©2003 Gatot Dwi Adiatmojo Posted
July 2, 2003
Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Juli 2003
Dosen :
Prof. Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng
Pembangunan Berkelanjutan dengan
Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya
Alam untuk Membangun Perekonomian dengan basis Pertanian
(di Kabupaten Musi Banyuasin)
Oleh :
E-mail:
gatotadi@hotmail.com
PENDAHULUAN.
1.1.
Latar Belakang
Pemerataan Pembangunan ekonomi bagi bangsa Indonesia sudah lama dinantikan serta diinginkan oleh
rakyat Indonesia. Harapan dan cita-cita yang ingin dijadikan kenyataan
tersebut dapat diimplementasikan melalui pembangunan ekonomi untuk dapat meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Oleh karena itu dalam Pembangunan
Nasional intinya adalah untuk kesejahteraan dan kemakmuran yang merata bagi
seluruh rakyat Indonesia. Sampai sekarang pembangunan ekonomi belum banyak
tersentuh dalam pembangunan, sehingga perlu untuk ditingkatkan. Sebagaimana
diketahui dalam beberapa hal, masyarakat mempunyai potensi untuk menjadi tulang
punggung pembangunan ekonomi terutama dalam bidang pertanian, perikanan darat
dan laut serta perkebunan. Namun bidang tersebut secara substansial belum
tergarap secara optimal dan terpadu. Sehingga sampai sekarang wajah dari wilyah
pedesaan tempat kegiatan pertanian, perkebunan, perikanan masih banyak
tertinggal dari wilayah – wilayah
lainnya, baik itu pembangunan dibidang fisik (sarana dan prasarana dll) maupun
dalam hal bidang non fisik(sumber daya manusia).
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah, maka setiap Pemerintah Kabupaten/ Kota sebagai daerah otonom
dituntut untuk dapat mengembangkan dan mengoptimalkan semua potensi daerah
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada hakekatnya otonomi daerah
adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang undangan. Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah
diperlukan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah secara
proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan
sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pemerintah
pusat dan daerah. Sumber pembiayaan pemerintah daerah dalam rangka perimbangan
keuangan pemerintah pusat dan daerah
dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi, tugas pembantuan dan
sumber dana lain (pinjaman/ bantuan LN).
Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) yang mempunyai banyak sumberdaya alam terutama
pertambangan minyak dan gas bumi serta perkebunan merupakan sektor andalan
sebagai sumber pembiayaan untuk pembangunan daerahnya. Pada awal di
berlakukannya undang undang otonomi daerah kalangan pemerintahan Kabupaten Muba
mulai memikirkan bahwa sumber daya alam pertambangan minyak dan gas bumi suatu
saat akan habis, dan pada akhirnya pembiayaan untuk pembangunan akan berkurang.
Pada saat yang bersamaan pemerintah daerah Kabupaten Muba mulai memikirkan
alternatif sumber pembiayaan dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam
pertanian dalam arti luas, dengan berbasiskan pada agribisnis dan agroindustri.
Sumberdaya alam pertanian terutama perkebunan, perikanan dan peternakan
mempunyai potensi yang sangat baik untuk dikembangkan.
1.2. Permasalahan Kabupaten Musi Banyuasin.
a.
Pendapatan perkapita dan struktur
penduduk.
Kabupaten Musi Banyuasin yang dikenal
dengan julukan Bumi Serasan Sekate merupakan salah satu Kabupaten dari 10
(sepuluh) Kabupaten dan kota yang ada di propinsi Sumatera Selatan dengan
ibukota kabupaten Sekayu. Kabupaten Musi Banyuasin mempunyai luas wilayah
14.263,40 Km² terbagi dalam 9 kecamatan dan 195 desa.
Penduduk Kabupaten Muba pada tahun 2000
terdiri dari 50,34 % laki-laki dan 49,66 % perempuan dengan kepadatan 48 jiwa
per Km²*). Rata-rata jumlah jiwa per
keluarga adalah 5 (lima) jiwa, sedangkan
laju pertumbuhan penduduk sebesar 3,32 % selama periode tahun 1990-2000.
Pendapatan per kapita sebesar Rp.
5.915.493,- dengan migas dan Rp. 2.987.843,- tanpa migas. Meskipun dengan
tingkat pendapatan per kapita cukup tinggi, namun 46 % penduduknya
dikategorikan pada keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I. Pendapatan
perkapita Kabupaten Muba yang dari tahun ke tahun meningkat dan komposisi
jumlah keluarga dengan jumlah pendapatan dapat dilihat pada gambar 1 dan tabel
1 berikut ini.
Sumber : BPKD
Kab Muba, 2002, diolah.
Gambar 1. Pendapatan per kapita Kabupaten Musi Banyuasin pada tahun 1993
sampai dengan tahun 2000.
*) Sumber
: Musi Banyuasin Dalam Angka 2000, diolah.
Tabel 1. Kategori jumlah keluarga dan pendapatan per keluarga perbulan di
Kabupaten Musi Banyuasin pada tahun 2002.
No |
Kategori Keluarga |
Jumlah Keluarga (KK)* |
Prosentase (%) |
1 2 3 4 5 |
Keluarga pra
sejahtera Keluarga
Sejahtera I Keluarga
Sejahtera II Keluarga
Sejahtera III Keluarga
Sejahtera Plus |
23.321 21.551 44.721 6.151 1.066 |
24.08 22.26 46.23 6.35 1.10 |
Jumlah |
96.811 |
100 |
Sumber
: BKKBN Kabupaten MUBA 2002, diolah. *) Diasumsikan 1 KK = 5 Jiwa.
