rushd yang menyatakan bahwa jalan filsafat merupakan jalan
terbaik untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli
agama, telah memancing kemarahan
pemuka-pemuka agama, sehingga mereka meminta kepada khalifah yang
memerintah di Spanyol untuk menyatakan Ibnu Rushd sebagai atheis. Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Ibnu
Rushd sudah dikemukakan pula oleh Al-Kindi dalam bukunya Falsafah El-Ula (First
Philosophy). Al-Kindi menyatakan bahwa
kaum fakih tidak dapat menjelaskan kebenaran dengan sempurna, oleh karena
pengetahuan mereka yang tipis dan kurang bernilai.
Pertentangan antara filosof yang diwakili oleh Ibnu Rushd dan kaum ulama
yang diwakili oleh Al-Ghazali semakin memanas dengan terbitnya karangan
Al-Ghazali yang berjudul Tahafut-El-Falasifah, yang kemudian digunakan pula
oleh pihak gereja untuk menghambat berkembangnya pikiran bebas di Eropah pada
Zaman Renaisance. Al-Ghazali
berpendapat bahwa mempelajari filsafat dapat menyebabkan seseorang menjadi
atheis. Untuk mencapai kebenaran sejati
menurut Al-Ghazali hanya ada satu cara yaitu melalui tasawuf (mistisisme). Buku karangan Al-Ghazali ini kemudian
ditanggapi oleh Ibnu Rushd dalam karyanya Tahafut-et-Tahafut (The Incohenrence
of the Incoherence).
Kemenangan pandangan Al-Ghazali atas pandangan Ibnu Rushd telah menyebabkan
dilarangnya pengajaran ilmu filsafat di berbagai perguruan-perguruan
Islam. Hoesin (1961) menyatakan bahwa pelarangan penyebaran filsafat Ibnu
Rushd merupakan titik awal keruntuhan peradaban Islam yang didukung oleh
maraknya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sejalan dengan pendapat Suriasumantri (2002) yang
menyatakan bahwa perkembangan ilmu dalam peradaban Islam bermula dengan
berkembangnya filsafat dan mengalami kemunduran dengan kematian filsafat.
Bersamaannya dengan mundurnya kebudayaan Islam, Eropah mengalami
kebangkitan. Pada masa ini, buku-buku
filsafat dan ilmu pengetahuan karangan dan terjemahan filosof Islam seperti
Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rushd diterjemahkan ke dalam Bahasa
Latin. Pada zaman itu Bahasa Latin
menjadi bahasa kebudayaan bangsa-bangsa Eropah. Penterjemahan karya-karya kaum muslimin antara lain dilakukan di
Toledo, ketika Raymund menjadi uskup Besar Kristen di Toledo pada Tahun 1130 – 1150 M. Hasil terjemahan dari Toledo ini menyebar sampai ke Italia. Dante menulis Divina Comedia setelah terinspirasi oleh hikayat Isra dan Mikraj Nabi
Muhammad SAW. Universitas Paris
menggunakan buku teks Organon karya
Aristoteles yang disalin dari Bahasa Arab ke dalam Bahasa Latin oleh John
Salisbury pada tahun 1182.
Seperti halnya yang dilakukan oleh pemuka agama Islam, berkembangnya
filsafat ajaran Ibnu Rushd dianggap dapat membahayakan iman kristiani oleh para
pemuka agama Kristen, sehingga sinode gereja mengeluarkan dekrit pada Tahun
1209, lalu disusul dengan putusan Papal Legate pada tahun 1215 yang melarang
pengajaran dan penyebaran filsafat ajaran Ibnu Rushd.
Pada Tahun 1215 saat Frederick II menjadi Kaisar Sicilia, ajaran filsafat
Islam mulai berkembang lagi. Pada Tahun
1214, Frederick mendirikan Universitas Naples, yang kemudian memiliki akademi
yang bertugas menterjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam Bahasa
latin. Pada tahun 1217 Frederick II
mengutus Michael Scot ke Toledo untuk mengumpulkan terjemahan-terjemahan
filsafat berbahasa latin karangan kaum muslimin. Berkembangnya ajaran filsafat Ibnu Rushd di Eropah Barat tidak
lepas dari hasil terjemahan Michael Scot.
Banyak orientalis menyatakan bahwa Michael Scot telah berhasil
menterjemahkan Komentar Ibnu Rushd
dengan judul de coelo et de mundo
dan bagian pertama dari Kitab Anima.
Pekerjaan yang dilakukan oleh Kaisar Frederick II untuk menterje-mahkan
karya-karya filsafat Islam ke dalam Bahasa Latin, guna mendorong pengembangan
ilmu pengetahuan di Eropah Barat, serupa dengan pekerjaan yang pernah dilakukan
oleh Raja Al-Makmun dan Harun Al-Rashid
dari Dinasti Abbasiyah, untuk mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di
Jazirah Arab
Setelah Kaisar Frederick II wafat, usahanya untuk mengembangkan pengetahuan
diteruskan oleh putranya. Untuk tujuan
ini putranya mengutus orang Jerman bernama Hermann untuk kembali ke Toledo pada
tahun 1256. Hermann kemudian
menterjemahkan Ichtisar Manthiq
karangan Al-Farabi dan Ichtisar Syair
karangan Ibnu Rushd. Pada pertengahan
abad 13 hampir seluruh karya Ibnu Rushd telah diterjemahkan ke dalam Bahasa
Latin, termasuk kitab tahafut-et-tahafut, yang diterjemahkan oleh Colonymus
pada Tahun 1328.
