ã 2003 Elvia Hernawan Posted
31 May 2003
Term paper
Intoductory Science Philosophy (PPS702)
Graduate Program / S3
Institut Pertanian Bogor
May 2003
Instructors :
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng
Dr Bambang Purwantara
PENINGKATAN KINERJA REPRODUKSI PADA PHASE
KEBUNTINGAN MELALUI TEHNIK SUPEROVULASI
PADA TERNAK DOMBA
Oleh :
ELVIA HERNAWAN
G. 361020161
PENDAHULUAN
Ditinjau dari sudut teknik beternak, domba
mempunyai keunggulan selain mudah beradaptasi dengan lingkungan, dan sifat
prolifik yaitu mempunyai kemampuan melahirkan anak hingga 4 ekor dalam satu kelahiran (Subandriyo, 1990,
Inonuo dan Ignicus 1991..). Kenyataan dilapangan menunjukan domba-domba yang
melahirkan lebih dari 2 ekor, akan diikuti dengan angka kematian yang tinggi,
sehingga pada akhirnya mengakibatkan rendahnya effisiensi reproduksi. Dugaan
kuat, telah terjadi persaingan antar anak dalam pengambilan zat makanan sejak
awal kebuntingan, sementara induk tidak
mempunyai persiapan yang memadai.
Pada
awal kebuntingan, peranan lingkungan mikro uterus sangat menentukan
kelangsungan pertumbuhan dan perkembangan embrio, uterus merupakan pemasok zat
makanan (Rattray et al., 1997). Setelah implantasi, peranan plasenta
akan menggeser fungsi uterus dalam memasok zat makanan, sumber makanan kini
berasal dari aliran darah induk, atau dengan kata lain, pada phase embrional.
peranan uterus sangat dominan dalam menyediakan zat-zat makanan, sedangkan pada
phase fetus, pasokan zat makanan sangat dipengaruhi oleh aliran darah induk.
Selama
kebuntingan, pertumbuhan dan perkembangan uterus dipengaruhi oleh peningkatan
konsentrasi hormon progesteron dan estradiol (Anderson, et al, 1986, Tucker,
1987), selanjutnya kehadiran hormon-hormon tersebut berperan merangsang
pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu guna mempersiapkan sumber makanan
(produksi susu) bagi anak yang akan dilahirkan (Manalu, dan Sumaryadi, 1995a)
.. Sumber utama penghasil hormon
yang berkaitan dengan reproduksi seperti estrogren dan progesteron berasal dari
folikel. Hewan-hewan betina sejak lahir padai ovariumnya dilengkapi oleh
ratusan ribu folikel, namun selama hidupnya hanya sebagian kecil saja yang
berhasil diovulasikan. Untuk memaksimalkan folikel sebagai sumber daya biologik
hormon endogen perlu sentuhan teknologi .
Seiring dengan berkembangannya bidang biotehnologi, beberapa
metoda dapat diaplikasikan dalam perencanaan dan pengendalian proses biologik
yang alamiah dalam produksi ternak. Salah satu diantaranya melalui tehnik
superovulasi. Superovulasi pada dasarnya dilakukan untuk meningkatkan derajat
ovulasi, sehingga dapat menaikkan jumlah telur tertunas (Nalbandov, 1958).
Superovulasi dilakukan dengan pemberian hormon gonadotrophin exogenous seperti
Follikel Stimulating Hormon (FSH), Pregnant Mare’s Serum Gonadotroph (PMSG) dan
lain sebagainya, diharapkan selain dapat meningkatkan jumlah sel telur
tertunas pada gilirannya dapat
memodulasi peningkatan jumlah corpus luteum yang berlanjut dengan peningkatan
hormon progesteron dan susu uterus guna menunjang kelangsungan hidup fetus, dan
merupakan titik penentu bagi kehidupan
pasca natal.
PENGATURAN FUNGSI REPRODUKSI BETINA
(SIKLUS ESTRUS DAN APLIKASI SUPEROVULASI)
Proses pertumbuhan dan perkembangan folikel ovari sangat
bergantung kepada kehadiran FSH dan LH, karena
kedua hormon tesebut sangat essensial dalam sintesa estrogen sedangkan
bila LH secara tunggal tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan
folikel (Donald dan Pineda, 1980).
