© 2003 Clara Tiwow                                                                   Posted: 31 May  2003

Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Mei 2003

 

Dosen:  Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng

Dr Bambang Purwantara

 

 

 

KAWASAN PESISIR PENENTU STOK IKAN DI LAUT

 

Oleh :

Clara Tiwow

C.26102010.1 /  SPL 

 

I.  PENDAHULUAN

 Sumberdaya ikan merupakan salah satu sumberdaya kelautan dan perikanan yang tergolong dalam sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources), artinya jika sumberdaya ini dimanfaatkan sebagian, sisa ikan yang tertinggal mempunyai kemampuan untuk memperbaharui dirinya dengan berkembang biak.  Tinggi rendahnya kemampuan berkembang biak ini akan mempengaruhi ketersediaan atau stok sumberdaya ikan.  Hal ini  memberikan pedoman bahwa stok atau populasi sumberdaya ikan tidak boleh dimanfaatkan secara semberono tanpa memperhatikan struktur umur dan rasio kelamin dari populasi ikan yang tersedia.  Apabila pemanfaatan secara sembrono dilakukan, berakibat pada umur dan struktur populasi ikan yang tersisa mempunyai kemampuan memulihkan diri sangat rendah atau lambat, berarti sumberdaya ikan tersebut berada pada kondisi hampir punah.Lebih lanjut Nikijuluw (2002), menyatakan bahwa ikan tetap bergerak dari suatu tempat ke tempat lain.  Jenis-jenis ikan tertentu dapat berenang, berpindah, atau berimigrasi dari suatu perairan ke perairan lainnya, bahkan hingga melintasi samudera.  Ikan-ikan lainnya, hanya bergerak di perairan tertentu secara cepat atau lambat.  Namun dengan sifat ikan yang bergerak ini, upaya menduga atau memperkirakan jumlah ikan atau ukuran stok ikan menjadi pekerjaan yang relatif sulit.  Implikasinya adalah, pengelolaan sumberdaya ikan menjadi tidak mudah untuk dilakukan.

Sumberdaya ikan merupakan salah satu sumberdaya kelautan dan perikanan yang tergolong dalam sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources), artinya jika sumberdaya ini dimanfaatkan sebagian, sisa ikan yang tertinggal mempunyai kemampuan untuk memperbaharui dirinya dengan berkembang biak.  Tinggi rendahnya kemampuan berkembang biak ini akan mempengaruhi ketersediaan atau stok sumberdaya ikan.  Hal ini  memberikan pedoman bahwa stok atau populasi sumberdaya ikan tidak boleh dimanfaatkan secara semberono tanpa memperhatikan struktur umur dan rasio kelamin dari populasi ikan yang tersedia.  Apabila pemanfaatan secara sembrono dilakukan, berakibat pada umur dan struktur populasi ikan yang tersisa mempunyai kemampuan memulihkan diri sangat rendah atau lambat, berarti sumberdaya ikan tersebut berada pada kondisi hampir punah.

Pemanfaatan sumberdaya ikan yang dilakukan tidak sesuai ketentuan (illegal fishing), seperti penggunaan bahan beracun, bom, pukat harimau, dan lain-lain serta tidak sesuai antara penggunaan peralatan penangkapan dengan wilayah penangkapan (fishing ground), dan lain-lain, selain akan merusak wilayah pemijahan dan sumber makanan dari sumberdaya ikan juga akan merusak ekosistem wilayah dimaksud.  Permasalahan tersebut menimbulkan berbagai rumusan pertanyaan yang harus dijawab, antara lain: (1) bagaimanakah mempertahankan stok ikan  agar tetap memiliki daya produksi yang cukup tinggi; (2)  langkah-langkah apa yang diperlukan untuk mempertahankan stok ikan di laut; dan (3) wilayah manakah yang sangat berperan dan menentukan stok ikan yang ada.

Makalah ini akan memberikan alur jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut, oleh karena itu pengkajiannya akan lebih terfokus pada karakteristik jenis ikan sesuai dengan struktur kehidupannya serta perilaku hidupnya, serta karakteristik ekosistem pesisir.