Struktur penduduk di Kabupaten Musi Banyuasin menurut
umur produktif secara ekonomi (15 – 60 tahun) dari tahun ketahun menunjukan peningkatan.
Demikian juga umur tidak produktif secara ekonomi (0-14 tahun) juga menunjukan
peningkatan. Perbandingan antara jumlah penduduk yang tidak produktif secara
ekonomi (< 15
tahun dan > 60
tahun) dengan jumlah penduduk yang produktif secara ekonomi ( 15 – 60 tahun)
diperoleh angka yang merupakan jumlah penduduk sebagai beban tanggungan ekonomi
daerah. Angka ini merupakan salah satu indikator ekonomi suatu daerah (Suryono,
1989). Apabila angka beban tanggungan ekonomi suatu daerah tinggi, maka dapat
dikatakan daerah tersebut menanggung beban tanggungan ekonomi atau dapat
dikatakan pada tingkat miskin atau terbelakang. Sebagai gambaran jumlah
penduduk menurut kelompok umur di Kabupaten Musi Banyuasin tahun 1980, 1990,
1999 adalah seperti tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Jumlah tenaga kerja produktif dan yang kurang produktif, serta
angka beban tanggungan ekonomi tahun 1980, 1990 dan 1999 di Kabupaten Musi
Banyuasin.
No |
Kelompok umur (th) |
Th 1980 |
Th 1990 |
Th 1999 |
|||
Jumlah |
% |
Jumlah |
% |
Jumlah |
% |
||
1 |
0 –14 |
268.741 |
45,47 |
318.398 |
35,21 |
378.616 |
35,28 |
2 |
15 – 64
* |
308.494 |
52.19 |
552.804 |
61.12 |
660.804 |
61.58 |
3 |
> 65 |
13.639 |
2.34 |
33.236 |
3.67 |
33.696 |
3.14 |
Angka beban tanggungan
ekonomi |
91.6 |
63.61 |
62.39 |
Sumber : Muba dalam angka 1999, diolah.
*) Diasumsikan semua tenaga kerja produktif bekerja.
b.
Potensi Sumber Daya Alam
Potensi sumber daya
alam di Kabupaten Muba cukup banyak yang dapat dimanfaatkan untuk dapat
membiayai pembangunan. Sumber daya alam pertambangan cukup mempunyai potensi untuk
dikembangkan, sehingga pembiayaan pembangunan dapat diandalkan dari sektor
pertambangan. Tapi potensi sumber daya alam dari pertambangan
pemanfaatannya perlu dilakukan dengan cermat. Sebagai gambaran nilai produksi dan produksi minyak
dan gas bumi dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Produksi dan Nilai produksi Minyak dan Gas Bumi
tahun 2000 di Kabupaten Muba
No
|
Lokasi |
Produksi
(Ton) |
Nilai
Produksi (Rp 000) |
1 |
Sungai
Lilin |
701,146.00 |
- |
2 |
Ramba |
4,852,924.00 |
247,200,000.00 |
3 |
Kresik |
2,614,318.00 |
237,820,000.00 |
4 |
Kaji,
Semoga |
4,993,012.00 |
201,800,000.00 |
|
Jumlah |
13,161,400.00 |
686,820,000.00 |
Sumber
: Dinas Pertambangan dan Energi Kab MUBA, 2000, diolah.
Disamping potensi sumber daya alam pertambangan Kabupaten Muba juga memiliki potensi sumber daya alam yang dimanfaatkan perkebunan terutama untuk komoditi karet, kelapa dan kelapa sawit. Potensi pemanfaatan sumber daya alam untuk perkebunan ini masih memiliki peluang yang sangat baik untuk dikembangkan dengan kepemilikan usaha perkebunan melibatkan masyarakat.
Sebagai gambaran jenis komoditi perkebunan, luas, produksi dan jumlah pemilik usaha perkebunan tahun 2000 di Kabupaten Muba dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Jenis komoditi perkebunan, luas, produksi dan
jumlah pemilik tahun 2000 di Kabupaten Muba.
No |
Jenis Komoditi & Pengelola |
Luas (Ha) |
Produksi (Ton) |
Jumlah Pemilik (KK) |
1 |
Karet |
|
|
|
|
·
Perkebunan
Rakyat |
192.672 |
78.771 |
101.152 |
|
·
Perkebunan
Negara |
6.265 |
7.811 |
- |
|
·
Perkebunan
Swasta |
10.322 |
6.805 |
- |
|
Total
|
209.259 |
93.387 |
101.152 |
2 |
Kelapa |
|
|
|
|
·
Perkebunan
Rakyat |
19.127 |
8.792 |
52.857 |
|
·
Perkebunan
Negara |
16 |
- |
- |
|
·
Perkebunan
Swasta |
2.94 |
2.549 |
- |
|
Total
|
38.067 |
11.341 |
52.857 |
3 |
Kelapa Sawit |
|
|
|
|
·
Perkebunan
Rakyat |
8.944 |
126.870 |
4.127 |
|
·
Perkebunan
Negara |
13.462 |
184.286 |
- |
|
·
Perkebunan
Swasta |
81.128 |
544.152 |
- |
|
Total
|
103.534 |
855.308 |
4.127 |
Sumber
: Dinas Perkebunan Kab MUBA, 2000, diolah.
Kabupaten Muba disamping memiliki sumber daya yang ada di daratan juga mempunyai sumber daya perairan yang diusahakan untuk perikanan darat dan perikanan laut yang dapat dan perlu dikembangkan. Sebagai gambaran usaha perikanan, produksi dan nilai produksi tahun 2000 dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Usaha perikanan, produksi dan nilai produksi
tahun 2000 di Kabupaten Muba.