Level hormon reproduksi
bersifat fluktuatif sesuai dengan pola reguler dan tetap, pola tersebut
merupakan hasil interaksi dari sejumlah organ dengan hormon.
Pada ternak mamalia dewasa fluktuasi berbagai hormon
reproduksi dikenal sebagai siklus estrus yang terdiri atas proestrus, estrus,
mesestrus dan diestrus atau secara global umunya dikenal dengan phase folikel
(fase pertumbuhan, yang ditandai dengan level estrogen tinggi, sedangkan fase
luteal memiliki waktu yang cukup panjang ditandai dengan perkembangan corpus
luteum dan kadar progreteron tinggi) sekresi FSH terjadi secara ritmis selama
4-5 hari sebelum birahi, menjelang fase luteal berakhir konsentrasi FSH dalam
plasma meningkat dan secara sinergis dengan LH, akan merangsang pertumbuhan
folikel (2-4 hari pada sapi) Folikel
akan mencapai stadium folikel tersier yang matang. Dalam waktu yang cukup
singkat dibawah pengaruh FSH dan estradiol 17 ß terjadi pembentukan
reseptor-reseptor untuk kedua macam hormon tersebut, sedangkan pada sel-sel
granula juga terjadi induksi pembentukan reseptor untuk LH.
Folikel ovari matang dan kadar estrogen di atas ambang
(threshold) akan berespon terhadap hipothalamus untuk menekan pelepasan FSH dan
selanjutnya memfasilitasi pelepasan LH
untuk menandai proses ovulasi
(Donald dan Pineda, 1980; Intervet, 1998). Pada saat tersebut sel-sel granulosa
memproduksi inhibin yang bekerja khusus
untuk menghambat produksi FSH (feedback negatif), tingginya kadar estrogen
merupakan sinyal untuk pelepasan LH dalam kaitannya dengan persiapan ovulasi.
Hipothalamus, hipofisa, gonad dan plasenta merupakan
kelenjar endokrin reproduksi, kelenjar ini akan bekerja sama secara konser dan
membuat suatu putaran interkoneksi yang dikenal sebagai poros
Hipothalamus-hipofisagonadal (Iman dan Fahriyan, 1992). Pada Hipothalamus
bagian median eminentia dan preoptik diduga Gonadotropin Releasing Factor
(GnRH) diproduksi oleh sel-sel neuron endokrin setelah mendapat rangsangan dari
CNS, GnRH ditransportasikan melalui Hipothalamus-hipophyseal portal system
menuju kelenjar pituitari anterior (Ganong, 1980). Pelepasan GnRH dari terminal
syaraf dan median eminence ke dalam hipophyseal portal darah merupakan sinyal
neuroendokrin untuk terjadinya proses ovulasi (Karch et al., 1992). GnRH akan
menstimulasikan sel-sel gonadotrpoh kelenjar pituari untuk mensekresikan
follikel Stimullating Hormon (FSH) dan Luteiinizing Hormon (LH). GnRH, FSH dan
LH akan dilepaskan dengan lonjakan-lonjakan tertentu (Intervet, 1998), FSH dan LH akan bekerja pada sel
target dari gonad. FSH akan menstimulasikan sel-sel granulosa untuk
memfasilitasi proses oogenesis dan bertanggungjawab atas perkembangan dan
pematangan folikel, LH berfungsi menstimulasikan sintesa androstenedion dari
kolesterol, dan selanjutnya dikonversi ke dalam testosteron, pada sel-sel granulosa
terjadi aromatisasi estradiol-17ß dibawah pengaruh FSH membentuk Estrogen
(Intervet, 1998).