 

II.   PENGERTIAN SUMBERDAYA IKAN DAN WILAYAH PESISIR

 Menurut definisi Food  and Agriculture Organization (FAO), ikan tidak hanya terbatas pada pengertian ikan yang selama ini dipahami orang awam, yaitu ikan (finfish) yang bersirip dan bersisik dan dapat berenang dengan bebas di air.  Definisi FAO mengenai ikan adalah organisme laut yag terdiri dari ikan (finfish), binatang berkulit keras (krustasea) seperti udang dan kepiting, moluska seperti cumi dan gurita, binatang air lainnya seperti penyu dan paus, rumput laut, serta lamun laut .  Definisi ini telah diadopsi sebagai definisi ikan dalam konteks perikanan di Indonesia  (Nikijuluw, 2002).

Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara daratan dan laut.  Ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin.  Sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun karena kegiatan manusia, seperti pengundulan hutan dan pencemaran (Bengen, 2002; Dahuri, Rais, Ginting dan Sitepu, 2001; Supriharyono, 2000a).

Terdapat suatu kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara laut dan daratan.  Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka wilayah pesisir mempunyai dua kategori batas (boundaries), yaitu batas yang sejajar dengan garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (crosshore).  Untuk kepentingan pengelolaan penetapan batas-batas wilayah pesisir dan laut sejajar dengan garis pantai sejauh ini masih berbeda antara satu negara dengan negara lain.  Hal ini dapat dimengerti, setiap negara memiliki karakteristik lingkungan, sumberdaya dan sistem pemerintahan tersendiri (Bengen, 2002; Dahuri, et  al., 2001).

Untuk kepentingan pengelolaan atau wilayah perencanaan, batas wilayah pesisir ke arah daratan bias sampai ke daerah hulu sungai apabila di situ terdapat kegiatan manusia yang secara nyata menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan sumberdaya di bagian hilir.  Sedangkan ke arah laut, dapat disesuaikan dengan batas yuridiksi yang berlaku di setiap provinsi (Dahuri, et  al., 2001).

Sejalan dengan itu, Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dalam pasal 3 telah ditegaskan bahwa wilayah pengelolaan laut untuk daerah propinsi sampai dengan batas 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan, sedangkan untuk wilayah laut Kabupaten/Kota adalah sejauh sepertiga dari batas laut daerah propinsi (Pasal 10 ayat 3).

          Wilayah penentu stok ikan, adalah suatu wilayah yang menentukan jumlah populasi ikan melalui suatu proses kelahiran, bertambahnya ikan baru ke dalam populasi ikan, serta pertumbuhan.  Jika ukuran populasi ikan diukur bukan hanya dari jumlah jenis ikan, tetapi juga beratnya (misalkan dalam kilogram), maka unsur pertumbuhan ikan per ekor merupakan unsur positif dalam menentukan besar populasi atau stok ikan.  Dengan demikian, dua unsur yang berpengaruh positif terhadap ukuran populasi atau stok ikan adalah kelahiran dan pertumbuhan.

 

III.   EKOSISTEM DAN SUMBERDAYA UTAMA PESISIR DAN LAUT

 Ditinjau dari sudut ekologis, wilayah pesisir dan laut merupakan lokasi beberapa ekosistem yang unik dan saling terkait, dinamis dan produktif.  Beberapa ekosistem utama di wilayah pesisir dan laut yang akan dibahas dalam makalah ini adalah: (1) estuaria;  (2) hutan mangrove; (3) padang lamun; (4) terumbu karang; (5) pantai (berbatu dan berpasir); dan (6) pulau-pulau kecil.

3.1.         Ekosistem Estuaria

Estuaria adalah perairan yang semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air tawar (Bengen, 2002; Pritchard, 1976). 

Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar akan menghasilkan suatu komunitas yang khas, dengan lingkungan yang bervariasi (Supriharyono, 2000a), antara lain:

(1)              Tempat bertemunya arus air dengan arus pasang-surut, yang berlawanan menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada sedimentasi, pencampuran air, dan cirri-ciri fisika lainnya, serta membawa pengaruh besar pada biotanya;

(2)              Pencampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu sifat fisika lingkungan khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat air laut;

(3)              Perubahan yang terjadi akibat adanya pasang-surut mengharuskan komunitas mengadakan penyesuaian secara fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya; dan

(4)              Tingkat kadar garam di daerah estuaria tergantung pada pasang-surut air laut, banyaknya aliran air tawar dan arus-arus lainnya, serta topografi daerah estuaria tersebut.