No |
Jenis
Usaha Perikanan |
Produksi
(Ton) |
Nilai
Produksi (Rp 000) |
1 |
Perikanan darat |
10,620.10 |
11,953,148 |
2 |
Budidaya air tawar |
- |
- |
a |
Kolam |
701 |
524,640 |
b |
Keramba |
150 |
134,605 |
3 |
Perikanan Laut |
41.629 |
19,774,012 |
Sumber :
Dinas Perikanan Kab MUBA, 2000, diolah.
Potensi sumber daya alam di Kabupaten Muba disamping sumber daya alam
pertambangan, pertanian, perkebunan dan perikanan juga sumber daya dari hasil
hutan. Terdapat 2 (dua) jenis kawasan hutan, yaitu kawasan hutan non budi daya
dan kawasan hutan budi daya. Kawasan hutan budi daya yang merupakan hutan
produksi dapat dimanfaatkan secara ekonomis, namun harus dengan ke hati-hatian,
karena apabila hanya dimanfaatkan semata-mata untuk keperluan ekonomi maka akan
terjadi kerusakan hutan dan mungkin akan terjadi deforetstation (Gunarwan S, 2003). Luasan kawasan hutan non
budidaya dan hutan kawasan budidaya
seperti pada tabel 6 berikut ini.
Tabel 6. Luasan kawasan hutan non budidaya dan kawasan budi
daya tahun 2000 di Kabupaten Muba.
No |
Kawasan Non Budidaya
|
Luas (Ha) |
Kawasan Budidaya
|
Luas (Ha) |
1 |
Hutan Suaka Alam |
342,479 |
Hutan Produksi : |
|
2 |
Hutan Lindung |
68,823 |
Hutan Produksi Terbatas (HPT) |
98,640 |
|
|
|
Hutan Produksi Tetap (HP) |
526,155 |
|
|
|
Hutan Produksi Konversi |
192,460 |
Sumber
: Dinas Kehutanan Kab MUBA, 2000, diolah.
c.
Rumusan
Masalah.
·
Melihat pendapatan perkapita tahun 2000, dan sebanyak 46 %
penduduk Kabupaten Muba masih dalam kategori keluarga pra sejahtera dan
keluarga sejahtera I, maka diperlukan untuk mengoptimalkan pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya alam terutama di bidang pertanian.
·
Pemanfaatan sumberdaya pertanian untuk pertanian
mempunyai implikasi yang cukup luas, diantaranya adalah : penyerapan sumberdaya
tenaga manusia, pemerataan dan distribusi sumberdaya alam untuk pertanian yang
dapat menjadi sumber perekonomian.
·
Sektor pertanian dalam arti luas memberikan kontribusi
yang baik terhadap perekonomian regional dan sudah terbukti tidak mengalami
perubahan (stabil) akibat krisis moneter dan ekonomi.
I.
Maksud dan tujuan.
Maksud dan tujuan dari
penulisan ini adalah :
·
Memberikan gambaran bahwa sumberdaya alam terutama pertambangan yang ada di
Kabupaten Muba mempunyai keterbatasan baik jumlahnya maupun pada saat tertentu
akan habis untuk dieksploitasi. Sehingga pembiayaan pembangunan daerah yang
tadinya mengandalkan dari sektor pertambangan harus memanfaatkan dan
mengoptimalkan sumberdaya yang lain untuk dieksploitasi seperti pertanian,
perkebunan, perikanan.
·
Memberikan gambaran bahwa 46 % penduduknya masih dikategorikan dalam
keluarga pra sejahtera dan keluraga sejahtera I. Hal ini merupakan kenyataan
bahwa sumber-sumber ekonomi yang selama ini memanfaatkan sumberdaya alam di
Kabupaten Muba dikuasai oleh Perusahaan Negara (BUMN) dan Perusahaan swasta,
sehingga kurang/ belum ada distribusi dan pemerataan dibidang kegiatan
perekonomian kepada masyarakat.
III.
Pembangunan berkelanjutan dan konsep ekonomi
a. Pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan adalah sebuah proses produksi dan konsumsi dimana materi dan
energi diolah dengan menggunakan faktor produksi, seperti modal, mesin mesin (capital), tenaga kerja (labor dan human resources), dan bahan baku (natural resources) . Dalam hal penyediaan bahan baku dan proses produksi kegiatan
pembangunan dapat membawa dampak kepada lingkungan alam dan masyarakat
sekitarnya, yang pada gilirannya akan berdampak kepada keberlanjutan
pembangunan. Dalam memperhatikan keberlanjutan pembangunan, yang tidak hanya
memperhatikan kepentingan saat ini tapi juga memperhatikan kepentingan masa
mendatang, maka pembangunan harus dilaksanakan secara berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan
adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan
generasi masa mendatang. Didalamnya terdapat dua gagasan penting (Surna TD,
2001) :
·
Gagasan
kebutuhan, yaitu kebutuhan esensial untuk memberlanjutkan kehidupan manusia.
·
Gagasan
keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial
terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan.
Tujuan yang harus
dicapai untuk keberlanjutan pembangunan adalah : keberlanjutan ekologis, keberlanjutan
ekonomi, keberlajutan sosial budaya dan politik, keberlanjutan pertahanan dan
keamanan. Sedangkan pembangunan keberlanjutan mempunyai prinsip prinsip dasar
dan prinsip dasar tersebut dari setiap elemen pembangunan berkelanjutan dapat
diringkas menjadi 4 (empat), yaitu : pemerataan, partisipasi, keanekaragaman (diversity), integrasi dan perspektif
jangka panjang (Surna TD, 2001).