Hormon
ataupun target organ memiliki suatu homeostatik feedback sistem, dimana semua
mekanisme hormon diatur oleh sekresi hormon itu sendiri (Ganong, 1980;
Intervet, 1998). Estrogen dapat menyebabkan feedback positif terhadap
Hipothalamus dn pituari anterior, yakni kadar estrogen meningkat akan
menyebabkan peningkatan sekresi GnRH, demikian pula akan terjadi peningkatan
kadar gonadotropin dari pituitari anterior.
Superovulasi merupakan suatu teknik untuk merangsang
pembentukan sejumlah besar folikel dalam ovarium dan mematangkan lebih cepat
dari kemampuan alamiah (Toelihere, 1981). Lebih lanjut dikemukakan untuk dapat
terjadinya superovulasi diperlukan pemakaian hormon gonadotropin. Superovulasi
secara komersial dilakukan pada ternak betina unggul dengan menyuntikan hormon
gonadootrophin yang berfungsi merangsang pertumbuhan folikel dan mematangkan
lebih cepat, sehingga diharapkan jumlah sel telur yang dapat diovulasikan lebih
baik dari keadaan normal (Jilela, 1982)
Superovulasi
dapat dilakukan melalui beberapa cara yang berbeda, diantaranya dalam pemberian
dosis, preparat hormon dan prosedur pelaksanaan (Iman dan Fahriyan, 1992). Pemakaian gonadotropin
seperti FSH atau PMSG seringkali dilakukan pada superovulasi (Toelihere, 1989).
Pemakaian
FSH dalam pelaksanaan superovulasi, dari beberapa penelitian mempunyai respon
yang sangat baik, namun mengingat waktu paruh biologiknya sangat singkat + 2-5 jam, sehingga penyuntikan perlu
dilakukan secara berulang kali (Donald dan Pineda, 1980; Hafez, 2000).
PMSG
merupakan hormon ganadotrophin yang dihasilkan oleh plasenta dengan aktivitas
biologik menyerupai FSH dan LH (Bindon dan Piper, 1982). PMSG memiliki aktivitas
biologis ganda, yaitu serupa dengan FSH dan LH sehingga sering disebut
Gonadotrophin sempurna. Pengaruh yang ditumbulkan oleh PMSG antara lain : (1)
merangsang pertumbuhan follikel; (2) menunjang produksi estrogen ; (3) ovulasi
; (4) luteinisasi; dan (5) merangsang sintesis progesteron pada ternak yang
dihipofisektomi. Waktu paruh biologis PMSG adalah panjang 40-125 jam (Iman dan
Fahriyan, 1982 ; Hafez, 2000). PMSG sebagai glikoprotein yang terdiri atas sub
unit a dan ß dengan kadar karbohidrat tinggi,
yakni kadar asam sialat yang dapat mengakibatkan waktu paruh PMSG cukup panjang
dibandingkan dengan gonadotropin lainnya. (Bindon dan Piper, 1982 ; Reeves,
1987 ; Hafez, 2000 ). PMSG dengan dosis tunggal melalui intramuskuler cukup
untuk menimbulkan ovulasi berganda (Jillella, 1982).
Penggunaan PMSG menimbulkan respon yang sangat variatif
mulai dari tidak berespon, kadang-kadang sampai berespon berlebihan. Apabila
pemberian PMSG tidak disertai dengan pemberian hormon lain, PMSG harus
diberikan pada awal fase luteal, yaitu hari ke-16 siklus uterus untuk domba.
Untuk mengantisipasi waktu paruh yang panjang dapat diberikan anti PMSG (Iman
dan Fahriyan, 1992) .
Mekanisme kerja hormon pada superovulasi belum jelas,
pemakaian PMSG sebagai gonadotropin exogenous yang disuntikan, ternyata di
dalam tubuh akan menimbulkan rangkaian proses pertumbuhan, perkembangan,
pematangan folikel (Iman dan Fahriyan, 1992). Berdasarkan pernyataan tersebut
di atas Gonadotropin essogen (PMSG) yang mempunyai aktivitas bilogik menyerupai
FSH dan LH akan berperan menstimulasikan sel dan organ target dalam melancarkan
fungsinya, pertumbuhan dan perkembangan folikel ovari, pematangan folikel dan
pembentukan hormon estrogen yang mana pada giliran terjadi peningkatan kadar
estrogen., Kadar estrogen dalam peredaran darah, akan mencapai suatu keadaan
yang telah melebihi yang diperlukan (dalam hal ini digunakan untuk pertumbuhan
dan perkembangan serta pematangan sel-sel folikel) selanjutnya akan merupakan
sinyal pada hipothalamus dan pituitari anterior untuk mengurangi / menghentikan
produksi hormon gonadotropin. Pada kasus superovulasi produksi hormon estrogen
hanya dirangsang oleh hormon gonadotropin exogenous. (Djoyoseobagio (1990).