Estuaria dapat dikelompokkan atas empat tipe, berdasarkan karakteristik geomorfologinya (Bengen, 2002), sebagai berikut:

(1)              Estuaria daratan pesisir, paling umum dijumpai, dimana pembentukannya terjadi akibat penaikan permukaan air laut yang menggenangi sungai di bagian pantai yang landai;

(2)              Laguna (Gobah) atau teluk semi tertutup, terbentuk oleh adanya beting pasir yang terletak sejajar dengan garis pantai sehingga menghalangi interaksi langsung dan terbuka dengan perairan laut;

(3)              Fjords, merupakan estuaria yang dalam, terbentuk oleh aktivitas glesier yang mengakibatkan tergenangnya lembah es oleh air laut;

(4)              Estuaria tektonik, terbentuk akibat aktivitas tektonik (gempa bumi atau letusan gunung berapi) yang mengakibatkan turunnya permukaan tanah yang kemudian digenangi oleh air laut pada sat pasang.

Variasi salinitas di daerah estuaria menentukan kehidupan organisme laut/payau.  Hewan-hewan yang hidup di perairan payau (salinitas 0,5 - 30¡ë), hipersaline (salinitas 40 - 80¡ë), atau air garam (salinitas > 80¡ë), biasanya mempunyai toleransi terhadap kisaran salinitas yang lebih besar dibandingkan dengan organisme yang hidup di air laut atau air tawar (Supriharyono, 2000).  Organisme yang dapat tahan terhadap konsentrasi garam mulai dari air berkristal dalam kondisi kehidupan latent (benih, spora, cysta), dan mulai dari air destilata sampai salinitas hampir mencapai 300¡ë dalam kondisi kehidupan yang aktif (Ruinen, dalam Supriharyono, 2000a).

Terdapat beberapa spesies yang dapat bertahan hidup pada salinitas di atas 200¡ë seperti brine shrimp, Artemia salina dan larva dipteran, Ephydra (Remane dan Schlieper dalam Kinne, 1964).  Pada estuaria Laguna Madre, terdapat paling sedikit 25 spesies hewan yang tahan pada salinitas sekitar 75 - 80¡ë.  Beberapa diantara spesies tersebut seperti Nemopsis bacheri, Acartia tonsa, Balanus eburneus, dan beberapa jenis ikan juga dijumpai pada salinitas serendah 15 ¡ë (Hedgpeth, 1967).

Hewan-hewan yang toleran pada kisaran salinitas yang luas disebut euryhaline, sedangkan yang toleran pada kisaran  salinitas yang sempit disebut stenohaline  (Kinne, 1964).  Pengaruh salinitas terhadap organisme dapat terjadi melalui perubahan-perubahan total osmocon-sentration, relatif proporsi kandungan garam, koefisien absorpsi dan saturation gas-gas terlarut, densitas dan viskositas, dan kemungkinan juga melalui absorpsi radiasi, transmisi suara, dan konduktivitas listrik (Kinne, 1967).

Jumlah spesies organisme yang mendiami estuaria jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan organisme yang hidup di perairan tawar dan laut.  Sedikitnya jumlah spesies ini terutama disebabkan oleh fluktuasi kondisi lingkungan, sehingga hanya spesies yang memiliki kekhususan fisiologis yang mampu bertahan hidup di estuaria.  Selain miskin dalam jumlah spesies fauna, estuaria juga miskin akan flora.  Keruhnya perairan estuaria menyebabkan hanya tumbuhan mencuat yang dapat tumbuh mendominasi.  Rendahnya produktivitas primer di kolom air, sedikitnya herbivora dan terdapatnya sejumlah besar detritus menunjukkan bahwa rantai makanan pada ekosistem estuaria merupakan rantai makanan detritus.  Detritus membentuk substrat untuk pertumbuhan bakteri dan algae yang kemudian menjadi sumber makanan penting bagi organisme pemakan suspensi dan detritus.  Suatu penumpukan bahan makanan yang dimanfaatkan oleh organisme estuaria merupakan produksi bersih dari detritus ini.  Fauna di estuaria, seperti ikan, kepiting, kerang, dan berbagai jenis cacing berproduksi dan saling terkait melalui suatu rantai makanan yang kompleks (Bengen, 2002).