Kata “berkelanjutan” (sustainable) memiliki implikasi dalam
suatu rentang waktu, dan pemanfaatan
sumberdaya dapat dianggap berkelanjutan untuk rentang waktu tertentu, biasanya
10 hingga 20 tahun. Namun demikian,
rentang waktu ini sering pula dianggap tidak cukup mewakili istilah
“berkelanjutan” (Conrad, 1999) . Bila istilah “berkelanjutan” berarti “dapat
dipertahankan secara ad infinitum”,
pemanfaatan sumberdaya oleh masyarakat primitif sekalipun – yang berburu dan
mengumpulkan (hunting-gathering) –
tidak dapat dikategorikan berkelanjutan.
Hal ini berkaitan dengan konsep pembangunan (development) yang tidak mungkin dilakukan tanpa konsumsi. Sehingga dalam kenyataannya, pembangunan
berkelanjutan seringkali memiliki kontradiksi dalam pelaksanaannya.
Arti berkelanjutan
secara ekstrim dapat dikatakan sebagai keseimbangan statis, dimana dalam
keseimbangan tersebut tidak terdapat perubahan, meskipun tentu saja terdapat
perubahan dalam lokasi dari waktu ke waktu (Boulding,
1991, Pezzey,1992). Berkelanjutan dapat pula berarti keseimbangan yang
dinamis (Clark, 1989) yang
memiliki dua arti yaitu: pertama, keseimbangan sistem yang mengalami perubahan,
dimana parameter perubahan dalam keseimbangan tersebut bersifat konstan; yang
kedua adalah keseimbangan suatu sistem yang setiap parameternya mengalami
perubahan, sehingga setiap perubahan misalnya dalam populasi akan memicu
restorasi nilai populasi awal tersebut.
Pembangunan
berkelanjutan memastikan bahwa generasi yang akan dating memiliki kesempatan
ekonomi yang sama dalam mencapai kesejahteraannya, sepertihalnya generasi
sekarang. Untuk dapat melaksanakan pembangunan berkelanjutan diperlukan cara
mengelola dan memperbaiki portofolio asset ekonomi, sehingga nilai agregatnya
tidak berkurang dengan berjalannya waktu. Portofolio asset ekonomi tersebut
adalah capital alami (Kn), capital fisik (Kp) dan capital manusia (Kh), secara
sistematis pembangunan berkelanjutan dapat dijabarkan dalam gambar berikut:
Gambar 2. Sumberdaya alam dan pembangunan berkelanjutan (Pearce and Barbier, 2000) .
Dalam paradigma ekonomi,
pembangunan berkelanjutan dapat diterjemahkan sebagai pemeliharaan
kapital. Ada empat variasi kebijakan
mengenai pembangunan berkelanjutan :
1. Kesinambungan
yang sangat lemah (very weak
sustainabillity) atau “Hartwick-Solow
sustainability”, yang hanya mensyaratkan
kapital dasar total yang harus dipelihara. Kesinambungan ini dapat
dicapai dengan memastikan bahwa tingkat/ laju
konsumsi berada di bawah Hicksian
income, dimana Hicksian income ini
didefinisikan sebagai tingkat konsumsi maksimum yang dapat membangun kondisi
masyarakat yang lebih sejahtera di akhir periode pembangunan dibandingkan
dengan kondisi awalnya. Diasumsikan natural
capital dapat disubsitusi dengan kapital buatan manusia (man-made capital) tanpa batas. Dengan kata lain, deplesi sumberdaya alam
tidak diperhitungkan dalam penilaian kegiatan ekonomi (Harnett, 1998) .
2. Kesinambungan
yang lemah (weak sustainability),
mensyaratkan pemeliharaan kapital total, dengan kendala bahwa modal alami yang
penting (critical natural capital)
harus dilestarikan. Misalnya : bila
sumberdaya air dan keragaman spesies merupakan hal yang penting bagi stabilitas
ekosistem, sumberdaya tersebut tidak dapat dikorbankan bagi alasan-alasan
pertumbuhan ekonomi.
3. Kesinambungan
yang kuat (strong sustainability)
mensyaratkan bahwa tidak ada substitusi bagi modal alami (natural capital), karena natural capital ini memperkuat
kesejahteraan manusia dan degradasi natural
capital tersebut dapat dikembalikan kondisinya ke kondisi awal. Kesinambungan yang kuat mensyaratkan
pemeliharaan kapital total, dengan kendala
bahwa agregrat kapital total harus dilestarikan
4. Kesinambungan
yang sangat kuat (very strong
sustainability) mensyaratkan bahwa kesinambungan sistem ekologi adalah
esensi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Pembangunan yang bergantung pada sumberdaya (resource-dependent “development”) diperbolehkan, namun demikian,
pertumbuhan yang bergantung pada sumberdaya (resources-dependent “growth”) tidak dapat dibenarkan. Interpretasi ini mensyaratkan pemisahan
setiap komponen dari natural capital. Pada kenyataannya, very strong sustainability lebih merupakan sistem daripada suatu
konsep ekonomi.
Dalam sisi skala waktu pemanfaatan relatif terhadap siklus
regenerasi atau pemulihan sediaan, sumberdaya alam biasanya dikelompokkan
menjadi dua kategori: Sumberdaya tidak pulih dan sumberdaya pulih (Tietenberg, 2000, Hussen, 2000) . Keduanya memiliki karakteristik yang
spesifik, sehingga, bila konsep sumberdaya sebagai “bahan bakar” pembangunan
pola pemanfaatnya menjadi kunci dari suatu pembangunan yang berkelanjutan.