Pada pertengahan abad 12 kalangan gereja melakukan sensor terhadap karangan
Ibnu Rushd, sehingga saat itu berkembang 2 paham yaitu paham pembela Ibnu Rushd
(Averroisme) dan paham yang menentangnya.
Kalangan yang menentang ajaran filsafat Ibnu Rushd ini antara lain
pendeta Thomas Aquinas, Ernest Renan dan Roger Bacon. Mereka yang menentang Averroisme umumnya banyak menggunakan
argumentasi yang dikemukakan oleh Al-Ghazali dalam kitabnya
Tahafut-el-Falasifah. Dari hal ini
dapat dikatakan bahwa apa yang diperdebatkan oleh kalangan filosof di Eropah
Barat pada abad 12 dan 13, tidak lain adalah masalah yang diperdebatkan oleh
filosof Islam.
Jalan Tengah : bagaimana seharusnya ?
Uraian diatas menunjukkan kepada kita betapa besar sumbangan peradaban
Islam terhadap pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan, yang kita kenal
sekarang. Meskipun sampai saat ini masih terdapat kecenderungan untuk menafikan
pengaruh peradaban Islam terhadap perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Diantaranya sebagaimana ungkapan Rene
Sedillot, yang menyatakan bahwa sumbangsih peradaban Islam terhadap peradaban
umat manusia, hanyalah berupa pembakaran perpustakaan dan penebangan hutan
tanpa sejengkal tanah pun ditanami.
Semangat mencari kebenaran yang dirintis oleh pemikir Yunani dan hampir
padam oleh karena jatuhnya Imperium Romawi, hidup kembali dalam kebudayaan
Islam. Wells (1951) menyatakan bahwa
jika orang Yunani adalah Bapak Metode Ilmiah, maka kaum muslimin adalah Bapak
Angkat Metode Ilmiah. Metode Ilmiah
diperkenalkan ke dunia barat oleh Roger Bacon (1214 – 1294) dan selanjutnya
dimantapkan sebagai paradigma ilmiah oleh Francis Bacon (1561 – 1626).
Semangat para filosof dan ilmuwan Islam untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan tidak lepas dari semangat ajaran Islam, yang menganjurkan para
pemeluknya belajar segala hal, sampai ke Negeri Cina sekalipun, sebagaimana
perintah Allah SWT dalam Al Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW.
Mengenai pertentangan yang terjadi antara kaum filosof dengan kaum tasawuf,
mengenai alat yang digunakan dalam rangka mencari kebenaran sejati, yang terus
berlanjut hingga saat ini, seharusnya dapat dihindari, bilamana kedua belah pihak menyadari bahwa Tuhan
telah menganugerahi manusia dengan potensi akal (baca otak) dan
hati/kalbu. Kedua potensi itu bisa
dimiliki oleh seseorang dalam kadar yang seimbang, namun dapat pula salah satu
potensi lebih berkembang daripada lainnya.
Orang yang sangat berkembang potensi akalnya, sangat senang menggunakan
akalnya itu untuk memecahkan sesuatu.
Orang demikian ini lebih senang melakukan olah rasio daripada olah rasa
dalam pencarian kebenaran sejati dan sangat berbakat menjadi pemikir atau
filosof.
Sementara itu orang yang sangat berkembang potensi hati atau kalbunya, sangat
senang mengeksplorasi perasaannya untuk memecahkan suatu masalah. Orang demikian ini amat suka melakukan olah
rasa daripada olah rasio, untuk menemukan kebenaran sejati dan sangat berbakat
menjadi seniman atau ahli tasawuf.
Oleh karena itu seharusnya tidak perlu terjadi pertentangan antara ahli
filsafat dan ahli tasawuf, karena keduanya adalah anugerah tuhan yang
seharusnya diterima dengan penuh rasa syukur.
Seharusnya filosof dan ahli tasawuf dapat hidup berdampingan dengan
damai, dan saling melengkapi diantara keduanya, sebagaimana cerita Ibnu Tufail
dalam Hayy-Ibnu Yakdzhan, yang telah
diuraikan sebelumnya sebelumnya.
Durant, W. 1933.
The story of philosophy. Simon
and Schuster, New York.
Hoesin, O.A. 1961.
Filsafat Islam. Penerbit Bulan
Bintang, Djakarta.
Praja, J.S. 2002.
Filsafat dan metodologi ilmu dalam Islam. Penerbit Teraju, Jakarta
Sarton, G. 1927.
Introduction to the history of science.
Baltimore
Suriasumantri, J.S. 2002.
Filsafat ilmu, sebuah pengantar populer, cetakan ke-15. Pustaka Sinar harapan, Jakarta
Wells, H.G. 1951.
The out line of history. Cassel
and Company, London.
Lampiran 1. Perkembangan filsafat dunia (Hoesin, 1961)