3.2.         Ekosistem Mangrove 

Ekosistem mangrove atau hutan bakau termasuk ekosistem pantai atau komunitas bahari dangkal yang sangat menarik, yang terdapat pada perairan tropik dan subtropik.  Penelitian mengenai hutan mangrove lebih banyak dilakukan daripada ekosistem pantai lainnya.  Hutan mangrove merupakan ekosistem yang lebih spesifik jika dibandingkan dengan ekosistem lainnya karena mempunyai vegetasi yang agak seragam, serta mempunyai tajuk yang rata, tidak mempunyai lapisan tajuk dengan bentukan yang khas, dan selalu hijau (Irwan, 1992).

Ekosistem mangrove didefinisikan sebagai mintakat pasut dan mintakat supra-pasut dari pantai berlumpur dan teluk, goba dan estuaria yang didominasi oleh halofita, yakni tumbuh-tumbuhan yang hidup di air asin, berpokok dan beradaptasi tinggi, yang berkaitan dengan anak sungai, rawa dan banjiran, bersama-sama dengan populasi tumbuh-tumbuhan dan hewan (Remimohtarto dan Juwana, 2001).  Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur.  Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air, dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang-surut yang kuat.  Karena itu hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai yang terlindung (Bengen, 2001, 2002).  Ekosistem mangrove terdiri dari dua bagian, bagian daratan dan bagian perairan.  Bagian perairan juga terdiri dari dua bagian yakni tawar dan laut.  Ekosistem mangrove terkenal sangat produktif,  dan penuh sumberdaya, dan ekosistem ini mendapat subsidi energi karena arus pasut banyak membantu dalam menyebarkan zat-zat hara. 

          Hutan mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus), yang termasuk ke delapan famili.  Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi dengan jumlah jenis tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas (Bengen, 2002).

 

 

Gambar 1.  Kawasan mangorove di Segara Anakan, Cilacap

c

 

 

Walaupun produktivitas mangrove tinggi, namun menurut Heald dalam Supriharyono (2000a) dari total produksi daun tersebut hanya 5% yang dikonsumsi langsung oleh hewan-hewan terrestrial pemakannya, sedangkan sisanya sekitar 95% masuk ke lingkungan perairan sebagai debris dari seresah atau gugur daun.  Karena itulah hutan mangrove mempunyai kandungan bahan organik yang sangat tinggi.  Hutan mangrove dimanfaatkan untuk usaha budidaya ikan, kerang, hijau, dan kepiting; yang biasanya dilakukan dengan sistem keramba (Supriharyono, 2000a).

          Tingginya bahan organik di perairan hutan mangrove, memungkinkan sebagai tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursey ground), dan pembesaran atau mencari makan (feeding ground) dari beberapa ikan atau hewan air tertentu (Bengen, 2001, 2002; Supriharyono, 2000; Irwan, 1992).  Sehingga di dalam hutan mangrove terdapat sejumlah besar hewan-hewan air, seperti kepiting, moluska, dan invertebrata lainnya, yang hidupnya menetap di kawasan hutan.  Namun di antaranya hewan-hewan air tertentu seperti ikan dan udang-udangan, yang hidupnya keluar masuk hutan mangrove bersama arus pasang-surut.

          Produksi udang di Thailand setiasp tahunnya (1974 ¨C 1980) sekitar 6% berasal dari tambak, 22% hasil penangkapan skala kecil (terutama produksi mangrove), dan 72% dari hasil tangkapan skala besar (yang juga masih bergantung pada mangrove).  Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara produksi udang dengan banyaknya mangrove.  Produksi udang akan turun dengan turunnya area hutan mangrove.  Di daerah semananjung sebelah barat dengan tutupan mangrove 96% menghasilkan sekitar 2 ¨C4 kalinya produksi ¡°ikan¡± (termasuk udang dan kerang-kerangan), dibandingkan dengan produksi di Semenanjung Malaysia sebelah timur yang hampir tidak ada mangrovenya  (Supriharyono, 2000a).