Sumberdaya yang
tak pulih adalah sumberdaya yang laju pemulihannya sangat lambat sehingga
sumberdaya tersebut tidak dapat memulihkan stok/sediaannya dalam waktu yang
ekonomis (Conrad, 1999, Tietenberg,
2000) . Tanpa daur ulang
pemanfaatannya, sumberdaya tak pulih akan habis bila dimanfaatkan. Misalnya, penambangan tembaga akan berakibat
pada habisnya sediaaan dan cadangan tembaga tersebut. Tanpa pemanfaatan ulang tembaga yang telah diekstraksi, cadangan
tambang tembaga akan nihil.
Sumberdaya pulih dibedakan dengan sumberdaya tak pulih
berdasarkan pada kemampuan pemulihan alami yang dimiliki sumberdaya ini yang
lajunya tak dapat diabaikan. Di samping
itu, siklus pemulihan ini dapat kembali memperbesar jumlah sediaan yang
berkurang akibat pemanfaatannya (Tietenberg,
2000) . Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa, meskipun terbatas, aliran pemanfaatan sumberdaya ini dapat
dipertahankan secara terus menerus.
Volume dan kelanjutan aliran pemanfaatan beberapa siklus sumberdaya alam
yang pulih sangat tergantung pada manusia.
Misalnya, penangkapan ikan yang berlebihan akan mengurangi sediaan ikan
secara alami yang lebih lanjut dapat menurunkan laju peningkatan alami dari
populasi ikan tersebut. Jenis
sumberdaya pulih yang lain, seperti energi surya, aliran pemanfaatannya tidak
tergantung manusia.
Pada pembangunan berkelanjutan yang berorientasi pada kepentingan ekonomi
dan kepentingan lingkungan, terdapat 3 (tiga) pilar tujuan (Daniel M, 2003),
yaitu : pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan, stabilitas dan
efisiensi. Pada pilar kedua pembangunan sosial yang bertujuan pengentasan
kemiskinan, pengakuan jati diri dan pemberdayaan masyarakat. Sedangkan pilar
kedua pembangunan lingkungan yang berorientasi pada perbaikan lingkungan lokal
seperti sanitasi lingkungan, industri yang lebih bersih dan rendah emisi, dan
kelestarian sumberdaya alam. Dalam konteks tiga pilar pembangunan berkelanjutan
dengan tujuan ekonomi, sosial dan
lingkungan dapat dilihat pada gambar 3
berikut ini.
Gambar 3. Pilar pilar pembangunan berkelanjutan dengan
tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan (Munasinghe, 1993)
b. Pembangunan ekonomi
Pada pembangunan ekonomi baru yang memasukkan lebih banyak dimensi, perlu
digunakan guna mengukur keberhasilan pembangunan dan dalam perspektif waktu panjang
(mempertimbangkan kepentingan antar generasi) yang dikenal dengan model
pembangunan ekonomi berkelanjutan (sustainble development). Pembangunan
ekonomi yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, akhirnya
dapat menjadi bumerang jika ongkosnya harus dibayar mahal oleh generasi
mendatang, karena rusaknya lingkungan hidup sosial. Jangan lupa, generasi
mendatang, juga memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti generasi sekarang
(Sri Adiningsih, 2002). Tujuan
pembangunan ekonomi harus diupayakan dengan keberlanjutan. Pembangunan
menimbulkan transformasi yang progresif pada ekonomi dan masyarakat. Suatu
jalur pembangunan yang berkelanjutan dalam pengertian fisik, secara teoritik
dapat ditelusuri, akan tetapi keberlanjutan fisik tidak mungkin dicapai bila
kebijaksanaan pembangunan memberikan perhatian pada hal hal seperti berubahnya
akses ke sumberdaya serta berubahnya distribusi biaya dan keuntungan.
Dalam definisi ekonomi, modal adalah “cadangan” atau persediaan dari barang
nyata, yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan barang atau fungsi
pemanfaatan dalam kurun waktu mendatang (Serafy, 1991)
. Lebih lanjut, sumberdaya alam, yang merupakan cadangan barang
dan jasa, serta memiliki kemampuan untuk memproduksi barang dan jasa serta
fungsi lain diklasifikasikan sebagai modal dalam faktor produksi (Marshall 1947
dalam Serafy 1991). Alfred Marshal
dalam (Serafy, 1991) , sangat
memahami peran sumberdaya alam dalam kontribusinya kepada produksi.
Sumberdaya buatan,
atau biasa disebut kapital fisik, kapital alami (sumberdaya alam), serta
kapital manusia bersama-sama berkontribusi kepada kesejahteraan umat manusia
melalui dukungan terhadap produksi barang dan jasa dalam suatu proses ekonomi (Pearce et al., 1989) . Termasuk ke dalam kapital buatan
manusia/kapital fisik adalah mesin, peralatan, bangunan, alat, dan semua yang
berkaitan dengan barang yang digunakan dalam proses produksi. Kapital alami, yang berarti sumberdaya alam,
digunakan sebagai input materi dan
energi ke dalam input produksi,
berfungsi sebagai “sink” untuk
menampung emisi limbah yang dihasilkan oleh proses ekonomi, dan juga sebagai
penyedia beragam jasa ekologis untuk mendukung dan memelihara proses produksi
(Nick Hanley et al, 1997). Sebagai
contoh adalah daur ulang nutrisi, perlindungan terhadap daeerah aliran sungai,
dan pengatur iklim. Kapital manusia,
atau sumberdaya manusia, mencakup
pengetahuan, ketrampilan, dan keahlian yang diperlukan untuk meningkatkan
proses produksi serta untuk kegiatan riset dan pengembangan yang memicu inovasi
teknologi. Namun demikian,
masing-masing sumberdaya ini memberikan kontribusi langsung kepada
kesejahteraan manusia, sehingga hubungan sediaan kapital ini dapat digambarkan
pada gambar 3 berikut ini.