Iman dan
Fahriyan (1992), mengemukakan bahwa LH eksogen tidak diperlukan untuk
menginduksi ovulasi, karena ledakan pelepasan LH endogenous akan terjadi secara
otomatis akibat superovulasi. Lebih lanjut dikemukakan bahwa FSH dan PMSG
merupakan protein, mempunyai potensi untuk menginduksi anaphylaxis, antigenisitas
menunjukan penyuntikan berulang (khususnya ternak donor pada embrio transper)
akan menstimulasikan terbentuknya anti gonadotropin yang berpeluang mereduksi
respon berikutnya atau menggangu gonadotropin endogenous.
Achyadi
(1979), melaporkan bahwa pemberian PMSG untuk superovulasi pada domba Priangan
sebanyak 750 IU setiap ekor secara intramuskuler pada hari ke-12 siklus berahi,
disusul dengan pemberian 250 IU HCG empat hari kemudian, dapat menghasilkan 11
sel telur yang diovulasikan. Bila hanya diberikan PMSG saja dengan dosis yang
sama jumlah sel telur yang diovolasikan hanya tujuh buah, sedangkan Sudjatmogo
(1991) malaporkan rata-rata meningkat dari lima ke tujuh buah atau 40 persen
jumlah ovum yang diovulasikan dengan super ovulasi menggunakan PMSG.
Implantasi PMSG 2000 IU pada domba Pulibuey dengan bobot
badan 35-40 Kg menghasilkan corpus luteum sebanyak 7,1 + 5,6 sedangkan
yang diberi 3000 IU PMSG hanya menghasilkan corpus luteum sebanyak 4,5 +
3,7 (Gonzales-Reyna et al.,1999).
PERAN HORMONAL DALAM PHASE KEBUNTINGAN
Albert dkk (1994) sel-sel blastosis akan membelah secara
mitosis dengan cepat, sehingga terjadi penambahan jumlah dan massa sel yang
sangat pesat. Cadangan makanan dalam ovum sudah tidak memadai lagi, sehingga
pertumbuhan dan perkembangan serta daya hidup embrio sangat bergantung pada
sekresi zat-zat makanan yang dihasilkan oleh kelenjar uterus dan lingkungan
fisik dan kimia uterus secara keseluruhan. (Mc Donald, 1980).
Kelenjar endometrium uterus berfungsi mengeluarkan zat-zat
makanan yang berupa susu uterus untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan
embrio. Kelenjar - kelenjar mensintesa susu uterus berada dibawah kontrol
hormon kebuntingan (William dan Provine, 1966; Yamashita dkk, 1990).