 

 3.3.         Ekosistem Terumbu Karang

Terumbu karang (coral reefs) merupakan masyarakat organisme yang hidup di dasar perairan laut dangkal terutama di daerah tropis.  Terumbu karang terutama disusun oleh karang-karang jenis anthozoa kelas Seleterctinia, yang termasuk hermatypic coral atau jenis-jenis karang yang mampu membuat bangunan atau kerangka karang dari kalsium karbonat (CaCO3) (Vaughen, dalam Supriharyono, 2000b).  Struktur bangunan batu kapur (CaCO3) tersebut cukup kuat, sehingga koloni karang mampu menahan gaya gelombang air laut, sedangkan asosiasi organisme-organisme yang dominan hidup di sini disamping selectrctinian corals, adalah algae yang juga banyak mangandung kapur (Dawes, 1981).

Berkaitan dengan terumbu karang di sini dibedakan antara binatang karang (reef corals) sebagai individu organisme atau komponen masyarakat, dan terumbu karang (coral reef) sebagai suatu ekosistem, termasuk di dalamnya organisme-organisme karang.  Terdapat dua tipe karang, yaitu karang yang membentuk bangunan kapur (hermatypic corals) dan yang tidak membentuk bangunan karang (ahermatypic corals).  Hermatypic corals adalah binatang karang yang dapat membentuk bangunan karang dari kalsium karbonat, sehingga sering dikenal pula sebagai reef-building corals.  Sedangkan ahermatypic corals adalah binatang karang yang tidak dapat membentuk bangunan karang (Bengen, 2002; Supriharyono, 2000b).

 

 

Gambar 2. Ekosistem Terumbu Karang, di Nusa Penida, Bali

[Tidak disertakan]

 

Perkembangan terumbu karang dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik lingkungan yang dapat menjadi pembatas bagi karang untuk membentuk terumbu.  Adapun faktor-faktor fisik lingkungan yang berperan dalam perkembangan terumbu karang adalah: (1) suhu air >  180C, tetapi bagi perkembangan yang optimal diperlukan suhu rata-rata tahunan berkisar antara 23 ¨C 25oC, dengan suhu yang maksimal yang dapat ditolerir berkisar antara 36 ¨C 40oC; (2) kedalaman perairan > 50 meter, dengan kedalaman bagi perkembangan optimal pada  ¡Ü  25 meter; (3) salinitas air yang konstan antara 30 - 36¡ë; dan (4) perairan yang cerah, bergelombang besar dan bebas dari sedimen (Bengen, 2001, 2002).

Pada daerah terumbu karang, ikan karang merupakan organisme yang jumlahnya terbanyak dan juga merupakan organisme besar yang mencolok.  Dengan jumlahnya yang besar dan mengisi terumbu karang, maka dapat terlihat dengan jelas bahwa ikan karang penyokong hubungan yang ada dalam ekosistem terumbu karang (Nybakken, 1988).  Keberadaan ikan-ikan karang sangat dipengaruhi oleh kondisi kesehatan terumbu karang yang  ditunjukkan oleh persentase penutupan karang hidup (Hutomo, 1986).

Terumbu karang merupakan habitat bagi beragam biota, sebagai berikut: (1) beraneka ragam avertebrata (hewan tak bertulang belakang), terutama karang batu (stony coral), juga berbagai krustasea, siput dan kerang-kerangan, ekinodermata (bulu babi, anemon laut, teripang, bintang laut dan leli laut); (2) beraneka ragam ikan: 50 ¨C 70% ikan kornivora oportunik, 15% ikan herbivora, dan sisanya omnivora; (3) reptil, umumnya ular laut dan penyu laut; dan (4) ganggang dan rumput laut, yaitu: algae hijau berkapur, algae karolin dan lamun (Bengen, 2002).

Beberapa kelompok ikan yang paling paling sering terlihat di terumbu karang, adalah: (1) Subordo Labroide, famili: Labrides (ikan cina-cina), Scaridae (ikan kakak tua), Pomacentridae (ikan betook); (2) Subordo Acanthuroidei, famili:  Acanthuridae (butana/surgeon fish), Siganidae (beronang), dan Zanclidae (Moorish idol); (3) Subordo Chaetodontoidei, famili: Chaetodontidae (kepe-kepe/butterfly fish), Pomacantidae (kambing-kambing/angel fish); (4) Famili Blennidae dan gobiidae yang bersifat demersal dan menetap; (5) Famili Apogonidae (ikan beseng), nocturnal, memangsa avertebrata terumbu dan ikan kecil; (6) Famili Ostraciidae, Tetraodontidae, dan Balestide (ikan pakol) yang menyolok dalam bentuk dan warnanya; dan (7) pemangsa dan pemakan ikan (Piscivorous) yang besar jumlahnya dan bernilai ekonomis tinggi, meliputi famili: Serranidae (kerapu), Lutjanidae (kakap), Lethrinidae (lencam), dan Holocentridae (suanggi).