Gambar
4. Sediaan kapital total dan kesejahteraan manusia (Pearce and Barbier, 2000) .
Pada konteks pembangunan ekonomi berkelanjutan, kita tidak dapat hanya melihat
dari ukuran-ukuran tradisional yang selama ini digunakan, seperti tingginya
pendapatan per kapita untuk mengukur kesejahteraan suatu bangsa atau
masyarakat. Namun, kita perlu memasukkan dimensi lain seperti lingkungan hidup
dan sosial dalam mengukur kualitas hidup suatu bangsa atau kelompok masyarakat.
Keberlanjutan ekonomi dari perspektif pembangunan memiliki dua hal utama yang
keduanya mempunyai keterkaitan yang erat dengan keberlanjutan aspek lainnya
(Surna TD, 2001), yaitu :
·
Keberlanjutan ekonomi makro yang mempunyai tiga elemen
utama : efisiensi ekonomi, kesejahteraan ekonomi yang berkesinambungan dan
meningkatkan pemerataan dan distribusi kemakmuran.
·
Keberlanjutan ekonomi sektoral mempunyai dua elemen
penting : sumberdaya alam yang nilai ekonominya dapat dihitaung harus
diperlakukan sebagai kapital yang “tangible”
dalam kerangka akunting ekonomi, dan koreksi terhadap harga barang dan jasa
perlu diintroduksikan.
Dalam konteks pembangunan ekonomi kita dihadapkan pada persoalan membangun
ekonomi daerah yang kompetitif dan efisien. Marilah kita pelajari lebih dahulu
bagaimana kita menilai daya saing suatu ekonomi. Daya saing suatu ekonomi tidak
dapat dinyatakan oleh ukuran-ukuran parsimonial seperti Revealed
Comparative Advantage (RCA) yang berlaku untuk suatu komoditi tertentu dan
bersifat ex post. Suatu konsep yang lebih luas perlu dikembangkan, konsep competitiveness bukanlah suatu konsep
untuk diterapkan pada suatu ekonomi (negara) tetapi lebih tepat bagi
perusahaan-perusahaan dalam ekonomi (negara) bersangkutan (Hadi Soesastro,
2000).
Setiap
tahun lembaga seperti World Economic
Forum (WEF) dan International
Institute for Management Development (IIMD) menerbitkan daftar peringkat
daya saing internasional sejumlah negara. Indeks daya saing itu ditetapkan
berdasarkan penilaian atas delapan kelompok karakteristik struktural ekonomi
bersangkutan. Kedelapan karakteristik itu adalah:
(1) keterbukaan
terhadap perdagangan dan keuangan internasional;
(2) peran
fiskal dan regulasi pemerintah;
(3) pembangunan
pasar finansial;
(4) kualitas
infrastruktur;
(5) kualitas
teknologi;
(6) kualitas
manajemen bisnis;
(7) fleksibilitas
pasar tenaga kerja dan pembangunan sumber daya manusia;
(8) kualitas
kelembagaan hukum dan politik.
Menurut ukuran ini daya saing ekonomi sebenarnya ditentukan oleh ketiga
faktor tadi: kebijakan, kelembagaan dan kemampuan. Pengembangan ketiga faktor
ini merupakan kunci bagi pembangunan ekonomi daerah yang kompetitf. Pada
akhirnya kekuatan kelembagaan dan kemampuan nasional seharusnya bukanlah yang
dicerminkan dengan yang terdapat di Jakarta tetapi dengan yang ada di seluruh
Indonesia. Daya saing ekonomi daerah tidak dapat dilihat dalam konteks
nasional, yaitu antar ekonomi daerah, tetapi harus dikembangkan dalam konteks
internasional. Karena itu tidak dapat dihindari bahwa pembangunan ekonomi
daerah harus diselenggarakan dengan pola yang secara tegas berorientasi ke luar
(Hadi Soesastro, 2000).
Pembangunan ekonomi juga meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi yang pesat,
membawa tingkat kemakmuran masyarakat lebih tinggi dan menurunkan kemiskinan
(Sri Adiningsih, 2002). Namun kiranya perlu juga diperhatikan bahwa dalam
bidang ekonomi, pemerintah mempunyai empat macam peranan yaitu (Mashuri
Maschab, 2002) :
1) alokasi,
2) distribusi,
3) regulasi,
dan
4) stabilisasi.
Apabila pemerintah daerah bisa menjalankan peranan ekonominya dengan baik,
maka bukan saja akan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya tetapi juga akan
mendukung stabilitas dan kemajuan ekonomi regional dan nasional.
IV. Analisa pembangunan ekonomi berbasis pertanian
Konsep basis ekonomi untuk mengetahui suatu sektor pembangunan ekonomi
wilayah dan kegiatan basis, yang dapat melayani pasar daerah itu sendiri maupun
pasar luar daerah ( Kadariah. 1985 ). Dalam mengukur suatu sektor menjadi basis dilakukan dengan Location Quotien (LQ)
perbandingan relatip kemampuan suatu sektor dalam wilayah yang ingin
analisis. Location quotien mempunyai
kelebihan dan kekurang, kelebihannya (Richardson.1997) LQ memiliki konsep yang
sederhana, mudah diterapkan, sedangkan kelemahannya, adalah penambahan unit lokasi harus disesuaikan dengan penentuan kegiatan basis dan non basis, model ini kurang bisa diandalkan jika wilayah
lebih luas.