Hormon progesteron dipersiapkan uterus untuk implantasi
blatosis, memelihara dan mengatur organ-organ reproduksi (Turner dan Bagnara,
1976). Corpus luteum pada domba
merupakan sumber progesteron utama (Riera, 1982), sehingga kadar hormon
progesteron sangat erat kaitannya dengan tingkat ovulasi. Semakin tinggi
ovulasi, maka kadar hormon progesteron akan meningkat, terutama berkaitan
dengan pemeliharaan kebuntingan. Perpanjangan saluran kelenjar ambing dibawah pengaruh hormon estradiol (Anderson,
1985 ,Wahab dan Anderson , 1989). Percabangan pada saluran kelenjar ambing dan
pembentukan lobul alveolar terjadi setelah saluran kelenjar ambing selesai,
dipengaruhi hormon progesteron (Schmiidt, 1971) dan laktogen plasenta (Cowie
dkk, 1980). Hormon progesteron dan estradiol bervariasi sesuai dengan usai
kebuntingan, terutama dengan laju ovulasi (jumlah corpus luteum), ataupun
jumlah anak yang dikandung (Piper dan Brendon, 1984). Pertumbuhan dan
perkembangan kelenjar ambing yang optimal terjadi selama kebuntingan (Anderson,
l985), serta paling pesat terjadi setelah periode plasentasi (Rattray dkk,
1974), sedangkan selama periode laktasi pertumbuhan dan perkembangan kelenjar
ambing boleh dikatakan sudah berhenti. Kondisi tersebut disebabkan oleh
hormon-hormon yang merangsang pertumbuhan dan perkembangan kelenjar ambing
sudah menurun (Anderson dkk, 1985).). Peningkatan hormon mammogenik selama
kebuntingan berhubungan erat dengan jumlah anak yang dilahirkan (Manalu dan
Sumaryadi, 1998 d; Sumaryadi dan Manalu, 1999) dan peningkatan produksi susu
yang dihasilkan selama laktasi (Hayden dkk, 1979). banyak jumlah anak yang
dilahirkan, semakin tinggi produksi susu yang dihasilkan. Lebih lanjut
peningkatan jumlah corpus luteum dan jumlah anak ternyata meningkatkan sekresi
progesteron, estradiol dan laktogen plasma (Manalu dan Sumaryadi, 1995a).
Pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu 98 persen dan merupakan prosentase
tertinggi terjadi selama kebuntingan, sedangkan pada periode laktasi hanya +
dua persen saja (Anderson, 1975 ). Kekurangan pakan yang serius dan berlangsung
satu sampai tiga minggu selama bulan pertama kebuntingan dapat mengakibatkan
kematian embrio (15 persen)..
Dalam upaya memodulasi kinerja reproduksi pada phase awal
kebuntingan, telah banyak diungkapkan, hasil penelitian penggunaan superovulasi nyata dapat
meningkatkan jumlah corpus luteum 133 dan
207 % , jumlah fetus 69 dan 20 %, kadar Progestron 345 % dan 84 % pada
masing- masing domba dengan umur
kebuntingan 7 dan 15 minggu ( Manalu et al ,l998 a), peneliti lain
mendapatkan hasil peningkatan corpus luteum 196,67 dan 189.77 % ( Sumaryadi, et al , 2000, 2002). Kadar
progestron 33,87 % ( Sumaryadi.2002).; Jumlah fetus cukup bervariasi, karena perbedaan dosis hormon yng dipergunakan berpengaruh nyata dengan hasil berkisar antara 1,6
- 2,6 ekor bahkan 3 ekor (
Sumadjatmogo,1998; Sumaryadi 2002, Abdul Samik 2002 ). Keberhasilan dari
penggunaan superovulasi, ternyata membawa pengaruh dramatis terhadap stimulasi
uterus, yang diawali dari laju ovulasi,
peningkatan jumlah korpus luteum berlanjut terhadap sekresi beberapa hormon dan
faktor tumbuh yang disekresikan oleh korpus luteum, dari perjalanan panjang ini
akan mempengaruhi ekspresi gen dalam pertumbuhan sel-sel
stroma uterus. (Sumaryadi.2000) yang dimanifestasikan terhadap bobot fetus
domba yang di superovulasi lebih berat dari yang tidak di
superovulasi (Sumaryadi .2002).
KESIMPULAN
Penggunaan tehnik Superovulasi, dapat
dijadikan jalan pintas dalam
meningkatkan kinerja reproduksi dengan memodulasi lingkungan mikrouterus.
DAFTAR PUSTAKA
Achyadi,
K. R., 1979. Pengaruh PMSG dan HCG untuk Induksi Superovulasi Pada Domba
Priangan. Tesis MS Pascasarjana IPB. Bogor.