Ikan karang terbagi dalam 3 (tiga) kelompok yaitu: (1) ikan target yaitu ikan-ikan yang lebih dikenal oleh nelayan sebagai ikan konsumsi seperti Famili Serranide, Lutjanidae, Haemulidae, Lethrinidae; (2) kelompok jenis indikator yaitu ikan yang digunakan sebagai indikator bagi kondisi kesehatan terumbu karang di suatu perairan seperti Famili Chaetodontidae; dan (3) kelompok ikan yang berperan dalam rantai makanan, karena peran lainnya belum diketahui seperti Famili Pomacentridae, Scaridae, Acanthuridae, Caesionidae, Siganidae, Muliidae, Apogonidae (Adrim, 1993).

Banyak ikan yang mempunyai daerah hidup di terumbu karang dan jarang dari ikan-ikan tersebut keluar daerahnya untuk mencari makanan dan tempat perlindungan.  Batas wilayah ikan tersebut didasarkan pada pasokan makananan, keberadaan predator, daerah tempat hidup, dan daerah pemijahan.  Hal ini yang menyebabkan hubungan ikan karang semakin kompleks (White, 1987; McConnel, 1987).  Kebanyakan ikan yang tergolong herbivora adalah ikan-ikan yang aktif pada siang hari (diurnal), berwarna cemerlang dengan mulut yang kecil.  Beberapa jenis umumnya membentuk kelompok ketat dan cepat bergerak (Mc Connaughey dan Zottoli, 1983).

Interkasi antara ikan karang dan terumbu karang sebagai habitatnya dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu: (1) intekasi langsung sebagai tempat berlindung dari predator pemangsa terutama bagi ikan-ikan muda; (2) interkasi dalam mencari makanan yang meliputi hubungan antara ikan karang dan biota yang hidup pada karang termasuk algae; dan (3) interkasi tidak langsung sebagai akibat struktur karang dan kondisi hidrologis dan sedimen (Coat dan Bellwood, dalam Bawole, 1998).

 

3.4.         Ekosistem Padang Lamun

Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun dan akar sejati yang hidup terendam dalam laut.  Lamun mengkolonisasi suatu daerah melalui penyebaran buah (propagule) yang dihasilkan secara seksual (dioecious) (Mann, 2000).  Lebih lanjut Mann (2000), lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi pertumbuhannya.  Lamun hidup di perairan yang dangkal dan jernih pada kedalaman berkisar antara 2 ¨C 12 meter dengan sirkulasi air yang baik.

Secara ekologi padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir, yaitu: (1) produsen detritus dan zat hara; (2) mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak, dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang; (3) sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini; dan (4) sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari (Bengen, 2002).

 

Gambar 3. Padang Lamun di Nusa Lembongan, Bali.

[Tidak disertakan]

 

 

 3.5.         Ekosistem Pantai

Ekosistem pantai terletak antara garis air surut terendah dan air pasang tertinggi.  Ekosistem ini berkisar dari daerah di mana ditemukan substrat berbatu dan berkerikil (yang mendukung sejumlah terbatas flora dan fauna sesil) hingga daerah berpasir aktif (dimana ditemukan populasi bakteri, protozoa, metazoa) dan daerah berpasir bersubstrat liat dan Lumpur (di mana ditemukan sejumlah besar komunitas infauna) (Bengen, 2002).

Pantai berbatu merupakan satu dari lingkungan pesisir dan laut yang cukup subur.  Kombinasi substrat keras untuk penempelan, seringnya aksi gelombang, dan perairan yang jernih menciptakan suatu habitat yang menguntungkan bagi biota laut.  Pantai berbatu menjadi habitat bagi berbagai jenis moluska (kerang), binatang laut, kepiting, anemon, dan juga ganggang laut (Bengen, 2001, 2002)