Analisa pembangunan
pertanian di Kabupaten Muba dengan mempergunakan data sekunder yang berasal
dari BPS Kabupaten Muba dan BPS Propinsi Sumatera Selatan. Data yang
dipergunakan adalah data PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). PDRB adalah
suatu indikator untuk menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi suatu daerah secara
sektoral, sehingga dapat dilihat penyebab pertumbuhan ekonomi suatu wilayah
tersebut. Selain PDRB sebagai alat ukur
juga untuk menganalisa perubahan tingkat kemakmuran secara rill atas
harga konstan pada suatu wilayah. PDRB dengan migas atas dasar harga konstan
Kabupaten Muba dan Propinsi Sumatera Selatan tahun 1999 – 2000 disajikan pada
tabel 7 dan 8 berikut ini.
Tabel 7.
Distribusi PDRB Kabupaten Muba Dengan
Migas Atas Dasar Harga Konstan
No |
Lapangan Usaha |
(%) |
(Rp
000.000) |
||
1999 |
2000 |
1999 |
2000 |
||
1 |
Pertanian,
Peternakan, Kehutanan, Perikanan, Perkebunan |
21.88 |
21.39 |
509.377 |
527.629 |
2 |
Pertambangan
dan Penggalian |
17.82 |
20.42 |
414.964 |
503.620 |
3 |
Industri
Pengolahan |
32.31 |
30.89 |
752.076 |
761.833 |
4 |
Perdagangan |
18.16 |
17.68 |
422.707 |
436.180 |
5 |
Lainnya |
9.81 |
9.60 |
228.511 |
236.933 |
Jumlah PDRB Kab Muba dengan Migas |
100 |
100 |
2.327.635 |
2.466.195 |
Sumber
: PDRB Kabupaten Muba, 2001, Diolah.
Tabel 8. Distribusi PDRB Propinsi Sumatera Selatan Dengan Migas Atas Dasar Harga Konstan
No |
Lapangan Usaha |
(%) |
(Rp 000.000) |
||
1999 |
2000 |
1999 |
2000 |
||
1 |
Pertanian,
Peternakan, Kehutanan, Perikanan, Perkebunan |
20,22 |
19,83 |
2.403.771 |
2.498.396 |
2 |
Pertambangan dan Penggalian |
18,5 |
20,07 |
2.199.296 |
2.528.634 |
3 |
Industri
Pengolahan |
19,62 |
19,28 |
2.332.442 |
2.429.101 |
4 |
Perdagangan |
19,4 |
19,22 |
2.306.288 |
2.421.541 |
5 |
Lainnya |
22,26 |
21,6 |
2.646.287 |
2.721.399 |
Total PDRB Propinsi Sumatera
Selatan dengan Migas |
100 |
100 |
11.888.084 |
12.599.071 |
Sumber
: BPS Propinsi Sumatera Selatan, 2001, Diolah
a. Analisa Location
Quotient.
Analisis data dilakukan dengan
cara analisa kuantitatif yaitu : analisis kuantitatif dilakukan dengan metode Location Quotient (LQ) tujuanya untuk
mengetahui pembangunan pertanian dengan Analisis Location quotien(LQ) dan indikator PDRB atas
dasar harga konstan apabila nilai LQ lebih besar dari satu (LQ>1), maka LQ
dapat diterima. Dari analisa LQ, maka sektor pertanian dapat dijadikan basis
ekonomi di Kabupaten Muba, hasil analisa dapat dilihat dalam tabel 8. Formula
analisa kuantitatif dengan menggunakan metode LQ, adalah sebagai berikut :
LQi = (ei/e)/(Ei/E)
Keterangan
:
LQi = nilai LQ untuk sektor i (pertanian) di
Kabupaten Musi Banyuasin
ei = PDRB
sektor pertanian di Kabupaten Musi Banyuasin.
e =
PDRB sektor pertanian di Propinsi Sumatera Selatan
Ei = PDRB
seluruh sektor di Kabupaten Musi Banyuasin.
E =
PDRB Seluruh sektor di Propinsi Sumatera Selatan
Analisis Location quotien (LQ)
dengan indikator PDRB atas dasar harga konstan
yang hasilnya lebih besar dari satu (LQ > 1) maka LQ dapat diterima
dan sektor pertanian dapat menjadi basis ekonomi di Kabupaten Muba. Hasil
analisa dapat dilihat pada tabel 9.
Tabel 9. Analisis kuantitatif
dengan metode Location Quotient. (LQ),
sektor pertanian sebagai basis ekonomi.
|
ei |
e |
Ei |
E |
LQi |
1999 |
509.377 |
2.327.635 |
2.403.771 |
11.888.084 |
1.08 |
2000 |
527.629 |
2.466.195 |
2.498.396 |
12.599.071 |
1.07 |
Sumber
: Hasil analisa.
Analisis
ini bertujuan mengetahui kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB, dengan
formula sebagai berikut :
P = S/T X 100 %
Keterangan
:
S = PDRB Sektor
P = PDRB Total.
Hasil
analisa shift share sektor pertanian di
Kabupaten Muba tabel 11, pada tahun 1999 sebesar 21,88 % dan pada tahun 2000
sebesar 21,39 % dari total PDRB Kabupaten Muba. Rata rata kontribusi PDRB
pertanian di Kabupaten Muba adalah sebesar 21 % terbesar kedua setelah rata
rata PDRB industri pengolahan terhadap total PDRB Kabupaten Muba.