Abdul
Samik dan Erma Safitri. Induksi
kelahiran kembar Domba Ekor Gemuk
dengan menggunakan Kombinasi Dosis Rendah Hormon PMSG dan PGF Animal Production Edisi Khusus, Faculty of
2d Animal Husbandary Jenderal Soedirman
University, hal 182-186
Bindon,
B. M. dan L. R. Piper., 1982.
Physiology Base of Ovarian Response to PMSG in Sheep and Cattle, In Embryo
Tranfer In Cattle, Sheep and Goats.
Aust.Soc. Passpart to the Year 2000. Alltech’s.
Bowen,
R. A. dan M. H. Pineda., 1989. Embryo Tranfer in Domestic Animal. In L. E. Mc Donald dan M. H. Pineda : Veterinary Endocrinology and Reproduction. Lea and Febiger.
Philladelphia, London.
Cowie,
A. T., I. C. Forsyth and I. C. Hart.,
1980. Hormon Control of Lactation Berlin Heidelberg. New York.
Iman
dan Fahriyan., 1992. In Vitro Fertilisasi, Transfer Embrio dan Pembekuan
Embrio. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB. Bogor
Inonu,
I. dan L.C. Iniguez., 1991. Sheep Performance at RIAP’s Bogor Research
Fasility, In : Sheep Proliferacy Small Ruminan. CRSP Progress Report 1990-1991
Manalu,
W. dan M. Y. Sumaryadi., 1995a.
Hubungan Antara Konsentrasi Progeteron dan Estradiol Dalam Serum Induk
Selama Kebuntingan Dengan Massa Fetus Pada Akhir Kebuntingan. Prosiding Seminar
Nasional Sains dan Teknologi Peternakan BPT. Ciawi. Bogor. Pp:57-62.
Manalu,
W. dan M. Y. Sumaryadi., 1998d. Correlation of Ltter Size and Maternal Serum
Pproggeterone Concentration During Prgenantcy With Mamary Gland Growth and
Development Indices at Parturitionin Javanese Thintail Sheep.Asian-Aust. J.
Agric. Sci. 11:300-306
Mas
Yedi Sumaryadi, Haryati dan Wasmen Manalu, 2000 Efek Penyuntikan PMSG terhadap
Konsentrasi Progestron kaitannya dengan Pertumbuhan Kelenjar Uterus Domba pada
Phase Luteal Siklus Birahi, Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan
Veteriner. Pusat Penelitian Peternakan
Bogor Hal. 111 – 116.
Mas
Yedi Sumaryadi, Edy Pramono, Agus Priyono, 2002 Efek Induksi Hormon PMSG terhadap Perbaikan Kinerja Reproduksi
Induk dan Anak Domba Ekor Gemuk, Animal Production Edisi Khusus, Faculty of 2d
Animal Husbandary Jenderal Soedirman University, hal 170-176
Mc
Donald, L. E., 1980. Veterinary Endocrinologi and Reproduction. 3th ed. Lea and
Febiger, Philadelphia. Pp:560.
Nalbandov,
A. V., 1976.Reproductive Physiology of Mammals and Birds. W. H. Freeman and Company. San Fransisco.
Schmidt,
G. H., 1971. Biology of Lactacion. Freeman and Company. San Fransisco
Subandriyo.,
1990. Ewe Productivity in Villages in
The District of Garut West Java. Ilmu
Peternakan. 4:307-310.
Sumaryadi,
M. Y. dan Manalu., 1999. Prediction of Litter Size Based on Homones and Blood
Metabolites Consentrations During Prgenancy in Javanese Thin-Tail Ewes. Asian-Aus. J. Anim. Sci.
12:682-688
Turner,
C. D. dan J. T. Bagnara., 1976. General Endocrinology. 6 th ed. Saunders
Company. Philadelpia. London. Toronto.
Wahab,
I. M. dan R. R. Anderson., 1989. Physiologic Role of Relaxin on Mammary Gland Growth in Rats. Proc. Sos.
Exp. Biol. Med. 192:285-289.
Yamashita,
S. ., 1990. The Role of Estrogen Receptor in Uterine Epithelial Proliferation
and Cytodifferentiation in Neonatal Mice. Endocrinology 127:2456-2463.