Lebih lanjut Bengen (2002), menyatakan kombinasi ukuran partikel yang berbeda dan variasi faktor lingkungan menciptakan suatu kisaran habitat pantai berpasir.  Reoksigenasi dan suplai nutrient ke dalam pasir bervariasi berdasarkan porositas, aksi gelombang, dan tinggi muka pasir.  Profil vertikal bergradasi dari aerobik (pasir berwarna kekuning-kuningan) ke lapisan kurang aerobik (pasir berwarna kelabu) hingga lapisan anaerobic (pasiir berwarna hitam) (Gambar 8 dan Gambar 9).  Produksi primer pantai berpasir rendah, meskipun kadang-kadang dijumpai populasi diatom yang hidup di pasir intertidal.  Hampir seluruh materi organic diimpor baik dalam bentuk materi organik terlarut (DOM) atau partikel (POM).  Konsumsi materi organik sebagian besar oleh bakteri, jarang sekali oleh herbivora atau detritivora.  Kelimpahan bakteri secara proporsional berbanding terbalik dengan ukuran sedimen.  Peran utama dari bakteri adalah dekomposisi materi organik. 

Ekosistem Pulau-Pulau Kecil

Pulau-pulau kecil adalah pulau yang mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan 10.000 km2 atau lebarnya kurang dari 10 km.  Banyak pulau-pulau kecil yang mempunyai luas area kurang dari 2.000 km2 dan lebarnya kurang dari 3 km,  pulau-pulau ini diklasifikasikan sebagai pulau sangat kecil.

Pulau atau kepulauan yang terdapat di dunia dapat digolongkan ke dalam beberapa tipe, berdasarkan pada proses geologinya (Bengen, 2002), yaitu: (1) pulau benua (continental island), yaitu terbentuk sebagai bagian dari Benua, dan setelah itu terpisah dari daratan utama.  Tipe batuan dari pulau Benua adalah batuan yang kaya akan silica.  Biota yang terdapat di pulau-pulau tipe ini sama dengan yang terdapat di daratan utama; (2) pulau vulkanik (volcanic island), pulau yang terbentuk dari kegiatan gunung berapi yang timbul secara perlahan-lahan dari dasar laut ke permukaan; (3) pulau karang timbul (raised coral island), yaitu pulau yang terbentuk oleh terumbu karang yang terangkat ke atas permukaan laut, karena adanya gerakan ke atas dan gerakan ke bawah; (4) pulau daratan rendah (low island); dan (5) pulau atol (atrolls).

 

IV.    KAWASAN PESISIR PENENTU STOK IKAN DI LAUT

 Potensi lestari (maximum sustainable yield atau MSY) sumberdaya ikan (SDI) laut di Indonesia diperkirakan sekitar 6,26 juta ton per tahun yang terdiri dari potensi perairan Indonesia sekitar 4,40 juta ton per tahun dan potensi ZEEI sekitar 1,86 juta ton per tahun (Lampiran-I).

Potensi lestari ikan pelagis kecil mencapai 3.235.800 ton/tahun, ikan demersal sebanyak 1.786.400 ton/tahun, ikan pelagis besar sekitar 1.053.500 ton/tahun dan udang serta ikan lainnya sekitar 182.900 ton/tahun. Distribusi menurut wilayah perairan, adalah: Laut Natuna dan Laut Cina Selatan menampung sekitar 1.252.400 ton/tahun, Samudera Hindia sekitar 917.500 ton/tahun, Laut Jawa dan Selat Sunda sekitar 852.000 ton/tahun, Laut Arafuru berkisar 792.100 ton/tahun, Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik sekitar 691.400 ton/tahun, Laut Flores dan Selat Makasar dengan potensi lestari 678.600 ton/tahun, Laut Maluku dan Sekitarnya sebesar 587.000 ton/tahun, Laut Banda sekitar 248.400 ton/tahun, dan Selat Malaka dengan potensi 239.200 ton/tahun.

Dari posisi di atas terlihat bahwa 70,29% dari potensi lestari ikan berada di perairan Indonesia.  Hal ini mengidentifikasi bahwa posisi pesisir yang dianut dengan kreteria Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dengan luas wilayah pesisir sampai dengan 12 mil diukur dari garis pantai, sepadan dengan laut perairan.  Hal ini juga memberikan indikasi bahwa biota laut atau ikan lebih memilih posisi yang dengan sumber makanan, tempat pemijahan, dan sumber reproduksi yaitu wilayah pesisir yang memiliki ekosistem terumbu karang, lamun, estuaria, dan lain-lain.