Tabel 10. Analisa shift share sektor pertanian, pertambangan dan industri pengolahan
tahun 1999 dan tahun 2000 di Kabupaten
Muba.
No |
Lapangan Usaha/ Sektor |
(%) |
|
Th 1999 |
Th 2000 |
||
1 |
Pertanian,
Peternakan, Kehutanan, Perikanan, Perkebunan |
21.88 |
21.39 |
2 |
Pertambangan
dan Penggalian |
17.82 |
20.42 |
3 |
Industri
Pengolahan |
32.31 |
30.89 |
Sumber : Hasil analisa
V. Penutup.
·
Pembangunan ekonomi di Kabupaten Muba dengan pemanfaatan
sumberdaya alam pertambangan minyak dan gas bumi serta pertanian dalam arti
yang luas mempunyai dua perspektif, yaitu : pembangunan untuk kesejahteraan
masyarakat, dan pembangunan harus memperhatikan kelestarian lingkungan.
Pembangunan sektor pertanian
dalam arti luas di Kabupaten Muba dapat dijadikan sebagai basis perekonomian,
hal ini ditunjukan dengan analisa LQ dan analisa shift share yang ditunjukan dengan nilai LQ>1 dan nilai shift share rata rata
sebesar 21 % (pada tabel 10 dan tabel 11). Pembangunan perekonomian
berbasis pada pertanian dengan pemanfaatan sumberdaya alam di Kabupaten Muba
mempunyai dimensi sebagai berikut :
·
Pembangunan pertanian memanfaatkan sumberdaya lokal (local resources) baik yang berasal dari human capital maupun natural capital.
·
Sektor pertanian sebagai basis perekonomian terbukti
telah teruji dengan adanya krisis ekonomi tidak mengalami guncangan yang
berarti, dibandingkan dengan sektor industri manufaktur.
·
Pembangunan pertanian harus dilakukan secara terintegrasi
dari industri pertanian hulu sampai ke hilir (dengan sistem agribisnis), karena
nilai tambah yang paling tinggi berada di indusri hilir seperti industri
pengolahan hasil pertanian.
·
Pembangunan pertanian di Kabupaten Muba sebaiknya
dilakukan dengan melibatkan banyak masyarakat secara aktif sebagai shareholder dan stakeholder. Dengan dilibatkannya masyarakat, maka akan terjadi
pemerataan terhadap penguasaan sumber sumber ekonomi.
·
Pembangunan pertanian sebagai basis perekonomian dapat
menyerap banyak tenaga kerja lokal maupun regional.
·
Pembangunan pertanian dengan melibatkan masyarakat, akan
mengurangi jumlah pengangguran tenaga kerja, sehingga banyak masyarakat yang
mendapatkan penghasilan dari sektor pertanian dan meningkatkan pendapatan
keluarga dan pendapatan per kapita.
·
Dengan meningkatnya pendapatan perkapita maka komposisi
jumlah kategori keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I jumlahnya akan berkurang dan angka beban
tanggungan ekonomi di Kabupaten Muba akan semakin kecil.
VI. Daftar Bacaan.
Economic Base Analysis, How to do
an Economic Base Study, http://garnet.acns.fsu.edu/~tchapin/urp5261/topics/econbase/lq.htm,
tgl 13/06/03
Anonim, 2001. Indikator ekonomi Kabupaten Musi Banyuasin, Badan Perencanaan
Pembangunan Kabupaten Musi Banyuasin, 2001.
Anonim, 2001. Kabupaten Musi Banyuasin dalam angka, Badan Perencanaan
Pembangunan Kabupaten Musi Banyuasin, 2001.
Anonim, 2001. Mesin Ekonomi
Daerah Dioptimalkan, Harian Umum Suara
Merdeka Kamis, 8 Februari 2001.
Anonim,
2001, Pengembangan ekonomi rakyat, Yayasan
Bina Desa, http://www.indo.net.id/psdal/dp35ar3.html,
tgl 1/05/03.
Anonim, 2001, Propinsi Sumatera Selatan dalam angka, Biro Pusat Statistik Propinsi
Sumatera Selatan, 2001.
Hadi Soesastro, 2000. Pembangunan ekonomi daerah dalam konteks pemulihan ekonomi nasional,
Keynote Address yang
disampaikan pada pembukaan Kongres ISEI ke XIV di Makassar, 21-23 April 2000.
Maria hartiningsih,
2002. Menuju Istana Kristal
"Pembangunan Berkelanjutan", Kompas Senin, 26 Agustus 2002. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0208/26/iptek/menu32.htm, tgl
29/04/03.
Mashuri Maschab,
2002. Lesson Learned dalam Pemberdayaan
Ekonomi, Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM).
Nick Hanley, Jason F
Shogren, Ben White, 1997. Environmental Economics In Theory and Practice,
Oxford University Press, 1997.
Ranadip Bose, 2002, A Model for
Location Analysis of Industries, University
of Illinois atUrbanaChampaign http://www.clas.ufl.edu/users/bmcdade/G4554Fall2002EconBaseLQ.htm
Sri Adiningsih, 2002. Relevankah "Sustainable Development" ? –
Kompas Senin, 17 Juni 2002.
Surna Tjahja Djajadiningrat, 2001. Pemikiran Tantangan dan Permasalahan
Lingkungan, Untuk generasi masa depan, Studio Tekno Ekonomi ITB, Bandung, 2001.
Tiene Rahma Prihatini, 2001. Pembangunan Berkelanjutan, Konsep Ekonomi atau
suatu Filosofi Kehidupan, makalah Falsafah Sain, Program Pascasarjana/ S3,
Institut Pertanian Bogor.