Sejalan dengan itu, Dahuri (2002), menyatakan  dalam kegiatan-kegiatan pembangunan yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, antara lain pembangunan di wilayah pesisisr sampai dengan 12 mil laut adalah perikanan pelagis kecil, perikanan ikan karang, perikanan demersal, dan perikanan udang.  Dari MSY yang terdeteksi ikan demersal kecil mempunyai potensi yang cukup besar, menyusul ikan demersal, dan udang.  Total produksi yang dapat ditangkap sekitar 5,02 ton/tahun (80,32%) dari total ikan di laut Indonesia.  Hal ini juga membuktikan bahwa ekosistem pesisir merupakan potensi untuk penentu stok ikan di laut melalui suatu lokasi pemijahan (spawning gorund), pengasuhan (nursey gorund), dan pembesaran atau tempat mencari makan (feeding ground).

 

V.    KESIMPULAN DAN SARAN

Dari kajian-kajian tersebut di atas terlihat bahwa kawasan pesisir sangat berperan dalam penentu stok ikan di laut.  Disebabkan adanya migrasi ikan dari satu tempat ke tempat lainnya, maka diduga potensi penentu stok ikan tersebut di atas wilayah pesisir memasok sekitar 70 ¨C 80% dalam menentukan stok ikan di laut.

Sebagai bagian penentu stok ikan di laut maka sebaiknya, program rehabilitas ekosistem pesisir, konservasi dan pengawasan terhadap perusakan ekosistem pesisir (pengusahaan dan pemanfaatan dengan menggunakan bahan peledak dan B3) dapat dijadikan skala prioritas dalam pembangunan kelautan dan perikanan di masa mendatang terutama dalam kaitan dengan peningkatan hidup nelayan.  Secara filosofi bahwa stok ikan di wilayah pesisir harus dilihat secara holistik yang meliputi bio-sosial¡-ekonomi. 

 

DAFTAR BACAAN

 

 

Bengen, D. G. 2001. Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut serta Pengelolaan Secara Terpadu dan Berkelanjutan.  Makalah. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. 29 Oktober ¨C 3 Nopember 2001. Bogor: PKSSPL-IPB.

 

__________. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. Sinopsis. Bogor: PKSPL-IPB.

 

Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu. 2001.  Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Cetakan kedua, edisi revisi. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

 

Dahuri, R. 2002.  Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB.

 

Dawes, C. J. 1981. Marine Botany. New York: John & Sons, Inc.,

 

Heald, E. J.  1969.  The Production of Organic Detritus in a South Florida Estuary. Sea Grant Program. Miami Florida: Sea Grant Tech Bull No. 6 University of Miami.

 

Hedgpeth, J. W. 1967. Ecological Aspects of the Laguna Madre: A Hypersaline Estuary. In Lauf, G.H. (ed) Estuaries. Washington D.C : American Association for the Advancement of Science.

 

Hutomo, M. 1986. Coral Reef Fish Resources and Their Relation with Reef Condition: Some Case Studies in Indonesia Water. Biotrop Special Publication No. 19 Bogor.

 

Irwan, Z.D. 1992. Prinsip-Prinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem Komunitas dan Lingkungan. Cetakan pertama. Jakarta: Bumi Aksara.

 

Kinne, O. 1964. The Effect of Temperature  and Salinity on Marine and Brackish Water Animals. Oceonogr. Mar. Biol. Rev.

 

_______. 1967. Physiology of Estuarine Organisms with Special Reference to Salinity and Temperature: General Aspects. In Lauf, G.H. (ed) Estuaries. Washington D.C : American Association for the Advancement of Science.

 

McCannaugh, B.K. and Zottoli, R. 1988. Pengantar Biologi Laut. Bagian pertama. The C.V. Mosby Company St Louis Toronto. London.

 

Nikijuluw, V.P.H. 2002.  Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta: PT. Pustaka Cidesindo.

 

Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologi.  Jakarta: PT. Gramedia Utama.

 

Pritchard, D.W. 1967. What is an Estuary: Physical Viewpoint.  In Lauf, G.H. (ed) Estuaries. Washington D.C : American Association for the Advancement of Science.

 

Supriharyono, 2000.a.  Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

 

___________. 2000.b. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Semarang: Penerbit Djambatan.